Pola Ketergantungan Petani Penyewa Terhadap Pemilik Tanah (Studi Kasus Di Desa Rakut Besi, Kecamatan Pamatang Silimahuta, Kabupaten Simalungun)

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

POLA KETERGANTUNGAN PETANI PENYEWA TERHADAP PEMILIK TANAH (Studi Kasus Di Desa Rakut Besi, Kecamatan Pamatang Silima Huta, Kabupaten Simalungun)

SKRIPSI

Diajukan oleh : Sebastian R.S. Saragih

NIM : 030901012

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :

Nama : Sebastian R.S. Saragih NIM : 030901012

Departemen : Sosiologi

Judul : POLA KETERGANTUNGAN PETANI PENYEWA TERHADAP PEMILIK TANAH

(Studi Kasus Di Desa Rakut Besi, Kecamatan Pamatang Silimahuta, Kabupaten Simalungun)

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

(Dr. Badaruddin, M.Si) (Dr. Badaruddin, M.Si)

NIP. 131 996 175 NIP. 131 996 175

Dekan

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) NIP. 131 757 010


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Skripsi Departemen Sosiologi

Hari : ……….

Tanggal : ……….

Pukul : ……….

Tempat : ……….

Tim Penguji

Ketua Penguji : ……….. ( )

Penguji I (Reader) : ……….. ( )


(4)

A B S T R A K

Penelitian dilakukan terhadap petani penyewa dan pemilik tanah yang bertempat tinggal di Desa Rakut Besi Kecamatan Pamatang Silimahuta Kabupaten Simalungun.

Penelitian ditujukan untuk mengetahui pola kehidupan dan pola ketergantungan petani penyewa terhadap pemilik tanah. Adapun pola ketergantungan yang diteliti meliputi: ketergantungan tanah, alat-alat pertanian dan modal (mis: uang, bibit, pupuk dan obat-obatan).

Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam, pengamatan serta studi kepustakaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola ketergantungan antara petani penyewa terhadap pemilik tanah memiliki intensitas yang cukup kuat. Pola ketergantungan sudah terlihat ketika proses penyewaan tanah dimulai. Pemilik tanah sering ikut menentukan pemilihan bibit, pupuk, dan obat-obatan, baik pada saat pengolahan tanah, penanaman, panen dan paska panen. Bahkan tidak jarang, pemilik tanah juga ikut menentukan kepada siapa petani menyewa alat-alat pertanian seperti traktor. Biasanya, pemilik tanah juga menawarkan pinjaman berupa uang ataupun barang. Karena intensitas yang cukup kuat inilah membuat petani penyewa sulit untuk keluar dari ketergantungan kepada pemilik tanah. Dapat dikatakan, dari menyewa sampai paska panen petani selalu bergantung kepada pemilik tanah baik dengan cara meminjam maupun menyewa.

Sementara itu, pola kehidupan petani penyewa dengan pemilik tanah dapat diamati dari segi : pola penggunaan waktu setiap hari, pola konsumsi, pola menabung maupun cita-cita hidup. Dari pola yang digunakan ditemukan bahwa pemilik tanah memiliki pola kehidupan yang jauh lebih baik dibandingkan petani penyewa. Salah satu penyebab adalah kurangnya akses petani penyewa terhadap tanah, alat-alat pertanian dan modal (mis: uang, bibit, pupuk dan obat-obatan).


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji, hormat dan syukur penulis persembahkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan anugerah-Nya bagi kehidupan penulis hingga sampai saat ini. Karena begitu besar kasih-Nya dalam wujud hikmat, bijaksana serta kekuatan yang sungguh dirasakan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pola

Ketergantungan Petani Penyewa Terhadap Pemilik Tanah (Studi Kasus Di Desa Rakut Besi, Kecamatan Pamatang Silimahuta, Kabupaten Simalungun)”.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sangat mendalam kepada keluarga baik kepada bapak, mamak, kaka, serta adikku. Secara khusus, kepada mamak yang selalu mendoakan dan memberi semangat setiap waktu. Trims mom.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Badaruddin, M.Si. selaku Ketua Departemen Sosiologi dan Pembimbing Skripsi.

3. Ibu Dra. Rosmiani, M.A. selaku Penasehat Akademis sekaligus Ketua Penguji dalam sidang akhir skripsi.

4. selaku Dosen Ahli (Reader) dalam sidang skripsi.

5. Semua staf dan pegawai FISIP USU yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu.


(6)

6. Teman-teman kuliah di Departemen Sosiologi stambuk 2003 yaitu : Hendra, Nellina, Dicky, Chandra, Dewi, Ilham, Ratna, Rochie, Riza, Wildan, Ayu, Ramadhan, Hasrat, Kiki, Rizky Zulaikha, Bagus, Ferdinan,

7. Abang-kakak stambuk 2002 & 2001 8. Adik-adik tambuk 2004, 2005 & 2006

9. Semua teman-teman mahasiswa/i FISIP USU.

10. Teman-teman LPMI, PEMA, GMNI, UKM KMK FISIP USU,

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini. Tuhan memberkati.

Medan, Maret 2008


(7)

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan ... ii

Lembar Pengesahan ... iii

Abstrak ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... x

Daftar Gambar ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 20

1.3. Tujuan Penelitian ... 20

1.4. Manfaat Penelitian ... 20

1.5. Definisi Konsep ... 21

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 25

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 31

3.2. Lokasi Penelitian ... 32

3.3. Unit Analisis Dan Informan ... 32

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 33

3.5. Interpretasi Dan Analisa Data ... 35

3.6. Jadwal Kegiatan ... 36

3.7. Keterbatasan Penelitian... 37

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 38

4.1.1. Letak Geografis Desa ... 38


(8)

4.1.3. Keadaan Penduduk... 42

4.1.4. Kondisi Sosial-Budaya ... 47

4.2. Profil Informan Dan Temuan Data ... 48

4.2.1. Petani Penyewa ... 48

a. Kasianus Sipayung ... 48

b. R. Manihuruk ... 51

c. Malem Perangin-angin ... 54

4.2.2. Pemilik Tanah ... 57

a. Marudin Tambun ... 57

b. Esron Girsang ... 60

c. Jansen Karo Sekali ... 62

4.3. Interpretasi Data Penelitian ... 64

4.4.1. Pola Hidup Petani Penyewa Dan Pemilik Tanah ... 64

a. Pola Hidup ... 64

b. Pola Curahan Waktu ... 65

• Pola Curahan Waktu Petani Penyewa ... 65

• Pola Curahan Waktu Pemilik Tanah ... 67

c. Pola Konsumsi ... 69

d. Pola Menabung ... 71

e. Pandangan Hidup ... 72

f. Pandangan Tentang Pembatasan Kelahiran ... 72

g. Pandangan Tentang Pendidikan Anak ... 73

h. Pandangan Tentang Kesehatan Anak ... 74

i. Pandangan Tentang Masa Depan ... 76

4.3.3. Pola Ketergantungan Petani Penyewa Terhadap Pemilik Tanah a. Ketergantungan Terhadap Tanah/Lahan Pertanian ... 77

b. Ketergantungan Terhadap Alat-alat Pertanian ... 81

c. Ketergantungan Terhadap Modal (Mis: uang, bibit, pupuk & obat-obatan) ... 83


(9)

4.3.4. Budaya Resiprositas Petani Penyewa... 85

4.3.5. Pola Ketergantungan Interaktif ... 86

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 89

5.2. Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 93


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Beberapa Strategi Pra-industrial Tabel 3.1. Jadwal Kegiatan

Tabel 4.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin Tabel 4.2. Komposisi Penduduk Umur 15 Tahun Keatas dan Jenis Pekerjaan

Tabel 4.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Tabel 4.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku/Etnis

Tabel 4.5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama Yang Dianut Tabel 4.6. Jenis Penggunaan Lahan

Tabel 4.7. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pembagian Rumah Tangga Pertanian Tabel 4.8. Pola Curahan Waktu Petani Penyewa

Tabel 4.9. Pola Curahan Waktu Pemilik Tanah Tabel 4.10.Pola Konsumsi


(11)

DAFTAR GAMBAR


(12)

A B S T R A K

Penelitian dilakukan terhadap petani penyewa dan pemilik tanah yang bertempat tinggal di Desa Rakut Besi Kecamatan Pamatang Silimahuta Kabupaten Simalungun.

Penelitian ditujukan untuk mengetahui pola kehidupan dan pola ketergantungan petani penyewa terhadap pemilik tanah. Adapun pola ketergantungan yang diteliti meliputi: ketergantungan tanah, alat-alat pertanian dan modal (mis: uang, bibit, pupuk dan obat-obatan).

Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam, pengamatan serta studi kepustakaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola ketergantungan antara petani penyewa terhadap pemilik tanah memiliki intensitas yang cukup kuat. Pola ketergantungan sudah terlihat ketika proses penyewaan tanah dimulai. Pemilik tanah sering ikut menentukan pemilihan bibit, pupuk, dan obat-obatan, baik pada saat pengolahan tanah, penanaman, panen dan paska panen. Bahkan tidak jarang, pemilik tanah juga ikut menentukan kepada siapa petani menyewa alat-alat pertanian seperti traktor. Biasanya, pemilik tanah juga menawarkan pinjaman berupa uang ataupun barang. Karena intensitas yang cukup kuat inilah membuat petani penyewa sulit untuk keluar dari ketergantungan kepada pemilik tanah. Dapat dikatakan, dari menyewa sampai paska panen petani selalu bergantung kepada pemilik tanah baik dengan cara meminjam maupun menyewa.

Sementara itu, pola kehidupan petani penyewa dengan pemilik tanah dapat diamati dari segi : pola penggunaan waktu setiap hari, pola konsumsi, pola menabung maupun cita-cita hidup. Dari pola yang digunakan ditemukan bahwa pemilik tanah memiliki pola kehidupan yang jauh lebih baik dibandingkan petani penyewa. Salah satu penyebab adalah kurangnya akses petani penyewa terhadap tanah, alat-alat pertanian dan modal (mis: uang, bibit, pupuk dan obat-obatan).


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sejarah pertanian telah mencatat bahwa pola pertanian masyarakat petani awal adalah pertanian subsisten. Mereka menanam berbagai jenis tanaman pangan sebatas untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Mereka menanam berbagai jenis biji-bijian antara lain padi, gandum, dan jagung, ataupun tanam-tanaman sayur-sayuran. Bentuk pertanian yang ada saat itu masih sangat individual; kalau mau dikatakan bersifat sosial, itu masih sangat sempit cakupannya, hanya dalam keluarga (Soetemo, 1997 : 21).

Pada abad pertengahan, seni pertanian di dunia barat terbatas di dalam perkebunan yang menghasilkan tanaman pangan, anggur dan obat-obatan dan identik sekali dengan dinamika kehidupan membiara. Perkembangan kultur pertanian kemudian ditandai dengan terbentuknya komunitas-komunitas kecil yang menyerupai desa dalam bentuk dan struktur yang lebih sederhana. Bentuk pertaniannya masih berupa sistem ladang. Masyarakatnya tidak bersifat menetap karena berpindah-pindah mengikuti ladang yang baru, tempat dimana mereka memperoleh sumber makanannya. Solidaritas muncul dalam bentuk kerjasama atau gotong-royong, tanah menjadi milik bersama atau kelompok.

Perbedaan mencolok pertanian dengan sistem berpindah dan pertanian dengan sistem menetap adalah adanya pembangunan irigasi yang mengarahkan kepada terbentuknya organisasi. Ketika penduduk berkembang cepat dan rasio petani dengan


(14)

luas tanah mengecil, muncul pembagian sistem tanah yang mengakibatkan perubahan yang cukup penting dan memberikan implikasi yang cukup mendalam yaitu berlangsungnya pergeseran kebutuhan keluarga petani. Pertanianpun bergeser dari corak subsisten menjadi pembentukan usaha tani modern.

Usaha tani modern ditandai dengan penerapan-penerapan inovasi-inovasi baru dalam teknologi pertanian dan munculnya sistem agribisnis yang ketat. Didalam bidang usaha tani modern, revolusi hijau merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Dari bidang ekonomi, revolusi hijau adalah modernisasi pertanian. Modernisasi pertanian secara khusus dilakukan terhadap tanaman pangan saja. Modernisasi pertanian dikenal karena hasil silang dan pemuliaan tanaman yang menghasilkan bibit-bibit unggul dalam pertanian.

