Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN
2
sebagai pengukur kinerja dan pertanggungjawaban operasional perusahaan, maka manajemen berusaha memilih prosedur akuntansi yang menghasilkan angka laba
yang menguntungkan bagi kinerjanya, tetapi tetap sesuai dengan target yang dikehendaki oleh pemilik perusahaan. Oleh karena penyusun laporan keuangan
adalah pihak manajemen, manajer perusahaan dapat dengan leluasa melakukan berbagai alternatif tindakan untuk mengubah kebijakan akuntansi sesuai dengan
kepentingan perusahaan dan memberikan fleksibilitas bagi manajemen untuk memilih satu dari sekumpulan kebijakan akuntansi tersebut. Kondisi ini yang
mendorong manajer untuk secara oportunistik memilih kebijakan akuntansi yang sesuai dengan kepentingannya Setiawan, 2011.
Perusahaan memiliki tujuan selain memperoleh keuntungan tentu harus mampu memaksimumkan kekayaan bagi para pemegang saham investor.
Namun, seringkali para manajer sebuah perusahaan membuat keputusan yang bertentangan dengan tujuannya yaitu memaksimumkan kekayaan bagi para
pemegang saham investor. Selain itu, berdasarkan kenyataan yang ada, sering kali pengguna laporan keuangan terutama investor hanya ditunjukkan dan lebih
menyenangi data mengenai informasi laba, tanpa memperhatikan bagaimana laba tersebut dihasilkan Damayanti, 2013. Kecenderungan untuk memperhatikan
laba yang terdapat dalam laporan laba rugi dilakukan oleh banyak pihak. Situasi ini didasari oleh manajemen terutama dari kalangan manajemen yang kinerjanya
diukur berdasarkan informasi tersebut, sehingga mendorong timbulnya disfunctional behavior
.
3
Manajer sebagai pengelola perusahaan sekaligus yang diberikan kewenangan dalam pengambilan keputusan, tentunya lebih banyak mengetahui
informasi internal perusahaan dan kondisi perusahaan saat ini dibandingkan dengan pemilik pemegang saham. Hal tersebut dikarenakan para manajer yang
mengelola perusahaan dan melaksanakan kegiatan operasionalnya, sehingga mereka mengetahui seluk beluk perusahaan, yang menyebabkan terjadinya
asimetri informasi antara manajer dengan pemilik. Asimetri informasi inilah yang nantinya bisa mendorong terjadinya management opportunistic behavior. Selain
itu, Mohebi et. al 2013 menyatakan bahwa para pemegang saham tidak memiliki alat lain selain laporan keuangan tahunan untuk mengetahui bagaimana
aset yang mereka tanamkan dalam perusahaan tersebut dikelola, dan para pemegang saham hanya bisa memastikan kinerja, efisiensi, dan produktivitas
manager melalui laporan keuangan tersebut. Salah satu penyebab mengapa pemegang saham sangat terikat pada laporan keuangan karena pemegang saham
dibatasi atau tidak semua pelaporan akuntansi perusahaan dapat diakses oleh pemegang saham Saringat et. al, 2013.
Walaupun manajer adalah perantara dari pemilik, pengalaman menyatakan bahwa manajer tidak selalu bertindak dalam kepentingan terbaik bagi pemilik.
Motivasi para manajer, kadang-kadang berbeda dengan pemilik Keown et. al, 2011. Namazi 2011 menyatakan bahwa manajer memiliki informasi tersendiri
tentang kinerja keuangan perusahaan yang sebenarnya, sedangkan pemegang saham tidak. Selain itu, manajer seringkali lebih mengutamakan kepentingannya
4
dibandingkan dengan kepentingan pemilik pemegang saham, dan dengan informasi yang dimilikinya, manajer berupaya memenuhi kepentingannya
tersebut dengan melakukan berbagai cara, salah satunya adalah dengan melakukan manipulasi angka-angka keuangan yang terdapat dalam laporan
keuangan. Tindakan tersebut biasa dikenal dengan manajemen laba earnings management
. Earnings Management terjadi ketika manajer menggunakan pertimbangannya dalam menyusun laporan keuangan yang dapat menyesatkan
pemangku kepentingan mengenai kondisi yang mendasar yang ada dalam suatu perusahaan dan mempengaruhi kontrak-kontrak yang akan dihasilkan oleh
perusahaan. Kamran dan Shah 2014 menyatakan bahwa manajemen laba mengarah pada tindakan yang dilakukan oleh manajer perusahaan untuk
memanipulasi angka-angka akuntansi, dengan demikian akan membuat laporan keuangan menjadi kurang transparan. Salah satu bentuk manajemen laba yang
dilakukan manajer perusahaan adalah praktik perataan laba Income Smoothing. Perataan laba merupakan fenomena umum yang bertujuan untuk
mengurangi variabilitas atas laba yang dilaporkan guna mengurangi resiko pasar atas saham perusahaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan harga pasar
perusahaan. Tindakan perataan laba ini telah dianggap tindakan yang logis dan rasional, namun bisa merugikan pihak lain Pradana, 2013. Jelas saja, karena
tindakan perataan laba bisa membohongi pihak-pihak yang menggunakan informasi yang diberikan, sehingga bisa menyesatkan dalam pengambilan
keputusan terkait informasi tersebut.
