Tingkat kesesuaian dan freferensi habitat Leptophryne cruentata, Tschudi 1838 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

(1)

TINGKAT KESESUAIAN DAN PREFERENSI HABITAT

Leptophryne cruentata

, Tschudi 1838

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

SUSI OKTALINA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN

MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ―Tingkat Kesesuaian dan Preferensi Habitat

Leptophryne cruentata, Tschudi 1838 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango―

adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2010

Susi Oktalina NRP. E 051060281


(3)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(4)

TINGKAT KESESUAIAN DAN FREFERENSI HABITAT

Leptophryne cruentata

, Tschudi 1838

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

SUSI OKTALINA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(5)

Judul Tesis : Tingkat Kesesuaian dan Preferensi Habitat

Leptophryne cruentata, Tschudi 1838 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Nama : Susi Oktalina NRP : E 051060281

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Iman Wahyudi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(6)

PRAKATA

Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister sains dari Institut Pertanian Bogor. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Tesis berjudul ―Tingkat Kesesuaian dan Preferensi Habitat Leptophryne cruentata Tshudi 1873 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango‖ ini disusun berlandaskan atas kepedulian terhadap keberadaan kodok merah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango lebih cenderung terkonsentrasi di Rawa Denok, Rawa Gayonggong dan Curug Cibeureum. Dalam tesis ini diuraikan tentang kesesuaian habitat kodok merah seperti ketinggian tempat, kelerengan, suhu, kerapatan tajuk dan jarak dari jalur manuasi/patroli dan mikrohabitat kodok merah, seperti ketinggian tempat, subsrat, ada/tidaknya lubang, lebar sungai, kecepatan arus, jarak ditemukannya kodok dari tanah, jarak dari sumber air, jarak dari jalur manusia/patroli, suhu udara, suhu air dan kelembaban udara. Selain itu, diuraikan pula mengenai faktor-faktor dominan komponen habitat kodok merah dan rumusan mikrohabitat yang disukai oleh kodok merah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Akhirnya, disadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan, kekeliruan dan kelemahan. Oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini. Semoga hasil penelitian yang dituangkan dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, September 2010


(7)

ABSTRACT

SUSI OKTALINA. Suitability and Habitat Preference of Leptophryne cruentata, Tschudi 1838 in Gunung Gede National Park. Under direction of LILIK BUDI PRASETYO, MIRZA DIKARI KUSRINI and AGUS PRIYONO KARTONO

Fire Toad (Leptophryne cruentata, Tschudi 1838) is an endemic toad found only in the western of Java especially in Gunung Gede Pangrango National Park. According to the 2009 IUCN Red List of Threatened animal, this species is catogorized as critically endangered species. At present there are not complete data to desribe the habitat of this species. Base on the observation showed that the species founded in Rawa Denok, Rawa Gayonggong and Curug Cibereum. The objectives of this research were to identify the habitat preference habitat and to estimate the extent of suitability habitat of Fire Toad in GPNP. This study was carried out in GPNP on April 2008. Based on analisis factor, the dominant habitat factors prefered fire toad are distance from water, distance from human line dan the elevation. Using Kruskall Waliss analysis, the result distance from human line very significant (p< 0,05). Digital environmental layers such as elevation, slope aspect, temperature, and vegetation type may be incorporated into predicted habitat suitability. Principal Componen Analysis method was used to analyse suitability habitat map using ERDAS Imaginer Ver 9.1 and ArcView Ver 3.3. Based on the scoring and spatial analysis, the estimation of habitat with low habitat suitability is about 16.077,847 ha, habitat with midlle suitability is about 7.686,023 ha and habitat with high suitability is about 653,847 ha.


(8)

RINGKASAN

Susi Oktalina. Tingkat Kesesuaian dan Preferensi Habitat Leptophyne cruentata Tschudi 1873 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO, MIRZA DIKARI KUSRINI dan

AGUS PRIYONO KARTONO

Kodok merah (Leptophyne cruentata) termasuk jenis kodok yang jarang ditemui karena luas penyebarannya yang sedikit. Kodok ini termasuk dalam kategori critically endangered species menurut IUCN (International Union Conservation Natural). Saat ini lokasi penyebaran yang diketahui adalah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menduga preferensi habitat kodok merah dan tingkat kesesuaian habitat kodok merah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan menduga luasan habitat kodok merah yang masih sesuai sebagai bahan pertimbangan kebijakan dalam pengelolaan kawasan khususnya untuk pengelolaan dan pelestarian populasi kodok merah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Pengumpulan data dilaksanakan di wilayah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) pada bulan April 2008 selama dua minggu. Lokasi penelitian , meliputi Rawa Denok, Rawa Gayonggong, Curug Cibeureum, Lebak Saat dan Bedogol. Keberadaan kodok merah diketahui melalui metode pengamatan langsung untuk mengumpulkan data titik koordinat perjumpaan kodok merah.

Data mikrohabitat kodok merah yang digunakan untuk menduga faktor preferensi yang dominan terdiri dari ketinggian tempat, substrat, ada tidaknya lubang, jarak dari sumber air, lebar sungai, kecepatan arus, suhu udara, suhu air, kelembaban, jarak dari jalur manusia, jarak ditemukannya kodok merah dari permukaan tanah. Data yang digunakan untuk menduga kesesuaian habitat adalah ketinggian tempat, kelerengan, jarak dari sumber air, suhu dan jarak dari jalur manusia.

Hasil analisis faktor digunakan untuk menduga faktor mikrohabitat yang paling dominan ada/tidaknya kodok merah. Jarak dari sumber air , jarak dari jalur manusia dan ketinggian tempat adalah faktor dominan yang menentukan ditemukannya kodok merah. Uji beda Kruskall Wallis dilanjutkan untuk melihat uji beda nyata antara jarak dari sumber air dan jarak dari jalur manusia. Hasil uji Kruskall Wallis menyatakan bahwa jarak dari jalur manusia lebih berbeda nyata dibandingkan dengan jarak dari sumber air.

Tingkat kesesuaian habitat menggunakan analisis PCA (Principle Component Analysis). Penentuan nilai kelas dalam setiap komponen habitat didasarkan pada asumsi bahwa spesies tertentu akan memilih tempat yang paling memenuhi kebutuhan hidupnya. Nilai kelas untuk setiap komponen habitat digolongkan ke dalam 3 kelas yaitu nilai kelas 1, 2, dan 3. Model kesesuaian habitat yang terbentuk yaitu :


(9)

Y = {(2,222,x FK1) + (2,222x FK2) + (2,222x FK3) + (1,413x FK4) + (1,060x FK5)} dengan keterangan Y= Model Frekuensi pertemuan kodok merah di TNGGP, FK1= Faktor ketinggian tempat, FK2= Faktor kerapatan tajuk, FK3= Faktor kemiringan lereng, FK4= Faktor suhu, FK5= Faktor jarak dari sungai.

Hasil ekstrapolasi model di kawasan Gunung Gede Pangrango menunjukkan bahwa luas habitat untuk tingkat kesesuaian tinggi, sedang dan rendah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango diduga sebesar 653,625 ha, 7.686,023 ha, dan 16.077,847 ha.

Kata Kunci: kodok merah, kesesuaian habitat, taman nasional gunung gede pangrango.


(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister sains dari Institut Pertanian Bogor. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Pada kesempatan ini izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada: (1) Departemen Kehutanan, yang telah memberikan izin dalam penyelenggaraan pendidikan Program Magister Sains di Institut Pertanian Bogor, (2) Ir. Hart Lamer Susetyo, Ir. Indra Arinal dan Ir Tedy Sutedy MSc. selaku Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumbar yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan di Institut Pertanian Bogor, (3) Dr. Ir. Bambang Sukmananto MSc selaku Kepala Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang telah memberikan izin kepada penulis untukmelakukan penelitian di TNGGP. (4) Teman-teman yang telah memberikan dukungan, motivasi dan bantuan selama penelitian berlangsung.

Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya disampaikan kepada Komisi Pembimbing, yakni: Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc selaku ketua Komisi, Dr. Ir Mirza Dikari Kusrini, Msi dan Dr. Ir. Agus P Kartono, MSi selaku anggota Komisi atas curahan pemikiran, waktu, kesabaran, saran dan arahan serta petunjuk yang diberikan selama pembimbingan sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Kepada Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud MS yang telah bersedia meluangkan waktu sebagai penguji luar komisi diucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

Akhirnya ucapan terimakasih secara khusus penulis sampaikan kepada Ayahanda Ashal Nazar dan Ibunda Netty Hartati serta kakak adik tersayang diucapkan terima kasih haatas dukungan dan doanya yang diberikan.

Akhirnya apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dalam tesis ini, maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT sendiri yang memberi balasan berkah kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis dan akhir kata Semoga tesis ini bermanfaat bagi banyak pihak.


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Oktober 1975 di Padang, Sumatera Barat. Anak kedua dari lima bersaudara pasangan Bapak Ashal Nazar dan Ibu Netty Hartati. Pada tahun 1987 menamatkan Pendidikan Sekolah Dasar di SD Inpres 3/77 Lapai Nanggalo, tahun 1990 menamatkan Pendidikan Menengah Pertama di SMP Negeri 12 Padang. Tahun 1993 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Padang dan pada tahun yang sama lulus seleksi Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) di Institut Pertanian Bogor. Penulis memilih Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan dan lulus pada tahun 1998.

