Karakterisasi Morfologi, Kristalinitas dan Gugus Fungsional dalam

45 Tabel 4.12 Unsur dalam pulp soda, pulp terputihkan, selulosa OPF dan dVR Unsur Persen berat b OPF dVR Pulp soda Pulp terputihkan Selulosa Pulp soda Pulp terputihkan Selulosa Karbon C Oksigen O Seng Zn Tungsten W Tembaga Cu Kalsium Ca Magnesium Mg Besi Fe 45,01 34,92 5,60 6,08 8,36 - - - 41,00 44,14 3,70 4,17 5,13 1,02 0,85 - 47,68 33,56 4,88 6,15 6,22 0,91 0,60 - 48,89 35,30 3,99 3,73 6,04 - - 2,07 47,66 36,30 4,38 4,14 5,82 - - 1,72 46,60 47,00 1,69 1,71 2,16 0,25 - 0,59 4.3.2 Kristalinitas pulp soda, pulp terputihkan, pulp bebas hemiselulosa, selulosa dari pelepah sawit OPF dan ampas akar wangi dVR Analisis difraksi sinar X digunakan untuk menentukan bentuk selulosa cellulose allomorph, ukuran kristal selulosa dan derajat kristalinitas selulosa dalam pulp soda, pulp terputihkan OPF dan dVR. Difraksi sinar X menunjukkan sinyal yang kuat dari fraksi kristalin selulosa. Difraktogram sinar X dari pulp soda OPF atau dVR menunjukkan pola yang difraksi selulosa alami native cellulose atau cellulose I. Oudiani et al. 2011 menunjukkan bahwa puncak difraksi selulosa I dari Agave americana L. terdapat pada sudut 2θ = 14, 16, 23 and 35, yang merupakan posisi dari bidang kisi 101, 10-1, 002 dan 040. Sedangkan puncak difraksi selulosa II terdapat pada sudut 2θ = 11, 20, 22 and 37. Dalam penelitian ini, puncak serapan sinar X dari pulp soda dan pulp terputihkan OPF atau dVR menunjukkan pola selulosa I puncak pada 2θ = 15, 16 , 22, 34, disajikan pada Gambar 4.26 dan 4.27. Puncak difraksi pada sudut 2 θ = 20, menunjukkan posisi dari bidang kisi 021 selulosa I. Proses pulping menggunakan NaOH pada konsentrasi NaOH 5,60 untuk OPF dan 4,49 untuk dVR menghasilkan selulosa I. Gambar 4.26 Difraktogram sinar X dari pulp soda, pulp terputihkan, pulp bebas hemiselulosa pulp murni, selulosa OPF 46 Oh et al. 2005 menyatakan bahwa selulosa yang direaksikan dengan NaOH 10 b pada suhu 25 C selama 1 jam dan dilanjutkan dengan direaksikan dengan CO2 selama 2 jam pada tekanan 40-50 bar, menunjukkan perubahan selulosa I menjadi selulosa II yang tidak sempurna. Muncul puncak serapan pada sudut 2 θ = 12.1; 20.0; 21.9 yang merupakan serapan dari selulosa II, pada bidang kisi 101, 10-1 dan 002. Sedangkan puncak serapan pada sudut 2 θ = 14.7 ; 16.8; 20.5; 22.7, merupakan serapan dari selulosa I, pada bidang kisi 101, 10-1, 021 dan 002. Gambar 4.27 Difraktogram sinar X dari pulp soda, pulp terputihkan, pulp bebas hemiselulosa, selulosa dVR Selulosa I dari contoh uji yang dianalisis dalam penelitian ini merupakan selulosa I  Tabel 4.13. Wada et al. 2001, telah menyusun suatu persamaan untuk menaksir bentuk selulosa I dari suatu contoh uji, apakah termasuk selulosa I  atau I. Persamaan yang dimaksud adalah Z= 1693 d1 – 902 d2 – 549. Nilai Z0 menunjukkan bahwa selulosa yang dianalisis adalah selulosa I , sedangkan nilai Z0 menunjukkan selulosa I . Dalam penelitian ini, nilai d1 berasal dari jarak kisi kristal pada bidang 101, sedangkan nilai d2 