5
Manajemen perusahaan memiliki beberapa alasan untuk melakukan praktik perataan laba, 1 rekayasa untuk mengurangi laba dan menaikkan biaya
pada periode berjalan dapat mengurangi utang pajak; 2 tindakan perataan laba dapat meningkatkan kepercayaan investor karena mendukung kestabilan laba
sesuai dengan keinginan; 3 tindakan perataan laba dapat mempererat hubungan antara manajer dan karyawan karena dapat menghindari permintaan kenaikan
upah oleh karyawan; 4 tindakan perataan laba memiliki dampak psikologis pada perekonomian, sebab akan menurunkan harapan yang terlalu optimistik dan
menaikkan harapan yang terlalu pesimistik Pradipta dan Susanto, 2012. Informasi laba merupakan perhatian utama untuk menilai kinerja dan
pertanggungjawaban manajemen Pradana, 2013. Hal tersebut pulalah yang mendorong manajemen untuk melakukan praktik perataan laba dengan tujuan
agar kinerja dan tanggungjawab manajemen terlihat baik dimata pemilik pemegang saham. Sehingga, ketika kinerja dan tanggungjawab pihak
manajemen dinilai baik, maka akan memberikan nilai tambah yang mana akan menguntungkan pihak manejemen itu sendiri.
Praktik manajemen laba merupakan fenomena yang umum dan banyak dilakukan oleh berbagai negara. Tindakan earnings management telah
memunculkan beberapa kasus skandal pelaporan akuntansi yang secara luas diketahui, antara lain perusahaan Enron. Sebelum bangkrut pada akhir 2001,
Enron mempekerjakan sekitar 21.000 orang pegawai dan mengaku penghasilannya pada tahun 2000 berjumlah 101 milyar. Penghasilan yang besar
6
tersebut berasal dari kutak-katik laporan keuangan, penipuan akuntansi yang sistematis, terlembaga, dan direncanakan secara kreatif. Dikenal juga dengan
istilah financial engeneering. Kebangkrutan Enron tersebut menyebabkan dibubarkannya Kantor Akuntan Publik KAP Arthur Andersen, yang berdiri
sejak tahun 1913, sehingga karyawannya sebanyak 85.000 kehilangan pekerjaan. Kesalahan yang ditimpakan kepada Athur Andersen, KAP yang mengaudit
Laporan Keuangan Enron karena memberikan Opini Wajar, tidak menemukan atau bahkan dengan sengaja menutupi kecurangan penipuan akuntansi yang
dilakukan Enron http:www.kompasiana.com, 2010. Selain itu, praktik perataan laba juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar lainnya seperti Merck,
WorldCom, dan mayoritas perusahaan lain di Amerika Serikat Cornett et al, 2006
Di Indonesia sendiri pernah terjadi kasus terkait dengan praktik perataan laba antara lain terjadi pada PT. Waskita Karya. Pada penghujung 2009, Waskita
Karya menjadi sorotan karena kasus manipulasi laporan keuangan. Dimana terjadi kelebihan pencatatan pada laporan keuangan 2004-2007. Pada rentang waktu itu
Waskita seharusnya mencatat rugi namun dalam laporannya malah terlihat untung. Hal ini disebabkan karena direksi melakukan rekayasa keuangan sejak
tahun buku 2004-2007 dengan memasukkan proyeksi multitahun kedepan sebagai pendapatan tertentu. Pemalsuan keuangan perusahaan ini terdeteksi sejak Agustus
2009 dan menyebabkan Waskita mengalami defisit modal sebesar Rp 475 miliar. Rekayasa laporan keuangan BUMN bidang jasa konstruksi ini hanya bersifat
7
administratif accounting. Oknum direksi yang terlibat, diakui tidak secara sengaja memalsukan laporan keuangan guna kepentingan pribadi. Ini hanya
pelangaran standar sisi akuntansi saja. Kondisi perusahaan yang sulit menyebabkan
mereka mencari
jalan dengan
memalsukan laporan
http:finance.detik.com, 2014. Selain itu, kasus serupa juga terjadi pada PT Katarina Utama Tbk. Kasus tersebut terjadi ketika manajemen Katarina Utama