Sejak tahun 1999 penulis bekerja di Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Jambi, kemudian tahun 2005 penulis pindah ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Sumatera Barat sebagai Pejabat Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH). Tahun 2006 penulis ditugaskan sebagai karyasiswa Departemen Kehutanan pada Sekolah Pascasarjana IPB Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB, penulis

melakukan penelitian tentang ―Tingkat Kesesuaian dan Preferensi Habitat

Leptopryne cruentata, Tschudi 1838 Di Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango‖ dibimbing oleh Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo,M.Sc sebagai Ketua, Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, MSi dan Dr. Ir Agus Priyono Kartono, MSi sebagai Anggota Komisi Pembimbing.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... Iv DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 2

C. Manfaat Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi L. cruentata Tschudi 1838 ... 3

B. Habitat dan Penyebaran ... 4

1. Komponen Fisik... ... 5

2. Komponen Biotik .. ... 7

C. Pemilihan Habitat ... 8

D. Definisi Sistem Informasi Geografis ... 9

E. Aplikasi SIG Untuk Konservasi Satwa Liar Terutama Amfibi.. ... 13

III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Kawasan ... 15

B. Iklim ... 15

C. Geologi dan Tanah ... 15

D. Topografi ... 16

E. Hidrologi ... 16

F. Flora ... 16

G. Fauna ... 18

H. Lokasi Penelitian ... 19

IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

B. Alat dan Bahan ... 21

C. Metoda Pengambilan Data Mikrohabitat ... 21

D. Metoda Pengamatan Habitat Preferensi Kodok Merah ... 25

E. Metoda Asumsi dalam Membuat Peta Kesesuaian ... 25

F. Metoda Penelitian Spasial ... 28

G. Penentuan Nilai Skor Kelas Kesesuaian Setiap Variabel ... 30

H. Pengolahan Peta ... 30

I. Analisis Data ... 34

1. Principal Componen Analysis ... 34


(13)

3. Validasi Data ... 35

4. Preferensi Habitat ... 36

5. Faktor Dominan Komponen Habitat ... 36

6. Logistic Regression ... 37

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil ... 38

1. Tingkat Kesesuaian Habitat ... 38

2. Preferensi Habitat ... 49

B. Pembahasan ... 60

1. Tingkat Kesesuaian Habitat ... 60

2 Preferensi Habitat ... 62

VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... ... 70

B. Saran .... ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... ... 71

LAMPIRAN ... 77


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perbandingan ukuran SVL kodok merah ... 3

2. Data penyebaran kodok merah ... 5

3. Karakteristik Spektral Landsat Thematic Mapper ... 12

4. Panjang transek penelitian pada masing masing lokasi penelitian ... 22

5. Jumlah kuadrat plot pada lokasi penelitian Rawa Denok, Rawa Gayonggong dan Curug Cibeureum ... 23

6. Jumlah kuadrat plot pada lokasi penelitian Lebak Saat dan Bedogol ... 23

7. Variabel dan kelas kesesuaian habitat kodok merah ... 30

8. Penentuan selang skor kodok merah ... 30

9. Piksel info model kesesuaian kodok merah ... 35

10. Hasil analisis PCA titik perjumpan kodok merah di TNGGP ... 43

11. Vektor ciri titik perjumpan kodok merah di TNGGP ... 44

12. Nilai bobot tiap variabel lingkungan hidup kodok merah berdasarkan PCA 44 13. Nilaiskor tiap kelas kesesuaian kodok merah di TNGGP ... 45

14. Jumlah kodok merah pada setiap lokasi berdasarkan ketinggian tempat dan frekuensi kehadiran ... 49

15. Kisaran beberapa faktor fisik yang mempengaruhi penyebaran kodok merah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ... 50

16. Uji beda chi-square antara subrat dengan ada/tidak ditemukannya kodok merah ... 51

17. Nilai Chi-square pemilihan habitat tertentu oleh kodok merah ... 58

18. Vektor ciri PCA mikrohabitat kodok merah ... 59

19. Komponen matrik faktor yang mempengaruhi perjumpaan kodok merah .... 59

20. Uji homogenigenitas variabel jarak dari air dan jarak dari jalur kodok merah ... 59


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Lokasi penelitian di TNGGP ... 20

2. Contoh kuadrat plot pangamatan kodok merah di Rawa Denok, Rawa Gayonggong dan Curug Cibeureum ... 22

3. Contoh kuadrat plot pengamatan diLebak Saat dan Bedogol ... 23

4. Bagan alir prosedur penelitian ... 29

5. Proses pembuatan peta kerapatan tajuk ... 31

6. Proses pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng ... 32

7. Proses pembuatan peta jarak dari sungai ... 32

8. Proses pembuatan peta sebaran suhu ... 33

9. Peta kerapatan tajuk di TNGGP ... 39

10. Peta sebaran suhu di TNGGP ... 40

11. Peta ketinggian tempat di TNGGP ... 41

12. Peta kemiringan lereng di TNGGP ... 42

13. Peta jarak dari sungai di TNGGP ... 43

14. Peta kesesuaian habitat kodok merah di TNGGP ... 46

15. Peta kesesuaian habitat kodok merah di Rawa Denok, Rawa Gayonggong, Curug Cibeureum dan Lebak Saat ... 46

16. Peta kesesuaian habitat kodok merah di Bedogol ... 47

17. Titik validasi kodok merah di TNGGP ... 48

18. Titik yang digunakan dalam membuat model kesesuaian habitat kodok merah ... 48

19. Jenis dan frekuensi vegetasi di Rawa Denok ... 52

20. Jenis dan frekuensi vegetasi di Rawa Gayonggong ... 53

21. Jenis dan frekuensi vegetasi di Curug Cibeureum ... 53

22. Jenis dan frekuensi vegetasi di Lebak Saat ... 54

23. Jenis dan frekuensi vegetasi di Bedogol ... 55

24. Jenis dan frekuensi vegetasi pada habitat ditemukannya kodok merah (Rawa Denok, Rawa Gayonggong dan Curug Cibeureum) ... 56

25. Jenis dan frekuensi vegetasi pada habitat tidak ditemukannya kodok merah (Lebak Saat dan Bedogol) ... 57


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data pertemuan kodok merah di TNGGP ... 77

2. Data mikrohabitat pertemuan kodok merah ... 81

3. Jenis vegetasi di lokasi Rawa Denok ... 91

4. Jenis vegetasi di lokasi Rawa Gayonggong ... 92

5. Jenis vegetasi di lokasi Curug Cibeureum ... 93

6. Jenis vegetasi di lokasi Lebak Saat ... 94

7. Jenis vegetasi di lokasi Bedogol ... 95

8. Analisis faktor mikrohabitat kodok merah ... 97

9. Uji Kruskall Wallis antara jarak dari sumber air dan jalur manusia ... 98

10. Regresi logistik jenis vegetasi pada lokasi ada/tidak ditemukannya kodok merah ... 99

11. Uji beda nyata subsrat ... 101


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Selama dua dekade terakhir, penurunan jumlah dan jenis populasi amfibi telah terjadi di beberapa belahan dunia termasuk Amerika, Australia, Inggris Raya, dan beberapa negara di Eropa (Blaustein & Wake 1990; Stuart et al. 2005). Berdasarkan hasil survey di seluruh dunia, sedikitnya terdapat 122 jenis amfibi yang tersebar di seluruh dunia terancam punah dan 113 jenis kemungkinan telah punah sejak tahun 1980-an (Stuart et al. 2005). Kepadatan populasi amfibi dan reptil di hutan primer di Costa Rica mengalami penurunan sebesar 75% sejak tahun 1970 dengan rata-rata laju penurunan kepadatan populasi katak 4,1% per tahun (Whitfield et al. 2007). Ancaman utama untuk amfibi di Asia Tenggara adalah pemanenan amfibi yang berlebihan dari alam, untuk obat-obatan tradisional dan perdagangan amfibi sebagai hewan peliharaan (Rowley et al.

2009).

Penurunan populasi amfibi di seluruh dunia diakibatkan oleh faktor-faktor antropogenik seperti modifikasi habitat maupun invasi predator (Whitfield et al.

2007). Peningkatan rata-rata temperatur minimum mengakibatkan populasi amfibi daerah pegunungan cenderung lebih mudah terserang penyakit (Laurance 2008). Pola temperatur dan kelembaban lingkungan dapat mempengaruhi ekologi, fisiologi, dan perilaku amfibi karena amfibi harus mempertahankan kelembaban kulit untuk memperoleh oksigen dan pertukaran ion (Lips et al. 2005). Stuart et al. (2005) menemukan tiga faktor penyebab penurunan populasi amfibi, yakni hilangnya habitat, eksploitasi berlebih, dan penurunan populasi akibat penyakit atau perubahan iklim. Lips et al. (2005) menyatakan perubahan iklim juga mempengaruhi distribusi, pemencaran, dan ketahanan populasi terhadap patogen.

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu taman nasional pertama di Indonesia. Di kawasan TNGGP ini dapat ditemukan sebanyak 18 jenis katak (Kusrini et al. 2007a) atau setara dengan setengah dari jumlah jenis katak di Pulau Jawa (Iskandar 1998). Salah satu jenis katak di TNGGP yang mengalami penurunan populasi adalah kodok merah (Leptophryne cruentata, Tschudi 1838). Penurunan populasi kodok merah terjadi di beberapa lokasi di TNGGP seperti Curug Cibeureum, Rawa Denok dan Lebak Saat


(18)

(Iskandar 1998; Kusrini et al. 2005). Kodok merah telah termasuk dalam IUCN Red List dengan status Critically Endangered (IUCN 2009).

Kodok merah hidup di areal sepanjang sungai kecil di dalam hutan dan umumnya ditemukan pada batu-batu di tengah ataupun tepi sungai (Liem 1971). Kodok ini dikenal sebagai kodok berukuran kecil yang penyebarannya hanya di Gunung Gede Jawa Barat (Liem 1971; Iskandar 1998), dan Cikeris di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Kurniati 2003).

Studi tentang pola sebaran spasial spesies pada tipe habitat yang berbeda merupakan langkah penting untuk memahami proses-proses yang mempengaruhi sebaran spasial spesies, memprediksi respon ekosistem terhadap perubahan global (Soares & Brito 2007) dan perencanaan pengelolaan spesies terancam punah (Zarri et al. 2008). Pemahaman terhadap preferensi habitat sangat diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan tentang spesies dan informasi tentang sebaran spasial habitat yang sesuai dapat membantu dalam pengembangan strategi konservasi pada tingkat lanskap (Zarri et al. 2008).

B. Tujuan

Penelitian tentang preferensi dan tingkat kesesuaian habitat kodok merah di TNGGP ini dilakukan dengan tujuan untuk :

1). Menduga luas kesesuaian habitat untuk mendukung populasi kodok merah di TNGGP dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan penginderaan jarak jauh.

2). Menduga preferensi habitat bagi kodok merah di TNGGP.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa data dan informasi tentang habitat yang disukai kodok merah dan tingkat kesesuaian habitat. Data dan informasi ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi konservasi kodok merah di TNGGP.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi dan Morfologi

Leptophryne cruentata

Tschudi, 1838

Kodok merah Leptophryne cruentata Tschudi, 1838 termasuk dalam kelas amphibia. Secara taksonomi kodok merah dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Sub Phylum Vertebrata, Kelas Amphibia, Ordo Anura, Famili Bufonidae, Genus Leptophryne dan Spesies Leptophryne cruentata Tschudi, 1838 (Iskandar 1998). Jenis katak lain yang termasuk dalam satu marga dengan L. cruentata adalah L. borbonica. Spesies ini juga dikenal dengan nama Bufo cruentatus atau Cacophryne cruentata (Iskandar 1998).

Spesies L. cruentata dikenal dengan nama kodok merah, yang mengacu pada bercak kecil yang berwarna merah yang menjadi ciri jenis ini. Kodok merah berukuran kecil ramping, mempunyai sepasang kelenjar parotoid kecil yang kadang-kadang tidak jelas. Bagian atas kepala tidak mempunyai alur bertulang, moncong meruncing, gendang telinga kecil dan tidak jelas. Ujung jari tangan dan kaki agak membengkak. Jari kaki ketiga dan kelima membentuk jaringan sampai ke benjolan sub artikuler. Bagian kulit punggung berbintik-bintik kecil, sedangkan bagian perut halus dengan sedikit bintik-bintik kecil (van Kampen 1923; Liem 1971; Iskandar 1998; Kurniati 2003).

