Biografi Ibn Jarīr al-Ṭabarī (W: 310 H)

A. Biografi Ibn Jarīr al-Ṭabarī (W: 310 H)

Biografi adalah gambaran kehidupan seseorang yang biasanya dijadikan penilaian positif atau negatif terhadapnya. 1 Dari definisi ini, dapat

difahami bahwa yang dimaksud dengan biografi Ibn Jarīr al-Ṭabarī adalah gambaran kehidupan Ibn Jarīr ditinjau dari sisi positif dan negatifnya agar bisa dijadikan pelajaran oleh orang-orang yang membacanya.

Nama beliau adalah Ab ū Ja’far Muḥammad Ibn Jarīr Ibn Yazīd Ibn Kath 2 īr Ibn Gālib al-Ṭabarī. Beliau dilahirkan pada tahun 224 Hijriyah dan

wafat pada tahun 310 Hijriyah. Beliau seorang ulama yang jarang diperoleh tolok bandingnya, dalam segi ilmu, segi amal dan segi kedalaman pengetahuannya mengenai al-Qur`an dan jalan-jalan riwayat, baik yang

ṣahīh maupun yang ḍaīf serta keadaan-keadaan sahabat dan tabi’in. 3 Beliau mempunyai kunyah 4 Abū Ja’far sebagai bentuk penghormatan

padanya, dan hal ini telah menjadi tradisi Arab ketika mereka banyak menggunakan kunyah dari nama pemimpin mereka. Diapun tidak mempunyai anak yang biasanya juga digunakan untuk kunyah seseorang,

bahkan dia tidak pernah mempunyai istri selama hidupnya. 5 Mufassir berkaliber dunia ini lahir di kota Ᾱmul sebuah Kota di

daerah Ṭabrastān dan ini termasuk daerah terbesar di kawasan Sahlah. Dengan nama daerah ini beliau diberi laqab ( Ṭabarī) serta dinisbatkan

kepadanya. 6 Selain dinisbatkan pada daerah Ṭabrastān beliaupun terkadang dinisbatkan pada kota Ᾱmul sehingga disebut al- Ṭabarī al- Ᾱmulī. 7

Dia adalah seorang keturunan Arab, walaupun lahir di daerah Ṭabrastān dan namanya dinisbatkan pada daerah ini. Penisbatan dirinya

kepada daerah tersebut adalah penisbatan seseorang pada tempat

1 Ṣāliḥ al-Luḥaidān, Kutb Tarājim al-Rijāl baina al-Jarḥ wa Ta`dīl (Riyāḍ: Dār Tuwaiq li al- Nashr wa Tauzī’, 1410 H), 21.

2 Muḥammad Bakr Ismā’il, Ibn Jarīr al-Ṭabarī Manhajuhu fī al-Tafsīr (al- Q āhirah: Dār al-Manār,1411 H), 9.

3 Muḥammad Ḥasbi al-Ṣiddīqi, Ilmu-ilmu al-Qur`ān (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010 M), 213.

4 Kunyah adalah nama yang berawalan Ab ū atau Ummu, seperti Abu Bakr, Abu Hamzah , Ummu ‘Abdillah dan lain-lain, biasanya disandarkan pada nama anak pertamanya.

5 Muḥammad Bakr Ismā’il, Ibn Jarīr al-Ṭabarī Manhajuhu fī al-Tafsīr (al- Q āhirah: Dār al-Manār,1411 H), 10.

6 Muḥammad Bakr Ismā’il, Ibn Jarīr al-Ṭabarī Manhajuhu fī al-Tafsīr (al- Q āhirah: Dār al-Manār,1411 H), 10.

7 Ṣalāḥ Abd al-Fattāḥ al-Khalidi, Ta’rīf al-Darisīn bi Manāhij al-Mufassirīn (Dimashq: Dār al-Qalām, 2006), 342.

kelahirannya bukan penisbatan pada keturunan atau rahimnya. 8 Sebagaimana al-Bukh ārī yang juga dinisbatkan pada tempat lahirnya.