berasal dari jarak kisi kristal pada bidang 10-1. Tabel 4.13 Jarak antar kristal dan FWHM puncak difraksi sinar X dari pulp OPF dan dVR d spacing nm pada bidang kisi FWHM  pada bidang kisi Z Selulosa 101 10-1 021 002 040 101 10-1 021 002 040 Pulp soda OPF Pulp putih OPF Pulp murni OPF Selulosa OPF Pulp soda dVR Pulp putih dVR Pulp murni dVR Selulosa dVR 0,589 0,567 0,573 0,574 0,577 0,582 0,570 0,567 0,565 0,547 0,537 0,547 0,554 0,522 0,543 0,436 0,428 0,429 0,427 0,431 0,420 0,430 0,433 0,424 0,395 0,394 0,396 0,396 0,397 0,397 0,396 0,395 0,262 0,260 0,261 0,261 0,261 0,260 0,261 0,260 1,360 2,320 2,320 2,040 1,960 1,560 0,000 2,580 2,680 1,760 1,080 1,500 1,667 0,560 1,440 1,200 1,080 1,160 1,253 1,200 1,160 1,320 1,320 0,000 1,640 1,587 1,610 1,607 1,595 1,623 1,660 1,790 0,853 1,190 1,220 1,470 1,080 1,320 1,280 1,040 -61,40 -82,54 -62,57 -70,21 -71,85 -35,13 -73,42 17,93 I  I  I  I  I  I  I  I  Pulp soda OPF, pulp terputihkan OPF, pulp soda dVR dan pulp terputihkan dVR memiliki derajat kristalinitas berturut-turut sebesar 59,83, 53,95, 49,76 dan 51,05. Kristalinitas pulp soda dan pulp terputihkan dari dVR lebih rendah bila dibandingkan dengan OPF. Nilai kristalinitas tersebut menunjukkan bahwa 47 pulp soda dan pulp terputihkan dari dVR mengandung lebih banyak komponen yang bersifat amorf atau komponen dengan struktur yang tidak beraturan. Kristalinitas pulp soda OPF lebih tinggi dibandingkan dengan pulp terputihkan OPF. Hal tersebut tidak umum terjadi dalam proses pemutihan. Tujuan dari proses pemutihan adalah untuk mendegradasi lignin dalam pulp soda melalui reaksi oksidasi antara anion perhidroksil dari hidrogen peroksida dengan kromofor dari lignin. Terganggunya proses pemutihan pulp disebabkan adanya ion tembaga dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dengan ion magnesium dan kalsium, yang dapat menghalangi degradasi lignin dan cenderung menyebabkan degradasi karbohidrat. Menurut Lachenal et al. 1997 dalam proses pemutihan, dekomposisi hidrogen peroksida terjadi dengan mekanisme radikal bebas dan menghasilkan radikal hidroksil dan anion superoksida yang dapat bereaksi dengan karbohidrat dan menyebabkan berkurangnya tingkat kepucatan pulp yang diperoleh. Selain untuk mengukur derajat kristalinitas, analisis difraksi sinar X dapat digunakan untuk mengukur jarak antar kristalit Zugenmaier 2001 atau ukuran kristal Nishiyama et al. 2000. Ukuran kristal dari sampel pulp Tabel 4.14 ditentukan berdasarkan pola difraksi yang diperoleh dari bidang kisi 101, 10-1, 002 dan 040. Tabel 4.14 Derajat kristalinitas dan ukuran kristal dari pulp OPF dan dVR Derajat Kristalinitas Xc Ukuran Kristal nm Kristalin Fc Amorf Fa Xc D 101 D 10-1 D 002 D 040 Pulp soda OPF Pulp putih OPF Pulp murni OPF Selulosa OPF Pulp soda dVR Pulp putih dVR Pulp murni dVR Selulosa dVR 1,141 1,321 1,281 1,310 0,729 0,839 0,868 1,053 0,766 1,128 0,872 0,980 0,736 0,804 0,824 0,732 59,83 53,94 59,50 57,20 49,76 51,05 51,31 58,98 11,00 6,45 6,39 7,27 7,63 9,59 tdh 5,75 5,59 8,51 13,73 9,89 8,98 26,77 