Bersamaan dengan itu, juga diperkenalkan teknologi mekanik seperti traktor tangan dan penggilingan padi maupun teknologi lokal yang irit waktu dan tenaga. Hal tersebut dibarengi oleh perubahan kelembagaan seperti sistem panen terbuka yang digusur sistem tebasan, sistem tanam gotong royong yang diganti sistem borongan.

Berikut adalah proses perkembangan masyarakat pertanian yang ditinjau dari konteks Sosiologi Makro:


(15)

Tabel 1.1.

Beberapa Strategi Pra-industrial

Strategi subsistensi Karakteristik pokok teknologi Berburu dan meramu

Hortikultura sederhana

Hortikultura intensif

Agrarisme

Berburu binatang liar dengan menggunakan tombak, melempar lembing, busur dan panah, jaring dan perangkap meramu makanan dari tanaman liar dengan menggunakan tongkat penggalai menangkap ikan juga mungkin dilakukan, dan dalam lingkungan tertentu bisa merupakan aktifitas subsistensi yang penting. Pembagian kerja umumnya didasarkan atas usia dan jenis kelamin berburu umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki dan meramu dilakukan oleh perempuan. Kelompok nomadik yang terdiri dari 25-50 orang bertugas mencari persediaan makanan yang terdiri dari hasil tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pemakaian tenaga kerja sangat rendah.

Perkebunan berskala kecil biasanya menerapkan teknik tebas-dan-bakar. Kaum lelaki mempersiapkan ladang tetapi penanaman dan panen umumnya dilakukan kaum perempuan. Ladang sering berpindah dan periode kosong umumnya panjang (20-30 tahun). Pemakaian tenaga kerja rendah.

Perkebunan berskala kecil biasanya menerapkan teknik tebas-dan-bakar, tetapi pemakaian tanah lebih sering dan intensif, periode kosong lebih pendek (5-10 tahun). Bisa juga menerapkan teknologi yang terdiri dari cangkul besi dan pembuatan sistem irigasi pemupukan tanah yang lebih intensif, Pemakaian tenaga kerja sedang. Pertanian intensif berskala besar, dengan bajak dan binatang penarik. Ladang dibersihkan sepenuhnya dari semua tumbuhan yang ditanami secara permanen dan semi permanen. Pemupukan intensif dilakukan untuk


(16)

Pastoralisme

mempertahankan kesuburan tanah, memerlukan tenaga kerja yang banyak tetapi dapat menghasilkan surplus ekonomi yang besar.

Menggantungkan hidup dengan menggembalakan ternak dilingkungan yang kering dan semi kering. Yang tidak begitu cocok untuk ditanami. Peternakan berpindah-pindah mengikuti musim dan nomadik. Beberapa perkebunan mungkin digarap, atau bahan makanan yang terdiri dari tumbuh-tumbuhan dapat diperoleh melalui perdagangan.

Sumber: Sanderson, 2003 : 103

Pemerintah telah ikut campur tangan dalam pengaturan harga minimum gabah melalui pembelian beras, stok dan operasi pasar. Pemerintah juga memberikan subsidi harga pada asupan pertanian dan menyelenggarakan kredit usaha tani berbunga rendah dan beranggunan mudah. Semuanya itu merupakan revolusi hijau dan perangkatnya yang membawa pengaruh perubahan pada para petani dengan petani lain, alam, teknologi, pemerintah bahkan perusahaan-perusahaan besar baik dalam maupun luar negeri (Wibowo dan Wahono, 2003 : 227-228).

Memang kebijakan modernisasi pertanian atau revolusi hijau berhasil merubah pola tingkah laku ekonomi dari yang sederhana menjadi maju. Namun perlu dicermati, kemajuan dalam berproduksi tidaklah sama arti dengan kemajuan dalam hal usaha penyejahteraan. Sebabnya adalah kemajuan berproduksi bukan didorong oleh semangat untuk menyejahterakan diri melainkan karena keterpaksaan ekonomi dan atmosfir ketakutan dari pembuat kebijakan.

Perasaan takut tersebut membuat kehidupan petani semakin jauh dari kesejahteraan. Dan hasilnya, modernisasi pertanian atau revolusi hijau ternyata tidak


(17)

berhasil merubah kualitas hidup petani Indonesia secara keseluruhan. Lebih parahnya lagi kebijakan tersebut membuat petani sangat tergantung kepada pihak yang mempunyai akumulasi modal berlebih dan berimplikasi pada terbentuknya kelas buruh tani dan majikan atau petani penyewa dan pemilik tanah dan pada gilirannya petani dipaksa untuk masuk ke dalam jaringan jual-beli yang demikian kompleks.

Modernisasi pertanian atau revolusi hijau tersebut telah memberikan banyak dampak negatif bagi para petani, salah satunya adalah petani semakin tersungkur dalam kehidupannya. Usaha tani modern telah menggeser situasi kehidupan petani dari keadaan yang merdeka untuk memanfaatkan hasil pertaniannya ke kondisi dimana petani bergantung pada berbagai unsur yang berada diluar dirinya, seperti : kondisi alam dan minimnya keterlibatan dalam pembuatan kebijakan pertanian. Usaha tani modern telah membuka babak baru dimana buruh tani bergantung pada majikannya, pemasaran produksi pertanian berada dibawah hukum permintaan dan penawaran pasar, bahkan harga jual produk pertaniannya selalu terancam oleh rekayasa praktek ekonomi makro (Soetomo, 1997 : 29).

Dalam konstelasi global, sejak pertanian sudah menjadi sebuah industri, maka petani termasuk di Indonesia mulai dipaksa untuk menggunakan bibit, pupuk dan pestisida dari perusahaan produsen. Tenaga penyuluh pertanian berdatangan. Mereka dibekali dengan pengetahuan berbasis kepentingan perusahaan pengirim. Yang terjadi kemudian adalah semakin tingginya ketergantungan petani terhadap perusahaan pembuat pupuk dan pestisida, serta penyedia bibit tanaman yang membuat petani tidak memiliki ketahanan dalam kelanjutannya berada pada jeratan kepentingan para distributor yang pada gilirannya menjadikan “leher mereka semakin tercekik” dengan


(18)

terus meningginya harga bibit tanaman, pupuk dan pestisida. Untuk kemudian membuat petani berada dalam lingkaran kredit (uang ataupun produk pertanian) yang berkelanjutan.

Contoh pola ketergantungan dapat dilihat ketika dilaksanakannya modernisasi pertanian atau revolusi hijau di Indonesia. Ketika itu, para petani harus membayar semua asupan kecuali tenaga sendiri. Petani tidak lagi dapat memobilisasi asupan produksi sendiri. Asupan produksi yang berupa bibit unggul, pupuk buatan, insektisida, pestisida, harus mereka beli dari toko-toko yang merupakan outlet dari perusahaan besar. Kredit Usaha Tani sebagai modal untuk pembelian asupan harus pula dibayarkan kembali oleh para petani. Bahkan tanah harus disewa oleh petani, entah dengan sewa tahunan atau bagi hasil dengan para pemilik tanah. Di beberapa tempat penggunaan air irigasi harus mereka bayar berupa dana tirta (untuk perbaikan selokan dan upah bagi tenaga pengatur irigasi).

Dapat dilihat beberapa pola ketergantungan petani penyewa terhadap pemilik tanah, antara lain:

1. Dari segi penggunaan dan pemakaian tanah/lahan pertanian

2. Dari segi penggunaan dan pemakaian teknologi alat-alat pertanian dalam rangka mengolah lahan pertanian.

3. Dari segi permodalan ; baik berupa uang, bibit, pupuk, dll.

Keadaan ketergantungan di antara petani dan pemilik tanah membuat kondisi kemiskinan menjadi sangat sulit untuk dielakkan. Pada tahun 1998, terdapat 49,5 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia dan sekitar 60 % (29,7 juta jiwa) tinggal di pedesaan dan umumnya bekerja sebagai petani. Dan data tesebut diperbaharui


(19)

sekaligus diperkuat dengan laporan Harian Kompas pada tahun 2004 yang menyatakan bahwa lebih dari 60 % penduduk di Indonesia tinggal di daerah pedesaan. Desa sampai saat ini tetap menjadi kantong terbesar, utama dan pusat kemiskinan.

Biro Pusat Statistik (Kompas, 2006) juga menyebutkan bahwa kantong penyebab kemiskinan desa umumnya bersumber dari sektor pertanian yang disebabkan, antara lain: Pertama. Ketimpangan kepemilikan lahan pertanian. Kedua. Kesenjangan di sektor pertanian juga di sebabkan ketidakmerataan investasi. Ketiga. Alokasi anggaran kredit yang terbatas juga menjadi penyebab daya injeksi sektor pertanian di pedesaan melemah. Keempat. Kemiskinan erat kaitannya dengan tingkat pendidikan pada masyarakat pedesaan. Kelima. Adanya disparitas tingkat pendidikan antar kelompok masyarakat yang masih cukup tinggi antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan perempuan (segregasi jender) di penduduk pedesaan. Keenam. Minim dan terbatasnya penerapan teknologi modern dalam berbagai bentuk seperti intensitas pemakaian traktor, pupuk non-organik dan luas lahan irigasi teknis.

Gambaran kehidupan petani penyewa di pedesaan dapat dengan jelas teridentifikasi ketika digunakan beberapa indikator untuk melihatnya, seperti:

1. Less bargaining position (lemahnya posisi tawar) petani penyewa terhadap akses kepemilikan tanah dan alat-alat produktif yang sangat sedikit yang pada umumnya hampir dikuasai sepenuhnya oleh pemilik tanah dan pengusaha. 2. Kurangnya akses terhadap kepemilikan sandang, pangan dan hunian yang


(20)

3. Kualitas sumber daya manusia (SDM) akan pendidikan formal kurang memadai, dan lainnya.

Gambaran kehidupan petani penyewa yang bergantung kepada pemilik tanah inilah yang membuat timbulnya ketertarikan saya untuk meneliti. Keadaan pertanian di Desa Rakut Besi menggambarkan pemilik tanah sangat menentukan berhasil tidaknya kegiatan pertanian. Apabila melihat sebuah lingkaran tahapan pertanian maka pemilik tanah hampir berpengaruh sepenuhnya. Diawali kegiatan menyewa, menanam, merawat, panen sampai kepada menjual produk atau hasil pertanian, petani penyewa tetap memiliki ketergantungan pada pemilik tanah. Dan pemilik tanah mempunyai pengaruh yang kuat untuk mengintervensi petani penyewa.

Dalam observasi awal, di Desa Rakut Besi Kecamatan Pamatang Silima Huta Kabupaten Simalungun ditemukan bahwa penduduk desa ini hampir seluruhnya bermata pencaharian sebagai petani dimana petani di daerah ini berkonsentrasi pada tanam-tanaman pangan (palawija). Kepemilikan tanah secara personal tidak diketahui secara spesifik karena sebagian besar tanah merupakan warisan turun-temurun dari orangtua. Desa ini secara geografis terletak pada dataran tinggi dengan tanah yang subur dan merupakan sentra tanaman pangan (palawija). Dari observasi awal tersebut, peneliti melihat bahwa petani penyewa hidupnya sangat sulit, miskin dan tidak mempunyai kemampuan untuk memperbaiki keadaannya.


(21)

1.2. Perumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang diatas, yang menjadi perumusan masalah penelitian ini, adalah:

1. Bagaimana pola kehidupan petani penyewa dan pemilik tanah di Desa Rakut Besi, Kecamatan Pamatang Silima Huta, Kabupaten Simalungun?

2. Bagaimana pola ketergantungan petani penyewa terhadap pemilik tanah di Desa Rakut Besi, Kecamatan Pamatang Silima Huta, Kabupaten Simalungun?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pola kehidupan petani penyewa dan pemilik tanah di Desa Rakut Besi, Kecamatan Pamatang Silima Huta, Kabupaten Simalungun.

2. Untuk mengetahui pola ketergantungan petani penyewa terhadap pemilik tanah di Desa Rakut Besi, Kecamatan Pamatang Silima Huta, Kabupaten Simalungun.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sebuah kajian ilmiah yang penting bagi masyarakat, akademisi, dan instansi terkait (baik pemerintah maupun swasta).


