Peta kesesuaian habitat R. rochussenii Kelas kesesuaian habitat R. rochussenii Validasi model

koefisien determinan R square. Nilai koefisien semakin tinggi maka nilai Y yang dijelaskan terhadap X akan semakin besar. 3.4.3 Analisis Data 3.4.3.1 Analisis komponen utama principle component analysisPCA Model kesesuaian habitat R. rochussenii diperoleh dengan menggunakan Analisis komponen utama. Analisis kompenen utama merupakan metode yang digunakan untuk meminimumkan masalah multikolineritas tanpa harus mengeluarkan variabel bebas yang terlibat hubungan kolinear. Prosedur analisis komponen utama pada dasarnya bertujuan untuk menyederhanakan variabel yang diamati dengan cara menyusutkan mereduksi dimensinya. Hal ini dilakukan dengan cara menghilangkan korelasi diantara variabel bebas melalui tranformasi variabel bebas asal menjadi variabel baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau biasa disebut dengan principal component Soemartini 2008. Analisis komponen utama dilakukan dengan menggunakan software SPSS 1.6. Analisis komponen utama dilakukan untuk mengetahui faktor fisik yang paling berpengaruh terhadap R. rochussenii, berdasarkan keberadaan ditemukan R. rochussenii dengan masing-masing layer yaitu jarak dari sungai, LAI, ketinggian, dan kemiringan lereng. Selanjutnya dari hasil analisis komponen utama dapat ditentukan bobot masing-masing faktor yang paling berpengaruh terhadap sebaran R. rochussenii.

3.4.3.2 Peta kesesuaian habitat R. rochussenii

Hasil analisis PCA digunakan untuk menentukan bobot masing-masing variabel habitat yang diteliti untuk analisis spasial, sehingga diperoleh persamaan kesesuaian habitat sebagai berikut: Y = aFk1 + bFk2 + cFk3 + dFk4 Keterangan : Y = skor akumulasi kesesuaian habitat a-d = nilai bobot setiap variabel Fk1 = faktor jarak dari sungai Fk2 = faktor LAI Fk3 = faktor ketinggian Fk4 = faktor kemiringan lereng

3.4.3.3 Kelas kesesuaian habitat R. rochussenii

Peta kesesuaian habitat R. rochussenii yang diperoleh selanjutnya dibagi menjadi 3 kelas kesesuaian yaitu kesesuaian tinggi, kesesuaian sedang dan kesesuaian rendah. Nilai selang klasifikasi kesesuaian habitat dihitung dari nilai tertinggi dikurangi nilai terendah dimana hasilnya kemudian dibagi dengan banyaknya klasifikasi kesesuaian habitat. Keterangan : Smaks = nilai skor kumulatif kesesuaian habitat tertinggi Smin = nilai skor kumulatif kesesuaian habitat terendah K = banyaknya kelas kesesuaian habitat

3.4.3.4 Validasi model

Validasi model dilakukan untuk mengetahui nilai akurasi klasifikasi kesesuaian habitat. Validasi dilakukan dengan membandingkan jumlah seluruh individu R. rochussenii yang terdapat di tiap kelas kesesuaian habitat dengan jumlah seluruh jumlah individu yang digunakan untuk validasi. Validasi = N x 100 N Keterangan: n = jumlah R. rochussenii pada satu kelas kesesuaian N = jumlah total R. rochussenii Gambar 8 Diagram alur proses analisis peta kesesuaian habitat R. rochussenii.

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

4.1 Sejarah dan Status Kawasan

Sejarah kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dimulai sejak tahun 1830 dengan terbentuknya kebun raya kecil di dekat Istana Gubernur Jenderal Kolonial Belanda di Cipanas. Kebun raya kecil ini kemudian diperluas hingga menjadi Kebun Raya Cibodas seperti sekarang ini. Pada tahun 1889, berdasarkan SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 50 tanggal 17 mei 1889 ditetapkan cagar alam dan areal hutan di atasnya seluas 240 ha sebagai contoh flora pegunungan Pulau Jawa sekaligus sebagai cagar alam tertua di Indonesia. Kemudian tanggal 11 juni 1919 kawasan tersebut diperluas hingga areal hutan di sekitar Air Terjun Cibeureum melalui SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 33 staatsblad No. 392-15. Berdasarkan SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 83 staatsblad No. 392-1, satu areal hutan lindung di lereng Gunung Pangrango dekat Desa Caringin ditetapkan sebagai Cagar Alam Cimungkat seluas 56 ha. Pada tanggal 5 januari 1925 melalui SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 7 staadsblad 15 ditetapkan daerah puncak Gunung Gede, Gunung Gumuruh, Gunung Pangrango, serta DAS Daerah Aliran Sungai Ciwalen dan Cibodas sebagai Cagar Alam Cibodas-Gunung Gede seluas 1.040 ha. SK ini menarik kembali berlakunya SK pada tahun 1889. Kemudian pada tanggal 27 Juli 1927 dikeluarkan SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 26 yang menunjuk Komplek Hutan Gunung Gede dan Gunung Pangrango di Kabupaten Daerah Tk II Bogor, Sukabumi, dan Cianjur sebagai kawasan hutan seluas ± 14.000 ha. Pada dekade pertama, pemerintah Indonesia melalui Menteri Pertanian mengeluarkan SK Nomor 461KptsUm311975 yang menetapkan daerah Situgunung, lereng selatan Gunung Pangrango dan bagian timur Cimungkat sebagai Taman Wisata seluas ± 100 ha. Pada tahun 1977, kawasan tersebut beserta wilayah di sekitarnya yang dibatasi oleh jalan besar Ciawi - Sukabumi, Cianjur - Ciawi, oleh UNESCO United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization ditetapkan sebagai Cagar Biosfer Cibodas.