Al- Ṭabarī (W: 310 H) memiliki kecerdasan yang luar biasa. Bagaimana tidak, beliau adalah seorang ulama yang mampu menghafal al- Qur`an tiga puluh juz ketika umur beliau baru menginjak tujuh tahun, dan menjadi imam dalam salat ketika umur beliau menginjak delapan tahun serta

mulai menulis hadish ketika umur beliau menginjak Sembilan tahun. 9 Beliau adalah seorang ulama terkemuka yang sangat masyhur di

dunia, terutama dalam bidang tafsir dan sejarah. Penguasaan ilmu tafsir serta sejarah yang begitu sempurna menjadikan beliau menyandang gelar bapak tafsir dan bapak sejarah. Gelar ini di dapat karena beliau mempunyai dua kitab yang sangat agung dalam bidang tafsir dan sejarah. Dalam tafsir beliau mempunyai kitab “Jāmi’u al-Bayān fī Ta`wīli al-Qur`ān”, kitab ini diakui sebagai induk dari semua tafsir terutama tafsir bi al-ma`thur. Sedangkan dalam sejarah beliau mempunyai kitab “Tārīkh Umam wa al-Mulūk” yang juga menjadi induk dari semua kitab sejarah. 10

Ulama ini adalah salah seorang jenius yang menafsirkan al-Qur`an secara tuntas dan menyeluruh dan membuat model-model paling maju dari tafsīr taḥlīli, hal ini dilakukan oleh ulama tafsīr setelah mereka merasakan perlunya sebuah tafsīr yang mencakup seluruh ayat al-Qur`an. Hal ini mulai muncul pada akhir abad ke tiga dan awal ke empat hijriyah. 11

Selain seorang mufassir dia juga adalah seorang im ām mujtahid mutlak , bahkan beliau mempunyai madhhab tersendiri yang bernama al- Jarīriyah dan mempunyai pengikut yang membelanya. Hanya saja madzhab ini tidak sampai pada zaman sekarang dikarenakan pengikutnya tidak dapat mempertahankan eksistensinya sebagaimana madzhab empat yang masyhur

di dunia saat ini. 12 Sebelum menjadi mujtahid mutlak beliau sebenarnya mengikuti

Madh hab Syāfi’i dan senantiasa berfatwa dengan madzhab ini. selama dua puluh tahun di Bagdad beliau senantiasa menyampaikan fatwa-fatwanya

8 Muḥammad Bakr Ismā’il, Ibn Jarīr al-Ṭabarī Manhajuhu fī al-Tafsīr (al- Q āhirah: Dār al-Manār,1411 H), 11.

9 Muḥammad Bakr Ismā’il, Ibn Jarīr al-Ṭabarī Manhajuhu fī al-Tafsīr (al- Q āhirah: Dār al-Manār,1411 H), 19.

10 Muḥammad Ḥusein al-Ḍahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (al-Qāhirah: Maktabah Wahbah, 2000 M) Juz 1, 148.

11 M. Quraish Shihab dkk, Sejarah dan Ulūm al-Qur`ān (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008 M), 173.

12 Muḥammad Ḥusein al-Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (al-Qāhirah: Maktabah Wahbah, 2000 M) Juz 1, 148.

dengan kaidah-kaidah yang diambil dari madh hab syafi’i kemudian setelah itu barulah beliau bermadzhab dengan madzhabnya sendiri. 13

