Hakikat Akhlak Pengaruh Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Terhadap Pembentukan Akhlak Siswa Di Smk Gita Kritti 1 Jakarta

Dengan demikian, akhlak itu mempunyai empat syarat: a. Perbuatan baik dan buruk b. Kesanggupan melakukan c. Mengetahuinya d. Sikap mental yang membuat jiwa cenderung kepada salah satu dua sifat tersebut, sehingga mudah melaksanakan yang baik atau yang buruk. Sedangkan menurut al-Farabi, ia menjelaskan bahwa akhlak itu bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan yang merupakan tujuan tertinggi yang dirindui dan diusahakan oleh setiap orang. Jika diperhatikan dengan seksama, tanpa bahwa seluruh devinisi akhlak sebagaimana tersebut diatas tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi, yakni suatu sikap yang tertanam kuat dalam jiwa yang Nampak dalam perbuatan lahiriah yang dilakukan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran lagi dan mudah menjadi kebiasaan. 25 Selanjutnya Abuddin Nata dalam bukunya Akhlak Tasawuf mengatakan bahwa ada lima ciri yang terdapat dalam akhlak. Pertama perbuatan akhlak tersebut sudah menjadi kepribadian yang tertanam kuat dalam jiwa seseorang. Kedua perbuatan akhlak merupakan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ketiga peerbuatan akhlak merupakan perbuatan yang timbul dalam diri orang yang mengerjakan tanpa paksaan atau tekanan dari luar. Keempat perbuatan dilakukan dengan sebenarnya tanpa ada unsure sandiwara. Kelima perbuatan yang dilakukan ikhlas karena Allah, bukan karena ingin dipuji tau ingin mendapatkan sesuatu. 26 25 Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf,… hal. 29-30 26 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf , Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, cet. Ke-4, hal. 72

2. Sumber dan Macam – macam Akhlak

1. Sumber Akhlak

Pengertian akhlak didalam Islam banyakdibicarakan dan dimuat dalam Hadits sumber tersebut merupakan batas – batas dalam tindakan sehari – hari bagi manusia ada yang menjelaskan arti baik dan buruk. Member informasi kepada umat, apa yang mestinya harus diperbuata dan bagaimana harus bertindak. Sehingga dengan mudah dapat diketahui, apakah perbuatan itu terpuji atau tercela, benar atau salah. Kita telah mengetahui bahwa akhlak Islam adalah merupakan system moral yang berdasarkan Islam, yakni bertitik tolak dari aqidah yang diwahyukan Allah kepada Nabi atau Rasul-Nya yang kenudian agar disampaikan kepada umatnya. Akhlak Islam, karena merupakan system akhlak yang berdasarkan kepada kepercayaa kepada Tuhan, maka tentunya sesuai pula dengan dasar dari pada agama itu sendiri. Dengan demikian, dasar atau sumber pokok daripada akhlak adalah Al- Qur’an dan Hadits yang merupakan sumber utama dari agama itu sendiri. 27 Pribadi Nabi Muhammad adalah contoh yang paling tepat untuk dijadikan teladan dalammembentuk kepribadian. Begitu juga sahabat – sahabat Beliau yang selalu berpedoman kepada Al- Qur’an dan Hadits dlam kesehariannya. Beliau bersabda: 27 A. Mustofa, AKhlak Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997, cet. Ke-2, hal. 149 ” dari Anas bin Malik r.a. berkata, bahwa Nabi SAW bersabda, “telah ku tinggalkan atas kamu sekalian dua perkara, yang apabila kamu berpegang kepada keduanya, maka tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. ” 28 Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa segala perbuatan atau tindakan manusia apapun bentuknya pada hakekatnya adalah bermaksud mencapai kebahagiaan, sedangkan untuk mencapai kebahagiaan menurut siistem moral atau akhlak yang Islam dapat dicapai dengan jalan menuruti perintah Allah yakni dengan menjauhi segala larangan-Nya dan mengerjakan segala perintah-Nya, sebagaimana yang tertera dalam pedoman dasar hidup setiap muslim yakni Al- Qur’an dan Hadist.

