PENGARUH PENGAMBILALIHAN PERUSAHAAN GULA MANGKUNEGARAN
C. PENGARUH PENGAMBILALIHAN PERUSAHAAN GULA MANGKUNEGARAN
1. Pengaruh bagi Kehidupan Ekonomi ”praja” Mangkunegaran
Adanya pengambilialihan perusahaan gula Mangkunegaran Colomadu dan Tasikmadu sangat berdampak bagi eksistensi kehidupan praja Mangkunegaran. Hal ini bisa dilihat dari dampak di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Dengan demikian, adanya perubahan status kepemilikan perusahaan gula Colomadu dan Tasikmadu ke tangan pemerintah RI dianggap sebagai hal hal yang sangat merugikan bagi pihak Mangkunegaran (Narasumber: KRT. Soemarso Pontjosoetjitro). Dampak yang ditimbulkan sebagai berikut :
a. Bidang Politik Adanya perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran memperjelas bahwa status swapraja telah dihapuskan berdasarkan PP No. 16/S.D. Tahun 1946.
Pengelolaan pemerintahan dan keuangan menjadi hak dan tanggung jawab pemerintah RI. Dengan demikian, kekuasaan dan kekuatan politik praja Mangkunegaran dihapuskan, karena sebagai bagian dari NKRI yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Gerakan swapraja yang ada justru membuat Surakarta kehilangan posisi sebagai ”Daerah Istimewa”.
b. Bidang sosial-ekonomi Perubahan pengelolaan gula Mangkunegaran secara ekonomi memperjelas bahwa status kepemilikannya dan hak kekayaan perusahaan beralih ke tangan pemerintah pusat yang menyebabkan Mangkunegaran kehilangan sumber pendapatan yang utama. Dampak perubahan ini bisa dilihat dari adanya perubahan manajemen (tata kelola) yang meliputi struktur pengelolaan, administrasi keuangan, tingkat kesehjateraaan dan gaji bagi para abdi dalem yang mengalami transisi ataupun perubahan sehingga berdampak bagi kehidupan sosial ekonomi di Mangkunegaran.
c. Bidang Sosial-Budaya Bidang sosial-budaya keraton Mangkunegaran tidak dapat mengembangkan budaya keraton secara optimal. Hal ini terkait karena minimnya dana untuk pembiayaan dan pengembangan budaya keraton. Pada tahun 1946 subsidi yang diperoleh sebesar Rp 2.500.000,- setiap bulan melalui karesidenan, tentu hal ini sangat kurang untuk pembiayaan keraton dan penggajian abdi dalem, sehingga dana untuk pengembangan budaya sangat kurang.
Perubahan yang signifikan menyangkut keuangan dan kekayaan praja dari hasil pendapatan perusahaan gula. Perusahaan gula merupakan sumber utama pendapatan praja Mangkunegaran. Keuntungan dari perusahaan gula dapat menjadikan Mangkunegaran mengembangkan industrinya bahkan untuk membangun Bounfonds (bangunan rumah yang disewakan) di Surakarta, Wonogiri dan Semarang, meskipun akhirnya dinasionalisasi (lihat tabel 11). Industri gula Mangkunegaran juga dapat menunjukkan betapa kuatnya posisi praja secara ekonomis dan politis, namun Perubahan yang signifikan menyangkut keuangan dan kekayaan praja dari hasil pendapatan perusahaan gula. Perusahaan gula merupakan sumber utama pendapatan praja Mangkunegaran. Keuntungan dari perusahaan gula dapat menjadikan Mangkunegaran mengembangkan industrinya bahkan untuk membangun Bounfonds (bangunan rumah yang disewakan) di Surakarta, Wonogiri dan Semarang, meskipun akhirnya dinasionalisasi (lihat tabel 11). Industri gula Mangkunegaran juga dapat menunjukkan betapa kuatnya posisi praja secara ekonomis dan politis, namun
Kekayaan Mangkunegaran ada 2, yakni: 1) Rijks Dommein atau kekayaan praja, 2) Eigendommein atau kekayaan pribadi. Dalam hal ini yang diambil alih adalah kekayaan praja berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri di Jakarta tahun 1952 tentang pembekuan harta benda milik Mangkunegaran. Sehingga, perusahaan gula yang dikelola oleh Dana Milik Mangkunegaran diambil alih oleh pemerintah dengan landasan UUD 1945 pasal 33 untuk kepentingan rakyat banyak. Namun disisi lain sangat berdampak bagi tingkat kesehjateraan abdi dalem di Mangkunegaran (Narasumber: KRT. Soemarso Pontjosoetjitro).