Dalam sejarahnya terlihat jelas sekali bahwa Imām al-Ṭabarī (W: 310

H) adalah orang yang sangat bertaqwa kepada Allah Ta’alā, seluruh waktunya selalu dihabiskan dalam rangka beribadah pada-Nya, mulai dari membaca, menulis dan mengajarkan agama Islam ini pada kaum muslimin. Karya-karya yang dihasilkannya selalu menjadi manfaat besar untuk manusia, selain karena kejeniusannya hal inipun diyakini karena pertolongan Allah yang diberikan kepadanya. Di antara hal yang menunjukan ketawāduan dan ketakwaannya dia berkata “Aku beristikhārah (meminta pilihan dan bimbingan) pada Allah untuk mengerjakan kitāb tafsīr, dan aku

memohon pertolongan padaNya atas apa yang telah aku niatkan selama tiga tahun sebelum mengerjakannya, maka Diapun menolongku” 14

Muḥammad Ḥusein al-Dhahabi mengutip perkataan Ibn Ḥajar al- Asqalāni dalam kitabnya Lisān al-Mīzān yang menyatakan bahwa Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī adalah seorang Imam yang sangat bisa

dipercaya, jujur dalam berkata, akan tetapi sedikit tersyubhatkan dengan M 15 anhaj Shī’ah yang tidak membahayakan aqīdahnya.

Dalam kitab ini, Ibn Ḥajar al-Asqalānipun mengutip perkataan al- Ḥāfidz Aḥmad Ibn ‘Ali al-Sulaimāni yang mengatakan bahwa Ibn Jarīr al- Ṭabarī adalah seorang al-Rafiḍi bahkan memalsukan riwayat-riwayat untuk membela kaum Rāfiḍah. Atas perkataannya tersebut Ibn Ḥajar al-Asqalāni mengomentari bahwa pernyataannya tersebut adalah tuduhan tanpa dasar dan pendustaan, bahkan realita sebenarnya menunjukan bahwa Ibn Jarīr termasuk imam kaum muslimin yang selalu dijadikan rujukan oleh mereka, walaupun

kita tidak mengatakan bahwa dia ma’sum dari kesalahan. 16 Bisa jadi yang dimaksud oleh Aḥmad Ibn ‘Ali al-Sulaimāni adalah

Muḥammad Ibn Jarīr Ibn Rustum al-Ṭabarī al-Rafiḍi, bukan Muḥammad Ibn Jarīr Ibn Yazīd Ibn Kathīr Ibn Gālib al-Ṭabarī al-Ᾱmuli. Ibn Jarīr al-Ṭabarī yang pertama adalah seorang Rāfiḍah sedangkan Ibnu Jarīr al-Ṭabarī yang kedua adalah seorang Sunni, keduanya sama dalam nama dan bapak serta laqab akan tetapi kakek keduanya berbeda, karena Aḥmad Ibn ‘Ali al-

13 Muḥammad Ḥusein al-Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (al-Qāhirah: Maktabah Wahbah, 2000 M) Juz 1, 148.

14 Musṭafā al-Ṣāwi al-Juwainī, Manāhij fī al-Tafsīr (Iskandariyah: Mansha`ah al- Ma’ārif, tanpa tahun terbit), 310.

15 Muḥammad Ḥusein al-Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (al-Qāhirah: Maktabah Wahbah, 2000 M) Juz 1, 148.

16 Muḥammad Ḥusein al-Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (al-Qāhirah: Maktabah Wahbah, 2000 M) Juz 1, 149.

Sulaimānī adalah seorang yang ḥāfiẓ mutqin yang mengetahui siapa yang berhak dinilai positif atau negatif. 17

B.

Secara bahasa tafs īr memiliki makna al-bayān (penjelasan) atau al- kashf (membuka) baik yang bersifat konkrit maupun yang bersifat abstrak. Adapun secara istilah tafsīr adalah ilmu yang membahas tentang maksud 18 firman- firman Allāh dengan kesanggupan maksimal yang dimiliki manusia.

Muḥammad Ḥusein al-Ḍahabi, mengutip definisi dari Imam al- Zarkashi yang mendefinisikan tafsīr sebagai “Ilmu yang dengannya dapat difahami firman Allāh yang diturunkan pada Nabi Muhammad Ṣalallāhu ‘alaihi wasallam, menjelaskan makna-maknanya dan menyimpulkan hukum- hukumnya serta memetik hikmah- 19 hikmah yang terkandung di dalamnya”.