Ukuran kodok merah sangat bergantung pada jenis kelaminnya, yakni pada umumnya individu jantan lebih kecil dibanding individu betina. Ukuran SVL (Snout Venth Length) kodok merah, yakni panjang dari moncong sampai tulang ekor tersebut seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan ukuran SVL kodok merah di TNGGP dan TNGHS

Pencacah SVL

Liem (1971) 20,0 – 29,8 mm 25,0 – 39,0 mm

Iskandar (1998) 20,0 – 30,0 mm 25,0 – 40,0 mm

Kurniati (2003) 25,0 – 30,0 mm -


(20)

B. Habitat dan Penyebaran

Habitat adalah suatu komunitas biotik atau serangkaian komunitas-komunitas biotik yang ditempati oleh binatang atau populasi kehidupan. Habitat yang sesuai menyediakan semua kelengkapan habitat bagi suatu spesies selama musim tertentu atau sepanjang tahun. Kelengkapan habitat terdiri dari berbagai macam jenis termasuk makanan, perlindungan, dan faktor-faktor lainnya yang diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya secara berhasil (Bailey 1984). Krebs (1978) menyatakan bahwa habitat merupakan kisaran (range) lingkungan dimana spesies berada. Definisi lain dinyatakan oleh Goin & Goin (1971) bahwa habitat tidak hanya menyediakan kebutuhan hidup suatu organisme melainkan tentang dimana dan bagaimana satwa tersebut dapat hidup.

Menurut Alikodra (2002), suatu habitat merupakan hasil interaksi dari komponen fisik dan komponen biotik. Komponen fisik terdiri atas: air, udara, iklim, topografi, tanah, dan ruang; sedangkan komponen biotik terdiri atas: vegetasi, mikro fauna, makro fauna dan manusia. Jika seluruh keperluan hidup satwaliar dapat terpenuhi di dalam suatu habitatnya, maka populasi satwaliar tersebut akan tumbuh dan berkembang sampai terjadi persaingan dengan populasi lainnya. Habitat utama amfibi adalah hutan primer, hutan rawa, sungai besar, sungai sedang, anak sungai, kolam dan danau (Mistar 2003). Sebagian katak beradaptasi agar dapat hidup di pohon. Walaupun sangat tergantung pada air, katak pohon seringkali tidak turun ke air untuk bertelur. Katak pohon melakukan kawin dan menyimpan telurnya di vegetasi/pohon di atas air. Saat menetas berudu katak akan jatuh ke dalam air (Duellman & Heatwole 1998). Selain itu, juga terdapat katak yang menyimpan telurnya di lubang berair pada kayu dan tanah, di punggung betina atau membawa ke daerah dekat air (Duellman & Trueb 1994). Data penyebaran kodok merah disajikan pada Tabel 2.


(21)

Tabel 2 Data penyebaran kodok merah

TAHUN KOLEKSI

TOTAL

LOKASI 1932 1959 1964 1972 1977 1978 1984 2003 2004

Bogor 1 5 1 7

Curug

Cibeureum 5 118 1 6 2 132

Halimun 2 2

Lebak Saat 31 31

Perbawati 8 8

Salak 3 3

Sukabumi 1 1

TOTAL 1 5 149 1 22 1 1 2 2 184

Sumber: Kusrini et.al. 2007c

Habitat kodok merah yang terdapat di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango juga merupakan sungai-sungai berbatu yang berarus cukup deras dan hanya dijumpai dalam hutan primer (Liem 1971). Hal yang sama juga dikemukan oleh Kurniati (2003) di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, kodok merah terdapat di dalam hutan primer pada ketinggian 1500 meter dari permukaan laut, pada kantung-kantung air sungai kecil berbatu dengan arus cukup deras.

1. Komponen Fisik a. Ketinggian Tempat

Kenaikan ketinggian suatu tempat, diikuti dengan penurunan dalam kekayaan jenisnya (MacKinnon 1986). Perubahan besar dalam komposisi jenis terjadi bersamaan dengan adanya peralihan dari habitat dataran rendah ke habitat pegunungan. Semakin tinggi letaknya, komposisi jenis dan struktur hutan berubah menjadi terbatas (Alikodra 2002).

Seperti di seluruh daerah di dunia, penurunan suhu akibat peningkatan elevasi akan menimbulkan efek zonasi atau efek lingkar yang kasar dalam posisi tegak seperti garis lintang dari khatulistiwa sampai kutub-kutub utara dan selatan (van Steenis 2006). van Steenis (2006), juga menyebutkan bahwa pembagian zonasi berdasarkan ketinggian terbentuk karena perbedaan kondisi suhu dan iklim.


(22)

Hal ini mengakibatkan perbedaan komposisi baik flora dan fauna pada setiap zonasi. TNGGP memiliki 3 zonasi atau tipe hutan, yaitu sub montana (100-1500 mdpl), montana (1500-2400 mdpl) dan sub alpin (>2400 m dpl) (BTNGP 1996). Hutan submontana memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi.

Ketinggian juga berpengaruh pada penyebaran amfibi. Hasil ulasan Morrison & Hero (2003) menunjukkan bahwa populasi amfibi pada daerah yang tinggi cenderung untuk memiliki periode aktivitas dan musim kawin yang pendek, fase larva atau berudu yang lebih panjang, masa metamorfosis atau perubahan bentuk yang lebih lama, masa dewasa yang lama sehingga mencapai kematangan reproduksi pada umur yang lebih tua, jumlah telur tergantung ukuran tubuh serta menghasilkan telur yang lebih besar.

b. Suhu

Temperatur merupakan faktor yang penting di wilayah biosfer, karena pengaruhnya sangat besar pada segala bentuk kehidupan. Beberapa kegiatan organisme seperti reproduksi, pertumbuhan dan kematian dipengaruhi oleh suhu lingkungannya (Alikodra 2002). Disamping itu, temperatur pada umumnya mempengaruhi perilaku satwaliar serta berpengaruh terhadap ukuran tubuh serta bagian-bagiannya (Alikodra 2002). Organisme berdarah panas yang memiliki organ yang dapat memproduksi dan mengelola suhu tubuhnya seperti mamalia biasanya beraktivitas di siang hari sedangkan organisme yang tidak memiliki mekanisme khusus pengaturan suhu tubuhnya biasanya beraktivitas di malam hari (nokturnal) seperti pada amfibi dan sebagian dari kelas reptil.

Kebanyakan amfibi dapat beraktivitas pada kondisi suhu yang beragam. Banyak faktor yang mempengaruhi pemilihan suhu pada amfibi, tergantung pada jenis, umur dan fase kehidupan, serta pengalaman suhu harian pada masing-masing individu yang berbeda (Stebbins & Cohen 1995). Suhu pada amfibi dipengaruhi oleh lingkungannya karena amfibi tidak memiliki organ khusus untuk memproduksi panas dan mengatur panas pada tubuhnya. Oleh karena itu suhu juga mempengaruhi kehidupan dan penyebaran amfibi.

Amfibi memiliki kisaran toleransi suhu yang besar. Perbedaan toleransi ini mengakibatkan perbedaan kebutuhan suhu yang berbeda pada lingkungannya.


(23)

Beberapa jenis dapat bertahan hidup di daerah yang dingin dan beberapa jenis lainnya dapat hidup pada suhu yang ekstrim tinggi. Beberapa jenis salamander dapat ditemukan beraktivitas pada suhu sekitar 00C bahkan dibawah 00C (Duellman & Trueb 1994), dan beberapa jenis amfibi lainnya dapat hidup diatas suhu 280C bahkan ada satu jenis amfibi yang dapat hidup pada suhu 400C yakni jenis African Foam-Nest Frog (Chiromantis) (Shoemaker et al. 1989 dalam

Stebbins & Cohen 1995).

Menurut Kusrini (2007a) suhu udara di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango berkisar antara 100-230C dan kelembabannya 43-100%.

c. Jarak dari sungai atau sumber air

Amfibi hidup di dua alam. Sebagian hidupnya berada di lingkungan berair dan sebagian lagi hidup di darat. Dalam masa perkembangbiakan dari berudu sampai katak berkaki kebanyakan ordo anura hidup di dalam air. Heyer et al.

(1994) menyatakan bahwa kebanyakan dari larva amfibi hidup di habitat akuatik, termasuk air yang mengalir (sungai besar dan kecil), air yang tidak mengalir (kolam dan danau), serta tempat lainnya seperti lubang pohon, ketiak daun, dan lainnya. Larva anura yang hidup di terestrial biasanya menempati daerah dengan iklim mikro yang mengandung kelembaban tinggi seperti lumut, di bawah atau di dalam kayu yang membusuk dan di lubang pohon. Selama di dalam air, larva bernafas dengan insang dan akan bernafas dengan paru-paru ketika sudah keluar dari air menuju darat. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi air bagi kehidupan amfibi khususnya katak dan kodok sangat penting.

2. Komponen Biotik a. Penutupan tajuk

Penutupan memiliki pengaruh yang kuat terhadap kodok. Kodok bersembunyi di daerah yang gelap seperti di bawah rimbunan daun, di lubang-lubang pohon dan sebagainya yang tidak tersentuh sinar matahari. Penutupan lahan berhubungan langsung dengan suhu dan kelembaban relatif. Hutan dengan penutupan tajuk yang tinggi dapat menyediakan iklim mikro yang lebih dingin karena menyediakan naungan dan mencegah penguapan yang berlebihan (Casey 2001). van Steenis (2006) menyebutkan bahwa vegetasi terutama hutan, sangat


(24)

penting peranannya bagi perbaikan iklim yang menguntungkan lahan, bagi pembentukan tanah, pencegahan erosi angin, dan pembentukan relung ekologi tertentu bagi tanaman.

b. Makanan

Menurut Alikodra (2002), semua organisme memerlukan sumber energi melalui makanan. Organisme yang makanannya beranekaragam akan lebih mudah untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Menurut Jaafar (1994), katak merupakan satwa karnivor yang memanfaatkan jenis serangga sebagai pakan Jenis-jenis serangga yang dimanfaatkan juga beragam. Menurut Duelman & Trueb (1994) amfibi hanya memakan jenis serangga yang bergerak. Stebbins & Cohen (1997) menyatakan bahwa terdapat beberapa jenis katak yang memakan jenis mangsa dengan pergerakan yang lambat. Umumnya setiap jenis katak memiliki mekanisme yang berbeda-beda dalam berburu mangsa tergantung pada jenisnya. Jenis katak yang memiliki perawakan gemuk dan mulut yang lebar biasanya mencari mangsa dengan cara diam dan menunggu mangsa dan biasanya memanfaatkan jenis pakan dengan ukuran besar dan memanfaatkan dalam jumlah sedikit (Duelman & Trueb 1994; Stebbins & Cohen 1997). Jenis katak yang memiliki perawakan yang ramping dengan mulut yang meruncing biasanya aktif dalam berburu mangsa dan memanfaatkan mangsa dalam jumlah yang banyak dengan ukuran pakan kecil (Duelman & Trueb 1994; Stebbins & Cohen 1997).