2. Macam – macam akhlak

a Akhlak Al-Karimah Akhlak Al-Karimah atau akhlak mulia sangat amat jumlahnya, namun dilihat dari segi hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia, akhlak yang mulia itu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Akhlak Terhadap Allah Adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dia memiliki sifat – sifat terpuji demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikatpun tidak akan menjangkau hakekatnya. 2. Akhlak Terhadap Diri Sendiri Akhlak ini dapat diartikan menghargai, menghormati, menyayangi dan menjaga diri sendiri dengan sebaik – baiknya, karena sadar bahwa dirinya itu sebagai ciptaan dan amanah Allah yang harus 28 A. Mustofa, Akhlak Tasawuf,…, hal. 149-150 dipertanggungwajabkan denagn sebaik-baiknya. Contohnya: menghindari minuman yang beralkohol, menjaga kesucian jiwa, hidup sederhana serta jujur dan hindarkan perbautan yang tercela. 3. Akhlak Terhadap Sesama Manusia Manusia adalah makhluk social yang kelanjutan eksistensinya secara fungsional dan optimal banyak bergantung pada orang lain, untuk itu, ia perlu bekerjasama dan saling tolong menolong dengan orang lain. Islam menganjurkan berakhlak yang baik kepada saudara, karena ia berjasa salam ikut serta mendewasakan kita, dan merupakan orang yang paling dekat dengan kita. Caranya dapat dilakukan dengan memuliakannya, memberikan bantuan, pertolongan dan menghargainya. 29 Jadi, manusia menyaksikan danmenyadari bahwa Allah telah mengaruniakan kepadanya keutamaan yang tidak dapat terbilang dan karunia kenikmatan yang tidak bias dihitung banyaknya, semua itu perlu disyukurinya dengan berupa berzikir dengan harinya. Sebagiknya dalam keghidupannya senantiasa berlaku hidup sopan dan sntun menjaga jiwanya agar selalu bersih, dapat terhindar dari perbuatan dosa, maksiat, sebab jiwa adalah yang terpenting dan pertama yang harus dijaga dipelihara dari hal – hal yang dpat mengotori dan merusaknya karena manusia adalah makhluk social maka ia perlu menciptakan suasana yang baik, satu dengan yang lainnya saling berakhlak yang baik. b Akhlak Al- Mazmumah Adalah sebagai lawan dari akhlak yang baik sebagaimana tersebut di atas. Dalam ajaran Islam tetap membcarakan secara terperinci dengan tujuan agar dapat dipahami dengan benar, dan dapat diketahui cara – cara menjauhinya. Berdasarkan petunjuk ajaran Islam dijumpai berbagai macam akhlak yang tercela, diantaranya: 29 Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf,… hal. 49-57 1. Berbohong Adalah memberikan informasi yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya. 2. Takabur sombong Adalah mengaku dirinya besar, tinggi,mulia, melebihi orang lain. Pendek kata merasa dirinya lebih hebat. 3. Dengki Adalah rasa tidak senang atas eknikmatan yang diperoleh ornaglain. 4. Kikir Ialah sukar baginya mengurangi sebagian dari apa yang dimiliki itu untuk ornag lain. 30 Berdasarkan diuraikan diatas maka akhlak dalam wujud pengalamannya dibedakan menjadi dua: akhlak terpuji dan akhlak tercela.jika sesuai dengan perintah Allah dan rasul-Nya yang kemudian melahirkan perbuatan yang baik, maka itulah yang dinamakan akhlak terpuji, sedangkan jika ia sesuai dengan apa yang dilarang oleh Allah dan rasul_nya dan melahirkan perbuatan – perbautan yang buruk, maka itulah yang dinamakan akhlak yang tercela.