Jika ditinjau dari metode penulisan, tafsir Jāmi’u al-Bayān fī Ta`wīli al- Qur`ān termasuk ke dalam al-Tafsīr al-Taḥlīlī yang ditulis oleh Ibn Jarīr dengan sangat panjang. Dan jika dilihat dari bentuk tinjauan dan kandungan

informasi, maka tafsīr ini menggunakan metode al-tafsīr bi al-ma`thūr. 20 Tafsir ini disebut al-T afsīr Tahlīli karena menyoroti ayat-ayat al-

Qur`an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam al-Qur`an Musḥaf ‘Uthmāni. Dan metode ini termasuk metode penafsiran yang paling tua yang sudah di mulai sejak masa sahabat Nabi Muḥammad 21 Ṣalallāhu’alaihi Wasallam.

Dan disebut T afsīr bi al-Ma`thūr karena al-Ṭabarī ketika menafsirkan suatu ayat maka dia akan menafsirkan dengan ath ār (riwayat) baik dengan al-Qur`an itu sendiri, ḥadīth Nabawi atau perkataan para sahabat. Sebab al- Qur`an, hadith dan perkataan sahabat semuanya di dapat dari jalan periwayatan. Dengan istilah lain tafsir ini disebut juga al-T afsīr bi al- R iwāyah (tafsir dengan riwayat) atau al-Tafsīr bi al-Manqūl (tafsir dengan menggunakan kutipan). 22

17 Muḥammad Ḥusein al- Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (al-Qāhirah: Maktabah Wahbah, 2000 M) Juz 1, 149.

18 Muḥammad Ḥusein al- Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (al-Qāhirah: Maktabah Wahbah, 2000 M) Juz 1, 14.

19 Muḥammad Ḥusein al- Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (al-Qāhirah: Maktabah Wahbah, 2000 M) Juz 1, 13.

20 M. Quraish Shihab dkk, Sejarah dan Ulūm al-Qur`ān (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008 M), 174.

21 M. Quraish Shihab dkk, Sejarah dan Ulūm al-Qur`ān (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008 M), 172.

22 M. Quraish Shihab dkk, Sejarah dan Ulūm al-Qur`ān (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008 M), 174.

Kitab ini digolongkan ke dalam al-T afsīr bi al-Ma`thūr bukan berarti seratus persen penafsirannya dengan jalur periwayatan, akan tetapi sebagian besar isinya mengandung athār/riwayat, karena al-Ṭabarī sendiri menggunakan ijtihadnya terutama ketika menyelesaikan periwayatan- periwayatan yang dipandang kontradiktif. Mungkin satu-satunya al-T afsīr bi al-M a`thūr yang barangkali murni adalah tafsir al-Durr al-Manthūr fī tafsīr bi al- 23 Ma’thūr karya al-Suyūṭī.

Kitab Jāmi’u al-Bayān fī Ta`wīli al-Qur`ān termasuk kitab tafsīr yang paling penting untuk dijadikan rujukan. Tafsīr ini adalah tafsīr yang paling tinggi nilainya di antara kitab- kitab tafsīr, karena meliputi riwayat- riwayat yang ṣahīh, terurai dengan baik, ‘irāb, istimbāṭ dan pendapat- pendapat para ulama yang sangat berharga. 24