Katak memanfaatkan beranekaragam jenis serangga dan tidak bersifat khusus. Hal tersebut merupakan salah satu mekanisme setiap jenis katak dalam melangsungkan kehidupannya (Young 1962). Kusrini et al. (2007c) menyebutkan jenis makanan kodok merah yang ditemukan dalam perut terdiri dari Hymenoptera (semut, 60.38%), Coleoptera (7.55%), Orthoptera (6.60%), Diptera (6.60%), Lepidoptera (4.72%), Hemiptera (1.89%), Collembola (1.89%), Isopoda (0.94%), tumbuhan dan tanah (total 8.49%).

C. Pemilihan Habitat

Pemilihan habitat yang sesuai merupakan suatu tindakan yang dilakukan satwaliar dalam rangka memperoleh serangkaian kondisi yang menguntungkan bagi keberhasilan reproduksi dan kelangsungan hidupnya (Bolen & Robinson 1995). Individu yang berevolusi secara ideal akan menilai keterkaitan antara


(25)

korbanan dan keuntungan serta memilih habitat yang dapat memberikan jaminan keberhasilan reproduksi. Individu yang memiliki korbanan rendah akan mengeksploitasi relung yang miskin meskipun peluang hidupnya di tempat lain lebih besar. Faktor yang mendorong terjadinya pemilihan habitat berhubungan dengan laju predasi, toleransi fisiologis dan interaksi sosial. Adapun kondisi mikro habitat tidak menentukan terjadinya pemilihan habitat (Morris 1987).

Morris (1987) menyatakan bahwa satwaliar tidak menggunakan seluruh kawasan hutan yang ada sebagai habitatnya tetapi hanya menempati beberapa bagian secara selektif. Pemilihan habitat merupakan suatu hal yang penting bagi satwaliar karena mereka dapat bergerak secara mudah dari satu habitat ke habitat lainnya untuk mendapatkan makanan, air, reproduksi atau menempati tempat baru yang menguntungkan. Beberapa spesies satwaliar menggunakan habitat secara selektif dalam rangka meminimumkan interaksi negatif (seperti predasi dan kompetisi) dan memaksimumkan interaksi positif (seperti ketersediaan mangsa). Pemilihan habitat oleh satwaliar dapat disebabkan oleh tiga hal, yakni: ketersediaan mangsa (pakan), menghindari pesaing dan menghindari predator.

Shannon et al. (1975) menyatakan bahwa pemilihan habitat merupakan ekspresi respon yang kompleks pada satwaliar terhadap sejumlah besar variabel yang saling terkait yang menghasilkan lingkungan yang sesuai bagi satwaliar. Variabel tersebut dapat bersifat intrinsik, yakni tergantung pada status fisiologis dan perilaku satwaliar atau ekstrinsik yang tergantung pada faktor-faktor abiotik dan biotik dari lingkungannya.

D. Sistem Informasi Geografis (SIG)

1. Definisi

Definisi Sistem Informasi Geografis (SIG) selalu berkembang, bertambah dan bervariasi. Hal ini terlihat dari banyaknya definisi SIG yang beredar. Selain itu, SIG juga merupakan suatu bidang kajian ilmu dan teknologi yang relatif baru, digunakan oleh berbagai disiplin ilmu dan berkembang cukup dengan cepat (Prahasta, 2001). Menurut Nuarsa (2005), SIG merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk mengelola (input, manajemen, proses dan output) data spasial atau data bereferensi geografis. SIG adalah sistem yang dapat mendukung pengambilan keputusan spasial dan mampu mengintegrasikan deskripsi lokasi


(26)

dengan karakteristik fenomena yang ditemukan di lokasi tersebut. Hal yang hampir sama di kemukanan oleh Ekadinata et al. (2008) bahwa SIG adalah sebuah sistem atau teknologi berbasis komputer yang dibangun dengan tujuan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengolah dan menganalisis, serta menyajikan data dan informasi dari suatu obyek atau fenomena yang berkaitan dengan letak atau keberadaannya di permukaan bumi. Pada dasaranya SIG dapat dirinci menjadi beberapa subsistem yang saling berkaitan yang mencakup input data, manajemen data, pemrosesan atau analisis data, pelaporan (output) dan hasil analisa.

Menurut Prahasta (2001), ada beberapa hal yang menyebabkan penggunaan konsep-konsep SIG menjad menarik untuk digunakan dalam berbagai disiplin ilmu, beberapa diantaranya adalah :

1. SIG cukup efektif dalam membantu proses-proses pembentukan, pengembangan atau perbaikan mengenai gambaran lingkungan yang telah dimiliki oleh setiap orang yang menggunakannya dan selalu berdampingan dengan lingkungan fisik dunia nyata yang penuh dengan kesank-kesan visual. 2. SIG merupakan alat bantu yang menarik dan menantang dalam meningkatkan

pemahaman, pembelajaran dan pendidikan mengenai konsep-konsep lokasi, ruang, dan unsur-unsur geografis dipermukaan bumi berikut data-data atributnya.

3. SIG mampu menjawab baik pertanyan spasial maupun non spasial.

Stow (1993) menjelaskan peranan SIG dalam memahami fungsi ekologi dan pengaruh manusia terhadap struktur ekologi sebagai berikut :

1. menyediakan sebuah struktur data untuk penyimpana dan pengelolaan data ekosistem untuk wilayah yang cukup luas secara efisien;

2. memungkinkan adanya penggabungan dan pemisahan data pada berbagai skala;

3. dapat digunakan untuk menentukan plot studi dan atau wilayah yang sensitif; 4. mendukung analisis statistik spasial dari penyebaran ekologi;

5. meningkatkan kemampuan ekstraksi informasi penginderaan jauh; dan 6. menyediakan input data/parameter untuk pemodelan ekosistem.

Pemetaan serta analisa keruangan yang terkomputerisasi telah dikembangkan secara terus-menerus di berbagai bidang, salah satu diantaranya


(27)

adalah bidang yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Teknologi yang berbasiskan sistem informasi geografi ini telah menjadi sarana atau alat bantu satndar yang digunakan untuk mendukung proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam (Ekadinata et al.,

2008).

Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lilesand & Kiefer 1990). Komponen dasar suatu sistem penginderaan jarak jauh lokal ditunjukkan dengan adanya hal berikut: suatu sumber tenaga yang beragam, atmosfer yang tidak mengganggu, sensor sempurna, serangkaian interaksi yang unik antara tenaga dengan benda di muka bumi, sistem pengolahan data tepat waktu, berbagai penggunaan data.

Perkembangan teknologi penginderaan jauh saat ini atau dimasa yang akan datang memberikan kemungkinan memperoleh data untuk inventarisasi sumberdaya alam yang baru, cepat dan akurat. Satelit penginderaan jauh yang sering digunakan untuk melihat penutupan lahan adalah Satelit Landsat. Citra Landsat komposit warna cocok digunakan untuk menggunakan cakupan lahan dan penggunaannya. Salah satu sensor dari satelit landsat adalah sensor TM (Thematic Mapper) yang memiliki resolusi spasial 30x30 meter dengan karakteristik disajikan pada Tabel 3.


(28)

Band Gelombang Panjang Kegunaan

Band 1 0,45-0,52 m Untuk penetrasi tubuh air, pemetaan perairan pantai, membedakan antara tanah dengan vegetasi, tumbuhan berdaun lebar dan konifer

Band 2 0,52-0,60 m Untuk mengukur puncak pantulan hijau saluran tampak bagi vegetasi guna penilaian ketahanan.

Band 3 0,63-0,6λ m Band absorbsi klorofil yang penting untuk diskriminasi vegetasi.

Band 4 0,76-0,λ0 m Menentukan kandungan biomassa dan deliniasi tubuh air. Band 5 1,55-1,75 m Menunjukkan kandungan kelembaban vegetasi dan tanah

juga bermanfaat untuk membedakan salju dengan awan. Band 6 10,40-12,50 m Band infra merah termal yang penggunaannya untuk

analisa penekanan vegetasi, diskriminasi kelembaban tanah dan pemetaan tanah

Band 7 2,08-2,35 m Band yang diseleksi karena potensi untuk membedakan tipe batuan dan untuk pemetaan hidrotermal.

Sumber: Lo (1995)

2. SIG dan penginderaan jauh

Sistem Informasi Geografi dan penginderaan jauh memiliki keterkaitan yang dinyatakan oleh Howard (1996) bahwa informasi yang diturunkan dari analisis citra penginderaan jauh dilakukan untuk diintegrasikan dengan data yang disimpan dalam bank data SIG. Masukan dari data penginderaan jauh biasanya harus dilengkapi dengan intervensi manusia pada analisisnya.

Perkembangan integrasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis adalah estimasi bahwa aliran data memiliki arah yang sama. Aliran yang sebaliknya tidak diinginkan tetapi juga realistis diperlukan dalam analisis penginderaan jauh. Hambatan utama dalam pembiayaan ini adalah biaya untuk membuat basis data digital SIG. Namun hal tersebut dapat ditekan dengan cara peningkatan dan perbaikan tersedianya perangkat keras dan perangkat lunak serta peta-peta digital yang telah tersedia dalam bentuk digital.


(29)

E. Aplikasi SIG Untuk Konservasi Satwa Liar Terutama Amfibi

Keunggulan-keunggulan Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai sebuah perangkat sistem yang mudah dioperasikan dengan kemampuan untuk mengumpulkan, menyimpan dan memunculkan lagi, mentransformasi dan menampilkan data spasial dari dunia nyata untuk sebuah maksud atau tujuan tertentu telah membuat SIG sebagai perangkat yang sangat berguna dalam analisa spasial dan telah diaplikasikan dalam berbagai kegiatan, tidak hanya sekedar pemetaan namun juga pemanfaatannya dalam pengelolaan sumberdaya alam maupun konservasi.

Lang (1998) menunjukkan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya alam, SIG sangat berperan penting dalam menyediakan kerangka kerja analisis untuk membantu komunitas masyarakat dalam mencari permasalahan-permasalahan yang umum terjadi dan mendiskusikan masalah pembangunannya. SIG dapat digunakan dalam menentukan kesesuaian wilayah untuk pertanian, mengidentifikasi wilayah-wilayah yang terjadi deforestasi, menganalisis dampak asap polusi udara dan pergerakannya, mengidentifikasi perubahan lahan, mendukung wilayah reklamasi lahan bekas tambang, perlindungan wilayah pantai dari pencemaran, pengelolaan habitat hutan maupun untuk penentuan kawasan sebagai habitat satwa langka.

Metode penampalan manual dari penentuan kelimpahan suatu spesies dapat dilakukan secara otomatis dengan SIG. Batas-batas di peta dapat diketahui dengan menggabungkan data tentang distribusi faktor-faktor habitat dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi komunitas yang jarang. Peta kelimpahan jenis dan peta vegetasi dapat digabungkan untuk membuat peta penggunaan lahan dan peta kesesuaian lahan digunakan untuk mengetahui keadaan saat ini dan kemungkinan potensi penurunan keanekaragaman hayati.