(22)

1.4.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini di harapkan berguna sebagai sumbangan pemikiran dan masukan serta pertimbangan kepada para petani, pemilik tanah dan pembuat kebijakan di bidang pertanian dan sebagai bahan komparatif dalam penelitian yang sejenis di kemudian hari.

1.4.3. Manfaat Bagi Penulis

Penelitian ini diharapkan dapat mempertajam kemampuan peneliti dalam mengungkap gejala-gejala sosial dan dalam menghadapi berbagai persoalan yang ada dan timbul di tengah-tengah masyarakat.

1.5. Definisi Konsep 1.5.1. Pola

Pola adalah standardisasi, penggolongan, organisasi atau arah dari perilaku (Soekanto, 1985 : 361). Pola dalam penelitian ini diarahkan pada tindakan (action) yang berulang-ulang dan telah tertata yang dalam kesehariannya dilakukan oleh petani penyewa dan pemilik tanah.

1.5.2. Ketergantungan

Ketergantungan adalah keadaan dimana kehidupan ekonomi suatu kelompok tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi kelompok lain, dimana kelompok tertentu ini hanya berperan sebagai penerima akibat saja.

Dalam penelitian ini, petani penyewa adalah pihak yang lebih rendah posisinya dan tergantung kepada pihak lain (pemilik tanah) yang kedudukannya


(23)

lebih tinggi. Ketergantungan juga dapat dirumuskan sebagai suatu relasi sosial dimana ada dua pihak yang berhubungan yang hubungannya tidak sejajar (asimetris).

1.5.3. Pola Ketergantungan

Jadi pola ketergantungan adalah model atau bentuk ketergantungan antara individu-individu, individu-kelompok atau kelompok-kelompok dalam berbagai situasi tertentu. Di dalam pola ketergantungan ini terdapat norma, status dan tujuan. Norma, status dan tujuan harus ada di masing-masing pihak. Pola ketergantungan memiliki intensitas rendah, sedang dan kuat.

Adapun bentuk atau pola ketergantungan dalam penelitian ini adalah: 1. Dari segi kepentingan akan tanah/lahan

2. Dari segi penggunaan dan pemakaian teknologi alat-alat pertanian dalam rangka mengolah lahan pertanian. Adapun alat-alat tersebut, meliputi: Alat sederhana, seperti: cangkul, bajak manual, alat semprot manual dan sebagainya.

Alat/mesin modern, seperti: traktor, mesin bajak, mesin semprot, mesin potong rumput, truk, pick-up dan sebagainya.

3. Dari segi permodalan.

Ternyata pemilik tanah tidak hanya berkuasa dalam hal pemasaran melainkan juga berkuasa terhadap modal. Dan dalam hal ini, petani sangat dirugikan melalui berbagai kegiatan yang dilakukan pemilik tanah, seperti : peminjaman uang (modal), bibit, pupuk, pestisida, insektisida, dan sebagainya.


(24)

1.5.4. Petani Penyewa

Petani diartikan sebagai pencocok tanam pedesaan yang mencari nafkah dan cara hidupnya dengan mengolah tanah, dimana kegiatan usahanya bersifat mencari keuntungan. Sedangkan penyewa adalah orang yang menyewakan barang atau benda miliknya kepada orang lain. Jadi petani penyewa adalah petani yang menyewa tanah/lahan pertanian dari pemilik tanah. Petani tersebut berkonsentrasi pada tanaman pangan (palawija).

Dalam penelitian ini, petani penyewa yang dimaksud adalah petani yang mempunyai lahan terbatas, akses pemasaran yang terbatas, pemenuhan kebutuhan hidup yang terbatas, tidak mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang memadai untuk berubah, tidak memiliki kecakapan terapan yang cukup memadai untuk melindungi diri, tidak memiliki fasilitas gudang dan transportasi untuk memanfaatkan fluktuasi harga, tidak mempunyai kekuatan tawar-menawar untuk mempengaruhi harga produk mereka atau memperoleh harga yang adil dari harga pasar.

1.5.5. Pemilik Tanah

Pemilik tanah adalah seseorang atau individu yang melakukan usaha-usaha maksimasi (maksimal) keuntungan melalui kegiatan sewa-menyewa tanah.

Dalam penelitian ini, pemilik tanah terkadang melakukan usaha maksimasi keuntungan dengan melanggar norma-norma masyarakat yang berlaku secara umum. Pemilik tanah bersedia meminjamkan uang. Pemilik


(25)

tanah bersedia menyewakan tanah kepada petani. Pemilik tanah juga mempunyai peralatan pertanian yang modern dan bersedia menyewakannya. Pemilik tanah juga mempunyai jaringan untuk akses pemasaran hasil pertanian. Pemilik tanah juga mempunyai fasilitas lainnya dan bersedia menyewakannya, seperti: bibit unggul, pupuk, pestisida, insektesida dan lain sebagainya

1.5.6. Pertanian

Pertanian dalam arti luas adalah semua kegiatan dalam usaha reproduksi flora dan fauna yang dibagi dalam 5 sektor, yaitu pertanian rakyat, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Dan pertanian dalam arti sempit adalah pertanian yang khususnya ditujukan terhadap pertanian rakyat.

Penggolongan pertanian menurut bidangnya ada 2 macam: pertanian tanaman perkebunan (keras) dan pertanian tanaman pangan (palawija). Pertanian tanaman perkebunan (keras), contoh: perkebunan kelapa sawit, teh, karet dan tanaman menahun lainnya. Sedangkan pertanian tanaman pangan, contoh: sayur-mayur, buah-buahan, padi dan lain-lain.


(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Sebagai sebuah mekanisme yang terus berfungsi, masyarakat harus membagi anggotanya dalam posisi sosial yang menyebabkan mereka harus melaksanakan tugas-tugas pada posisinya tersebut. Apabila kita berbicara tentang tugas-tugas tersebut, maka kita cenderung menunjuknya pada pencapaian di bidang ekonomi dan sosial seseorang dalam kaitannya dengan jabatan (kekuasaan), dan peranan yang dimiliki orang bersangkutan di dalam masyarakat dimana ia menjadi anggota atau partisipan. Dengan demikian pengertian akan tugas-tugas tersebut dapat memperlihatkan tingkat kedudukan seseorang dalam hubungannya dengan tugas orang lain berdasarkan suatu ukuran tertentu. Ukuran atau tolak ukur yang dipakai didasarkan pada salah satu atau kombinasi yang mencakup tingkat pendapatan, pendidikan, prestise atau kekuasaan.

Dalam setiap masyarakat, orang digolongkan masing-masing dalam berbagai kategori dari lapisan yang paling atas sampai yang paling bawah. Konsep tentang golongan sosial tergantung cara seseorang menentukan golongan sosial itu. Adanya golongan sosial karena adanya perbedaan status dikalangan masyarakat.

Max Weber melihat bahwa kekayaan, kekuasaan dan prestise merupakan tiga faktor yang terpisah namun saling berkaitan erat. Perbedaan tingkat kekayaan melahirkan kelas-kelas di dalam masyarakat, misalnya terdapat dua kelompok (strata) “orang kaya” dan “orang miskin”. Perbedaan prestise, hak dan kemudahan atas


(27)

sesuatu yang diperoleh dapat melahirkan suatu keadaan yang saling bergantung satu sama lain.

Karl Marx lebih menekankan terhadap penggunaan kekuasaan dalam masyarakat yang merupakan suatu segi dari hubungan antara kelas-kelas sosial. Adapun yang menciptakan kelas-kelas sosial dan ketimpangan kekuasaan adalah pembagian kerja dalam kegiatan produksi dan hubungan sosial dalam produksi. Kelas sosial didefinisikan dalam hubungannya dengan alat-alat produksi (means of production). Marx juga berpendapat bahwa kelompok besar dalam masyarakat saat ini adalah kaum kapitalis yaitu pemilik alat produksi dan kaum proletar yang tidak memiliki apa-apa.

Ketergantungan sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana kehidupan ekonomi kelompok tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi kelompok lainnya, dimana kelompok tertentu itu hanya berperan sebagai penerima akibat saja. Hubungan saling bergantung juga terjadi apabila satu kelompok mendominasi kelompok lain. Keadaan ekonomi dan sosial kelompok yang dominan bisa berekspansi dan berdiri sendiri (berdikari) sedangkan keadaan ekonomi dan sosial kelompok yang bergantung mengalami perubahan hanya sebagai akibat dari ekspansi tersebut baik positif maupun negatif. Apabila kelompok yang dominan berkembang maka kelompok yang bergantung juga ikut berkembang. Begitupun sebaliknya, bila kelompok yang dominan mengalami krisis maka kelompok yang tergantung juga mengalaminya.

Adapun faktor penentu terjadinya ketergantungan antar individu atau kelompok karena adanya totalitas kedudukan sosial dan ekonominya dalam


(28)

masyarakat, termasuk kekayaan dan penghasilan, jenis pekerjaan, pendidikan, identifikasi diri, prestise keturunan, partisipasi kelompok dan pengakuan orang lain. Ketergantungan antara kelompok yang tergantung terhadap kelompok yang dominan adalah kenyataan sosial yang penting yang selanjutnya akan membentuk pola-pola hidup individu.

Menurut pandangan Paul Baran, ketergantungan atau keterbelakangan terjadi karena adanya pihak-pihak yang posisinya lebih kuat mengeksploitasi pihak-pihak yang lebih lemah secara tidak adil. Pihak yang lebih kuat posisinya diuntungkan oleh ketidakberdayaan pihak yang lebih lemah dalam mengolah sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Bantuan-bantuan yang diberikan kepada pihak yang lemah justru merupakan bantuan yang mematikan. Bantuan-bantuan tersebut mengakibatkan pihak yang lemah tidak mandiri dan terhambat untuk maju. Keadaan seperti ini disengaja diciptakan agar pihak yang lemah tetap bergantung dan menjadi semakin terbelakang. Menurut konsepsi Paul Baran, pihak yang lemah seperti terkena penyakit kretinisme, yaitu penyakit yang membuat orang tetap kecil dan tidak bisa besar.

Hubungan yang terjadi antara pemilik tanah dengan petani penyewa lebih mengarah kepada hubungan yang tidak sehat. Salah satu penyebabnya adalah perolehan keuntungan yang tidak sesuai oleh pemilik tanah terhadap petani penyewa. Walaupun petani penyewa memperoleh keuntungan, namun ternyata kehidupannya tetap terbelakang. Menurut terminologi Andre Gunder Frank disebut “perkembangan keterbelakangan” (development of underdevelopment).


(29)

Untuk menggambarkan hubungan yang tidak sehat, Frank memiliki beberapa hipotesa. Pertama, pemilik tanah akan terus bertambah luas tanahnya sedangkan petani penyewa akan tetap menyewa tanah terus-menerus. Kedua, petani penyewa akan mengalami perubahan apabila hubungan dan keterkaitan dengan pemilik tanah intensitasnya rendah. Ketiga, petani penyewa saat ini adalah petani penyewa juga pada masa lampau.

Perkembangan yang dialami pemilik tanah bisa membuat petani penyewa merasakannya namun perkembangan tersebut masihlah merupakan perkembangan yang tergantung atau bersifat ikutan. Dan dinamika perkembangan itu datang dari pemilik tanah baukan atas inisiatif petani penyewa sendiri. Seiring dengan perkembangan, ketergantungan itu sendiri telah terbagi dalam berbagai bentuk atau model.

Theotonio Dos Santos, membagi ketergantungan dalam beberapa bentuk, yaitu:

a. Ketergantungan Kolonial

Ketergantungan yang terjadi dalam bentuk penguasaan kolonial atau penjajahan. Kegiatan ekonomi yang utama adalah perdagangan hasil bumi yang dibutuhkan oleh penjajah. Para penjajah memonopoli tanah, hasil pertanian dan tenaga kerja. Hubungan antara penjajah dan yang dijajah bersifat eksploitatif.

b. Ketergantungan Finasial-Industrial

Dalam ketergantungan ini tidak ada lagi pihak yang yang terjajah secara politik. Akan tetapi pihak yang dijajah masih belum bebas dari


(30)

kekuatan finansial dan industrial pihak penjajah. Pihak yang dijajah masih harus mengekspor bahan mentah bagi penjajah.

c. Ketergantungan Teknologi-Industrial

Ketergantungan dalam bidang teknologi dimanfaatkan penjajah untuk memonopoli perekonomian pihak yang dijajah. Teknologi tidak dijual sebagai komoditi melainkan disewakan secara paten. Hal ini dimaksudkan agar pihak yang membutuhkannya tidak bisa membeli atau memiliki dan secara terus-menerus akan tetap menyewa yang membuat pihak yang dijajah tetap tergantung.