3. Tujuan Akhlak

Tujuan adalah suatu usaha yang diharapkan terapai setelah sesuatu usaha atua kegiatan selesai dikerjakan. Maka tujuan utam pendidikan akhalk dalamIslam agar manusia berada dalam kebenaran dan senantiasa berada di jalan 30 Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf,… hal. 57-59 yang lurus, jalan yang telah dgariskan oleh Allah. 31 Inilah yang akan mengantarkan manusia menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Akhlak mulia merupakan tujuan pokok dalam pendidikan akhlak Islam ini. Akhlak seseorang akan dianggap mulia jika perbuatannya mencerminkan nilai – nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian bahwa pendidikan akhlak adalah merupakan asas bagi tiap pendidikan manusia. Menurut Al-Ghazali, tujuan pendidikan akhlak dalam prosesnya haruslah mengarah kepada pedekatan diri kepada Allah da kesempatan insane, dapat membentuk kepribadian muslim yang memiliki sifat terpuji, sehingga setiap perbuatan baik yang dilakukan terasa nikmat, dan pada akhirnya dapat mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu kebahagiaa didunia dna akhirat. Sehingga tujuan pendidikan akhlak dirumuskan sebagai pendekatan diri kepada Allah, yaitu untuk membentuk manusia yang shaleh, yang mampu melaksanakan kewajiba – kewajibannya kepada Allah dan kewajibannya kepada manusia sebagai hamba-Nya. Al-Ghazali menjelaskan tujuan akhlak: “tujuan dari akhlak ialah membuat amal yang dikerjakan menjadi nikmat. Seorang yang dermawan akanmerasakan nikmat ketika memberikan hartanya dan ini berbeda denag orang yang memberikan hartnya karena terpaksa. Seorang yang rendah hati ia merasakan lezatnya tawadhu’.” 32 Rumusan cukup sederhana namun sangat mengenai telah ditawarkan oleh Zakiah Drajat. Zakiah Drajat berpendapat bahwa tujuan pendidikan akhlak 31 Aki Badul Halim Mahmud, AKhlak Mulia, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, cet. Ke1, hal. 159 32 Imam Ghazali, Ihya Ul umuddin,…, Jilid III, hal. 56 adalah untuk membentuk karakter muslim yang memiliki sifat – sifat terpuji. Menurut Zakiah Drajat, dalam ajaran Agama Islam, akhlak tidak dapat dipisahkan dari iman. Iman merupakan pengakuan hati. Dan akhlak merupakan pantulan iman tersebut pada perilaku, ucapan dan sikap. Iman adalah maknawi dan akhlak adalah bukti. 33 Dalam hal ini, zakiah menekankan bahwa akhlak adalah implementasi iman. Dari pandangan Zakiah Drajat ini dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah untuk membuat peserta didik mampu mengimplementasikan keimanan dengan baik. Dalam pendidikan formal, tujuan pendidikan akhlak tergambar dengan jelas dan rinci pada kurikulum. Tujuan pendidikan akhlak adalah di lembaga – lembaga formal biasanya terbagi kepada dua bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. a. Tujuan umum Adalah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan kependidikan, baik dengan cara pengajaran atau cara lain yang meliputyi aspek sikap, tingkah laku, kebiasaan dan pandangan hidup. Untuk menunju tujuan umum tersebut perlu adanya pengkhususan tujuan yang disesuaikan denagn kondisi dan situasi tertentu. Misalnya tugas dari suatu lembaga pendidikan, bakat siswa dan tingkat pendidikan. 34 Tujuan umum pendidikan adalah membimbing siswa agar menjadi muslim sejati, beriman teguh serta mampu mengabdikan diri kepada Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah:        “dan Aku tidak menciptakan jin dan manusai melainkan supaya mereka mengabdikan kepada- Ku.” QS. Al-Zaraiyat: 56 33 Zakia Drajat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta: CV. Ruhama, 1993, hal. 67-70 34 Amir Indra Kusuma, Pengajaran Ilmu Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1973, hal. 72 b. Tujuan khusus Adalah tujuan pada setiap jenjang pendidikan akhlak yang dilalui. Sebagai contoh berikut adalah pendidikan akhlak pada sekolah pada sekolah menengah kejurun yang disusun oleh Dirjen Bimus Islam Direktorat pendidikan Agama, Depag RI: “memupuk jiwa agama dengan berusaha menanmkan rasa cinta kepada Allah dalam hat i murid, menanmkan I’tikad dan kepercayana yang benar dalam jiwanya. Mendidik siswa agar menjadi orang yang bertaqwa, membiasakan dan membimbing anak untuk berakhlak mulia serta memiliki adat kebiasaan yang baik. 35

