13
sehingga diperlukan metode pengajaran, pembelajaran, penyesuaian bahan pelajaran dan lingkungan belajar”.
Pendapat ini memberikan gambaran dimana adanya kondisi kecacatan pada anak tunanetra dapat berakibat pada pemberian layanan
pendidikan yang akan diperoleh anak. Pemberian layanan tersebut dapat berupa penggunaan metode pengajaran dan pembelajaran, penyesuaian
bahan pembelajaran, dan modifikasi lingkungan pembelajaran. Dari berbagai pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa anak
tunanetra adalah anak yang mengalami hambatan pada dria penglihatannya. Hambatan dria penglihatan ini berupa kekurangan atau
kehilangan kemampuan melihatnya baik secara sebagian maupun secara keseluruhan yang disebabkan karena adanya kerusakan pada mata syaraf
optik dan atau bagian otak yang mengolah stimulus visual. Akibat hilangnya fungsi penglihatan pada anak tunanetra ini juga menyebabkan
perlu pelayanan pembelajaran khusus bagi anak tunanetra untuk dapat mengatasi permasalahan, baik itu dengan penyesuaian dari metode
pembelajaran dan media pengajaran, penyesuaian materi pembelajaran, maupun modifikasi lingkungan pembelajaran.
2. Klasifikasi Anak Tunanetra
Berbagai klasifikasi anak tunanetra telah dibuat. Pengklasifikasian tersebut pada umumnya mengacu pada tingkat ketajaman penglihatan
anak. Menurut Mohammad Efendy 2006: 30-31 a Ketunanetraan yang masih bisa dikoreksi atau diperbaiki
menggunakan alat optik atau terapi medis. b Ketunanetraan yang masih dapat dikoreksi oleh alat optic atau terapi medis, namun
14
dalam beraktifitas masih mengalami kesulitan. c Ketunanetraan yang tidak memungkinkan dikoreksi oleh alat optik atau terapi
medis serta tidak dapat sama sekali memanfaatkan indera penglihatan untuk pendidikan atau aktivitasnya.
Ungkapan di atas dapat ditegaskan bahwa terdapat tiga penggolongan di dalam anak tunanetra berdasarkan tingkat kehilangan
penglihatan, yang pertama yaitu anak tunanetra dengan kehilangan fungsi penglihatan yang masih dapat dikoreksi dengan alat optik atau terapi
medis, selanjutnya anak tunanetra dengan kehilangan fungsi penglihatan yang masih dapat dikoreksi, meskipun dalam melakukan aktifitas masih
mengalami hambatan. Terakhir yaitu anak tunanetra dengan kehilangan fungsi penglihatan yang tidak dapat lagi dikoreksi dengan bantuan alat
optic maupun terapi medis, sehingga tidak dapat memanfaatkan indra penglihatannya untuk beraktifitas sehari-hari termasuk dalam melakukan
pembelajaran. Selain klasifikasi yang telah diungkapkan oleh Mohammad Efendy
di atas terdapat juga pengklasifikasian yang lebih rinci yang juga berpandangan pada ketajaman penglihatan anak yang diungkapkan oleh
Anastasia Widjayanti Imanuel Hitipeuw. Menurut Anastasia Widdjayanti Imanuel Hitipeuw 1995: 9-10;
“Berdasarkan pada tingkat kelemahan visual tunanetra, dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, yaitu sebagai berikut;
a Tidak ada kelemahan visual, b Kelemahan visual ringan, c Kelemahan visual sedang, d Kelemahan visual parah, e
Kelemahan visual sangat parah, f Kelemahan visual yang mendekati buta total, g Kelemahan visual total.
Pendapat di atas, dapat dijelaskan bahwa anak tunanetra
15
dikelompokkan menjadi beberapa kategori berdasarkan tingkat keparahan atau tingkat kehilangan ketajaman penglihatannya. Berbagai pendapat
tersebut juga menjelaskan bahwa anak tunanetra tidak hanya terbatas pada anak-anak yang tidak dapat melihat tetapi juga bagi seseorang yang
mengalami permasalahan dengan ketajaman penglihatannya. Adanya pengklasifikasian pada anak tunanetra dapat digunakan sebagai upaya
dalam memberikan pembelajaran yang sesuai bagi kebutuhan anak. Misalnya untuk anak kurang lihat atau low vision dapat digunakan gambar
yang diperbesar sebagai media dalam menanamkan sebuah konsep materi kepada anak, sedangkan pembelajaran pada anak tunanetra buta total
memerlukan media kongkrit yang dapat diraba, sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas pada anak terkait konsep materi tersebut.
3. Karakteristik Anak Tunanetra