Sedangkan dalam Kajian Sosiologi Pembangunan, Teori Ketergantungan atau Teori Dependensi memiliki beberapa Asumsi Dasar yang dapat dijadikan landasan dalam mengkaji suatu keadaan ketergantungan, adalah: Pertama, keadaan ketergantungan dilihat sebagai suatu gejala yang sangat umum, berlaku bagi seluruh individu, kelompok, masyarakat bahkan negara.

Kedua, ketergantungan dilihat sebagai kondisi yang diakibatkan oleh “faktor luar”. Sebab terpenting yang menghambat pembangunan tidak terletak pada persoalan kekurangan modal atau kekurangan tenaga dan semangat wiraswata, melainkan terletak berada diluar jangkauan politik ekonomi

Ketiga, permasalahan ketergantungan lebih dilihat sebagai masalah ekonomi. Dengan mengalirnya surplus ekonomi dari pihak yang lemah ke pihak yang kuat. Ini diperburuk lagi karena negara Dunia Ketiga mengalami kemerosotan nilai tukar perdagangan relatifnya.


(31)

Keempat, situasi ketergantungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses polarisasi regional ekonomi global. Di satu pihak, mengalirnya surplus ekonomi dari Dunia Ketiga menyebabkan keterbelakangannya, sementara hal yang sama merupakan salah satu, jika bukan satu-satunya, faktor yang mendorong lajunya pembangunan di negara maju. Dengan kata lain, keterbelakangan di negara Dunia Ketiga dan pembangunan di negara sentral tidak lebih tidak kurang sebagai dua aspek dari satu proses akumulasi modal yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya polarisasi regional di dalam tatanan ekonomi dunia yang global ini.

Kelima, keadaan ketergantungan dilihatnya sebagai suatu hal yang mutlak bertolak-belakang dengan pembangunan. Bagi teori dependensi, pembangunan di negara pinggiran mustahil terlaksana. Teori dependensi berkeyakinan bahwa pembangunan yang otonom dan berkelanjutan hampir dapat dikatakan tidak mungkin dalam situasi yang terus-menerus terjadi pemindahan surplus ekonomi ke negara maju.


(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Penelitian studi kasus merupakan tipe penelitian yang penelahannya terhadap suatu kasus dilakukan secara mendalam, mendetail dan komprehensif (Faisal, 1995: 22). Studi kasus bertujuan mengembangkan dan menggeneralisasikan teori (generalisasi analitis) bukan menghitung frekuensi (generalisasi statisik). Sedangkan pendekatan kualitatif dapat diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan dan tingkah laku yang didapati dari apa yang diamati (Nawawi, 1994: 2003).

3.2. Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian ini di Desa Rakut Besi, Kecamatan Pamatang Silima Huta, Kabupaten Simalungun. Daerah ini dipilih karena Desa Rakut Besi ini merupakan salah satu daerah penghasil dan penyalur utama kebutuhan akan sayur-sayuran dan buah-buahan untuk Propinsi Sumatera Utara dan Indonesia. Bahkan hasil pertanian desa ini juga telah diekspor ke beberapa negara seperti Singapura dan Malaysia.

Umumnya masyarakat desa ini memiliki pekerjaan yang sejenis (homogen) yaitu bertani sehingga hampir seluruh wilayah desa ini telah dipakai sebagai


(33)

tanah/lahan pertanian. Sedangkan sebagian kecil wilayahnya dipergunakan untuk tempat tinggal dan tempat pertemuan bagi masyarakat. Pola pemukiman daerah ini terkonsentrasi pada satu tempat dan dikelilingi oleh daerah pertanian.

Sama seperti kebanyakan daerah lain, pertanian daerah ini juga telah berubah dari tradisional menuju modern. Pertanian, kebudayaan dan masyarakat desa ini memungkinkan terus berubah dan berkembang seiring pembangunan daerah sekitar yang lebih maju.

3.3. Unit Analisis dan Informan Unit Analisis

Adapun yang menjadi unit analisis penelitian adalah petani penyewa dan pemilik tanah di Desa Rakut Besi, Kecamatan Pamatang Silima Huta, Kabupaten Simalungun.

Informan

Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini diperoleh dengan kriteria sebagai berikut :

a. Petani Penyewa

• Tidak memiliki tanah/lahan pertanian • Sedang menyewa tanah/lahan pertanian • Sudah berkeluarga


(34)

b. Pemilik Tanah

• Memiliki tanah/lahan pertanian dengan luas di atas 3 Ha • Sedang menyewakan tanah/lahan pertanian

• Sudah berkeluarga

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode tertentu sesuai dengan tujuan. Metode yang dipilih untuk setiap variabel tergantung pada berbagai faktor terutama jenis data dan ciri informan. Metode pengumpulan data tergantung karakteristik data variabel, maka metode yang dipergunakan tidak selalu sama untuk setiap variabel (Gulo, 2002 : 110-115).

Apabila dilihat dari teknik pengumpulan data, penelitian ini diartikan sebagai penelitian lapangan (field research) dan penelitian kepustakaan (library research).

a. Penelitian Lapangan (field research)

Penelitian ini dimaksud untuk mengamati secara langsung terhadap gejala sosial yang diteliti, berusaha memahami gejala yang tidak diramalkan sebelumnya dan mengembangkan kesimpulan-kesimpulan umum sementara yang mendorong pengamatan lebih lanjut.

Data yang akan dikumpulkan di lapangan adalah data yang bersifat primer. Data primer tersebut disesuaikan dengan data yang berkaitan dengan topik penelitian sebelumnya.


(35)

Pengumpulan data primer ini dilakukan dengan dua cara, yaitu:

Wawancara mendalam (depth interview) bertujuan untuk mengumpulkan keterangan-keterangan dari proses tanya jawab langsung. Untuk melengkapi wawancara ini, maka digunakan daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya. Daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya tersebut dinamakan pedoman wawancara atau interview guide. Adapun aspek-aspek yang menjadi bahan wawancara meliputi: kehidupan sehari-hari petani penyewa dan pemilik tanah, hubungan antara petani penyewa dengan pemilik tanah dan terhadap tanah maupun peranan tanah/lahan bagi petani penyewa dan pemilik tanah.

Pengamatan (observation). Yaitu peneliti ikut berpartisipasi dalam

aktifitas yang sedang diamati. Alat pengumpulan datanya disebut panduan observasi atau observation guide. Adapun aspek-aspek yang menjadi bahan observasi meliputi: tingkatan atau intensitas ketergantungan, bentuk-bentuk ketergantungan, dan hal-hal yang melatarbelakangi terjadi ketergantungan.

b. Penelitian Kepustakaan (library research)

Yaitu cara memperoleh data yang bersifat sekunder melalui studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan terhadap sumber primer, sekunder ataupun media massa (Faisal, 2005: 53). Dari sumber tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan data yang bersifat teoritis, asas-asas, konsepsi, pandangan, tema


(36)

melalui buku, dokumen, artikel, jurnal, tulisan dan catatan lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian ini.

3.5. Interpretasi dan Analisa Data

Menurut Moleong (2005), teknik analisa data adalah merupakan cara atau metode mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema yang dapat dirumuskan hipotesis atau pedoman dasar kerja seperti yang disarankan oleh data.

Setiap data yang berupa simbol, tema, pola yang ditemukan dari lapangan penelitian maupun dari kajian yang lebih umum dan menyeluruh serta bersifat dominan terhadap data yang dihasilkan.

Adapun tahapan dalam menganalisa data adalah:

Pertama. Seluruh data yang telah tertuang dalam catatan hasil wawancara, hasil pengamatan, hasil kajian pustaka akan dibaca dan ditelaah kembali secara mendalam. Kedua. Pemberian kode dan nomor kepada setiap data sesuai dengan sifat data yang terkumpul. Sesudah pemberian kode ini selesai kemudian dipelajari untuk disaring dan diuji kedalam kelompok yang tertentu yang akan menjadi cikal bakal tema. Ketiga. Data yang sudah diberi kode serta sudah dipelajari, kemudian disusun kedalam kerangka klasifikasi data akan bermanfaat untuk menemukan tema dan pembentukan asumsi kerja (bila diperlukan). Keempat. Mengkaji kembali data yang telah disusun sesuai dengan tipenya. Secara lebih mendalam dengan membandingkan uraian kepustakaan yang relevan terhadap data tersebut.


(37)

3.6. Jadwal Kegiatan

Tabel 3.1. Jadwal Kegiatan

No. Kegiatan Bulan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1. Pra-observasi

2. Penyusunan Proposal

Penelitian

3. Seminar Proposal Penelitian

4. Revisi Proposal Penelitian

5. Turun Lapangan

6. Bimbingan

7. Penyusunan Laporan Akhir

8. Revisi Laporan Akhir


(38)

3.7. Keterbatasan Penelitian a. Teknis

Peneliti sangat merasakan adanya kendala teknis selama penelitian seperti informan kurang memahami pertanyaan dan takut dalam memberi jawaban. Akan tetapi peneliti dapat mensiasatinya dengan pendekatan yang pribadi. Peneliti membuka diskusi seputar masalah-masalah pertanian secara umum sambil memberikan pertanyaan-pertanyaan yang ada kaitannya dengan skripsi ini. Karena informan tidak nyaman pendapatnya ditulis maka peneliti menggunakan alat bantu tape recorder tanpa sepengetahuan informan.

b. Waktu

Keterbatasan waktu dalam melakukan wawancara sering terjadi. Hal ini dikarenakan aktivitas petani yang terus bergerak. Informan tidak suka di wawancara saat bekerja. Sedangkan ketika selesai bekerja, informan memberikan alasan ingin istirahat. Dalam kurun waktu seminggu informan memiliki waktu istirahat dua hari yaitu Rabu dan Minggu. Pada waktu tersebut merupakan kesempatan yang baik bagi peneliti. Sedangkan hari lainnya peneliti melakukan observasi.

Walaupun demikian peneliti tetap berusaha sebaik mungkin melakukan penelitian yang dapat dipertahankan dalam sidang akhir serta dipertanggungjawakan secara keseluruhan.


(39)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1 Letak Geografis Desa

Pada tahun 2006 telah terjadi pemekaran wilayah di Kecamatan Silimakuta menjadi dua bagian yaitu Kecamatan Silimakuta (yang lama) dan Pematang Silima Huta (hasil pemekaran). Dan Desa Rakut Besi masuk ke dalam wilayah administrasi dari Kecamatan hasil pemekaran yaitu Kecamatan Pamatang Silima Huta. Jumlah penduduk desa ini merupakan yang terbesar dibandingkan desa lain di kecamatan Pamatang Silima Huta.

Secara geografis, desa ini berada di dataran tinggi atau 1.400 meter diatas permukaan laut. Udara yang dingin dan bersih serta hawa sejuk pegunungan dapat dirasakan di desa ini. Secara umum, rumah–rumah penduduk dikelilingi oleh kawasan hutan dan perladangan.

Luas wilayah desa ini yaitu 14.50 km², dimana luas wilayah tersebut 90 % didominasi lahan kering untuk perladangan yang tersebar luas mengelilingi desa sampai ke perbatasan desa sekitarnya. Sebagian besar penduduk desa hidup dan bekerja di bidang pertanian. Komoditas pertanian yang utama adalah sayur–mayur dan buah–buahan. Adapun bidang pekerjaan lain di luar pertanian adalah bidang ekonomi seperti pedagang dan juga di bidang pemerintahan seperti pegawai negeri

sipil yang jumlahnya sedikit. Adapun letak geografis desa, yaitu: a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Saribujandi


(40)

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Mardinding c. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Purbatua. d. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Nagasaribu.