C. Hakikat Anak Didik 1. Pengertian

Dalam pengertian umum, anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekolompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Sedangkan dalam arti sempit anak didik adalah anak yang diserahkan kepada tanggung jawab pendidik. 36 Dalam bahasa Indonesia, amak siswa, murid, pelajar dan peserta didik marupakan sinomin persamaan, semuanya bermakna anak yang sedang berguru belajar dan bersekolah, anak yang sedang memperoleh pendidikan dasar dari suatu lembaga pendidikan. Jadi dapat dikatakan bahwa anak didik merupakan semua orang yag sedang belajar, baik pada lembaga pendidikan formal maupun lembaga pendidikan non formal. 37 35 Depag RI, Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan, Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 1975, hal. 27 36 Sutari Imam Barnadib, Pengaruh Ilmu Pendiidkan Sistematis, Yogjakarta:FIP IKIP, 1986, hal. 120; Ahmad D Marimban, hal. 58 – 59, Suwarno, Pengatar Ilmiu Pendidikan, Jakarta: Aksara Baru, 1985, hal. 67 - 68 37 Abdddin Nata, Fauzan, Pendidikan Dalam Persepsi Hadits,…, hal. 248 Anak didik adalah subjek utama dalam pendidikan. Dialah yang belajar setiap saat. Belajar anak didik tidak mesti harus selalu berinteraksi dengan guru dalam proses interaksi edukatif. Tokoh – tokoh aliran behaviorisme beranggapan bahwa anak didik yang melakukan aktivitas belajar seperti membaca buku, mendengarkan penjelasan guru, mengarahkan pandangan kepada seorang guru yang menjelaskan didepan kelas, termasuk dalam kategori belajar. Mereka tidak melihat ke dalam fenomena psikologi anak didik. Aliran ini berpegang pada realitas dengan mata telanjang dnegan mengabaikan proses mental denagn segala perubahannya, sebagai akibat dari aktivitas belajar tersebut. Tetapi aliran kognitivisme mengatakan lain bahwa keberhasilan belajar itu ditentukan oleh perubahan mental dengan masuknya sejumlah kesan yang baru dan pada akhirnya mengetahui perilaku. Berbeda dengan aliran behaviorisme yang hanya melihat fenomena perilaku saja, aliran kognivtivisme jauh melihat kedalam fenomena psikologi. 38