10,30 12,36 9,22 9,53 9,21 9,23 9,48 9,31 8,93 8,28 18,18 13,05 12,16 10,09 14,37 11,76 11,59 14,26 Sinyal terkua t pada bidang kisi 002 terjadi pada sudut 2θ = 22,5 pada pulp soda dan pulp terputihkan OPF , dan pada sudut 2θ = 22,4 pada pulp soda dan pulp terputihkan dVR. Ukuran kristal dari sampel pada bidang kisi 002 berkisar antara 9,22  9,53 nm, mirip dengan ukuran kristal dari selulosa-alfa batang gandum yang berukuran 9,1 nm Gumuskaya dan Usta 2002. Berdasarkan penentuan bentuk selulosa cellulose allomorph, derajat kristalinitas dan ukuran kristal, proses pulping dan pemutihan OPF dan dVR telah berhasil mengekstrak selulosa. Derajat kristalinitas pulp soda dan pulp terputihkan OPF lebih tinggi dari dVR, namun bentuk kristal dan ukuran kristal dalam pulp soda dan pulp terputihkan OPF dan dVR tidak berbeda 4.3.3 Karakteristik gugus fungsional Fourier Transform Infra Red FTIR merupakan alat analisis yang baik untuk mendeteksi gugus fungsional berdasarkan vibrasi molekul suatu contoh uji. Pada penelitian ini metode spektroskop FTIR juga digunakan untuk menyediakan keterangan terperinci mengenai karakteristik gugus fungsional dalam pulp dan selulosa OPF dan dVR. 48 Komponen utama penyusun dinding sel adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Proses pulping, pemutihan, pemurnian dan ekstraksi selulosa terhadap serat OPF dan dVR, berpotensi menyebabkan perubahan dalam komponen penyusun dinding sel, yang akan ditelaah lebih lanjut dalam pembahasan ini.

4.3.3.1 Karakteristik gugus fungsional dalam pulp OPF

Gambar 4.28 memperlihatkan serapan yang mucul dalam spektra FTIR dari pulp soda, pulp terputihkan, pulp murni dan selulosa OPF. Puncak serapan yang kuat dan lebar dari vibrasi ulur ikatan OH terlihat pada bilangan gelombang 3348 cm -1 puncak 1 dan puncak serapan pada bilangan gelombang 2901 cm -1 puncak 2 menunjukkan adanya vibrasi ulur dari ikatan CH Oh et al. 2005. Pada daerah finger print , antara bilangan gelombang 1750  800 cm -1 , muncul beberapa puncak serapan. Pada bilangan gelombang 1643 cm -1 puncak 3 muncul puncak serapan yang berasosiasi dengan gugus CO Bodirlu dan Teaca 2009. Puncak serapan pada bilangan gelombang 1427 cm -1 puncak 4, 1373 cm -1 puncak 5, dan 1319 cm -1 puncak 6, berturut-turut menunjukkan adanya vibrasi tekuk CH 2 , vibrasi tekuk CH dan vibrasi tekuk wagging CH 2 dalam selulosa Oh et al. 2005. Puncak serapan pada bilangan gelombang 1242 cm -1 puncak 7, 1165 cm -1 puncak 8, 1111 cm -1 puncak 9, 1057 cm -1 puncak 10, dan 895 cm -1 puncak 11, berturut-turut berasosiasi dengan vibrasi ulur CO dalam ikatan ester Bodirlu dan Teaca 2009, vibrasi ulur COC pada ikatan glikosidik selulosa, vibrasi ulur ring in plane dalam selulosa, vibrasi ulur CO, dan vibrasi ulur COC pada ikatan glikosidik selulosa Oh et al. 2005. Berdasarkan pengamatan spektra FTIR, setelah proses pulping, jumlah komponen lignin dalam pulp OPF berkurang secara nyata. Tidak ada puncak serapan pada rentang bilangan gelombang 1465  1595 cm -1 menunjukkan tidak adanya