Neraka Dalam Pandangan Teolog Muslim

1. Neraka Dalam Pandangan Teolog Muslim

Seorang teolog biasanya akan membahas masalah-masalah keyakinan dalam hal keberagamaan seseorang, termasuk di dalamnya masalah surga dan neraka. Pandangan para teolog tentang kekekalan neraka ternyata tidak sama antara satu dan yang lainnya. Biasanya perbedaan ini dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan dan manhaj teolog tersebut.

Di antara Teologi Islam yang terkenal adalah Ahlu al-Sunnah, Mu’tazilah, Asha’riyah, dan Māturidiyah. Keterkenalan teologi ini

dikarenakan banyaknya pengikut masing-masing kelompok dan pandangan- pandangan mereka selalu dikaji dalam kajian ilmiyah oleh para sarjana muslim di dunia.

Ulama Ahlu al-Sunnah menyepakati adanya neraka dan surga bahkan eksistensi keduanya menurut mereka sudah ada, menurut mayoritas Ahlu al- Sunnah neraka akan bersifat kekal untuk orang-orang yang kafir kepada Allah dan akan bersifat sementara untuk orang-orang beriman yang berbuat dosa besar ketika mereka memasukinya. Hal ini bisa dilihat dalam tafsir- tafsir Tokoh Ahlu al-Sunnah seperti tafsir Jāimi’u al-Bayān Fī Ta`wīl al- Qur`ān karya al-Ṭabarī yang menjadi sentral pembahasan pada penelitian ini. al- Ṭabarī walaupun seorang mufassir tentu tidak bisa terlepas dari teologi, sebab hampir setiap orang mempunyai pegangan teologi yang diyakininya. Pandangan al- Ṭabarī tentang hal ini bisa dilihat dengan mudah di dalam tafsirnya terutama ketika dia menafsirkan ayat-ayat tentang kekekalan surga dan neraka. Kesunniyan al- Ṭabarī dinyatakan langsung oleh Muḥammad Ḥusein al-Dhahabī dalam al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. 127

127 Muḥammad Ḥusein al- Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (al-Qāhirah: Maktabah Wahbah, 2000 M) Juz 1, 149.

Sedangkan bagi Mu’tazilah, janji dan ancaman Allah mesti terjadi, jadi wajib bagi Allah untuk menepati janji dan ancamanNya. Tidak melaksanakan janji dan ancaman berarti ketidaksempurnaan dalam pengetahuan dan kemauan Allah. Sehingga dari sini bisa diistinbatkan bahwa jika Allah mengancam orang yang membunuh seorang mukmin dengan neraka, maka wajib bagi Allah untuk memasukkan pelakunya ke dalam

neraka. 128 Dari pemikiran Mu’tazilah seperti ini nampaknya al-Zamakhshari

dalam tafsirnya al-Kash āf menyatakan orang-orang yang berbuat dosa besar seperti membuhuh seorang mu’min kemudian dia tidak bertaubat maka dia

akan berada di dalam neraka selama-lamanya baik yang melakukan pembunuhannya orang mu`min maupun orang kafir. Kesimpulan ini barangkali di dapat karena adanya konsep kewajiban Allah dalam

melaksanakan ancaman-ancamannya. 129 Adapun pendapat Ash’ariyyah tentang hal ini sama dengan pendapat

Ahlu al-Sunnah , sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-Baih āqī (W:458 H) seorang mu 130 ḥadith yang banyak membela faham Asha’irah mengatakan

tentang orang-orang yang meninggal dalam keadaan melakukan dosa besar dan belum sempat bertaubat, bahwa meraka akan berada di bawah kehendak Allah, jika dosa yang dilakukannya berada di bawah level shirik. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat al-Nis ā[004]:116, dan juga sebagai istimbat dari surat al-Kahfi[018]:30, yang menyatakan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan amal kebaikan walau sedikit, dan dalam surat al- Nis ā[004]:40 yang menyatakan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan satu amal walau sedikut, bahkan Dia akan melipat gandakan amalan-amalan baik

bagi seorang mu`min. 131 Begitu juga al-M āturidī sepakat dengan Ahlu al-Sunnah dan

Asy’ariyyah dalam masalah kekekalan neraka ini, yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar jika dia mati dan tidak sempat bertaubat akan berada di bawah kehendak Allah, jika Allah menghendaki mereka akan diampuni dan jika tidak maka mereka akan disiksa di dalam neraka. Jika mereka masuk ke

128 Harun Nasution, Mu ḥammad ‘Abduh Dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI-Press, 2006 M), 88.

129 Jār Allāh Maḥmūd Ibn ‘Umar Ibn Muḥammad al-Zamakhshari, al-Kashhāf ‘an Haqāiq Gawāmiḍ al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqawīl fī Wujūh al-Ta`wīl (Beirūt: Dār al-Kutub

al- ‘Ilmiyyah, 1415 H), 540.

Menurut Ibn Taimiyah, al- Baihāqī adalah seorang Muḥaddith yang sering membela pendapat al- Ash’arī dan Asha’irah, dan mayoritas aqidahnya sama dengan al- Ash’ari, bedanya al-Baihāqī menetapkan sifat Wajah, Dua Tangan dan Mata bagi Allah tanpa men ta’wilnya. Lihat ‘Abd al-Raḥmān Ibn Ṣāliḥ al-Maḥmūd, Mauqif Ibn Taimiyyah min al- Ashā’irah (Riyad: Maktabatu al-Rushd, 1415 H), 589-590.

131 Abū Bakr Aḥmad Ibn al-Ḥusain al-Baihāqī, al-‘Itiqād ‘Alā Madhhabi al-Salaf Ahl al-Sunnah wa al- Jamā’ah (Beirūt: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah,1406 H), 101.

dalam neraka maka keberadaan mereka di neraka tidak akan kekal dan akhirnya mereka masuk ke dalam surga dan pendapat ini sepertinya dituangkan oleh al-M āturidi sebagai sanggahan untuk kelompok Mu’tazilah dan al-Khaw 132 ārij.

Ini adalah pendapat kekekalan neraka menurut beberapa kelompok teologi Islam. Ini hanya perwakilan dari beberapa teolog yang ada karena menurut penulis kelompok inilah yang sering disorot dalam dunia akademik, dan mempunyai pengikut yang cukup banyak di kalangan umat Islam. Dalam masalah kekekalan neraka ini Ahlu al-Sunnah sama dengan Asy’ariyyah dan al-M āturidiyah yang menyatakan bahwa semua orang muslim akan masuk ke dalam surga baik secara langsung ataupun masuk ke dalam neraka terlebih dahulu karena dosa-dosa besar yang dilakukan di dunia dan tidak sempat bertaubat.

Hal ini berbeda dengan pendapat Mu’tazilan dan al-Khawārij yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar yang tidak bertaubat di dunia dan orang-orang kafir akan masuk ke dalam neraka dan mereka kekal semua di dalamnya.