2. Dasar – dasar Kebutuhan Anak Untuk Memperoleh Pendidikan

Secara kodrati, anak memerlukan pendidikan atau bimbingan dari orang dewasa. Dasar kodrati ini dapat dimengerti dari kebutuhan – kebutuhan dasar yang dimiliki oleh setiap anak yang hidup didunia ini. Rasulullah saw bersabda: 38 Syaiful Bahri Djamarah,…., hal. 47 Artinya: “Tidaklah seseorang yang dilahirkan melainkan menurut fitrahnya, maka akibat kedua orang tuanyalah yang me-Yahudikannya atau me- Nasranikannya atau me-Majusikannya. Sebagaimana halnya binatang yang dilahirkan denagn sempurna, apakah kamu lihat binatang itu tidak berhidung dan bertelinga? Kemudian Abu Hurairah berkata,”Apabila kau mau bacalah lazimilah fitrah Allah yang telah Allah ciptakan kepada manusia diatas fitrah-Nya. Tiada penggantian terhadap engkau ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus Islam.” HR.Muslim Prof. DR. H. Ramayulis mengartikan fitrah dalam arti etimologi berarti alkhilqah, al- ibda’, al-ja’l penciptaan. Arti ini disamping dipergunakan untuk maksud penciptaan alam semesta juga pada penciptaan manusia. Dengan makna etimologi ini, maka hakekat manusia adalah sesuatu yang diciptakan, bukan menciptakan. 39 Sedangkan, Allah SWT berfirman surat An-Nahl ayat 78:                  Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” 40 Dari hadits dan ayat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa manusia itu untuk dapat menentukan status manusia sebagaimana mestinya adalah harus mendapatkan pendidikan. Dalam hal ini keharusanmendapatkan pendidikan itu jika 39 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: kalam Mulia, 2004, cet. Ke-4, hal. 278 40 Al- Qur’an dan Terjemah, Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta: CV. Toha Putra Semarang, 1989, hal. 413 diamati lebih jauh sebenarnya mengandung aspek – aspek kepentingan yang antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut. a. Aspek Paedagogis. Dalam aspek ini, para ahli didik memandang manusia sebagai animal educandum: makhluk yang memerlukan pendidikan. Adapun manusia dengan potensi yang dimilikinya, mereka dapat dididik dan dikembangkan kearah yang diciptakan, setaraf denagn kemampuan yang dimilikinya. Islam mengajarkan bahwa anak itu membawa berbagai potensi yang selanjutnya apabila tersebut dididik dan dikembangkan ia akan menjadi manusia secara fisik dan mental akan memadai. b. Aspek Sosiologi dan Kultural. Menurut ahli sosiologi pada prinsipnya, mansuai adalah homosocius, yaitu mahkluk yang berwatak berkemampuan dasar atau memiliki garizah instink untuk hidup bermasyarakat. Sebagai makhluk sosial manusia memilik rasa tanggung jawab yang diperlukan dalam mengembangkan hubungan timbale balik dan saling pengaruh mempengaruhi antara anggota masyarakat dalam kesatuan hidup mereka. Dengan demikian manusia dikatakan dalam kesatuan hidup mereka. Berarti pula manusia ini adalah makhluk yang berbudayaan, baik moral maupun material. Diantara intink manusia adalah adanya kecenderungan mempertahankan segala apa yang dimilikinya termasuk kebudayaannya. Oleh karena itu maka manusia pula melakukan pemindahan dan penyaluran serta pengoperan kebudayannya kepada generasi yang akan menggantikannya dikemudian hari. c. Aspek Tauhid. Adalah aspek pandangan yang mengakui bahwa manusia ini adalah makhluk yang berketuhanan yang menurut istilah ahli disebut homo divinous makhluk yang percaya adanya Tuhan atau disebut juga homo religios makhluk yang beragama. Adapun kemampuan dasar yang menyebabkan manusia menjadi makhluk yang berketuhanan dan beragama adalah karena didalam jiwa manusia terdapat instink religios atau garizah Diniyah instink percaya pada agama. Itulah sebabnya, tanpa menlalui proses pendidikan instink religios atau garizah Diniyah tersebut tidak akan mungkin dapat berkembang secara wajar. Dengan demikian pendidikan keagamaan mutlak diperlukan untuk mengembangkan kedua instink tersebut. 41 Karena itulah, anak didik memiliki beberapa karakteristik, diantaranya: 1. Belum memiliki pribadi dewasa susila, sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik. 2. Masih menyempurnakan aspek tertentu dari kewenanggannya, sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik. 3. Sebagai manusia memiliki sifat – sifat dasar yang sedang ia kembangkan secara terpadu, menyangkut seperti kebutuhan biologis, rohani, social, intelengensi, emosi, kemampuan bicara, perbedaan individual dan sebagainya. 42 Dengan demikian anak didik sebagai manusia yang belum dewasa merasa tergantung kepada pendidiknya, anak didik merasa ia memiliki kekurangan tertentu, ia menyadari bahwa kemampuannya sangat terbatas dibandingkan denagn kemampuan pendidikannya. Kekurangan ini membawanya untuk mengadakan interaksi denagn pendidiknya dalam situasi pendidikan. Dalam situasi pendidikan itu jadi interaksi kedewasaan dan kebelum dewasaan. Suatu hal yang perlu diperhatikan oleh seorang pendidik dalam membimbing anak didik adalah kebutuhan mereka. Ramayulis sebagaimana mengutip pendapat al-Qussy membagi kebutuhan manusia dalam dua kebutuhan pokok, yaitu: 41 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998, cet. Ke-2, hal. 86 - 89 42 Hasbullah,…, hal. 23 - 24