lignin. Menurut Lionetto et al. 2012, puncak serapan pada bilangan gelombang 1463 cm -1 , 1512 cm -1 , 1595 cm -1 dan 1269 cm -1 , berturut-turut merupakan sinyal dari vibrasi tekuk asimetris dalam CH 3 , C=C, vibrasi ulur cincin aromatis dan vibrasi ulur CO dalam lignin. Selain itu, puncak pada rentang bilangan gelombang antara 1830  1730 cm -1 yang menunjukkan keberadaan gugus fungsional seperti metoksil -O-CH 3 , eter C-O-C dan aromatis C=C, juga tidak tampak pada spektra FTIR dari contoh uji pulp soda, pulp terputihkan, pulp murni dan selulosa OPF. Puncak pada bilangan gelombang 1730  1740 cm -1 mengindikasikan keberadaan ikatan C=O yang merupakan karakteristik dari gugus lignin Owen dan Thomas 1989. Maka berdasarkan hasil analisis spektra FTIR, pulping soda telah berhasil melarutkan sebagian besar lignin dari serat OPF. Hasil analisis FTIR, menunjukkan bahwa tahapan proses ekstraksi selulosa OPF menyebabkan perubahan intensitas pita serapan, tetapi tidak menyebabkan pergeseran dan perubahan gugus fungsional Tabel 4.15. Puncak serapan yang khas dari selulosa muncul pada bilangan gelombang 1427 cm -1 dan 1373 cm -1 yang merupakan vibrasi tekuk dari CH 2 dan CH. Selulosa amorf serapan pada bilangan 1335 cm-1 dapat dibedakan dari selulosa kristalin serapan pada bilangan 1319 cm-1, yang merupakan vibrasi tekuk gugus OH dan CH 2 . Selain itu pita serapan pada bilangan gelombang 1165 cm -1 dan 895 cm -1 yang berasosiasi dengan vibrasi ulur C-O-C pada ikatan glikosidik, menunjukkan serapan yang khas dari selulosa Lionetto et al. 2012. 49 Gambar 4.28 Spektra FTIR dari pulp soda, pulp terputihkan, pulp murni, selulosa OPF Pulp terputihkan, pulp murni dan selulosa OPF menunjukkan serapan pada bilangan gelombang 1165 cm -1 dan 895 cm -1 , yang lebih tinggi dibandingkan dengan pulp soda OPF. Hal tersebut menunjukkan bahwa di dalam pulp terputihkan, pulp murni dan selulosa OPF, lebih banyak mengandung selulosa karena lignin dan hemiselulosa sudah berkurang. Selulosa amorf puncak serapan pada bilangan gelombang 1335 cm -1 , muncul pada pulp soda dan pulp murni OPF, sedangkan selulosa kristalin puncak serapan pada bilangan gelombang 1319 cm -1 , muncul pada pulp terputihkan, pulp murni dan selulosa OPF. Tabel 4.15 Karakteristik puncak serapan spektra FTIR pulp dan selulosa OPF Puncak Bilangan gelombang cm -1 tinggi puncak serapan abs Gugus fungsional Pulp soda Pulp terputihkan Pulp murni Selulosa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 3348 0,55 2901 0,23 1643 0,19 1427 0,27 1373 0,29 1335 0,27 1327 0,26 1165 0,42 1111 0,50 1057 0,62 895 0,16 663 0,27 3348 0,91 2901 0,39 1643 0,27 1427 0,45 1373 0,46 1319 0,44 1281 0,33 1242 0,33 1165 0,74 1111 0,88 1057 1,06 895 0,28 663 0,47 3348 0,74 2901 0,31 1643 0,22 1427 0,36 1373 0,36 1335 0,34 1319 0,34 1242 0,25 1165 0,57 1111 0,70 1057 0,85 895 0,21 663 0,37 3348 0,72 2901 0,31 1643 0,22 1427 0,34 1373 0,36 1319 0,35 1281 0,26 1242 0,26 1165 0,58 1111 0,70 1057 0,84 895 0,22 663 0,37  ikatan OH  CH CO gugus karbonil  CH 2 pada C-6  CH  COH pd C-2 atau C-3  CH dalam selulosa  CH 2 wagging pada C-6  CH  CO dalam gugus ester  COC pd ikatan -glikosidik  ring in plane  CO pada C-3, C-C  COC pd ikatan -glikosidik  COH out of plane  = vibrasi ulur,  = vibrasi tekuk 50

