Perkembangan Perusahaan Gula Mangkunegaran

4. Perkembangan Perusahaan Gula Mangkunegaran

a. Periode Awal Industri Gula (1861-1883)

Perusahaan gula merupakan perusahaan pribadi, sehingga kendali perkebunan tebu berada di bawah Mangkunegara IV. Pabrik gula Colomadu dalam panen tahun 1862 dengan 135 bahu sawah yang ditanami tebu mengahasilkan 6.000 pikul gula atau 45 pikul tiap bahunya. Selain untuk konsumsi lokal, produksi gula juga dijual ke Singapura dan Bandaneira melalui perantaraan firma Cores de Vries. Produksi yang baik dan harga yang memadai telah mendorong pertumbuhan industri gula dengan perolehan laba yang besar. Akhirnya tahun 1870 hutang yang dipinjam untuk modal pembangunan pabrik sudah dapat dilunasi (A.K.Pringgodigdo, 1950 : 48-49).

Pabrik gula Tasikmadu menggunakan tenaga penggerak utama dengan air, sedangkan tenaga uap hanya sebagai tenaga cadangan. Tenaga uap itu kemudian dihapus dengan munculnya berbagai mesin pabrik gula yang baru antara lain dengan kualifikasi double effect (1873), triple effect (1875), dan instalasi carbonatie (1876). Selain itu pabrik gula Tasikmadu juga di dukung oleh adanya perbaikan transportasi, yakni dengan dibukanya jalur kereta api jurusan Solo-Surabaya sebagai bagian dari jalan kereta api pemerintah Staats-Spoorwegen sejak tanggal 24 Mei 1884 (Mansfeld, t.th: 44). Dengan demikian, produksi gula dari pabrik gula Tasikmadu yang akan di kirim ke Semarang tidak lagi diangkut dengan cikar, tetapi dengan menggunakan lori.

b. Periode Krisis Ekonomi (1884-1899)

Pada masa Mangkunegoro V (1884-1899) industri gula Mangkunegaran mengalami kemunduran yang disebabkan oleh adanya faktor dari luar dan faktor dari dalam. Faktor luar adalah terjadinya krisis ekonomi dunia tahun 1880-an, karena adanya proteksi terhadap gula di Eropa yang merupakan pasar utama bagi produksi gula dari Jawa. Bahkan negeri Belanda tidak perlu mendatangkan gula dari Jawa, karena gula disana dapat diperoleh dari Beetwortel. Selain itu disebabkan oleh hama penyakit tebu, yakni dengan adanya penyakit sereh yang menyerang kebun-kebun tebu sampai rusak parah ( Mansfeld: 59).

Faktor dari dalam adalah kesalahan manajemen keuangan dari Mangkunegara

V. Menjelang terjadinya krisis ekonomi tahun 1884, beliau melakukan perluasan usaha dengan membeli pabrik gula Kemiri pada tahun 1883 dari pengusaha asing bernama de’Abo. Sebagian besar tenaga kerja dalam penanaman tebu, tidak dimasukkan dalam kompenen pembayaran, karena mereka merupakan pekerja wajib sebagai kompensasi atas tanah yang digarapnya. Selain itu, anggaran raja dan keluarga sebagian besar juga dibebankan pada pabrik gula. Dengan demikian, keuntungan pabrik gula tidak dapat menutupi biaya produksi yang sebenarnya (Wasino, 2008: 55). Penurunan produksi gula dan luas lahan untuk perusahaan gula Colomadu dan Tasikmadu pada masa Mangkunegara V dapat dilihat dalam penjelasan tabel berikut :

Tabel. 3 Produksi gula Pabrik Colomadu 1884-1889

No Tahun

Luas Lahan (bahu)

Produksi (pikul)

Pikul/bahu

36,5 Sumber : Van Soest, Memorie van den Toestand der Mangkoenegorosche Suiker Fabrieken , Juli 1890, hlm.5.