Dilihat dari tipologi wilayah, desa ini dapat digolongkan kedalam desa swasembada. Ini dicerminkan dari fasilitas dan sarana yang terdapat di desa ini yang telah memenuhi syarat. Fasilitas dan sarana umum yang ada cukup memadai namun minimnya perawatan membuat kebanyakan fasilitas menjadi rusak.

Salah satunya adalah jalan. Jalan menjadi salah satu sarana yang penting untuk menggerakkan perekonomian masyarakat di bidang pertanian. Masyarakat desa sadar dan tahu betapa pentingnya sarana jalan tetapi mereka tidak pernah termotivasi untuk sekedar merawat apalagi memperbaikinya. Perbaikan jalan sebagai sarana penghubung kegiatan sehari-hari mereka dianggap bukan menjadi kewajiban mereka melainkan kewajiban pihak pemerintah. Dengan kondisi jalan yang rusak parah tersebut dapat membuat kerugian baik waktu maupun materi dalam mendistribusikan hasil-hasil pertanian desa ini.

Kondisi jalan yang rusak dan berdebu serta sesekali berlumpur bahkan jika terjadi hujan menjadi semakin parah. Beberapa bulan ini, pemerintah kecamatan yang baru (hasil pemekaran) mulai melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki jalan. Sedikit demi sedikit terealisasi dengan di aspalnya kembali jalan penghubung antar desa ini. Namun perbaikan keseluruhan tidak bisa dilakukan pemerintah kecamatan yang baru karena keterbatasan dana.

Jalan penghubung Desa Rakut Besi ke kota Kecamatan Pematang Silima Huta (Nagasaribu) tidaklah terlalu jauh yaitu ± 6 kilometer. Namun tidak tersedia


(41)

angkutan umum pedesaan menuju kota kecamatan yang baru. Hanya angkutan desa menuju ke Pekan/Pasar serta kota kecamatan yang lama (sebelum pemekaran) masyarakat dapat gunakan. Sarana transportasi lainnya adalah kendaraan pribadi seperti sepeda motor dan mobil yang tidak dimiliki semua penduduk. Pemekaran kecamatan yang lama ke kecamatan yang baru membuat kota kecamatan juga ikut berpindah. Sehingga kantor kecamatan yang baru (Nagasaribu) lebih sering terkunci dan belum banyak kegiatan apapun disana.

4.1.2 Sarana dan Prasarana Desa

Pembangunan yang dilakukan pemerintah cukup membantu desa ini keluar dari keterasingan dan ketertinggalannya dari desa lain. Pembangunan fasilitas umum cukup terpenuhi walaupun masih terdapat beberapa kekurangan. Dari pengamatan, sarana dan prasarana desa, antara lain:

1. Jalan

Kondisi jalan-jalan di desa ini kurang baik. Jalan-jalan dipenuhi oleh bebatuan yang cukup besar dan sangat sulit dilewati oleh kenderaan. Kondisi jalan yang baik hanya berjarak 1 kilometer.

2. Listrik

Fasilitas listrik sudah dapat digunakan masyarakat sejak tahun 2000. Walaupun demikian, Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai penyedia belum sepenuhnya dapat menyediakan sesuai kebutuhan masyarakat desa. Bahkan beberapa warga secara sukarela membuat sendiri tiang-tiang listrik tambahan bagi warga lain yang membutuhkan.


(42)

3. Air Bersih

Sarana air bersih diperoleh dari sumber–sumber mata air yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat untuk kemudian disalurkan ke rumah–rumah penduduk. Kualitas air dari sumber mata air tersebut cukup baik dan sehat.

4. Transportasi

Ketersediaan transportasi massal bagi masyarakat masih sangat minim. Angkutan umum yang langsung menuju kota kecamatan desa ini belum tersedia. Satu-satunya angkutan umum yang ada hanya menuju kota kecamatan atau pekan/pasar lain. Jika ingin berpergian keluar atau ke ibukota kecamatan dengan menggunakan kenderaan umum, maka harus memutar dahulu dari desa lain. 5. Tempat Ibadah

Adapun tempat ibadah yang ada di desa ini hanya terdapat gereja. Gereja yang ada berjumlah tiga buah. Dua buah Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) dan satu buah Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI). Salah satu dari gereja GKPS tersebut masih dalam pembangunan.

6. Kesehatan

Untuk jumlah penduduk yang besar, fasilitas kesehatan yang ada masih sangat terbatas. Hanya ada satu balai kesehatan tempat praktek seorang bidan desa. Fasilitas kesehatan lainnya, seperti: Puskesmas atau Posyandu belum tersedia di desa ini.

7. Aula

Aula digunakan masyarakat sebagai tempat pertemuan. Biasanya pertemuan diadakan untuk memperingati atau mengadakan acara–acara khusus,


(43)

seperti: pesta tahunan, pesta pernikahan, dukacita, upacara adat, dsb. Aula desa berjumlah tiga buah. Satu diantaranya dibangun dan dikelola secara sukarela oleh masyarakat. Sedangkan sisanya dimiliki secara pribadi dan disewakan bagi masyarakat. Karena kondisi aula bersama milik masayarakat yang kurang baik, banyak warga lebih suka menggunakan aula sewaan. Semua bangunan aula tersebut didirikan secara permanen.

8. Sekolah

Fasilitas pendidikan seperti sekolah, sudah tersedia bagi masyarakat desa. Tetapi jumlahnya hanya satu yaitu Sekolah Dasar (SD) Negeri. Sekolah dasar inilah yang diperuntukkan bagi seluruh penduduk desa. Pada awal berdirinya sekolah di desa ini ada dua, satu berstatus negeri dan satu lagi berstatus Inpres. Tetapi pada tahun 2000, SD inpres tersebut digabungkan dengan SD Negeri.

4.1.3 Keadaan Penduduk

Setelah pemekaran kecamatan, desa ini menjadi desa yang memiliki jumlah penduduk terpadat dari desa lainnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Simalungun, jumlah penduduk desa pada tahun 2005 adalah 2.445 jiwa dengan jumlah rumah tangga adalah 462. Sedangkan jumlah penduduk laki–laki adalah 1.235 orang atau 50,51 % dan perempuan adalah 1.210 orang atau 49,49 %. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:


(44)

Tabel 4.1.

Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

No Kelompok Usia Laki – Laki Perempuan Jumlah Presentase

1 0 – 14 465 423 888 36.32

2 15 – 64 736 734 1470 60.12

3 64 + 34 53 87 3.56

Jumlah 1235 1210 2445 100

Sumber: BPS Simalungun Tahun 2005

Berdasarkan data komposisi penduduk diatas, maka kelompok usia yang paling banyak adalah kelompok usia 15-64 tahun (1.470 orang atau 60,12 %). Jumlah penduduk usia tersebut merupakan kelompok yang produktif atau kelompok pekerja. Pekerjaan di bidang pertanian yang terbesar menyerap penduduk usia produktif ini.

Tabel berikut memperlihatkan komposisi penduduk usia 15 tahun keatas beserta jenis pekerjaannya.

Tabel 4.2.

Komposisi Penduduk Umur 15 Tahun Keatas dan Jenis Pekerjaan No Jenis Pekerjaan Jumlah Presentase

1 Sekolah 86 5,68

2 Pertanian 1285 84,88

3 Industri 0 0

4 Konstruksi 0 0

5 Perdagangan 2 0,13

6 Transportasi 0 0

7 Jasa / Pemerintahan 9 0,59

8 Lainnya 132 8,72

Jumlah 1514 100


(45)

Data diatas memperlihatkan bahwa secara umum masyarakat bekerja di sektor pertanian. Sebanyak 1.285 orang atau 84.88 % dari keseluruhan jumlah penduduk desa bekerja di sektor pertanian. Sektor pertanian telah menjadi sektor perekonomian utama bagi masyarakat. Salah satu penyebab adalah tingkatan pendidikan masyarakat yang masih rendah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.3.

Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan No Tingkat Pendidikan Jumlah Presentase

1 Tidak / Belum Sekolah 492 20,7

2 Tidak Tamat SD 492 20,7

3 SD 601 25,28

4 SLTP 445 18,72

5 SLTA 324 13,63

6 Diploma I – IV 12 0,55

7 Diploma IV – S-1 11 0,42

Jumlah 2377 100

Sumber: BPS Simalungun Tahun 2003

Data pada tabel diatas menunjukan dimensi tingkat pendidikan yang bervariasi. Apabila dilihat lebih rinci, maka ditemukan tiga kelompok besar, yaitu: tidak/belum sekolah dan tidak tamat SD dengan jumlah yang sama yaitu sebesar 492 orang (20,7 %) sedangkan SD sebesar 601 orang (25,28 %).

Terbatasnya fasilitas atau sarana pendidikan seperti sekolah dan tenaga pengajar dapat menjadi salah satu penyebab rendahnya tingkat pendidikan


(46)

masyarakat desa. Sarana formal pendidikan, seperti bangunan sekolah dan tenaga pengajar bagi masyarakat desa hanya ada satu sekolah dasar (SD).

Jika dilihat komposisi masyarakat desa berdasarkan pembagian suku/etnis, maka yang terbesar adalah masyarakat yang berasal dari suku/etnis Simalungun kemudian suku/etnis Karo dan Toba. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 4.4.

Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku/Etnis

No Suku / Etnis Jumlah Presentase

1 Simalungun 1760 72

2 Karo 318 13

3 Toba 196 8

4 Lainnya ( Jawa, Nias, Pakpak ) 171 7

Jumlah 2445 100

Sumber: Statistik Desa Rakut Besi Tahun 2004

Peranan dari masyarakat yang berasal dari suku/etnis Simalungun terhadap pembangunan desa begitu besar. Masyarakat juga lebih sering menggunakan bahasa Simalungun dibandingkan bahasa Indonesia. Bahasa Simalungun bahkan digunakan dalam instansi pemerintahan, pasar, bank dan gereja. Budaya Simalungun sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dari pengamatan di lapangan diketahui, apabila seorang pendatang tidak mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Simalungun maka akan mengalami kesulitan melakukan interaksi bahkan akan teralenasi dari masyarakat.


(47)

Tabel 4.5.

Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama yang Dianut No Agama Jumlah Presentase

1 Islam 25 1,05

2 Katholik 0 0

3 Protestan 2352 98,95

4 Hindu 0 0

5 Budha 0 0

6 Lainnya 0 0

Jumlah 2377 100 Sumber: BPS Simalungun Tahun 2003

Sistem ekonomi penduduk desa yang didominasi oleh sektor pertanian terkonsentrasi pada penggunaan lahan kering (ladang) dibandingkan lahan basah (sawah). Dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 4.6.

Jenis Penggunaan Lahan

No Jenis Penggunaan Jumlah (ha) Presentase

1 Lahan Basah 100 6,89

2 Lahan Kering 1290 88,96

3 Halamam Pekarangan 18 1,24

4 Lainnya 42 2,89

Jumlah 1450 100

Sumber: BPS Simalungun Tahun 2005

Dan jika dilihat dari jumlah rumah tangga penduduk desa ini yaitu 462 RT, maka 97,62 % nya (451 RT) adalah rumah tangga pertanian yang menggunakan lahannya di bidang pertanian. Persentase yang besar tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:


(48)

Tabel 4.7.

Komposisi Penduduk Berdasarkan Pembagian Rumah Tangga Pertanian No Rumah Tangga Pertanian Jumlah Persentase

1 Rumah Tangga Petani 451 97,62

2 Rumah Tangga Bukan Petani 11 2,38

3 Rumah tangga Buruh Tani 0 0

Jumlah 451 100

Sumber: BPS Simalungun Tahun 2003

4.1.4. Kondisi Sosial Budaya

Di desa ini masih terdapat lembaga desa yang informal yaitu lembaga adat. Pada awal terbentuknya, lembaga adat memiliki peranan kuat dalam menjaga keharmonisan antar masyarakat bahkan lebih daripada lembaga formal pemerintah desa. Peraturan atau hukum adat dibuat oleh para ketua atau pemimipin adat dari masing-masing wilayah. Akan tetapi, lembaga adat mulai kehilangan peranannya oleh lembaga formal seperti pemerintahan desa.