Kastanya (2001) dalam penelitiannya tentang karakeristik lanskap Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), memanfaatkan program Patch Analyst dalam sistem informasi geografis untuk menduga karakteristik lanskap Elang Jawa di wilayah Pulau Jawa bagian barat. Sedangkan Muntasib (2002) juga memanfaatkan kemampuan analisis spasial SIG dalam menumpangsusunkan data spasial


(30)

menggunakan model pembobotan. Muntasib mengkombinasikan tiap parameter habitat berdasarkan komponen fisik, biologi dan sosialnya untuk mengetahui pola penggunaan ruang habitat Badak Jawa (Rhinoceros sundaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon.

Penelitian di bidang amfibi sangat diperlukan karena laporan terakhir menyebutkan populasi amfibi telah menurun drastis hampir di seluruh dunia akibat kerusakan habitat, kehilangan habitat, fragmentasi habitat, dan perubahan iklim global (Pellet 2005). Oleh karena itu, penelitian berbasis SIG sangat diperlukan untuk mempelajari pola spasial yang dilakukan, karena amfibi memiliki siklus hidup yang kompleks dan menempati habitat yang beragam. Munger et al. (1998) meneliti tentang prediksi keberadaan Columbia Spotted Frog

(Rana luteiventris) and Pacific Tree Frog (Hyla regilla) dengan menggunakan SIG. Parris (2000) meneliti salah satu jenis katak yang terancam punah di Queensland Australia dengan menggunakan aplikasi SIG dan pemodelan spasial untuk melihat distribusi spasial dan preferensi habitat katak pohon Litoria pearsonia dan menganalisanya secara statistik.. Lubis (2008) melakukan penelitian pemodelan spasial habitat katak Jawa (Rhacophorus javanus)

mengunakan SIG dan penginderaan jarak jauh untuk menentukan kesesuaian katak jawa.


(31)

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak dan Luas Kawasan

Secara geografi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terletak antara

106º 51’ - 107º 02’ BT dan 6º 51’ LS. TNGGP yang awalnya memiliki luas 15.196 Ha dan terletak di 3 (tiga) wilayah kabupaten yaitu Cianjur (3.599,29 Ha), Sukabumi (6.781,98 Ha) dan Bogor (4.514,73 Ha), saat ini sesuai SK Menhut No 174/Kpts-II/tanggal 10 Juni 2003 diperluas menjadi 21.975 Ha. Pembagian zonasi di TNGP l terdiri dari zona inti (7.400 ha), zona rimba (6.848,30 ha) dan zona pemanfaatan (948,7 ha).

Secara administratif pemerintahan, wilayah TNGGP mencakup ke dalam 3 (tiga) kabupaten, yaitu; Kabupaten Bogor (sebelah utara dan barat, Cianjur (sebelah barat dan timur) dan Sukabumi (sebelah barat dan selatan) (BTNGP 2003).

B. Iklim

Berdasarkan laporan TNGGP (BTNGP 2003) kawasan TNGP memiliki jumlah bulan basah 7-9 bulan berurutan, dan jumlah bulan kering < 2 bulan setiap tahunnya. Berdasarkan klasifikasi Schmidt and Ferguson TNGP masuk kedalam tipe iklim B1 dimana curah hujan rata-rata di TNGP berkisar antara 3.000-4.200 mm/th dengan rata-rata curah hujan bulanan 200 mm dengan Nilai Q berkisar antara 11,3-33,3 %. Suhu berkisar antara 10-180 C dan kelembaban relatif berkisar antara 80-90 % sepanjang tahun.

C. Geologi dan Tanah

Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terdiri dari 2 gunung berapi : Gede dan Pangrango. Diantara dua puncaknya dihubungkan oleh suatu

saddle yang dikenal dengan nama Kandang Badak pada ketinggian 2.400 m dpl. Lereng-lereng gunungnya sangat curam dibelah oleh aliran sungai deras yang mengukir bagian lembah yang dalam dan punggung bukit yang panjang. Penampakan ini merupakan tipe dari daerah muda/baru dengan tingkat erosi yang tinggi. Secara umum kawasan ini merupakan dataran yang kering tetapi terdapat


(32)

pula rawa yaitu Rawa Gayonggong, Rawa Denok dan Situgunung sehingga memperkaya keanekaragaman pada habitatnya (Whitten et al. 1996).

Sesuai Peta tanah Propinsi Jawa Barat dari Lembaga Penelitian Tanah Bogor jenis tanah pada lahan kritis Blok Bobojong yaitu latosol coklat yang mendominasi lereng Gunung Gede bagian bawah. Tanah ini mengandung liat dan lapisan sub soil gembur, mudah ditembus air dan lapisan bawahnya melapuk. Tanah sangat gembur dan agak peka terhadap erosi.

D. Topografi

Kawasan TNGP memiliki ketinggian yang beragam, mulai dari 1.000 m dpl yaitu di sekitar Kebun Raya Cibodas, 2.985 m dpl (Puncak Gn. Gede) sampai 3.019 m dpl (Puncak Gunung Pangrango). Kedua gunung ini dihubungkan oleh lereng dengan ketinggian 2.500 m dpl (BTNGP 2003).

E. Hidrologi

TNGP merupakan hulu dari 55 sungai, baik sungai besar maupun sungai kecil (BTNGP 2003). Aliran-aliran kecil mengalir dari dinding kawah menuju bawah dan menghilang pada tanah vulkanik yang mempunyai porositas tinggi. Umumnya kondisi sungai di dalam kawasan ini masih terlihat baik dan belum rusak oleh manusia. Kualitas air sungai cukup baik dan merupakan sumber air utama bagi kota-kota yang terdapat di sekitarnya. Lebar sungai di hulu berkisar 1-2 meter dan di hilir mencapai 3-5 meter dengan debit air yang cukup tinggi. Kondisi fisik sungai ditandai dengan kondisi yang sempit dan berbatu besar pada tepi sungai bagian hilir.

F. Flora

TNGGP dikenal dan banyak dikunjungi karena memiliki potensi hayati yang tinggi, terutama keanekaragaman jenis flora. Di kawasan ini hidup lebih dari 1000 jenis flora, yang tergolong tumbuhan berbunga (Spermatophyta) sekitar 900 jenis, tumbuhan paku lebih dari 250 jenis, lumut lebih dari 123 jenis, ditambah berbagai jenis ganggang, Spagnum, jamur dan jenis-jenis Thalophyta lainnya (BTNGP 2003). van Steenis (2006) menyebutkan bahwa setiap zona memiliki berbagai jenis tumbuhan yang berbeda sehingga jenis tumbuhan dapat mewakili


(33)

tipe vegetasi pada masing-masing zona. Keadaan vegetasi pada setiap zona di TNGP, yaitu :

a) Zona Sub Montana

Zona ini mempunyai keanekaragaman jenis yang cukup tinggi baik pada tingkat pohon besar, pohon kecil, semak belukar maupun tumbuhan bawah. Jenis pohon besar yang paling dominan yaitu Puspa (Schima walichii). Jenis tumbuhan lainnya yang ada adalah Walen (Ficus ribes), Syzygium spp,

Saninten (Castanopsis argentea), Pasang (Quercussp.), Rasamala (Altingia excelsa) dan sebagainya. Jenis perdu yang terdapat pada zona ini adalah

Ardisia fuliginbia, Pandanussp., Pinangasp. dan Laportea stimulans. Jenis tumbuhan bawah pada zona sub Montana adalah Begoniaspp., Cyrtandra picta

dan Curculigo latifolia. b) Zona Montana

Keadaan vegetasi di zona montana dalam hal keanekaragaman jenis dan kerapatannya tidak jauh berbeda dengan keadaan zona sub montana. Jenis-jenis pohon yang dominan adalah Jamuju (Podocarpus imbricatus), Pasang (Quercussp.), Kiputri (Podocarpus neriifolius), Castanopsisspp. dan

Rasamala (Altingia excelsa). Sedangkan jenis tumbuhan bawah yang terdapat pada zona montana adalah Strobilanthes cermuis, Begoniaspp. dan Melastoma spp.

Pada ketinggian 2100-2400 mdpl banyak dijumpai jenis paku-pakuan atau kelompok tanaman epifit, yaitu Cyathea tomentosa, Paku sarang burung (Asplenium nidus) dan Plagiogria glauca. Sedangkan jenis-jenis anggrek, antara lain adalah Dendrobiumsp., Arundinasp., Cymbiddium sp., Eriates sp.,

Chynanthus radicans dan Calanthe sp.

c) Zona Sub Alpin

Keadaan vegetasi di zona sub alpin berbeda dengan keadaan zona sub montana dan zona montana. Pada umumnya keadaan pohon di zona ini pendek-pendek dan kerdil, semak belukar jarang-jarang, tumbuhan bawah jarang diketemukan dan miskin akan jenis, hanya merupakan satu lapisan tajuk saja.


(34)

Jenis pohon yang mendominasi zona sub alpin adalah Edelweis (Anaphalis javanica), Jirak (Symplocos javanica), Ki Merak (Eurya acuminata), Cantigi (Vaccinium varingifolium) dan Ki Tanduk (Leptospernium flanescens).

Pohon rasamala terbesar dengan diameter batang 150 cm dan tinggi 40 m dapat ditemukan di kawasan ini di sekitar jalur pendidikan wilayah pos Cibodas. Jenis puspa terbesar dengan diameter batang 149 cm dan tinggi 40 m terdapat di jalur pendakian Selabinta–Gunung Gede. Sedangkan pohon jamuju terbesar ditemukan di wilayah Pos Bodogol.

Disamping pohon-pohon raksasa, di kawasan ini juga terdapat jenis-jenis yang unik dan menarik, diantaranya kantong semar (Nepenthes gymnamphora), Rafflesia rochusseni dan Strobilanthus cernua.

G. Fauna

Ditinjau dari potensi keanekaragaman satwaliarnya, TNGP merupakan kawasan yang memiliki jenis burung tertinggi di pulau jawa. Sekitar 53 % atau 260 jenis dari 460 jenis burung di jawa dapat ditemukan di kawasan ini (BTNGP 2003). Disamping itu, 19 dari 20 jenis burung endemik di Pulau Jawa hidup di kawasan ini, termasuk jenis-jenis yang langka dan dilindungi undang-undang,

salah satunya adalah ―Elang Jawa‖ (Spizaetus bartelsi) yang ditetapkan sebagai

―Satwa Dirgantara‖ melalui Keputusan Presiden No. 4 tanggal λ Januari 1λλ3,

celepuk gunung (Otus angelinae) dan berecet (Psaltria exilis) (Whitten et al. 1996).