4.3.3.2 Karakteristik gugus fungsional dalam pulp dVR

Lignin alami mengandung gugus fungsional: metoksil, fenolik, hidroksil, hidroksil alifatik primer dan sekunder, keton dan gugus aldehid Bykov 2008. Keberadaan lignin ditunjukkan oleh munculnya puncak serapan spektrum infra merah pada bilangan gelombang 1200  1300 cm -1 , yang berasosiasi dengan vibrasi rangka aromatik. Selain itu, keberadaan lignin juga ditunjukkan dengan adanya gugus fungsional lain seperti: metoksil -O-CH 3 , C-O-C dan aromatik C=C, puncak pada rentang bilangan gelombang 1730 cm -1 dan 1830 cm -1 . Puncak serapan yang muncul pada bilangan gelombang antara 1730  1740 cm -1 merupakan spektrum yang berhubungan dengan adanya ikatan C=C, yang merupakan karakteristik lignin Owen dan Thomas 1989. Lionetto et al. 2012 menyebutkan bahwa pita serapan oleh lignin ditemukan pada bilangan gelombang 1595 cm -1 dan 1512 cm -1 vibrasi ulur C=C pada cincin aromatik, 1463 cm -1 vibrasi tekuk CH 3 dan 1269 cm -1 vibrasi ulur CO pada lignin guaiacyl dan hemiselulosa. Pada penelitian ini, tidak satu pun puncak serapan tersebut muncul pada spektrum infra merah oleh pulp soda, pulp terputihkan, pulp murni dan selulosa dVR Gambar 4.29. Gambar 4.29 Spektra FTIR dari pulp soda, pulp terputihkan, pulp murni, selulosa dVR Puncak serapan oleh selulosa muncul pada bilangan gelombang 1427 cm -1 dan 1373 cm -1 , menunjukkan vibrasi tekuk CH 2 dan CH. Untuk membedakan selulosa amorf dan selulosa kristalin, diamati puncak serapan pada bilangan gelombang 1335 cm -1 dan 1319 cm -1 yang berasosiasi dengan ikatan hidroksil dan vibrasi tekuk wagging CH 2 . Selain itu puncak serapan pada bilangan gelombang 1165 cm -1 yang berasosiasi dengan gugus C-O-C dan 895 cm -1 yang berasosiasi dengan vibrasi ulur juga mengindikasikan selulosa Lionetto et al. 2012. Tabel 51 4.16 menyajikan ringkasan puncak serapan sinar infra merah oleh gugus fungsional dalam pulp soda, pulp terputihkan, pulp murni dan selulosa dVR. Tabel 4.16 Karakteristik puncak serapan spektra FTIR pulp dan selulosa dVR Puncak Bilangan gelombang cm-1 absorbansi abs Gugus Fungsional Pulp soda Pulp terputihkan Pulp murni Selulosa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 3348 0,76 2908 0,38 1643 0,28 1427 0,36 1373 0,39 1319 0,38 1165 0,59 1111 0,68 1057 0,81 903 0,26 663 0,42 3418 0,57 2901 0,42 1643 0,34 1435 0,41 1373 0,43 1335 0,42 1165 0,53 1111 0,55 1057 0,59 1026 0,59 895 0,36 663 0,46 3441 0,58 2901 0,45 1643 0,38 1435 0,45 1373 0,47 1335 0,45 1165 0,55 1111 0,57 1057 0,59 1026 0,59 895 0,40 663 0,50 3448 0,62 2908 0,48 1651 0,42 1458 0,43 1427 0,42 1373 0,42 1165 0,43 1119 0,44 1057 0,45 1026 0,45 895 0,37 671 0,45  ikatan OH  CH CO gugus karbonil  CH 2 pada C-6  CH 2 pada C-6  CH  COH pada C-2 atau C-3  CH 2 wagging pada C-6  COC pada ikatan -glikosidik  ring in plane  CO pada C-3,  C-C  CO pada C-6  COC pada ikatan -glikosidik  COH out of plane  = vibrasi ulur,  = vibrasi tekuk Pada pulp terputihkan dVR, intensitas serapan pada bilangan gelombang 1165 cm -1 dan 895 cm -1 berasosiasi dengan ikatan glikosidik, lebih tinggi dibandingkan pada pulp soda dVR. Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah selulosa lebih banyak karena lignin dan hemiselulosa berhasil dipisahkan melalui proses pulping, pemutihan dan pemurnian. Puncak serapan pada bilangan gelombang 1335 cm -1 mengindikasikan selulosa amorf, muncul pada pulp terputihkan dan pulp murni dVR. Sedangkan pucak serapan pada bilangan gelombang 1319 cm -1 berasosiasi dengan selulosa kristalin, muncul pada pulp soda dVR. Pulp soda dVR dihasilkan dari serat dVR yang telah mengalami perlakukan panas cukup tinggi 120 C dalam waktu 16 jam selama proses distilasi, kemudian dilanjutkan dengan proses pulping pada suhu antara 160  180 C. Perlakuan panas tersebut menyebabkan struktur selulosa menjadi lebih teratur dan menjadi selulosa kristalin. Kemudian proses pemutihan dan pemurnian yang menggunakan hidrogen peroksida dan potasium hidroksida pada suhu 80 C, selain melarutkan sisa lignin dan hemiselulosa, juga mengganggu struktur selulosa sehingga menjadi selulosa amorf. Dalam contoh uji selulosa dVR, puncak serapan pada bilangan gelombang 3441 cm -1 pecah menjadi 5 puncak serapan yang menunjukkan keberadaan selulosa I . Puncak pada bilangan gelombang 3448 cm -1 , 3502 cm -1 , 3526 cm -1 , 3564 cm -1 dan 3587 cm -1 , berhubungan dengan gugus OH, yang membentuk ikatan intermolekular dan intramolekular di dalam selulosa.

4.4 Pembuatan Komposit Polipropilena dengan Komponen Penguat Pulp

Pelepah Sawit OPF atau Pulp Ampas Akar Wangi dVR Pulp terputihkan OPF dan dVR didapatkan dengan mereaksikan pulp soda OPF atau dVR Gambar 4.30 dengan hidrogen peroksida. Selanjutnya pulp soda 52 atau pulp terputihkan OPF atau dVR digunakan sebagai pengisi dalam matriks PP untuk memperbaiki sifat mekanis PP Gambar 4.31. Gambar 4.30 a Pulp soda OPF, b pulp terputihkan OPF, c pulp soda dVR, d pulp terputihkan dVR

4.4.1 Keteguhan dan modulus lentur komposit PPOPF dan PPdVR

Nilai keteguhan lentur polipropilena adalah sebesar 35,85 Nmm 2 . Penambahan pulp pelepah sawit meningkatkan keteguhan lentur komposit sehingga berkisar antara 39,76  44,05 Nmm 2 . Sedangkan penambahan pulp akar wangi menyebabkan keteguhan lentur komposit menjadi berkisar antara 27,58  38,87 Nmm 2 . Data nilai keteguhan lentur dan modulus lentur komposit disajikan pada Tabel 4.17. Gambar 4.31 Komposit PPOPF a pulp soda-padat, b pulp terputihkan-padat, c pulp soda-terurai, d pulp terputihkan-terurai, Komposit PPdVR e pulp soda-padat, f pulp terputihkan-padat, g pulp soda-terurai, h pulp terputihkan-terurai Tabel 4.17 Keteguhan dan modulus lentur komposit PPOPF atau PPdVR Jenis dan bentuk pengisi komposit Keteguhan lentur Nmm 2 Modulus lentur Nmm 2 Pelepah sawit Ampas akar wangi Pelepah sawit Ampas akar wangi