Tabel. 4 Produksi pabrik gula Tasikmadu 1884-1889

No Tahun

Luas Lahan (bahu)

Produksi (pikul)

Pikul/bahu

43,6 Sumber : Van Soest, Memorie van den Toestand der Mangkoenegorosche Suiker Fabrieken , Juli 1890, hlm.5.

Untuk menutup defisit anggaran, Mangkunegara V mencari pinjaman kepada Pemerintah Hindia Belanda di Jakarta dan kalangan swasta di Semarang. Akhirnya, pemerintah kolonial Belanda mengambil alih segala urusan keuangan Mangkunegaran, termasuk pengelolaan perusahaan gula yang mengalami kemunduran. Urusan keuangan Mangkunegaran diserahkan pada suatu komisi dengan nama “Komisi Keuangan” yang diketuai oleh residen Belanda di Surakarta. Sejak tahun 1885 pengelolaan kekayaan dan kekuangan praja jatuh ke tangan pemerintah Belanda termasuk perusahaan gula Mangkunegaran (Mansfeld, t.th: 65).

c. Periode Sebelum Reorganisasi Agraria

Pada tahun 1896 Mangkunegara V digantikan oleh Mangkunegara VI yang dikenal sebagai raja yang sangat hemat dengan menekan sekecil mungkin pengeluaran praja yang di pandang kurang mendesak. Akhirnya, atas tindakan penghematan ini hutang Mangkunegaran dapat dilunasi. Sejak tanggal 1 Juni 1899 pabrik gula Mangkunegaran dikembalikan pengelolaannya kepada pihak Mangkunegaran (Wasino, 2008: 76). Dengan demikian, Mangkunegara VI telah berusaha keras untuk bisa mengambil alih pengelolaan pabrik gula supaya bisa kembali menjadi milik praja.

Sebelum reorganisasi agraria (1899-1917), terjadi perkembangan lahan, hasil tebu, dan produksi gula yang mengalami peningkatan seiring membaiknya manajemen industri gula Mangkunegaran. Lahan yang digunakan untuk perkebunan tebu tidak hanya di wilayah Mangkunegaran, tetapi meluas sampai ke wilayah Kasunanan dengan cara sewa lahan. Misalnya, pada tahun 1912 wilayah kebun tebu Triagan di sewa oleh manajemen Tasikmadu. Untuk wilayah Tasikmadu data luas lahan di temukan untuk tahun 1911-1917. Tabel 4.3. memberikan gambaran tentang luas lahan tebu Tasikmadu pada periode awal ketika industri gula kembali dikelola oleh praja Mangkunegaran.

Tabel 5. Luas lahan tanaman tebu dan banyaknya tebu hasil pembelian dari pabrik gula Tasikmadu 1911-1917

Tahun Tebu tanaman sendiri Banyak tebu Jumlah tebu pembelian

digiling Luas areal

( kuintal) (kuintal) Hasil tebu

Rata2 hasil

(hektar)

(kuintal)

tebu / ha

373.681 1.620.741 Sumber : A.K. Pringgodigdo, 1950. Geschiedenis der Ondermingen van het Mangkoenegorosche Rijk’s , S-Gravenhage : Martinus Nijhoff, hlm.127.

Berbeda dengan perkebunan tebu Tasikmadu, data tentang luas lahan secara kontinyu di wilayah perkebunan Colomadu pada awal abad XX tidak ditemukan. Data yang dapat dikemukakan hanyalah luas lahan tahun 1904 sebagaimana tercermin dalam tabel berikut :

Tabel 6. Luas Lahan Tebu Colomadu tahun 1904

No Afdeling Lahan sawah yang di tanami tebu Bahu Ru (4m)

1.723,15 Disarikan dari: MN VI 134 Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran

Perbaikan proses penanaman tebu dan pembaruan mesin-mesin pabrik telah mendorong perkembangan produksi di perusahaan gula Mangkunegaran. Misalnya, dengan adanya pembangunan gedung dan instalasi pabrik gula tahun 1912 untuk meningkatkan kapasitas penggilingan (Wasino, 2008: 90). Meskipun demikian, produksi dalam kedua pabrik gula mengalami perbedaan. Produksi gula yang besar dari tahun ke tahun telah menghasilkan keuntungan besar bagi perusahaan gula Mangkunegaran. Adapun perkembangan keuntungan dari kedua pabrik gula Mangkunegaran pada abad XX terlihat dalam tabel berikut :

Tabel 7.