Walaupun demikian, nilai-nilai adat masih tetap dipegang oleh masyarakat desa ini. Hanya saja penerapannya bisa berbeda bergantung kepada anggota masyarakat sendiri. Salah satu contohnya adalah kebiasaan masyarakat yang berhenti bekerja pada hari Rabu atau pekan, namun bagi sebagian masyarakat, hal itu bukan suatu keharusan lagi. Contoh lainnya, dalam bertani ada masyarakat yang sudah mengunakan pupuk kimia, namun beberapa petani masih menggunakan pupuk non kimia.


(49)

Salah satu penyebab terjadinya pergeseran nilai-nilai budaya adalah masuknya informasi melalui media massa seperti: televisi, radio dan surat kabar. Melalui media massa seperti inilah nilai-nilai baru yang berasal dari luar daerah masuk dengan cepat.

Budaya yang digunakan umumnya adalah budaya Simalungun. Dari beberapa nilai-nilai budaya Simalungun yang masih bertahan salah satunya ada dalam bentuk upacara-upacara keagamaan dan adat-istiadat seperti : ‘horja tahun’. ‘Horja Tahun’ adalah suatu bentuk acara adat yang dilakukan untuk merayakan keberhasilan bekerja dalam kurun waktu setahun ataupun setengah tahun.

4.2. Profil Informan dan Temuan Data 4.2.1. Petani Penyewa

a. Kasianus Sipayung

Informan ini adalah seorang suami yang berusia 53 tahun. Pendidikan informan hanya tamatan Sekolah Dasar. Informan ini mempunyai seorang istri dan tujuh orang anak. Ketujuh anak tersebut memiliki pendidikan yang lebih baik dari orang tuanya. Dua orang tamatan Sekolah Menengah Atas dan lima orang tamatan Sekolah Menengah Pertama. Lima diantaranya sudah berkeluarga sedangkan dua orang lainnya belum berkeluarga. Mereka masih tinggal bersama dan membantu orangtua bekerja di ladang.

Setelah beberapa anaknya berkeluarga, informan justru merasakan pekerjaan sebagai petani penyewa semakin berat. Informan berpendapat bahwa


(50)

tenaga anak-anaknya sangat dibutuhkan terutama pada waktu tertentu, seperti menanam dan memanen.

Namun, di sisi lain ia juga merasakan manfaat yang lebih besar dari anaknya yang sudah berkeluarga yaitu jumlah beban ekonomi keluarga menjadi berkurang. Saat ini, penghasilan yang diperoleh dari pekerjaannnya sebagai petani menjadi cukup.

Informan telah sepuluh tahun menjadi petani penyewa. Sebelumnya, ia mengelola tanah/lahan secara gratis. Ia diberi kesempatan mengelola tanah oleh seorang warga, namun kemudian ditarik dengan alasan akan dipergunakan kembali oleh pemilik tanah. Menurutnya, tanah merupakan bagian yang penting bagi masyarakat desa sehingga setiap hal yang berhubungan dengan tanah dinilai secara ekonomis. Bahkan, pernah terjadi perselisihan yang menyangkut luas tanah yang disebakan oleh salah satu pemilik yang sudah lama tidak menggunakannya. Berdasarkan pengalaman informan, mencari tanah sewaan di desa ini sangat sulit. Pemilik tanah bersikap selektif terhadap petani yang akan menyewa tanahnya. Namun, karena dia tidak mempunyai keahlian lain diluar bertani maka dia terus mencoba.

“Saya pernah memohon sama pemilik tanah supaya mau menyewakan tanahnya sama saya...kadang dikasi kadang tidak, ...kalo gak ada yang dikasi... saya tanya sama dia apa saya bisa bantu dia bekerja (sebagai buruh tani)” . ( Wawancara, April 2007 )

Pilihan menjadi seorang buruh tani bukan tanpa alasan. Petani melakukannya untuk mempertahankan hidupnya. Belum lagi semakin jarangnya pemilik tanah yang mau menyewakan tanahnya. Akan tetapi, jika harus memilih


(51)

informan memilih tetap menjadi petani penyewa. Dia berpendapat bahwa menyewa tanah lebih mungkin berhasil dibandingkan dengan bekerja sama orang lain. Berikut petikan wawancara:

“ ...menyewa ladang, hasilnya tidak sama terus. Bisa aja panennya melimpah! Tp bisa juga rugi karena harganya rendah... kalau kitai sakit, tanaman itu masih bisa kita tunggui hasilnya, lain kalau jadi buruh tani”. (Wawancara, April 2007 )

Dia berpendapat, tidak menjadi masalah harga sewa/lahan yang mahal karena tanah/lahan itu memang berharga. Informan merasakan ketergantungannya pada tanah/lahan pertanian. Berdasarkan pengalamannya, tidak jarang petani penyewa seperti dirinya dirugikan oleh pemilik tanah. Dia pernah beberapa kali dirugikan oleh pemilik tanah. Pemilik tanah melanggar kesepakatan awal mengenai harga sewa tanah. Pemilik menaikkan harga sewa tanah karena melihat panen saya berhasil. Namun, saya tidak bisa berbuat apa-apa, karena pemilik mengancam tidak akan menyewa tanah lagi kepada saya.

“Saya tidak suka sama pemilik tanah yang melanggar perjanjian! Seringnya, saya yang rugi!! Biasanya saya akan marah padanya... supaya kembali ke janji awal... kalau tidak bisa juga, saya akan cari orang (pemilik tanah) lain. Tapi kalau yang lain tidak ada... saya akan balik samanya minta tanahnya disewakan lagi sama saya”. (Wawancara, April 2007 )

Selain membutuhkan tanah, informan juga membutuhkan alat–alat bertani dan modal uang. Alat-alat pertanian dibutuhkan untuk mempermudah pekerjaan sedangkan uang perlu untuk membeli pupuk, membayar tenaga kerja, dll. Dia selalu meminjam atau menyewa dari orang lain.


(52)

“saya juga perlu alat dan uang... kaya traktor, itu penting kali. tenaga kerja juga... Biasanya saya sewa traktor sama orang lain. Kalo pinjam uang sama keluarga dulu, kalo gak ada sama pemilik tanah yang saya sewa... bayarnya bisa pake hasil panen. Kadang-kadang dia (pemilik tanah) minta saya bayar pakai tenaga (menjadi pekerja/buruh tani) diladang orang itu”. ( Wawancara, April 2007 )

Informan merasakan keadaan semakin sulit khususnya mendapat tanah sewaan yang sesuai. Ini dikarenakan banyaknya pemilik tanah yang mengolah tanahnya sendiri kalaupun disewakan harganya mahal.

“dulu masih enak! Masih bisa pake tanah gratis. Sekarang tergantung kita? Kalo mau bertahan... ya kaya gini terus. Saya aja udah 10 tahun nyewa tanah terus... gak pernah berkembang.... saya uda coba kerja lain, tapi masih lebih enak disini... memang uda nasib! saya buktinya tetap menyewa (bergantung) sama mereka”. (Wawancara, April 2007)

b. R. Manihuruk

Informan adalah seorang kepala keluarga yang berusia 41 tahun. Informan hanya dapat menamatkan pendidikan di tingkat SMA (Sekolah Menegah Atas). Informan memiliki seorang istri dengan lima orang anak. Tiga diantaranya, sedang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), satu orang di TK ( Taman kanak–kanak ), dan satu orang lagi belum sekolah.

Informan tidak memiliki sedikitpun tanah/lahan pertanian. Ia hanya menyewa tanah dari orang lain. Luas tanah/lahan yang sedang disewa adalah ± 1 Ha. Pendapatan informan tidak menentu setiap bulannya. Kadangkala dapat cukup untuk kebutuhan sehari-hari, kadangkala tidak. Namun, seringkali hasil pekerjaannya dari bertani hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari–hari.


(53)

Menurutnya, pendidikan anak-anak adalah prioritas utama. Dia berusaha menyisihkan penghasilan setiap bulan untuk pendidikan anak. Walaupun demikian, hal tersebut bisa dilakukannya karena biaya pendidikan anak-anaknya tidak terlalu mahal.

Informan mengikutsertakan anak dan istri untuk membantu bekerja. Keikutsertaan mereka dirasa cukup membantu, apalagi ketika menanam dan memanen. Hal tersebut dilakukan untuk menghemat upah/sewa tenaga kerja dan menghemat waktu.

Informan merupakan seorang warga pendatang sedangkan istrinya adalah warga/penduduk setempat. Mereka baru dua tahun menetap di desa ini. Sebelumnya mereka bertempat tinggal di kota Medan kemudian merantau ke desa ini. Pada awalnya, informan merasakan kesulitan berinteraksi karena ketidakmampuannya berkomunikasi dalam bahasa Simalungun. Ditambah lagi, dia merupakan warga pendatang yang berasal dari kota.

Saat ini, informan sudah merasakan manfaat dari bersoalisasi dengan warga. Dia juga melakukannya untuk mendapat kepercayaan mereka. Kepercayaan yang didapat berupa kesempatan mengolah ataupun memakai tanah/lahan pertanian, meminjam uang, dan lain–lain. Selain itu, informan sering berpartisipasi dalam acara–acara, seperti pesta perkawinan, dukacita, tahunan, dan lain–lain.

Selama tinggal di desa ini, informan sudah beberapa kali menyewa tanah orang lain. Berdasarkan pengalaman, tanah merupakan bagian penting bagi masyarakat desa. Tanah merupakan sumber penghasilan bagi masyarakat. Tanah


(54)

merupakan penopang ekonomi bagi masyarakat desa maupun kecamatan. Kualitas tanah yang baik telah mendorong beberapa warga kabupaten lain, seperti Kabupaten Karo berniat membelinya.

Sama seperti warga pendatang lainnya, informan tidak mempunyai banyak pilihan bekerja selain menjadi petani penyewa ataupun buruh tani. Umumnya, pemilik tanah sulit untuk mempercayai warga pendatang. Oleh karena itu, informan tetap mempertahankan pemilik tanah yang sekarang walaupun pernah merugikannya. Informan belum berani mencoba menyewa dengan pemilik tanah lain. Dia takut menyinggung perasaan pemilik tanah yang sekarang.

Informan selalu melakukan pendekatan keluarga untuk mendapatkan tanah sewaan. Bahkan, orang tua istrinya ikut membantu melakukan pendekatan. Informan pernah tidak memperoleh penghasilan sama sekali karena tidak ada tanah sewaan dan pekerjaan lain. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia meminjam uang dari orang lain. Bahkan, hal itu sudah sering dilakukannya.

Dia berusaha menjaga kepercayaan yang diberikan pemilik tanah kepadanya. Dia sering membantu pemilik tanah walaupun tanpa imbalan. Dia berpendapat, lebih baik mengambil insiatif membantu sebelum pemilik tanah memintanya.

“Kalo pemilik tanah menaikkan harga sewa tiba–tiba, kami akan protes! Tapi... kalo hasil panen cukup, kami bayar... ya terpaksa kami bayar. Tapi kalau tidak sanggup bayar, kami coba cari yang lain (tanah sewaan ditinggalkan/dikembalikan kepada pemilik tanah). Kalo tidak ada ladang yang bisa disewa, kami jadi tenaga kerja (buruh tani)”. (Wawancara, April 2007)


(55)

Dia berpendapat hal itu masih wajar karena ia juga menyadari posisinya sebagai orang yang menyewa tanah dari orang tersebut. Terkadang jasa atau tenaganya itu dihargai oleh pemilik tanah lewat pemberian upah. Akan tetapi, ia tidak berani meminta, hanya dari kesadaran pemilik tanah saja.

Selama menyewa, informan merasa telah bekerja keras bahkan berusaha menabung namun keadaan ekonomi keluarga masih tetap sulit.

“...Sangat ingin lah seperti dia (pemilik tanah).

Caranya... ya dengan berusaha keras dari ladang kami. Kami merasa... kehidupan kami seperti ini–ini saja.

Maunya, pemerintah memperhatikan nasib para petani”. ( Wawancara, April 2007 )

Informan berpendapat, perhatian pemerintah begitu penting bagi para petani.