Kelompok mamalia yang dapat dijumpai di kawasan TNGP diantaranya yaitu owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), lutung (Trachipytecus auratus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), macan tutul (Panthera pardus), kucing hutan (Felis bengalensis), musang (Famili Viverridae), babi hutan (Sus scrofa linnaeus), bajing, berang-berang dan landak jawa (Dephut 2007). Kelompok amfibi ditemukan sebanyak 18 jenis diantaranya yaitu

Leptophryne cruentata, Huia masonii, Limnonectes kuhlii, Megophrys montana,

Rhacophorus margaritifer dan Philautus aurifasciatus (Kusrini et.al 2007). Jenis reptil yang dapat dijumpai antara lain bunglon jambul hijau, bunglon dan bengkarung (Dephut 2007).


(35)

H. Lokasi Penelitian

Pengamatan dan pengambilan data penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Lokasi pengambilan data dikosentasikan pada lokasi kosentrasi habitat kodok merah dan lokasi yang dahulunya menjadi habitat kodok merah serta lokasi yang tidak pernah menjadi habitatnya . Ada lima lokasi utama yang menjadi lokasi penelitian kodok merah di TNGGP (Gambar 1). 1. Rawa Denok (1800-1890 m dpl)

Meskipun namanya rawa namun tidak terdapat rawa di hutan pegunungan. Wilayah ini terdapat sungai berbatu. Rawa Denok berjarak sekitar 3.400 m dari pintu masuk Cibodas. Warna bebatu kekuningan karena mengandung sulfur yang berasal dari kawah. Suhu air di lokasi ini relatif lebih panas jika dibandingkan dengan lokasi lain yang berdekatan karena Rawa Denok berdekatan dengan sumber air panas yang sampai saat ini masih aktif.

2. Rawa Gayonggong (1600 m dpl)

Rawa Gayonggong berjarak sekitar1800 meter dari pintu masuk Cibodas. Rawa tersebut diduga terbentuk dari bekas kawah mati yang kemudian menampung aliran air dari tempat yang lebih tinggi. Erosi tanah di tempat yang lebih tinggi telah menyebabkan sedimentasi lumpur yang memungkinkan tumbuhnya berbagai jenis rumput-rumputan, utamanya rumput Gayonggong. Lokasi penelitian berada di bawah jembatan yang menuju Curug Cibeureum. Vegetasi Rawa Gayonggong di dominasi oleh tepus.

3. Curug Cibeureum (1650 mdpl)

Merupakan tempat yang sangat terkenal bagi para pendaki dan wisatawan lokal. Lokasi ini hanya 1,6 km dari gerbang Cibodas. Curug Curug Cibeureum terdiri dari 3 air terjun yaitu Curug Cibeureum, Cikuntul dan Cidendeng. Di sekitar Curug Cibureum terdapat lumut merah (Sphagnum gedeanum) yang merupakan endemik di Jawa Barat.

4. Lebak Saat (2250 – 2500 m dpl)

Lebak saat terletak antara Rawa Denok dengan Kandang Badak, sekitar 8 km dari gerbang Cibodas. Lebak Saat merupakan daerah transisi antara ekosistem montana dan sub alpin.


(36)

5. Bedogol (650-770 m dpl)

Wilayah ini sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani, kemudian bergabung dengan TNGGP. Sebagai besar vegetasi di lokasi ini adalah Pinus merkusii. Lokasi penelitian dilakukan di sungai Cikaweni. Lokasi penelitian di kawasan TNGGP dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Lokasi penelitian di TNGGP 6o 55` 00"

6o 50` 00" 6o 45` 00" 6o 40` 00"

Sukaraja SUKABUMI Nagrak Cimande Tapos Cisarua Gunung Mas Puncak G. Masigit CIANJUR BOGOR Ciawi Warung kondang Cisaat Karang tengah Cibadak Cicurug Gadog G. Gede Cimacan Cipanas Cibodas Gn. Putri Sarongge Gedeh Gekbrong

107o 00` 00" 106o 55` 00"

106o 50` 00" 107o 05` 00"

Goalpara Cisarua Tegallega Ciputri Sindang Jaya Sukatani Ciloto Ds. Benda Ds. Nangerang

Ds. Bojong Murni

Karawang Cipetir Sukamulya Sukamaju Kebon Peuteuy G.Pangrago Selabintana Situgunung Cimungkad Bodogol Bojongmurni DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

Jl. Raya Cibodas-Cipanas Cianjur

KETERANGAN

PETA

PERLUASAN KAWASAN

TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

0 2500 5000 10.000 Batas Wilayah TNGP

Batas Kabupaten Jalan Setapak Jalan Raya

Pondok Kerja Resort

N

S E W

TNGP

Peta Petunjuk Lokasi Jawa Barat

Sukabumi Cianjur Bogor Purwakarta Sumedang Subang Majalengka Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Indramayu Karawang JAKARTA Bekasi Tangerang Serang Rangkasbitung Pandeglang BANDUNG Pintu masuk resmi

Kantor Seksi Wilayah Kantor Balai TNGP Batas Perluasan Kawasan

Citeko Bedogol Lebak Saat Rawa Denok Curug Cibeureum Rawa Gayonggong


(37)

IV.

METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Diduga terdapat perbedaan penggunaan habitat terpilih oleh kodok merah sehingga lokasi penelitian ditentukan berdasarkan beberapa kriteria yaitu: 1). Lokasi yang diketahui saat ini merupakan daerah penyebaran kodok merah (Curug Cibeureum, Rawa Gayonggong dan Rawa Denok), 2). Lokasi yang dahulu menjadi habitat kodok merah, tapi dari beberapa penelitian sekarang tidak ditemukan kodok merah lagi seperti Lebak Saat, dan 3). Lokasi yang dahulu sampai sekarang tidak pernah ditemukan kodok merah seperti Bedogol.

Penelitian lapangan dilaksanakan selama dua minggu yaitu tanggal 6-19 bulan April 2008 dan dilanjutkan dengan pengolahan peta dan analisis data di laboratorium.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian di lapangan adalah alat tulis, kamera,

Global Positioning System (GPS), termometer, higrometer, bola pingpong, kompas, mistar ukur dan alat untuk keperluan transek (tali). Alat yang digunakan untuk mengolah dan menganalisis citra adalah satu paket Sistem Informasi Geografis (perangkat keras dan lunak) termasuk Pc dan software Arc View 3.3, Erdas Imagine 9.1, Microsoft Excell 2000 dan pengolahan data statistik yaitu SPSS Ver 16 dan Minitab Ver 13..

Bahan – bahan yang gunakan meliputi: a) peta kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, b). Peta citra landsat Tahun 2006 path 122 Row 65, c). Peta Rupa Bumi Jawa skala 1:25.000, d). Alkohol dan kertas koran untuk keperluan pembuatan herbarium.

C. Metoda Pengambilan Data Mikrohabitat

Metode pengambilan data yang digunakan berdasarkan Heyer et al. (1994), yaitu metode transek dan kuadrat plot (1 x 1 m2) . Panjang transek di setiap lokasi penelitian berbeda-beda karena panjang sungai yang beragam. Panjang transek di setiap lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.


(38)

Tabel 4 Panjang transek penelitian pada masing-masing lokasi penelitian

Lokasi Panjang Transek (m)

Rawa Denok 240

Rawa Gayonggong 200

Curug Cibureum 200

Lebak Saat 260

Bedogol 600

Unit contoh pengamatan berbentuk persegi panjang dengan lebar 60 m (30 m dari kanan kiri sungai). Satu unit contoh adalah lokasi dengan ketinggian 50 meter. Cara penempatan kuadrat plot pada lokasi penelitian berdasarkan ada/tidak ditemukannya kodok merah. Sket penempatan kuadrat plot dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3. Sket penempatan lokasi kuadrat plot terbagi atas : 1. Lokasi pengamatan ditemukannya kodok merah (Rawa Denok, Rawa

Gayonggong dan Curug Cibeureum

Gambar 2 Contoh kuadrat plot pengamatan kodok merah di Rawa Denok, Rawa Gayonggong dan Curug Cibeureum .

Pengamatan dilakukan pada pagi hari sampai siang hari dimulai pada pukul 06.00-12.00 WIB, karena kodok merah dapat ditemukan pada siang hari dan variabel yang diamati adalah mikrohabitat, sehingga tidak akan mempengaruhi pengamatan. Setiap lokasi pengamatan dilakukan ulangan pengamatan sebanyak 3 kali ulangan. Jumlah kuadrat plot berbeda-beda setiap kali ulangan, karena

50 m 1 m

1 m

Keterangan: A = unit contoh

B = kuadrat plot ditemukannya kodok merah

A B


(39)

20 m

jumlah kuadrat plot tergantung pada jumlah ditemukannya kodok merah. Jumlah kuadrat plot pada masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada Tebel 5. Tabel 5 Jumlah kuadrat plot pada lokasi penelitian Rawa Denok, Rawa

Gayonggong dan Curug Cibeureum

Lokasi Jumlah Kuadrat Plot

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

Rawa Denok 19 5 16

Rawa Gayonggong 4 2 4

Curug Cibeureum 13 20 14

2. Lokasi pengamatan tidak dijumpai kodok merah (Lebak Saat dan Bedogol)

Gambar 3 Contoh kuadrat plot pengamatan di Lebak Saat dan Bedogol Pengamatan di lokasi penelitian Lebak Saat dan Bedogol hanya satu kali (tidak ada ulangan) karena di lokasi ini tidak terdapat kodok merah. Jarak kuadrat plot dengan kuadrat plot lainnya adalah 20 meter dan ditempatkan secara ziqzaq. Jumlah kuadrat plot pada lokasi penelitian Lebak Saat dan Bedogol dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah kuadrat plot pada lokasi penelitian Lebak Saat dan Bedogol

Lokasi Jumlah Kuadrat Plot

Lebak Saat 13

Bedogol 30

50 m 1 m

1 m

Keterangan: A = unit contoh

B = kuadrat plot tidak ditemukannya kodok merah

A B


(40)

Pengamatan dilakukan dengan mencatat kondisi mikro habitat kodok merah yang meliputi:

1). Ketinggian tempat,

Ketinggian tempat diperoleh dengan menggunakan alat GPS. Setiap pertemuan kodok merah dilakukan pencatatan pada ketinggian tempat tersebut.

2). Substrat,

Pembagian substrat dilakukan berdasarkan definisi Hamer et al. (2002), yakni substrat tanah/lumpur ukuran < 0,5 mm, pasir ukuran 0,5-5 mm, kerikil ukuran 5-10 mm, batu ukuran 50-300 mm.,

3). Diameter lubang,

Diameter lubang diukur dengan mengunakan alat ukur mistar. Cara pengukuran adalah mengukur lebar lubang dari kiri ke kanan, mengukur tinggi lubang kemudian hasil penambahan lebar dengan tinggi dibagi dua.

4). Kedalaman lubang,

Kedalaman lubang diukur dengan cara memasukan alat ukur mistar ke dalam lubang yang ditempati oleh kodok merah.