Keuntungan pabrik gula Mangkunegaran tahun 1899-1917 (f1000) Tahun

Pabrik gula

1.203,9 Sumber : A.K. Pringgodigdo, 1950. Geschiedenis der Ondermingen van het Mangkoenegorosche Rijk’s , S-Gravenhage : Martinus Nijhoff, hlm.131.

Keuntungan pabrik gula Mangkunegaran yang semakin besar digunakan untuk beberapa keperluan. Keuntungan tersebut digunakan untuk keperluan berikut : (1) peningkatan modal usaha, baik untuk pengembangan pabrik gula maupun usaha lain, (2) untuk tunjangan atau gaji para bangsawan dan aparat pemerintahan Mangkunegaran serta anggota kerabat raja, (3) untuk kepentingan rakyatnya dalam bentuk pembangunan sarana irigasi, fasilitas pendidikan, jalan raya dan sebagainya (Wasino, 2008: 91-92).

d. Masa Reorganisasi Agraria sampai Pendudukan Jepang (1917-1942)

Pada masa pemerintahan Mangkunegara VII (1916-1944), kekayaan milik Mangkunegaran termasuk industri gula berada di bawah suatu badan dengan nama Fonds van Eigendommen van het Mangkeonegorosche Rijk’s (Dana Milik Praja Mangkunegaran). Dana Milik Praja Mangkunegaran terdiri dari perkebunan- perkebunan, pabrik-pabrik, hutan-hutan, rumah-rumah yang disewakan, gedung- gedung, pekarangan, dan modal pokok milik Mangkunegaran. Pengelolaan dilakukan oleh Comissie van Beheer Fonds van Eigendommen van het Mangkoenegosche Rijk’s (Komisi Pengelola Dana Milik Mangkunegaran). Komisi terdiri dari kepala trah Mangkunegaran sebagai ketua komisi, superitenden bangsa Eropa yang diakui oleh gurbenur jenderal, dan pegawai pamong praja Belanda yang ditunjuk residen. Kegiatan sehari-hari komisi dilaksanakan oleh superitenden (Arsip MN VIII 4843).

Komisi dibentuk pada akhir tahun 1916 yang secara khusus mengurusi Dana Milik Praja Mangkunegaran, termasuk perusahaan gula agar berjalan semakin intensif. Pembentukan komisi bersamaan dengan terjadinya reorganisasi agraria di Surakarta yang menghambat kinerja perusahaan gula. Reorganisasi agraria membawa perubahan dalam hal pengurusan dan penguasaan tanah. Perubahan ini mengganggu kinerja industri gula terutama dalam perolehan lahan tebu dan tenaga kerja yang bekerja di perkebunan. Reorganisasi agraria telah menyebabkan hilangnya tanah yang subur karena diserahkan kepada para pamong desa untuk usaha tanaman pangan yang lebih menguntungkan (Wasino, 2008: 92).

Pihak manajemen industri gula Mangkunegaran melakukan sejumlah strategi untuk menghadapi perubahan yang terjadi akibat reorganisasi agraria. Strategi yang ditempuh dengan cara : (1) menanam bibit di wilayah pabrik gula sendiri, (2) ekspansi tanaman melalui perluasan areal, (3) penggunaan pupuk kimia, (4) perbaikan irigasi, (5) penggunaan tebu bibit unggul, (6) memperbaiki dan menambah mesin-mesin.