Pulp-soda-terurai Pulp-soda-padat Pulp putih-terurai Pulp putih-padat 39,76 41,35 40,17 44,05 ± ± ± ± 0,93 1,55 3,09 2,26 27,58 38,87 35,58 35,65 ± ± ± ± 1,04 3,58 2,23 0,11 1035 1209 1204 1334 ± ± ± ± 42 84 37 92 1063 1226 1264 1240 ± ± ± ± 80 54 41 26 53 Keteguhan lentur komposit sebagai fungsi dari jenis komposit disajikan pada Gambar 4.32a. Sebagaimana terlihat dalam gambar, keteguhan lentur komposit PPOPF lebih tinggi dibandingkan dengan komposit PPdVR. Menurut Bengtsson et al. 2007, kemampuan serat selulosa untuk berfungsi sebagai penguat dalam komposit dipengaruhi oleh dimensi serat dan orientasi serat dalam komposit. Berdasarkan pengamatan SEM, diameter serat OPF lebih kecil dibandingkan diameter serat dVR. Serat dengan diameter kecil akan menghasilkan serat dengan aspek rasio panjang per diameter yang tinggi dan kemampuannya untuk berfungsi sebagai penguat dalam komposit akan meningkat. Selain itu, serat yang lebih halus dengan diameter yang kecil akan lebih mudah tertanam dalam matriks polipropilena. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya rasio antara permukaan dan volume serat sehingga memperluas bidang kontak antara permukaan serat dan matriks polipropilena. Gambar 4.32 a Keteguhan lentur dan b modulus lentur komposit PP dengan pengisi OPF atau dVR dalam bentuk pulp soda-terurai FU, pulp terputihkan-terurai FB, pulp soda-padat PU, pulp terputihkan- padat PB Analisis keragaman ANOVA dengan  = 0,05 dilakukan untuk mengidentifikasi pengaruh jenis pulp dan bentuk pulp terhadap keteguhan lentur komposit. Berdasarkan analisis keragaman, keteguhan lentur komposit PPOPF tidak dipengaruhi oleh jenis pulp, tetapi dipengaruhi secara nyata oleh bentuk pulp Lampiran 15. Pulp pelepah sawit dalam bentuk padat menghasilkan nilai keteguhan lentur komposit lebih tinggi dibandingkan dengan pulp dalam bentuk terurai. Selama pembuatan pulp padat, terjadi proses pengeringan yang menyebabkan serat-serat selulosa saling membelit satu sama lain dengan terbentuknya ikatan hidrogen. Kemudian polipropilena meleleh dan melapisi serat selama proses pencampuran dalam rheomix dan menghasilkan komposit yang mampu menahan beban. Peningkatan nilai keteguhan lentur komposit PPOPF dibandingkan polipropilena berkisar antara 10,96  22,95. Sama halnya dengan komposit PPOPF, keteguhan lentur komposit PPdVR tidak dipengaruhi oleh jenis pulp, tetapi dipengaruhi secara nyata oleh bentuk pulp Lampiran 16. Nilai keteguhan lentur komposit PPpulp OPF dalam penelitian ini berkisar antara 39,76  44,05 Nmm 2 . Nilai tersebut tidak berbeda jauh dengan nilai keteguhan lentur dari komposit PP homopolimerpartikel OPF berukuran 250 µm dan 425 µm yang dilaporkan sebesar 40,95 Nmm 2 dan 43,53 Nmm 2 Jasmi et al. 2014 dan lebih tinggi dari komposit PP daur ulangserat OPF yang dilaporkan sebesar 14,5 Nmm 2 Abdul-Khalil et al. 2010. Dari data tersebut, dapat dinyatakan bahwa pelepah sawit dalam bentuk pulp atau partikel berukuran 250  425 µm mempunyai pengaruh yang sama terhadap peningkatan sifat keteguhan