5). Suhu udara,

Pengukuran suhu udara dilakukan dengan menggunakan termometer. Pengukuran dilakukan pada pukul 06.00-07.00WIB

6). Suhu air,

Pengukuran suhu air dilakukan dengan menggunakan termometer. Pengukuran suhu air dilakukan pada setiap kuadrat plot penelitian.

7). Kelembaban udara, 8). Kecepatan arus sungai,

Kecepatan arus sungai diukur dengan mengunakan bola pingpong dan stop wacth, Pada lokasi yang kurang berbatu, bola pingpong dihanyutkan sepanjang 10 meter dan waktu yang dibutuhkan untuk menghanyutkan bola pingpong dicatat.

9) Jarak posisi ditemukannya kodok merah dari permukaan tanah/air,

Pengukuran dilakukan dengan mengukur jarak kodok merah dari permukaan tanah atau air dengan menggunakan meteran


(41)

10).Lebar sungai,

Lebar sungai diperoleh dengan cara mengukur jarak dari pinggir-pinggir sungai pada setiap plot dengan menggunakan meteran.

11).Jarak dari sungai/sumber air,

Jarak dari sungai/sumber air diperoleh dengan mengukur jarak ditemukannya kodok merah atau kuadrat plot dari sumber air/sungai.

12).Jarak dari jalur manusia/patroli

Jarak dari jalur manusia atau patroli dengan cara mengukur jarak antara ditemukannya kodok merah atau kuadrat plot dengan jalur manusia/patroli terdekat dengan menggunakan meteran.

Selain mencatat semua komponen mikrohabitat di atas dilakukan pengambilan specimen jenis vegetasi yang terdapat di dalam kuadrat plot. Identifikasi jenis vegetasi dilakukan di Laboratorium Kebun Raya Cibodas.

D. Metoda Pengamatan Habitat Preferensi Kodok Merah

Habitat preferensi kodok merah, dengan cara melakukan pengamatan perjumpaan kodok merah dengan memperhatikan mikrohabitat kodok merah tersebut. Metode ini digunakan untuk melihat tingkat kesukaan kodok merah terhadap habitat yang ditempati. Pengumpulan data spasial meliputi titik-titik perjumpaan dengan kodok merah dan menghitung luas masing-masing transek lokasi penelitian. Data kondisi fisik habitat diperoleh dengan cara melakukan pengamatan terhadap kondisi mikro habitat kodok merah. Kondisi biotik kodok merah diperoleh dengan cara melakukan identifikasi jenis tumbuhan pada kuadrat plot pertemuan kodok merah.

E. Metoda Asumsi dalam Membuat Peta Kesesuaian

Untuk membuat peta kesesuaian habitat kodok merah dilakukan dengan mengevaluasi beberapa variabel penting bagi keberadaan kodok ini. Beberapa penelitian menyebutkan beberapa aspek yang sangat berpengaruh pada penyebaran amfibi seperti penutupan lahan, kerapatan tajuk, ketinggian dan kelerengan, serta sebaran suhu (Duellman dan Trueb 1994; Heyer et al. 1994, Stebbins dan Cohen 1995). Beberapa variabel diantaranya seperti penutupan tajuk, keberadaan sungai/air, ketinggian dan kelerengan, serta sebaran suhu.


(42)

Parameter-parameter ini dapat dianalisis dengan menggunakan GIS dan citra satelit sehingga menghasilkan peta tematik untuk setiap variabel. Setelah itu setiap peta tematik diberi nilai kesesuaian berdasarkan asumsi yang dipakai.

Penyebaran kodok merah bergantung pada variabel-variabel di atas. Untuk itu dibutuhkan beberapa asumsi yang tepat untuk mendapatkan model kesesuaian habitat yang tepat pula. Berikut ini adalah beberapa asumsi yang dipakai untuk pemodelan spasial habitat kodok merah :

1. Penutupan tajuk

Katak membutuhkan penutupan tajuk yang rapat untuk melindungi tubuhnya dari kekeringan. Katak bersembunyi di daerah yang gelap seperti di bawah rimbunan daun, di lubang-lubang pohon dan sebagainya yang tidak tersentuh sinar matahari. Penutupan tajuk berhubungan langsung dengan suhu dan kelembaban relatif. Hutan dengan penutupan tajuk yang tinggi dapat menyediakan iklim mikro yang lebih dingin karena menyediakan naungan dan mencegah penguapan yang berlebihan (Casey 2001). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin rapat tajuk hutan maka tingkat kesesuaian semakin tinggi. Kerapatan tajuk dapat diketahui dengan pendekatan LAI (Leaf Area Index). LAI adalah suatu area penutupan daun tiap unit area permukaan tanah (Watson 1947). Menurut Breda (2003) LAI berhubungan dengan iklim mikro tajuk yang menderteminasikan dan mengontrol intersepsi air dari tajuk, penutupan radiasi matahari, pertukaran gas karbon serta merupakan suatu komponen kunci dari perputaran biogeokimia dalam ekosistem. Semakin besar nilai LAI maka kerapatan tajuk juga akan semakin besar sehingga radiasi matahari ke bawah tajuk semakin kecil dan kelembaban di bawah tajuk akan semakin meningkat. Untuk menganalisis kerapatan tajuk dibutuhkan peta LAI (Leaf Area Index) yang diperoleh dari hasil olahan peta Citra Landsat TNGGP.

2. Ketinggian dan kemiringan lereng

Ketinggian tempat (elevasi) merupakan faktor yang berpengaruh terhadap keanekaragaman tumbuhan dan satwa. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1984, kodok merah ditemukan di Sukabumi yaitu pada ketinggian 703-814 m dpl. Kusrini et al. (2007) menyebutkan bahwa jenis kodok merah ditemukan di Rawa


(43)

Denok (1699-1795 m dpl) dan di Curug Cibeureum (1685 mdpl). Menurut Kusrini et al. (2007). Laporan dari MZB tahun 1964 jenis kodok ini juga ditemukan di Lebak Saat (2250-2500 m dpl). Ketinggian juga berdampak pada kemiringan lereng, sehingga semakin besar ketinggian maka kemiringan lereng juga akan semakin tinggi. Untuk ketinggian pendekatan yang digunakan adalah berdasarkan temuan-temukan kodok merah pada waktu lampau. Pembagian kelas ketinggian dibagi sebagai berikut :

Ketinggian 500-1000 m dpl : kesesuaian rendah Ketinggian 2000-3000 m dpl : kesesuaian sedang Ketinggian 1000-2000 m dpl : kesesuaian tinggi.

Asumsi yang digunakan dalam pembagian kelas lereng berdasarkan pada data penyebaran kodok merah di TNGGP. Asumsi yang digunakan dalam membangun model adalah:

Kemiringan ≥ 32° : kesesuaian rendah Kemiringan 23 ≥ -< 32 ° : kesesuaian sedang Kemiringan 0 ≥ -< 23 ° : kesesuaian tinggi. 3. Jarak dari sumber air/sungai

Amfibi hidup selalu berasosiasi dengan air. Menurut Iskandar (1998) kodok merah sering terdapat di sepanjang tepi sungai di pegunungan. Kodok merah hidup di sepanjang sungai kecil di dalam hutan, umumnya ditemukan pada batu-batu di tengah ataupun di tepi sungai (Liem 1971). Tahun 2003 Kurniati menemukan sebanyak dua individu di sekitar aliran sungai kecil dengan arus yang cukup deras.

Data mengenai habitat kodok merah ini masih sangat sedikit. Lubis (2008) membangun asumsi untuk katak pohon berdasarkan tiga asumsi yaitu berada >30 m sungai dengan kesesuaian rendah,berada 10-30 m dari sungai dengan kesesuaian sedang, berada < 10 m dari sungai dengan kesesuaian tinggi. Berdasarkan data yang diperoleh maka asumsi yang dibangun sebagai berikut :

Berada >30 m sungai : kesesuaian rendah Berada 10-30 m dari sungai : kesesuaian sedang Berada < 10 m dari sungai : kesesuian tinggi.


(44)

4. Amfibi sangat bergantung pada suhu sekitarnya

Amfibi adalah mahluk berdarah dingin atau ektoterm yang berarti suhu tubuhnya sama dengan suhu sekitar atau lingkungannya (Stebbins & Cohen, 1995). Amfibi tidak memiliki mekanisme internal khusus untuk memproduksi panas dari dalam tubuhnya seperti pada mamalia dan burung (Duellman & Trueb 1994).

Anura umumnya hidup pada suhu mulai dari 30C sampai 35,7 0C dan suhu paling optimum adalah 21,7 0C. Menurut Kusrini et al. (2007a) suhu udara di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango berkisar 100-230C dan kelembaban 43-100%. Berdasarkan data-data di atas, asumsi yang dibangun untuk kesesuaian suhu adalah:

Suhu ≥ 180 C : kesesuaian rendah

Suhu ≥ 0 - < 140 C : kesesuian sedang

Suhu ≥ 140

- < 180 C : kesesuaian tinggi.

F. Metoda Penelitian Spasial

Penyusunan analisis spasial tingkat kesesuaian habitat kodok merah dimulai dengan pengumpulan data primer dan sekunder, yang meliputi peta digital, data survey lapang, dan literatur. Komponen lingkungan yang digunakan dalam analisis kesesuaian ini dititik beratkan pada faktor-faktor penentu kualitas habitat kodok merah, yaitu penutupan tajuk, topografi (ketinggian dan kemiringan lereng), jarak dari sungai, dan suhu. Hasil survey lapang mengenai penyebaran kodok merah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango digunakan sebagai dasar dalam penentuan nilai bobot setiap variabel melalui Principle component Analysis (PCA). Berdasarkan hasil analisis PCA dan didukung oleh literatur, dibangun suatu model kesesuaian habitat bagi kodok merah. Bagan alir prosedur penelitian seperti yang disajikan pada Gambar 4.


(45)

Gambar 4 Bagan alir prosedur penelitian

Peta Suhu

Peta topografi

Peta penutupan

lahan

Peta ketinggian

Peta kemiringan

lereng

Preferensi Habitat kodok merah

Ya Tidak

Analisis Peta

Peta wilayah Administasi

TNGP

Survey lapang

Peta Rupa bumi Indonesia

Peta kawasan TNGP

Peta distribusi

sungai

Citra landsat

Data perjumpaan dengan kodok

merah

PCA

Peta kesesuaian habitat kodok merah

Validasi

Akurasi Model

Model Diterima

Peta sebaran kodok merah


(46)

G. Penentuan Nilai Skor Kelas Kesesuaian Setiap Variabel

Memperhatikan asumsi-asumsi yang telah dibuat di atas dapat ditentukan skor masing-masing kesesuaian setiap variabel seperti tertera pada Tabel 7. Skor ditentukan dengan asumsi kesesuaian habitat sebagai berikut :

Kesesuaian rendah dengan skor 1, Kesesuaian sedang dengan skor 2, dan Kesesuaian tinggi dengan skor 3.