Masa kejayaan industri gula Mangkunegaran kembali terpuruk akibat krisis ekonomi tahun 1930-an. Krisis ekonomi mengakibatkan permintaan gula menurun yag diikuti dengan menurunnya harga gula di pasaran internasional. Hal ini sangat ironis karena menjelang krisis itu pabrik gula baru saja memperbaiki instalasi pabrik untuk menambah kapasitas giling tebu. Krisis menyebabkan penurunan areal tanam di kedua pabrik gula Mangkunegaran. Penurunan mencolok pada tahun 1933, di wilayah Tasikmadu luas areal tinggal 1.694,70 hektar, sedangkan di wilayah Colomadu luas areal tanaman tebu tinggal 800 hektar.

Tabel 8. Luas lahan tanaman tebu pabrik gula pasca krisis ekonomi dunia 1930-an (hektar) Tahun Tasikmadu

Colomadu Tanaman Membeli Total Tanaman Membeli Total sendiri

- 862 Sumber : A.K. Pringgodigdo, 1950. Geschiedenis der Ondermingen van het Mangkoenegorosche Rijk’s , S-Gravenhage : Martinus Nijhoff, hlm.131.

Sejak tahun 1896-1930, industri gula Mangkunegaran dalam kondisi sehat. Perkembangan produksi gula mengalami gangguan produksi dan pemasaran akibat krisis ekonomi 1930-an, akibatnya kinerja industri gula terus mengalami penurunan. Kondisi ini makin buruk ketika masa pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan Indonesia. Ketika industri gula Mangkunegaran diambil alih pemerintah tahun 1946, kinerja industri sesungguhnya sudah buruk.

e. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)

Pada bulan Maret 1942 Jepang berhasil merebut Hindia-Belanda. Pemerintah Hindia Belanda memperhitungkan bahwa invasi Jepang tidak dapat di tahan lagi, maka mulailah dilaksanakan aksi bumi hangus. Obyek vital yang sebagian besar terdiri dari alat produksi dihancurkan. Akibatnya ialah bahwa pada awal pendudukan Jepang hampir seluruh kehidupan ekonomi lumpuh dan berubah dari keadaan normal menjadi ekonomi perang (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990 : 41).

Sejalan dengan perkembangan keamanan, pemerintah militer Jepang mengambil alih semua bidang kegiatan dan pengawasan ekonomi. Langkah pertama yang di ambil Jepang dalam pemulihan kondisi ekonomi adalah rehabilitasi prasarana ekonomi seperti jembatan, alat transportasi dan telekomunikasi. Selain itu juga mengelurkan peraturan yang bersifat kontrol terhadap berbagai kegiatan ekonomi (Pratiwi, 2006: 36). Peraturan ekonomi Jepang yang bersifat kontrol tersebut, misalnya peraturan terhadap perusahaan perkebunan di Surakarta.

Pengawasan terhadap penggunaan dan sisa barang yang disita dari musuh diperketat. Harta milik musuh yang disita oleh pemerintah pendudukan Jepang antara lain: perkebunan, bank, pabrik, perusahaan vital seperti pertambangan, listrik, telekomunikasi dan perusahaan transportasi (Marwati Djoened dan Nogroho Notosusanto, 1990: 41).

Khusus mengenai perkebunan dikeluarkan Undang-Undang No. 22 tahun 1942 yang menyatakan Gunseikan (Kepala Pemerintahan Militer Jepang) langsung mengawasi perkebunan kopi, kina dan karet. Pelaksanaan perkebunan diserahkan Khusus mengenai perkebunan dikeluarkan Undang-Undang No. 22 tahun 1942 yang menyatakan Gunseikan (Kepala Pemerintahan Militer Jepang) langsung mengawasi perkebunan kopi, kina dan karet. Pelaksanaan perkebunan diserahkan

semua perkebunan sebagai penunjang kebutuhan perang. Jenis perkebunan yang dinilai sebagai penunjang kebutuhan perang yang mendapat perhatian dari pemerintah militer Jepang, khususnya karet dan kina (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990: 42).