“Orang-orang di atas, pemerintah, DPR,… termasuk LSM yang selalu rapat… tidak pernah jalan ke desa-desa. Hanya janji-janji… tidak pernah terjadi. Saat pemilu, kampanye baru datang…ada poster, bendera… kasi duit… Buktinya... sampe sekarang janjinya tidak ada. Lihat aja jalan itu!! Bohong mereka semua! Daripada buang-buang duit untuk pemilu… bagusan kasi tanah gratis. Daripada sembako, BOS, kredit atau apalah itu, lebih baik kasi tanah gratis. Itulah harapanku.” (Wawancara, April 2007)

c. Malem Perangin-angin

Informan adalah seorang warga pendatang dari Kabupaten Karo. Dia menikahi seorang penduduk desa setempat. Mereka telah berkeluarga lebih dari delapan tahun. Informan berusia 29 tahun. Pendidikan informan hanya sampai tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama). Dia mempunyai dua orang anak yang masih kecil dan belum sekolah.


(56)

Selain sebagai seorang petani penyewa, informan juga bekerja sebagai buruh tani. Informan bekerja sebagai penyewa tanah sejak enam tahun lalu. Alasan informan datang dan menjadi petani penyewa di desa ini karena kualitas tanah masih cukup bagus dan sebagian besar anggota keluarga istri tinggal di desa ini. Anggota keluarga istri juga membantu mencarikan tanah sewaan. Selain itu, juga dapat membantunya dalam memenuhi kebutuhan sehari–hari.

Menurutnya, hubungan kekerabatan penting bagi masyarakat desa. Informan melakukannya agar mendapat kepercayaan dari warga desa yang dapat memudahkannya mendapat pinjaman tanah atau uang. Informan sering membantu masyarakat yang sedang mengadakan acara-acara, seperti: mengangkut hasil panen ke pekan/pasar, acara gereja, kerja tahun, pesta perkawinan, dukacita, dan lain–lain. Menurutnya, ikut serta dalam kegiatan tersebut merupakan hal yang wajar dan menjadi suatu keharusan jika tidak masyarakat akan menjauhinya.

Penghasilan yang diperoleh informan tidaklah menentu. Jika berhasil, penghasilan sebulan dapat mencapai Rp. 650.000 dengan luas penggunanaan lahan ½ hektar atau 12 rante. Informan lebih suka menanam tanaman yang dapat panen dalam waktu tiga sampai enam bulan.

Menurutnya, penghasilan tersebut tidak cukup karena dirasakan belum terpenuhiny kebutuhan sehari-hari dengan baik. Informan sering sekali meminjam uang kepada keluarga dan kemudian membayarnya ketika panen. Ditambah lagi, informan sering meminjam uang untuk menghadiri pesta, beli obat untuk tanaman, dll.


(57)

Informan berpendapat bahwa bertani adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukan. Dia merasa tidak memiliki kemampuan untuk bekerja di bidang lain. Apabila tanah yang sedang disewakannya saat ini, ditarik kembali oleh pemilik maka dia akan bekerja mengelola tanah bersama keluarga istri walaupun tidak dibayar.

Informan selalu memohon kepada pemilik tanah agar mau menyewakan tanah kepadanya. Apabila pemilik tanah tidak bersedia maka dia menawarkan tenaganya untuk bekerja sebagai buruh tani bahkan untuk menjaganya. Menurutnya, petani penyewa lebih berpeluang untuk berhasil dibandingkan buruh tani walaupun tidak jarang yang gagal.

Pemilik dari tanah yang sedang dia kerjakan pernah melanggar perjanjian dengannya. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa karena pemilik mengancam akan menarik tanahnya kembali. bersedia meminjam kembali kepada orang yang sama walaupun orang tersebut pernah merugikannya baik dengan cara menaikkan harga sewa tanah secara sepihak ataupun menurunkan harga hasil panen.

“waktu panen, kami diminta menjual sama pemilik, padahal harga di pekan(pasar) bisa lebih mahal.... padahal saya ga pernah janji.

Saya ngomong baik-baik tapi dia tetap maksa! Saya bilang, saya ga ada janji gitu. Katanya, kalo ga bisa kamu jangan pake tanah kami lagi!”. (Wawancara, April 2007)

Dia menyadari bahwa hal tersebut adalah bukan kesepakatan awal dan sangat merugikannya. Akan tetapi, dia memilih tetap bekerja sama karena membutuhkan tanah tersebut, belum lagi statusnya sebagai pendatang di desa


(58)

ini. Selain itu, saya lebih memilih menjadi petani penyewa (jika masih ada tanah sewaan) dibandingkan buruh tani.

Menurutnya, tidak ada pilihan bagi petani penyewa seperti dirinya. Akan tetapi, menjadi petani penyewa masih lebih baik dibandingkan dengan buruh tani. Dia berpendapat, perhatian pemerintah kurang kepada para petani. Program pemerintah di bidang pertanian hanya untuk petani yang memiliki tanah saja.

“penyuluhan-penyuluhan hanya bagi petani yang punya tanah aja. kalo ga punya tanah tidak usa ikut. Padahal dulu... dari transmigrasi pemerintah kasi tanah gratis”. (Wawancara, April 2007)

Menurutnya, pemerintah pernah menyelenggarakan program intensifikasi pertanian di Desa Rakut Besi. Dia merasa telah dibohongi bahkan tidak jarang mereka membujuk sampai memaksa untuk mengikuti program pemerintah tersebut.

“PPL datang ke desa ini... kelompok tani dikumpulkan di bale pertemeuan atau lapangan… disuruh pupuk sekian, pestisida sekian. Sampai sekarang, pestisida, pupuk baru tetap dipromosikan… dikasih kaos… iya lahannya tandus, uang petani habis dimakan pabrik, tapi tetap ada kaos pupuk Phonska!”. (Wawancara, April, 2007)

4.2.2. Pemilik Tanah a. Marudin Tambun

Informan adalah seorang pria berusia 51 tahun. Pendidikannya hanya sampai di tingkat SD (Sekolah Dasar). Informan mempunyai seorang istri dan empat orang anak. Dua orang anaknya telah bekerja sebagai tenaga honorer sedangkan dua orang lainnya sudah memiliki tanah/ladang sendiri.


(59)

Informan merupakan salah seorang petani yang sukses di desa Rakut Besi. Selain memiliki tanah/lahan pertanian yang luas, dia juga sukses sebagai kepala rumah tangga yang telah dapat mendidik anaknya sampai mendapat pekerjaan. Namun, saat ini istrinya sedang jatuh sakit. Masyarakat desa sering datang dan berkunjung untuk melihat istrinya.

Informan telah menyewakan tanah seluas 2,5 Ha. Dia juga tetap mengolah tanah/lahan pertaniannya sendiri. Alasannya, untuk mengisi waktu luang dan menambah penghasilan.

“...Rp. 3.000.000 per bulan memang cukup untuk kebutuhan sehari–hari. Tapi sekarang tidak cukup lagi karena harus beli obat (obat istri yang mahal). Tabungan masih ada, cuman sekarang tidak bisa nabung lagi kayak dulu (sebelum istri jatuh sakit )”. (Wawancara, April 2007)

Informan telah menyewakan tanah kepada sejumlah orang. Dia hanya menyewakan kepada orang yang dapat dipercayai, tidak harus selalu kepada anggota keluarga.

Informan tidak memasang ketentuan atau syarat tertentu dalam menyewakan tanah. Bentuk perjanjian dilakukan secara lisan ataupun tulisan. Baginya yang terpenting adalah penyewa membayar sewa. Pembayaran dapat berupa uang tunai atau bayar panen (bagi hasil). Dia mengaku tidak pernah mengatur ataupun memaksa penyewa.

Informan mengaku bahwa petani penyewa tanah pernah melanggar janji dan terlambat membayar sewa. Akan tetapi, dia hanya mengingatkan dan memberi tambahan waktu pengembalian/pembayaran saja. Biasanya dia kurang


(60)

percaya lagi kepada petani penyewa tersebut. Sering sekali, pada musim berikutnya tanah/lahan ditarik dari petani penyewa tersebut.

Dia tidak mempunyai cara khusus mencegah petani penyewa menunggak pembayaran sewa. Dia hanya berusaha mengingatkan saja. Bahkan, sering sekali petani penyewa meminta tambahan modal untuk membeli obat, pupuk, membayar tenaga kerja, membayar ongkos angkut, dll. Menurutnya, pinjaman tersebut membantu para petani. Dia tidak memberi bunga yang tinggi kepada para petani yang meminjam kepadanya.

Biasanya, dia meminta penyewa menjual hasil panen sebagai cara pembayaran. Menurutnya, cara tersebut lebih efisien dan memudahkan penyewa dibandingkan mencari calon pembeli lain. Sebagai distributor, informan juga dapat menjaga jumlah penjualan.

Namun, dia tidak memaksakan cara pembayaran tersebut. Dia mengijinkan cara yang lain (misal: uang tunai dan tenaga/jasa). Yang terpenting sudah di diskusikan terlebih dahulu. Bahkan tidak jarang, penyewa meminta bekerja sebagai buruh tani atau tenaga kerja pada saat menanam ataupun panen.

Dia sangat menghargai petani penyewa yang rajin dan pekerja keras. Dia tidak pernah takut tersaingi apabila petani penyewa lebih berhasil darinya. Berdasarkan pengalaman, kesuksesan yang diperoleh informan berasal dari kerja keras. Sebelumnya, informan mengaku hanya memiliki tanah beberapa hektar saja dan merupakan warisan orang tua. Namun, kerja keras dan doa berhasil membuatnya sukses bahkan informan sudah memiliki tanah/lahan lain di Pekan Baru dan dapat memperkerjakan orang sebagai penjaganya.


(61)

b. Esron Girsang

Informan adalah seorang pria berusia 42 tahun. Istrinya bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di salah satu Sekolah Dasar di desa tetangga. Informan menyelesaikan pendidikan sampai ke jenjang Sekolah Teknik Menengah (STM). Informan memiliki empat orang anak yang sekolah, di tingkat SMA dan tingkat SD. Menurutnya, pendidikan akan membawa manfaat bagi masa depan anak–anak. Oleh karena itu, dia berusaha menyekolahkan anak–anak sampai tingkat yang tertinggi. Penghasilan istri yang bekerja sebagai PNS dirasakan cukup membantu. Dari penghasilan yang tetap tersebut, dia dapat membiayai sekolah anak-anaknya.

Informan berpendapat bahwa penghasilan yang diperoleh dari menyewa tanah lebih dari cukup dan bahkan dia sanggup menabung. Pengeluaran sehari-hari adalah kebutuhan dapur, ongkos transport dan jajan anak–anak, ongkos kerja istri, dan upah tenaga kerja. Dengan penghasilan istri Rp.1.500.000 per bulan dan Rp. 2.000.000 dari bertani dan menyewakan tanah dirasa cukup baginya.

Informan telah lama menyewakan tanah kepada orang lain. Bahkan, dia dapat mempekerjakan orang untuk menjaga tanah/ladangnya. Informan memperkerjakan sepasang suami–istri dan memberinya tempat tinggal di ladang. Pekerja merupakan warga pendatang dari luar desa. Pekerja juga di berikan beberapa rante tanah untuk mereka usahakan dan penghasilannya menjadi hak mereka.


(62)

Informan tidak membuat ketentuan/syarat dalam menyewakan tanah. Yang penting adalah penyewa tepat waktu membayar dan rajin bekerja. Dalam pembayaran, dia lebih suka dengan sistem pembayaran menggunakan uang tunai. Akan tetapi, dia mengijinkan penyewa melakukan pembayaran dengan sistem pembayaran bagi hasil, tenaga kerja atau bentuk lainnya.

Pengetahuan dan pendidikan informan yang cukup baik serta didukung pengalaman istri membuatnya lebih memilih menyewakan tanah dalam perjanjian tertulis.

“...perjanjian tertulis supaya lebih aman. Dan kami bebas menyewakan (tanah) pada siapa saja.. yang penting jelas orangnya, dan punya jaminan (mis: saudaranya). bisa aja orang lain walaupun baru kena, tapi bayarnya duluan supaya aman”. (Wawancara, April 2007)

Hubungan kekerabatan antar masyarakat desa sangat dirasakan bermanfaat. Untuk menjaga hubungan antra keluarga, dia selalu berusaha mengunjungi mereka. Dia biasa berdiskusi tentang pertanian. Terkadang informan berdiskusi dengan petani yang menyewakan tanahnya. Dia membantu dengan berbagi pengalaman serta menawarkan bantuan apabila dibutuhkan.