Skor akhir indeks kesesuaian habitat disajikan pada Tabel 8. Tabel 7 Variabel dan kelas kesesuaian habitat kodok merah

Variabel

1 2 3 4 5

Sk o r Kelas Penutupan Tajuk Sk o r Kelas Ketinggian (m dpl) Sk o r Kelas Kemiringan Lereng Sk o r Kelas Jarak dari sungai (meter) Sk o

r Kelas Suhu 1 ≥0-<2,29 1 500-1000 1 ≥ 32 0 1 >30 1 ≥ 180 C

2 ≥2,29 - < 4,58 2 2000-3000 2 ≥ 23- <320 2 10-30 2 ≥ 0 - < 140 C

3 ≥4,58 3 1000-2000 3 ≥ 0- <23 0 3 <10 3 ≥ 140- < 180 C

Tabel 8 Penentuan selang skor kodok merah

Selang Skor Kategori

0 - (mean+ 0,5 Std. Deviasi) IKH Rendah

Max IKH1- (Max IKH1+0.5 Std Deviasi) IKH Sedang

Max IKH2- Max IKH Tinggi

IKH adalah Indeks Kesesuaian Habitat

H. Pengolahan Peta

Peta tematik diolah dengan menggunakan SIG dan pencitraan satelit. Berikut ini adalah cara pengolahan setiap peta tematik.

1. Pengolahan Citra

Pengolahan citra meliputi pemulihan citra (image restoration), pemotongan citra (subset image). Pemulihan citra bertujuan untuk memperbaiki data citra yang mengalami distorsi, kearah gambaran yang lebih sesuai dengan tampilan aslinya. Langkahnya meliputi koreksi geometri dan koreksi radiometrik. Koreksi geometrik bertujuan untuk memperbaiki distorsi geometrik, sedangkan koreksi


(47)

Citra Landsat / ETM +

Koreksi geometrik

Model Maker (Erdas Imagine 9.1)

Potential Evapotranspiration Index

(PETI)

Leaf Area Index

(LAI)

Peta Kerapatan Tajuk

radiometrik bertujuan untuk memperbaiki bias pada nilai digital piksel yang disebabkan oleh gangguan atmosfer maupun kesalahan sensor. Tahap awal dalam koreksi geometrik yaitu penentuan tipe proyeksi dan sistem koordinat yang digunakan. Sistem koordinat yang digunakan yaitu sistem koordinat geografik dan proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator). Pemotongan citra bertujuan untuk membatasi wilayah penelitian dengan memotong batas wilayah menggunakan peta batas TNGP yang ada.

2. Pembuatan Peta Kerapatan Tajuk/LAI

Setelah melalui proses pengolahan citra, peta tematik hasil olahan tersebut dilakukan analisis kerapatan tajuk dengan pendekatan LAI (Leaf Area Indeks). LAI adalah rasio luas daun dengan luas area contoh yang dihitung secara tidak langsung dengan analisis citra landsat ETM+. Gambar 5 berikut adalah kerangka pikir dari proses pengolahan citra satelit menjadi Peta Kerapatan Tajuk/LAI :

Gambar 5 Proses pembuatan peta kerapatan tajuk

Band 4-Band 5 Band 4+Band 5 12,29 PETI +1,33


(48)

3. Pembuatan Peta Ketinggian dan Kemiringan Lereng

Peta ketinggian, kemiringan lereng, dan penutupan tajuk dibuat dengan melakukan pengolahan citra landsat TM. Proses pembuatan peta-peta tersebut disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Proses pembuatan peta ketinggian & kemiringan lereng 4. Pembuatan Peta Jarak dari Sungai

Peta jarak sungai (buffer) dibuat dari data peta jaringan sungai (vektor) yang dianalisis dengan menggunakan software Arcview GIS 3.3 dan Erdas Imagine 9.1. Proses pembuatannya disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Proses pembuatan peta jarak dari sungai

5. Pembuatan Peta Sebaran Suhu

Konversi citra menjadi data temperatur melibatkan dua tahapan konversi (Panuju 2003) yaitu:

1. Konversi Digital Number (DN) menjadi Spectral Radiance (L )

Model Maker (Erdas Imagine 9.1)

Peta Jarak dari Sungai

Find Distance (Arc View 3.3) Peta Sungai Digital Digital Elevation Model (DEM)

Peta Elevasi/ ketinggian

Peta Kemiringan Lereng Surface (Erdas Imagine 9.1)


(1)

Lampiran 9 Uji Kruskal Wallis antara jarak dari sumber air dan jalur manusia

Uji Kruskal Wallis

Test Statistics(a,b)

Jarak

dari air

(m)

Jarak

dari jalur

(m)

Chi-Square

.841

78.327

df

2

2

Asymp.

Sig.

.657

.000

a Kruskal Wallis Test

b Grouping Variable: Lokasi

Test of Homogeneity of Variances

Levene

Statistic

df1

df2

Sig.

Jarak dari air

(m)

8.528

2

94

.000

Jarak dari jalur

(m)

51.208

4

135

.000

ANOVA

Sum of

Squares

df

Mean

Square

F

Sig.

Jarak dari air

(m)

Between

Groups

7.115

2

3.558

.783

.460

Within Groups

426.906

94

4.542

Total

434.021

96

Jarak dari jalur

(m)

Between

Groups

5162486.

893

4

1290621.72

3

159.889

.000

Within Groups 1089715.

928

135

8071.970

Total

6252202.


(2)

Lampiran 10 Regresi Logistik jenis vegetasi pada lokasi ada/tidak ditemukannya

kodok merah

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1a

Bryopsida 3.683 .755 23.781 1 .000 39.758

Constant -.217 .234 .861 1 .353 .805

Step 2b Bryopsida 4.319 1.044 17.101 1 .000 75.139

Piper_aduncum -3.854 1.359 8.046 1 .005 .021

Constant -.010 .245 .002 1 .968 .990

Step 3c Bryopsida 4.064 1.050 14.974 1 .000 58.218

Piper_aduncum -3.897 1.344 8.404 1 .004 .020

Schismatoglotis_sp -21.277 1.290E4 .000 1 .999 .000

Constant .265 .264 1.009 1 .315 1.303

Step 4d Bryopsida 4.888 1.311 13.907 1 .000 132.722

Pilea_trinervia -3.022 1.284 5.538 1 .019 .049

Piper_aduncum -3.864 1.487 6.756 1 .009 .021

Schismatoglotis_sp -21.476 1.294E4 .000 1 .999 .000

Constant .457 .279 2.672 1 .102 1.579

Step 5e Bryopsida 5.200 1.296 16.109 1 .000 181.215

Marumia_muscosa -2.280 .969 5.535 1 .019 .102

Pilea_trinervia -3.458 1.349 6.572 1 .010 .031

Piper_aduncum -4.279 1.566 7.468 1 .006 .014

Schismatoglotis_sp -21.617 1.272E4 .000 1 .999 .000

Constant .752 .313 5.768 1 .016 2.122

Step 6f

Bryopsida 5.152 1.303 15.644 1 .000 172.717

Coffea_sp -22.179 2.321E4 .000 1 .999 .000

Marumia_muscosa -2.494 .975 6.546 1 .011 .083

Pilea_trinervia -3.629 1.350 7.231 1 .007 .027

Piper_aduncum -4.433 1.568 7.991 1 .005 .012

Schismatoglotis_sp -21.829 1.267E4 .000 1 .999 .000

Constant .976 .339 8.290 1 .004 2.653

Step 7g

Bryopsida 5.053 1.312 14.841 1 .000 156.559

Coffea_sp -22.362 2.321E4 .000 1 .999 .000

Diplazium_esculentum -21.900 2.211E4 .000 1 .999 .000

Marumia_muscosa -2.505 1.004 6.228 1 .013 .082

Pilea_trinervia -3.739 1.341 7.774 1 .005 .024

Piper_aduncum -4.530 1.558 8.457 1 .004 .011

Schismatoglotis_sp -22.009 1.265E4 .000 1 .999 .000

Constant 1.159 .363 10.215 1 .001 3.187

a. Variable(s) entered on step 1: Bryopsida. b. Variable(s) entered on step 2: Piper_aduncum. c. Variable(s) entered on step 3: Schismatoglotis_sp. d. Variable(s) entered on step 4: Pilea_trinervia. e. Variable(s) entered on step 5: Marumia_muscosa. f. Variable(s) entered on step 6: Coffea_sp.


(3)

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 119.644a .315 .445

2 105.988b .379 .535

3 93.840c .431 .608

4 84.974c .466 .657

5 77.991c .492 .694

6 70.711c .517 .730

7 64.839c .537 .758

a. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than .001. b. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter estimates changed by less than .001. c. Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations has been reached. Final solution cannot be found.

Hosmer and Lemeshow Test

Step Chi-square df Sig.

1 .000 0 .

2 .240 2 .887

3 .271 2 .873

4 .943 3 .815

5 .363 3 .948

6 .391 4 .983


(4)

Lampiran 11 Uji beda nyata subrat

Y

Observed N Expected N Residual

0 49 70.0 -21.0

1 91 70.0 21.0

Total 140

Test Statistics

Y X1

Chi-Square 12.600a 64.686b

df 1 2

Asymp. Sig. .000 .000

a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 70.0.

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

Y 140 .6500 .47868 .00 1.00


(5)

Test Statistics

Y X1

Chi-Square 12.600a 64.686b

df 1 2

Asymp. Sig. .000 .000

a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 70.0. b. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 46.7.


(6)

Lampiran 12 Koordinat titik validasi kodok merah di TNGGP

LOKASI

Koordinat

Koordinat

Rawa Gayonggong

106 59' 22.13" E

6 45' 1.14" S

Rawa Gayonggong

106 59' 22.11" E

6 45' 1.21" S

Rawa Denok

106 59' 3.83" E

6 45' 31.37" S

Rawa Denok

106 59' 3.78" E

6 45' 31.42" S

Rawa Denok

106 59' 3.75" E

6 45' 31.20" S

Rawa Denok

106 59' 4.14" E

6 45' 31.20" S

Rawa Denok

106 59' 4.20" E

6 45' 31.14" S

Rawa Denok

106 59' 4.39" E

6 45' 31.05" S

Rawa Denok

106 59' 3.48" E

6 45' 31.44" S

Rawa Denok

106 59' 3.93" E

6 45' 31.34" S

Curug Cibeureum

106 59' 7.61" E

6 45' 13.48" S

Curug Cibeureum

106 59' 7.65" E

6 45' 13.57" S

Curug Cibeureum

106 59' 7.60" E

6 45' 13.58" S

telaga biru

106 59' 41.18" E

6 44' 55.13" S

telaga biru

106 59' 40.94" E

6 44' 55.42" S

telaga biru

106 59' 39.53" E

6 44' 54.71" S

Situ Gunung

106 55' 27.93" E

6 49' 57.15" S

Ciwalen

107 0' 13.86" E

6 44' 38.46" S

Bodogol

106 51' 4.93" E

6 46' 12.68" S