Tanaman perkebunan yang sudah ada sejak zaman Hindia Belanda seperti kopi, tebu, teh dan tembakau kurang mendapat perhatian karena diklasifikasikan sebagai barang kenikmatan yang tidak berguna untuk perang, maka di beberapa daerah tanaman-tanaman itu diganti dengan tanaman jarak, kapas dan rami atau rosela (Julianto Ibrahim, 2004: 68). Dengan demikian, tanaman komoditi eksport telah diubah menjadi tanaman perkebunan untuk kepentingan perang Jepang.

Pada pendudukan Jepang, industri gula diusahakan kembali dengan modal swasta Jepang. Sebagian besar pabrik-pabriknya telah berhasil dibumihanguskan oleh Belanda, sehingga sebagian diantaranya dilakukan rehabilitasi. Jepang mengalami kesulitan dalam usaha pembukaannya kembali, karena kekurangan tenaga-tenaga ahli, sehingga personil ahli Belanda masih dipergunakan. Dari jumlah pabrik di Jawa yang semula 85 buah, yang berhasil direhabilitasi ada 13 pabrik. Sebagai pengawas industri gula oleh pemerintah Jepang dibentuk Togyo Rengokai atau Persatuan Perusahaan Gula (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990: 43).

Persediaan gula di Jawa telah dianggap cukup dan yang diperkenankan menghasilkan surplus ekspor hanya negeri Jepang dan Taiwan, maka produksi gula setiap tahunnya dikurangi. Persediaan itu termasuk untuk kepentingan perang dan penduduk. Gunseikan mengeluarkan Osamu Seirei No.31/1944 yang menyatakan Persediaan gula di Jawa telah dianggap cukup dan yang diperkenankan menghasilkan surplus ekspor hanya negeri Jepang dan Taiwan, maka produksi gula setiap tahunnya dikurangi. Persediaan itu termasuk untuk kepentingan perang dan penduduk. Gunseikan mengeluarkan Osamu Seirei No.31/1944 yang menyatakan

Jenis perkebunan yang diutamakan oleh Jepang adalah tanaman yang berhubungan dengan kepentingan perang, yaitu tanaman jarak, kapas dan rami (rosela). Surakarta yang sangat cocok dan merupakan sasaran utama penanaman jarak adalah Wonogiri dan sebagian daerah Boyolali, Klaten dan Sukoharjo. Penanaman kapas berada di daerah Wonogiri, Sragen, Karanganyar dan Boyolali. Rami (rosela) ditanam di daerah yang dipergunakan untuk membuat karung goni yang diproduksi di Delanggu (Dyah Sotya Permatasari, 2008: 76).

Daerah perkebunan tebu Surakarta terutama di daerah Sragen, Boyolali, Klaten dan Karanganyar telah diganti menjadi perkebunan penunjang kepentingan perang Jepang. Sebelumnya daerah tersebut merupakan daerah perkebunan tanaman ekspor seperti tembakau, dan tebu. Dengan demikian masa pendudukan Jepang produksi gula di Surakarta menurun, meskipun ada yang masih berproduksi, yakni perusahaan gula Mangkunegaran. Kondisi perusahaan gula Mangkunegaran pada masa pendudukan Jepang mengalami penurunan produksi yang sangat besar. Keadaan ini terlihat pada tabel 4.7 untuk PG Tasikmadu, sedangkan untuk PG Colomadu tidak ditemukan.

Tabel 9. Produksi Gula PG. Tasikmadu masa pendudukan Jepang

No Keterangan Umum Produksi dihitung dalam kwintal Tahun 1942 Tahun 1943 Tahun 1944

1 Permulaan pabrik bekerja

8/6-1943 25/6-1944

2 Penghabisan bekerdja

28/7-1943 30/7-1944

3 Kristal gula tiap ha

4 S.H.S tiap ha

5 Penghasilan gula

166.403,47 117.479,- Disarikan dari: MN VIII 5256 Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran

6 Djumlah S.H.S