Kebijakan Pengambilalihan Perusahaan Gula Mangkunegaran.

2. Kebijakan Pengambilalihan Perusahaan Gula Mangkunegaran.

Pada akhir pendudukan Jepang dan masa awal Republik Indonesia, keadaan ekonomi sangat kacau karena terjadinya hiper inflasi. Situasi keuangan yang sulit yang dialami oleh pemerintaha Indonesia masih ditambah dengan dilakukannya blokade-laut oleh Belanda dengan tujuan untuk menutup pintu keluar-masuk perdangangan sebagai usaha untuk melumpuhkan ekonomi Indonesia. Adapun alasan Belanda melakukan blokade ini adalah : (1) Untuk mencegah dimasukkannya senjata dan peralatan militer ke Indonesia, (2) Mencegah dikeluarkannya hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan milik asing lainnya, (3) Melindungi bangsa Indonesia dari tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh bukan bangsa Indonesia (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990: 172-173).

Di tahun-tahun awal setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tahun 1945, para pemimpin nasional hanya secara sepintas memperhatikan masalah pembangunan. Perjuangan secara fisik maupun diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaan dan melawan Belanda telah menyerap banyak perhatian. Pembicaraan mengenai masa depan ekonomi Indonesia, fokusnya lebih ditujukan pada upaya rehabilitasi dan reskontruksi untuk memperbaiki kehancuran yang diakibatkan oleh perang kemerdekaan (Bondan Kanuyoso, 2001: 10).

Pertumbuhan ekonomi pasca kemerdekaan yang kacau mendorong pemerintah untuk berusaha menembus blokade ekonomi Belanda dan muncul pemikiran mengenai ketahanan ekonomi. Pada bulan Februari 1946 pemerintah melakukan konferensi yang dipimpin oleh Ir. Darmawan Mangunkusumo selaku Menteri Kemakmuran. Tujuan konferensi ini ialah untuk memperoleh kesepakatan yang bulat di dalam menangulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak. Masalah-masalah yang dihadapi pemerintah adalah; (1) masalah produksi dan distribusi bahan makanan, (2) masalah sandang, (3) status dan administrasi perkebunan-perkebunan (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990: 178-179).

Pasca kemerdekaan Indonesia, persoalan penguasaan aset perusahaan- perusahaan asing di wilayah ini menjadi isu yang cukup menarik terutama yang menyangkut perusahaan pekebunan. Persoalannya adalah bahwa peralihan kekuasaan dari pemerintah kolonial menjadi pemerintah Republik Indonesia tidak diikuti dengan peralihan penguasaan semua aset ekonomi. Pengalihan aset ekonomi hanya terjadi pada badan-badan pemerintah kolonial yang telah diambil alih oleh pemerintah Bala Tentara Jepang. Aset-aset asing yang dikuasai oleh pihak perusahaan swasta asing masih tidak jelas statusnya. Pengelolaan perusahaan-perusahaan itu menjadi terganggu akibat terjadinya perang kemerdekaan. Banyak pengusaha dan pekerja asing yang meninggalkan perusahaannya kembali ke negeri Belanda. Ada pula yang bertahan di Indonesia, meskipun usahanya tidak berjalan maksimal (Wasino, Makalah Workshop on the Economic Side of Decolonization, Agustus 2004. hlm. 1).

Konferensi ekonomi kedua diadakan di Solo pada tanggal 6 Mei 1946. Dalam konferensi ini rencana konkret yang disarankan oleh Wakil Presiden Moh. Hatta adalah rehabilitasi pabrik-pabrik gula, karena gula merupakan bahan eikspor yang penting dan pengusahaannnya harus dikuasai negara. Hasil ekspor ini diharapkan dapat dibelikan atau ditukar dengan barang-barang lainnya yang sangat dibutuhkan oleh RI (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990: 179).

Realisasi yang konkret adalah penguasaan dan pengubahan administrasi perusahaan gula. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.3/1946 tanggal 21 Mei 1946 dibentuk Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara (BPPGN) dengan status perusahaan Negara. BPPGN dipimpin oleh Notosudirdjo. Peraturan mengenai gula disusun dengan peraturan Pemerintah No.4 tahun 1946 tanggal 6 juni 1946, mengenai pembentukan Perusahaan Perkebunan Negara (PPN). Status PPN adalah perusahaan negara yang mempunyai tugas: (1) meneruskan pekerjaan bekas perusahaan perkebunan yang dikuasai oleh Jepang, (2) mengawasi bekas perkebunan milik Belanda, (3) mengawasi perkebunan-perkebunan lainnya dengan cara mengawasi mutu produksinya (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990: 179-180).

Pengambilalihan ini semula banyak dilakukan oleh badan-badan perjuangan, namun kemudian ditertibkan oleh Pemerintah Indonesia, terutama dilakukan oleh pihak militer. Salah satu penguasa bumi putra yang asetnya diambil alih oleh negara adalah perusahaan gula Mangkunegaran. Pengambilalihan aset milik Praja Mangkunegaran setelah berakhirnya pemerintahan swapraja berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 16/S.D. tanggal 15 Juli tahun 1946. Pengambilalihan perusahaan gula Mangkunegaran dilakukakan oleh pemerintah dengan menempuh berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan pemerintahan, Presiden (pihak eksekutif) dan keputusan pengadilan (pihak yudikatif).

Kebijakan pemerintah RI dalam pengambilalihan perusahaan gula Mangkunegaran merupakan tindakan rasional dalam membangun perekonomian nasional pasca kemerdekaan. Berdasarkan UUD 1945 tersebut, pemerintah menerapkan perekonomian yang sesuai dengan kepentingan rakyat atau hajat hidup orang banyak. Pemikiran membangun suatu perekonomian nasional, dengan mendasarkan pada :

pasal 33 UUD 1945 ayat 2)” Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak di kuasai oleh

negara, 3) Bumi, air dan kekayaaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”