b. Pengaruh bagi Perubahan Kehidupan Ekonomi Pegawai Perusahaan Gula Mangkunegaran
Perubahan ekonomi dapat dilihat dari segi kebutuhan lahan dengan harga sewa tanah rakyat, tenaga kerja dan tingkat upah buruh dalam perusahaan gula. Penentuan sewa lahan perkebunan tebu dengan adanya negosiasi antara pemilik lahan dengan pihak perusahaan menunjukkan adanya kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. Gratifikasi tenaga kerja perusahaan gula menunjukkan adanya perbedaan tingkat upah yang mempengaruhi tingkat kehidupan ekonomi masyarakat yang bekerja di perusahaan gula (Wasino, 2004: 9-10).
Ketika pada abad XIX terjadi penyewaan tanah di Surakarta oleh perkebunan- perkebunan swasta, maka muncul masalah dalam tanah apange. Tanah-tanah itu dianggap menyulitkan aspek manajemen dan pengamannnya (Wasino, 1996: 18). Adanya kemerdekaan membawa dampak pada sikap rakyat terhadap hak kepemilikan dan penguasaan tanah. Tanah di wilayah Mangkunegaran yang sejak tahun 1918 diserahkan kepada desa menjadi hak komunal desa dan diberikan penguasaannya kepada penduduk desa dari kalangan kuli kenceng. Sejak itu, penduduk di wilayah ini menjadi merasa tidak sekedar memiliki hak menguasai tanah garapan, tetapi merasa memiliki hak tanah garapan. Tanah-tanah yang semula di sewa oleh perusahaan Ketika pada abad XIX terjadi penyewaan tanah di Surakarta oleh perkebunan- perkebunan swasta, maka muncul masalah dalam tanah apange. Tanah-tanah itu dianggap menyulitkan aspek manajemen dan pengamannnya (Wasino, 1996: 18). Adanya kemerdekaan membawa dampak pada sikap rakyat terhadap hak kepemilikan dan penguasaan tanah. Tanah di wilayah Mangkunegaran yang sejak tahun 1918 diserahkan kepada desa menjadi hak komunal desa dan diberikan penguasaannya kepada penduduk desa dari kalangan kuli kenceng. Sejak itu, penduduk di wilayah ini menjadi merasa tidak sekedar memiliki hak menguasai tanah garapan, tetapi merasa memiliki hak tanah garapan. Tanah-tanah yang semula di sewa oleh perusahaan
Petani di desa sekitar pabrik gula mulai menetapkan harga sewa tanahnya kepada pihak pabrik gula. Penentuan harga sewa tanah menunjukkan adanya keinginan petani meningkatkan harga sewa. Surabrata mengemukakan bahwa:
Pada pertengahan tahun 1946, ada satu desa di sekitar Tasikmadu yang menetapkan harga sewa tanahnya antara f 600 – f1000 per hektarnya selama 18 bulan. Besarnya tawaran sewa dari kaum tani itu menurutnya masih dalam batas kewajaran, misalnya diambil harga sewa sebesar f 900 per hektar dengan biaya produksi @ 50 kuintal gula per hektar, maka per kuintal gula, biaya sewa tanah sebesar f18. hal ini berarti menyerap 12% dari jumlah ongkos produksi tersebut (Wasino, Makalah Workshop on the Economic Side of Decolonization , Agustus 2004. hlm. 10).
Pihak pemerintah Indonesia sejak tanggal 16 Januari tahun 1950 sudah mengadakan peraturan tentang persewaan tanah untuk menjamin ketersediaan lahan untuk perkebunan tebu di satu sisi dan kelayakan sewa tanah yang diperoleh petani. Di dalam instruksi itu diatur, bahwa persewaan antara pabrik dengan rakyat bersifat sukarela dan hanya berlaku dalam rencana satu tahun tanam. Luas lahan bagi setiap desa yang boleh disewa tidak boleh melebihi dari 1/3 luas lahan pertanian di desa itu.