yang seluruhnya ekspatriat asal Malaysia diduga telah menyelewengkan perolehan dana IPO, penggelembungan aset serta memanipulasi laporan keuangan
auditan 2009. Dari perolehan dana IPO sebesar Rp 33,6 miliar, manajemen diduga menggelapkan sebesar Rp 29,6 miliar. Akibatnya, kas perusahaan pun
bolong dan manajemen tidak dapat menyelesaikan kewajiban kepada karyawan. Saat ini, hampir seluruh kegiatan operasi Katarina Utama berhenti, sehingga tidak
ada pemasukan http:finance.detik.com, 2010. Berdasarkan banyak kasus perataan laba yang dilakukan perusahaan,
sudah banyak juga penelitian yang dilakukan terkait dengan perataan laba itu sendiri, namun hasil yang disimpulkan menunjukkan ketidakkonsistenan antara
satu peneliti dengan peneliti lainnya untuk variabel yang sama. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi perusahaan untuk melakukan
tindakan perataan laba, beberapa diantaranya adalah return on equity ROE, net profit margin
NPM, dividend payout ratio DPR, komisaris independen dan struktur kepemilikan publik. Saeidi 2012, Lubis 2012, dan Siregar 2015
menyatakan bahwa variabel independen profitability ratio yang diproksikan
8
dengan ROA dan ROE berpengaruh terhadap perataan laba, sedangkan Monalisa 2015 menunjukkan hasil bahwa profitabilitas yang di proksikan dengan ROE
bukan merupakan faktor yang mempengaruhi perataan laba. Manuari dan Yasa 2014 menyatakan bahwa variabel net profit margin
berpengaruh terhadap praktik perataan laba, sedangkan Sherlita dan Kurniawan 2013 dan Mohebi et. al 2013 menyatakan bahwa variabel net profit margin
tidak mempengaruhi perataan laba. Budiasih 2009 menyatakan bahwa dividend payout ratio
berpengaruh positif signifikan terhadap perataan laba. Sedangkan Santoso dan Salim 2012 menyatakan bahwa variabel dividen yang diproksikan
dengan dividend payout ratio berpengaruh negatif terhadap tindakan perataan laba. Hal tersebut berbeda dengan Manuari dan Yasa 2015, Monalisa 2015,
dan Supriastuti dan Warnanti 2015 yang menyatakan bahwa variabel dividend payout ratio
tidak mempengaruhi perataan laba. Gaganis et al 2015 dan Dewantari dan Badera 2015 menyatakan bahwa
corporate governance tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap income
smoothing . Namun, Ghader dan Muhsen 2014 menyatakan bahwa size dan
board independence pada perusahaan yang melakukan praktik perataan laba lebih
sedikit dibandingkan dengan perusahaan yang tidak melakukan perataan laba, hal tersebut berarti size dan board independence mempengaruhi perataan laba.
Sedangkan Manuari dan Yasa 2014 menyatakan bahwa dewan komisaris independen tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perataan laba.
Akhooridnejad et al 2013 menyatakan bahwa public ownership memiliki
9
pengaruh terhadap perataan laba, sedangkan Manuari dan Yasa 2014 menyatakan bahwa kepemilikan publik tidak berpengaruh terhadap praktik
perataan laba. Berdasarkan latar belakang penelitian dan hasil dari penelitian sebelumnya
yang menunjukkan ketidakkonsistenan sehingga menarik untuk dikaji kembali, maka penelitian ini dilakukan untuk menguji kembali faktor-faktor yang
mempengaruhi praktik perataan laba Income Smoothing dengan mengambil judul
“FAKTOR-FAKTOR FINANCIAL RATIOS DAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE YANG MEMPENGARUHI PRAKTIK
PERATAAN LABA INCOME SMOOTHING; Studi Empiris Pada
Perusahaan Yang Terdaftar di Jakarta Islamic Index JII Tahun 2011-
2014”