Berdasarkan pengalamannya, petani pernah terlambat membayar uang sewa tanah kepadanya. Maka, sebelum panen lahan akan kami tarik dan informan akan meneruskan sampai panen kemudian menjualnya. Cara tersebut dirasakan cukup berhasil dan menguntungkan walaupun merugikan petani penyewa. Biasanya, petani penyewa tetap meminta agar pemilik tanah tetap menyewakan tanah pada musim berikutnya.


(63)

Informan tidak pernah memaksa dalam menawarkan bantuan baik berupa uang ataupun modal kepada petani penyewa. Berdasarkan pengalaman, petani penyewa sering meminta bantuan atau pinjaman baik berupa modal, ataupun alat-alat pertanian seperti pupuk dan obat-obatan.

Selain menyewakan tanah/lahan, informan juga menyewakan kendaraan pengangkut (mobil pengangkut). Akan tetapi, dia lebih suka menggunakannya daripada menyewakannya. Selain itu, informan juga memberi pinjaman modal/uang, pupuk dan obat-obatan. Menurutnya, usaha meminjamkan uang/modal, pupuk atau obat-obatan yang dapat memberi keuntungan besar.

Informan berpendapat bahwa kesuksesan yang diperolehnya berasal dari usaha dan kerja keras. Namun, terkadang distributor juga sering menentukan harga. Menurutnya, petani penyewa lebih sering dirugikan oleh distributor dibandingkan pemilik tanah karena bebas memilih atau menjual kepada distributor. Dia berpendapat, pemilik tanah wajar menaikkan harga sewa tanah apalagi letaknya strategis, kondisinya bagus serta panennya selalu berhasil.

c. Jansen Karo Sekali

Informan adalah seorang pria yang berusia 29 tahun. Informan menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) sedangkan istrinya menyelesaikan pendidikan di tingkat SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas). Informan memiliki empat orang anak. Dua orang anaknya sudah bersekolah di Sekolah Dasar (SD), dan dua orang lagi belum bersekolah.


(64)

Luas tanah/lahan pertanian yang dimiliki sebagian diperoleh dari orangtua. Informan mengolah tanah/lahan pertanian sendiri, selain menyewakan kepada orang lain. Penghasilan dari menyewakan tanah dirasakan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, informan tetap mengelola lahan pertanian karena tidak memiliki keahlian di luar bertani.

Penghasilan informan selama sebulan sekitar Rp.2.000.000. Informan berpendapat, jumlah tersebut lebih dari cukup. Selain itu, biaya untuk pendidikan atau sekolah anak tidak mahal. Pengeluaran lainnya adalah untuk biaya tenaga kerja sewaktu musim tanam ataupun panen.

Informan adalah salah seorang pemilik tanah yang berhasil di desa Rakut Besi. Selain mempunyai tanah dengan luas ± 3 Ha, informan juga masih berusia muda. Informan memiliki pendapat yang sama dengan pemilik tanah lainnya yaitu penting sekali membangun hubungan kerjasama antara masyarakat sekalipun dengan petani penyewa. Syarat yang diberlakukan iinforman bagi petani penyewa adalah rajin, jujur dan tidak terlambat membayar.

Informan menerapkan cara pembayaran sewa tanah dengan uang tunai. Akan tetapi, apabila petani penyewa tidak sanggup atau tidak bersedia, dia menerima pembayaran cara lain, seperti bagi hasil ataupun jual panen.

Dari pengamatan, informan cukup sering berdiskusi dengan penyewa tanah. Menurutnya, cara tersebut dapat memotivasi dan mengingatkan penyewa secara baik agar tidak terlambat membayar sewa kepadanya.

Informan berpendapat bahwa petani penyewa dapat maju dan berkembang bahkan memiliki tanah sendiri namun ketiadaan modal yang


(65)

membuat tidak berhasil. Dari pengamatan, informan sering memberi tambahan modal kepada petani penyewa.

Dengan terpenuhinya kebutuhan sehari–hari, pendidikan anak terlaksana serta telah memiliki tabungan, informan dapat membeli atau memperluas tanahnya.

Informan memiliki pendapat yang sama dengan para pemilik tanah lainnya bahwa menaikkan atau memberi harga sewa tanah tinggi merupakan hal yang wajar. Informan tidak merasa salah apabila mempekerjakan petani penyewa di luar perjanjian yang telah disepakati. Namun, informan tetap memberikan imbalan atas jasa dan tenaga apabila petani penyewa tanahnya melakukan hal tersebut.

4.3. Interpretasi Data Penelitian

4.3.1. Pola Hidup Petani Penyewa dan Pemilik Tanah

a. Pola Hidup

Pola hidup merupakan seluruh aktivitas sehari-hari yang nampak berulang-ulang secara terus-menerus sehingga menampakkan suatu bentuk yang terpola mantap di kalangan para petani penyewa maupun pemilik tanah. Pola hidup ini dapat dilihat dari aneka ragam dan bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan di dalam rumah serta di luar rumah setiap hari. Pengamatan terhadap aneka ragam kegiatan dengan bentuknya sendiri itu, dibarengi dengan pemahaman mendalam mengenai norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam berbagai bentuk aktivitas kehidupan sehari-hari tersebut. Pemahaman


(1)

5. Apakah motivasi Anda memiliki alat-alat pertanian tersebut (mis: untung besar, cepat selesai, dll.)?

6. Apa yang Anda lakukan jika mendengar alat-alat pertanian yang Anda sewakan rusak/hilang (mis: mengganti dengan yang baru, menyuruh memperbaiki, dll.)?

7. Coba sebutkan alat-alat pertanian yang ingin Anda miliki dalam waktu dekat ini?

V. Ketergantungan terhadap modal

1. Apakah petani penyewa sering meminta modal tambahan kepada Anda? 2. Bagaimana cara Anda menawarkan kepada petani agar menambah

pinjaman modalnya (mis: membujuk, memaksa, dll.)?

3. Apakah keuntungan dari modal pinjaman dirasa cukup besar bagi Anda? VI. Memutus Ketergantungan: Perspektif Depedensi

1. Apakah menyewakan tanah memberi keuntungan yang besar bagi Anda? Coba jelaskan!

2. Apakah Anda memiliki keinginan untuk beralih atau menambah kegiatan usaha atau bisnis Anda (mis: berdagang)?

3. Apakah Anda merasa punya hak untuk mengatur petani penyewa di luar perjanjian yang ada (mis: membantu dalam pesta, mengerjakan tanah Anda, dll)?

4. Apa yang Anda lakukan, apabila petani penyewa mendapatkan hasil panen lebih besar dari yang Anda perkirakan sebelumnya (mis: petani tersebut wajib membayar biaya sewa lebih besar dari perjanjian)?


(2)

5. Apakah Anda pernah melanggar perjanjian yang telah dibuat?

6. Apa yang Anda lakukan ketika mendengar kabar terjadinya tindakan kekerasan (mis: pembunuhan) antara pemilik tanah dengan petani penyewa?

7. Coba berikan penilaiaan terhadap seorang petani penyewa (mis: negatif/malas atau positif/ingin maju)?

8. Menurut Anda, apakah keberhasilan yang Anda peroleh saat ini berasal dari kerja keras, warisan atau anugerah Tuhan Yang Maha Esa?

9. Menurut Anda manakah yang lebih memberi keuntungan, apakah sewa-menyewa tanah, alat-alat pertanian, atau modal?

10. Apa yang Anda lakukan dari hasil keuntungan sebagai petani (mis: membeli tanah, alat-alat pertanian, ditabung, usaha baru, bangun rumah, dll.)?

11. Seberapa besar motivasi Anda dalam meraih kesuksesan?

12. Pernahkah Anda melibatkan petani penyewa dalam kegiatan/perayaan yang Anda buat (mis: pesta)?

13. Apakah Anda memberi banyak kesempatan belajar kepada petani penyewa (mis: kegunaan alat-alat pertanian, jenis tanaman yang laku di pasaran, dll.)?

14. Apakah Anda merasa perlu terus menjaga hubungan dengan petani penyewa? Mengapa?

15. Apakah Anda merasa perlu membangun jaringan dengan sesama pemilik tanah? Mengapa?


(3)

16. Coba jelaskan, seberapa besar peranan petani penyewa dalam usaha Anda (mis: sebagai sumber ekonomi yang utama)?

17. Apabila pendidikan atau pelatihan sering dilakukan terhadap petani penyewa sehingga membuatnya sukses, apakah Anda tidak merasa tersaingi?

18. Coba jelasakan beberapa manfaat dari organisasi atau lembaga kemasyarakatan bidang pertanian di tempat ini (mis: HKTI, Koperasi, Dinas Pertanian daerah, dll.)?

19. Coba jelaskan pendapat Anda, apakah wajar jika pemilik tanah membuat harga sewa tinggi dengan alasan kondisi tanah yang strategis (mis: dekat jalan) dan menguntungkan (mis: tanah subur)?

20. Apa kesulitan Anda dalam usaha untuk memperluas lahan pertanian (mis: tidak ada yang menjual, harga terlalu mahal, kurang strategis, kualitas jelek, dll.)?


(4)

(5)

4. Puisi - puisi

Oleh : Sata Euis Parida

Lima puluh sembilan tahun lamanya kita bebas

dari jajahan kolonialisme tetapi kebanyakan warga bangsa kita tetap saja petani-petani yang tidak bisa menggarap tanah

sementara anak-anak jalanan ada di setiap sudut Kemerdekaan bagi petani belum ada

Hak petani masih dipertanyakan Keadilan bagi petani masih disamarkan

Katanya kita sudah merdeka, tetapi ... Mana? Mana buktinya kita merdeka?


(6)

Bukankah yang terjadi adalah petani diasingkan di negerinya sendiri? Haruskah berapa lama lagi kami menunggu?

Menunggu kemerdekaan itu

Kemerdekaan yang sesungguhnya, yang pasti dan penuh kedamaian Dan harus berapa lama lagi kami menunggu

Menunggu seorang pemimpin yang peduli Peduli pada negeri dan rakyatnya sendiri Dan apakah mungkin kami tidak akan mempunyai

seorang pemimpin dan kemerdekaan yang jelas

serta sesuai dengan apa yang dinamakan dengan 'merdeka' itu

Dan apakah kami harus jadi gelandangan di negeri sendiri dan di rumah kami sendiri? Semua ini tidak adil dan tidak berperikemanusiaan


Dokumen yang terkait

Peran Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun Terhadap Masyarakat Dikecamatan Sidamanik Dalam Rangka Pendaftaran Tanah Serta Pelaksanaannya Berdasarkan Uu Pa Dan Peraturan Pemerintah Nomor24 Tahun 1997

2 111 115

Pengaruh Pemekaran Kecamatan Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat (Studi Pada Kecamatan Pamatang Sidamanik Kabupaten Simalungun)

8 122 118

Pengaruh Faktor Predisposisi, Pemungkin, dan Kebutuhan Terhadap Pemanfaatan Puskesmas 24 Jam Di Kecamatan Pamatang Silimahuta Kabupaten Simalungun Tahun 2014”,

3 77 146

Dampak Pembangunan Irigasi Terhadap Sosial Ekonomi Petani Padi Sawah di Kabupaten Simalungun", studi kasus Desa Totap Majawa, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun

3 61 116

Status Penguasaan Tanah Timbul (Aanslibbing) Di Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu

3 69 140

Perkembangan Kota Perdagangan Di Kecamatan Bandar Kabupaten Simalungun (1980-1999)

4 58 88

Dampak Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun Terhadap Pengembangan Wilayah Kecamatan Raya

2 36 189

Pengaruh Kegiatan Optimasi Lahan Terhadap Pengembangan Wilayah Di Kabupaten Simalungun (Studi Kasus Nagori/Desa Naga Saribu, Kecamatan Pamatang Silima Huta)

0 30 8

Analisis Efisiensi Tataniaga Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) (Studi Kasus: Desa Siboras, Kecamatan Pematang Silimahuta, Kabupaten Simalungun)

0 0 13

Analisis Efisiensi Tataniaga Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) (Studi Kasus: Desa Siboras, Kecamatan Pematang Silimahuta, Kabupaten Simalungun)

0 0 1