Pihak pabrik berhubungan dengan pihak pamong praja setempat untuk mempertemukan pihak pabrik dengan organisasi petani dalam hal penentuan sewa tanah. Harga uang sewa minimum harus sama dengan hasil bersih petani jika tanah itu dikerjakan sendiri untuk tanaman pangan. Pemerintah menetapkan secara jelas harga sewa tanah untuk tiap lahan tebu yang dibedakan antara lahan tebu biasa, tebu tunas dan tebu bibit. Masing-masing lahan tebu masih dibedakan antara lahan irigasi dan non irigasi (Wasino, 2004: 11).
Selain tanah, tenaga kerja juga merupakan faktor produksi yang penting dalam pengusahaan industri gula. Perolehan tenaga kerja untuk kegiatan produksi gula menjadi isu yang penting dalam masa nasionalisasi pabrik gula Mangkunegaran. Tenaga kerja di pabrik gula Mangkunegaran secara sosial dapat dibedakan menjadi Selain tanah, tenaga kerja juga merupakan faktor produksi yang penting dalam pengusahaan industri gula. Perolehan tenaga kerja untuk kegiatan produksi gula menjadi isu yang penting dalam masa nasionalisasi pabrik gula Mangkunegaran. Tenaga kerja di pabrik gula Mangkunegaran secara sosial dapat dibedakan menjadi
Setiap para pegawai atau tenaga kerja memiliki tingkat upah yang berbeda, tergantung jenis jabatan dan keahlian masing-masing. Pada pasca perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran juga terjadi transisi pegawai, sehingga hal ini berdampak pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitar yang bekerja di perusahaan gula. Kondisi seperti ini yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan pegawai berbeda, karena tergantung pada tingkat jabatan. Lebih jelasnya dapat dilihat pada keterangan daftar gaji di PG. Colomadu berikut :
Tabel. 14. Daftar Gaji Pegawai P.G. Colo Madu Bulan Maret 1947 Bagian
Gaji bersih (Rp) Pegawai Kantor
Gaji pokok(Rp)
5.327,78 Peg. Kebun bag I
747,89 Peg. Kebun bag II
743,15 Peg. Kebun bag III
720,46 Peg. Kebun bag IV
870,53 Peg. Kebun bag V
3.179,65 Kamar obat
7.789,48 Polisi Tanam
989,72 Polisi Tanam
504,06 Penumbuk padi
547,62 Sumber: Diolah dari arsip Rekso Pustoko MN kode L 2613
Perubahan sosial-ekonomi yang utama ditandai dengan mulai dipegangnya jabatan utama dalam perusahaan gula. Setelah perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran menjadi milik pemerintah, maka jabatan dari orang Belanda banyak digantikan oleh penduduk bumi putera. Akhirnya terjadi peningkatan status bagi para bumiputera yang memegang jabatan penting dalam perusahaan gula. Perubahan status jabatan ini turut meningkatkan peningkatan pendapatan dan kesehjateraan masyarakat disekitar perusahaan gula yang memegang jabatan penting. ini ditandai karena adanya perbedaan gaji yang mencolok antara administratur dan buruh pabrik gula rendahan. Tentang perubahan jabatan dalam perusahaan gula dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 15. Jabatan Perusahaan Gula sebelum kemerdekaan RI (1930-an)
No Jabatan Perusahaan Nama Pemegang Jabatan Gula
PG. Tasikmadu
PG. Colomadu
1 Administratur
F.G.H. Wagner
H. M. Wersma
2 Klerek kelas 1
E.F. Bruynsteen
H. J. van Zyll de Jong
3 Pemegang buku
M.R Bartelds
W.G. Hilling
4 Kepala Rayon
D.C. Vreede dan Sikman
5 Pengawas Perkebunan R.S. Brusse, F.W. Badart, J.W. Maquine, D.Fenstra, (Pengkeb.)
C.L.Wisse, H.J. Rudolp* Th.Ackerman*
6 Pengkeb. Percobaan
C. P. Franken
A.J. de Wit
7 Masinis
T.van der Burger,
J. Havenstroom, J.A.B.
L.Sommer, H. Koppel*
Bik, H.C. Offenberg*
8 Kepala Pabrikat
C.H. Tannenbaum
M. D. Brewer
9 Dokter gula R. Soeparwi S., Mc. Neill, M. Grysen,
H. Pontojoedo, Thielman* R.M Sapardjo
10 Kepala Transportasi
A. Zavenboom
F. Wynhamer
11 Pengawas
A. Klerks Penebangan
J Le Clereq de Courcelles,
E.A. Simon,H. Kiksen*
12 Pengawas Gudang
J.P. Groven
- Sumber : Adresboek voor de Java-Suikerindustrie Zesde jaaargang. Uitgegeven: G. Huysman, Soerabaia. Halaman 205dan 221.