Tafsīr Ibn Jarīr al-Ṭabarī (W: 310 H) ini mempunyai keistimewaan yang sangat tinggi baik ditinjau dari sisi waktu ataupun dari sisi penyajian. Ditinjau dari waktu maka T afsīr al-Ṭabarī adalah tafsir tertua yang secara utuh sampai pada zaman ini, sedangkan dari sisi penyajian maka tafsir ini

telah disajikan oleh Ibn Jarīr dengan cara yang sangat mengagumkan sehingga beredarlah di kalangan ma nusia sebuah kitab tafsīr yang sangat

berharga dan berkedudukan tinggi. 25 Dalam tafsirnya al- Ṭabarī (W: 310 H) selalu menafsirkan al-Qur`an

dengan al-Qur`an, lalu al-Qur`an dengan al-Sunnah, dan al-Qur`an dengan Perkataan Sababat. 26 Jika terdapat beberapa riwayat dalam penafsiran maka

beliau mengemukakan semua riwayat tersebut lalu mentarj īḥ satu riwayat atas periwayatan yang lain. 27

Metode penafsiran seperti ini banyak dipuji oleh Ahli Ilmu dari kalangan kaum muslimin, sehingga mereka menjadikan Tafsir al- Ṭabarī sebagai tafsir yang paling unggul di banding tafsir-tafsir yang lain. Abd al- Ḥay al-Farmawī menyebutkan Tafsīr al-Ṭabarī adalah tafsir yang paling baik di antara 28 Tafsīr bi al-Ma`thūr yang ada.

Ibn Uthaimīn (W: 1421 H) mencoba menuliskan lima rujukan utama untuk dijadikan sebagai referensi penafsiran al-Qur`an yang baik, dan kelima

rujukan ini semuanya terdapat dalam Tafsīr al-Ṭabarī . Yang pertama adalah

23 Rosihon Anwar, Ilmu Tafs īr (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005 M), 147. 24 Muḥammad Ḥasbi al-Ṣiddqy, Ilmu-Ilmu al-Qur`ān (Semarang: PT. Pustaka Rizki

Putra, 2010 M) 6. 25 Muḥammad Abū Zaid Abū Zaid, Manāhij al-Mufassirīn muhktasar al-Tafsīr wa

al- Mufassirūn (Ṣan’ā: Maktabah Jīl al-Jadīd, 2006 M), 76. 26 Muḥammad Bakr Ismā’il, Ibn Jarīr al-Ṭabarī Manhajuhu fī al-Tafsīr (al-

Q āhirah: Dār al-Manār,1411 H), 44-48. 27 Muḥammad Abū Zaid Abū Zaid, Manāhij al-Mufassirīn muhktasar al-Tafsīr wa

al- Mufassirūn (Ṣan’ā: Maktabah Jīl al-Jadīd, 2006 M), 76. 28 Abd al-Hay al-Farmawi, Metode Tafsir al-Maud ū’i (Bandung: Pustaka Setia,

2002 M), 25.

Kalāmullah, karena menurutnya terkadang al-Qur`an menafsirkan al-Qur`an itu sendiri dan Allah sebagai Rabb yang telah menurunkan al-Qur`an tentu

lebih dapat menjelaskan maksud perkataanNya yang terlebih dahulu diturunkan. Yang kedua perkataan Rasulullah, Ini sangat penting karena Rasulullah adalah sosok manusia yang paling mengerti tentang maksud al- Qur`an. Selanjutnya perkataan Ṣahābat, perkataan Tābi’īn dan apa yang ditunjukan dalam Bahasa Arab dikarenakan al-Qur`anpun diturunkan dengan

bahasa Arab. 29 Tafsīr Ibn Jarīr al-Ṭabarī (W: 310 H) mencakup tiga puluh juz yang

tertuang dalam kitab besar, dahulunya tafsir ini sempat hilang, dan ternyata Allah mentaqdirkan kitab ini menjadi terkenal ketika ditemukan satu manuskrip asli di tempat “Amīr Hāil” al-Amīr Ḥamūd Ibn Rashīd, dari penguasa Najed, lalu kitab tersebut segera dicetak, sehingga di berbagai belahan dunia mendapat kekayaan berupa T afsīr bi al-Ma`thūr yang sangat agung. 30