13 Kepala penimbangan
F. C. Rumph
Keterangan: * jabatan dipegang lebih dari satu orang.
Tabel. 16. Jabatan Perusahaan Gula Tasikmadu berdasarkan Gratifikasi tahun 1942-1952 No.
Nama Jabatan Pemegang Jabatan
1 Kepala Pabrik
Soepredrik
2 Pemegang Buku
Woerjanto
3 Kepala bagian Personalia
Soemarto
4 Kepala pabrikat
6 Kepala Pengangkutan
Soekari
7 Kepala Tanaman
Soedharno
8 Kepala sinder kebun
Soetadi
9 Sinder Kebun
Abdulwasit
Sumber: Arsip MN VII 5256 tentang daftar Gratificatte Tasikmadu tahun 1942-1950.
Jabatan perusahaan gula di Colomadu tidak ditemukan datanya, tetapi ada ada daftar jabatan yang mengalami transisi pada tahun 1948. Jabatan yang ditempatkan kembali untuk pegawai lama, yakni: Tuan Soenardi dari wakil pemimpin umum kembali menjadi le Gemployerde (Klerek kelas I), Tuan S. Hadiatmojo dari wakil Boekhouder I (pemegang buku I) kembali menjadi pemegang buku II, dan Tuan Soetjipto dari pemegang buku II kembali menjadi pekerja kantor. Selain itu juga terjadi pemindahan jabatan berikut: Tuan Soemanto dipindahkan menjadi kepala juru rawat di PG. Tasikmadu, Tuan Soekari dipindahkan menjadi kepala pengangkutan ke PG. Tasikmadu. Pemindahan jabatan untuk lokasi di PG. Colomadu misalnya Tuan Soemardjo dari pembantu chemiker menjadi chemiker II ( diolah dari MN VII. 5256 Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran).
Sejak pengambilalihan perusahaan gula Mangkunegaran pasca proklamasi, memang semua pegawai pabrik berasal dari kalangan orang Indonesia. Sistem penggajian masih tetap mengikuti pola gaji sebelum nasionalisasi, karena selisih gaji antara pegawai tingkat atas dengan tingkat bawah sangat mencolok. Di pabrik gula Colomadu pada tahun 1947, seorang pegawai kantoran seperti pemegang buku Sejak pengambilalihan perusahaan gula Mangkunegaran pasca proklamasi, memang semua pegawai pabrik berasal dari kalangan orang Indonesia. Sistem penggajian masih tetap mengikuti pola gaji sebelum nasionalisasi, karena selisih gaji antara pegawai tingkat atas dengan tingkat bawah sangat mencolok. Di pabrik gula Colomadu pada tahun 1947, seorang pegawai kantoran seperti pemegang buku
Data tahun 1951 menunjukkan bahwa di pabrik gula yang sama, rata-rata upah yang diterima oleh buruh pabrik bulanan perharinya sebesar Rp Rp 6,30 dengan rentang waktu kerja 7 jam, atau Rp 151,60 per bulan dengan ditambah upah lembur jika bekerja melebihi waktu tersebut. Jumlah gaji tersebut sudah berada di atas rata-rata upah minimum yang ditetapkan oleh Pemerintah RI, yaitu Rp 3,25 per hari dan Rp 0,25 per hari sebagai tunjangan. Sementara itu para buruh harian, baik harian tetap maupun harian lepas menerima upah lebih rendah dibandingkan dengan buruh bulanan, yakni rata-rata sebesar Rp 17,50 sampai dengan Rp 20,00 perminggu, atau Rp 70,00-Rp80,00 per bulan jika terus bekerja dalam satu bulan (Hisbaron Muryanto dalam Wasino, 2004: 14-15). Dengan demikian, perubahan peningkatan taraf kesehjateraan hanya terjadi pada pegawai pabrik gula tingkat atas, kelas menengah ditempati buruh pabrik bulanan yang tetap, sedangkan buruh harian menerima gaji yang sangat berbeda dan lebih rendah dari buruh bulanan.