LATAR BELAKANG MASALAH PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Manusia sebagai Homo economicus, tidak akan pernah lepas dari pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut akan terus-menerus mendorong manusia untuk melakukan pemenuhan Verplanken, 2001. Salah satu cara yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan adalah dengan membeli suatu barang atau jasa. Perilaku membeli dikenal juga dengan berbelanja. Belanja didefinisikan sebagai suatu aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan suatu barang dengan jalan menukarkan sejumlah uang sebagai pengganti barang tersebut Tambunan, 2005. Belanja merupakan aktivitas yang menyenangkan bagi banyak orang dan terkadang sebagian orang tidak dapat dipisahkan dari kebiasaan belanja. Banyak motif-motif yang mendasari perilaku berbelanja, diantaranya ingin menjalankan peran yang diharapkan misalnya berperan sebagai ibu rumah tangga, sebagai peralihan dari rutinitas kehidupan sehari-hari, memuaskan dorongan yang ada dalam diri, mempelajari trend baru yang berkembang, dan sebagai aktivitas fisik yang menstimulasi indera Schiffman, 1994. Manusia ketika berbelanja disebut sebagai konsumen, yaitu seseorang yang melakukan beberapa aktivitas seperti pembelian, penggunaan barang dan jasa dan mengevaluasinya Schiffman, 1994. Pada mulanya belanja hanya merupakan suatu konsep untuk menunjukkan suatu sikap untuk mendapatkan barang yang menjadi keperluan sehari-hari, namun tak jarang pula orang berbelanja hanya untuk memenuhi Universitas Sumatera Utara hasrat atau dorongan dari dalam dirinya Verplanken Herabadi, 2001. Coob Hoyer, 1972 dalam Buendicho, 2003 mengatakan konsumen seperti ini disebut dengan impulse puschaser. Impulse puschaser adalah konsumen yang melakukan pembelian untuk memenuhi hasrat atau dorongan dari dalam diri. Pembelian tipe inilah yang disebut sebagai impulse purchase atau pembelian impulsif. Pembelian impulsif adalah kecenderungan perilaku membeli yang terjadi tanpa adanya perencanaan atau pemikiran terlebih dahulu American Marketing AssociationAMA, dalam Buendicho, 2003. Pembelian impulsif ini dikaitkan dengan aspek reaksi emosi dari objek pembelian misalnya produk, kemasan, harga, dan lain- lain. Rook dalam Verplanken, 2001 mengatakan pembelian impulsif adalah pembelian yang tidak terencana yang dikarakteristikkan dengan pembelian yang mendadak, yang diikuti dengan perasaan menyenangkan dan memuaskan. Dengan kata lain, pembelian impulsif adalah tindakan yang tidak sengaja dan diikuti oleh respon emosional yang sangat kuat. Pembelian impulsif juga dikaitkan dengan pembelian yang tidak memikirkan konsekuensi terhadap barang yang telah dibeli, misalnya uang yang dihabiskan untuk barang yang tidak perlu Rook Gardner, 1987 dalam Verplanken 2001. Pembelian impulsif dikatakan juga sebagai pembelian yang tidak rasional dan diasosiasikan dengan pembelian yang cepat dan tidak direncanakan Verplanken Herabadi, 2001. Fokus perhatian individu hanya terletak pada kepuasan yang spontan terhadap pembelian suatu barang. Keputusan untuk membeli dibuat dengan spontan. Waktu yang dibutuhkan dalam proses pembelian juga sangat singkat. Oleh Universitas Sumatera Utara karena itu, orang-orang dengan kecenderungan pembelian impulsif ini hampir tidak mungkin untuk menunda pembelian dengan melakukan pertimbangan, berdiskusi dengan orang lain, atau membandingkan produk yang satu dengan produk yang lain Rook Fisher, 1995. Orang-orang dengan kecenderungan pembelian impulsif yang tinggi akan lebih peka terhadap ide-ide pembelian yang tidak diharapkan dan lebih siap untuk merespon pembelian barang secara spontan Konsumen dengan kecenderungan pembelian impulsif yang tinggi juga akan lebih menerima ide-ide yang timbul secara spontan untuk melakukan pembelian. Perilaku seperti ini berbeda dengan pembelian yang direncanakan. Konsumen dengan tipe pembelian yang terencana, akan melakukan serangkaian langkah-langkah perencanaan untuk memutuskan apakah akan melakukan pembelian atau tidak Bearden Netemeyer dalam Verplanken, 2001. Pembelian impulsif memiliki 2 elemen inti yaitu elemen kognitif dan elemen afektif. Elemen kognitif meliputi kegiatan pembelian yang diikuti dengan kurangnya perencanaan dan ketidaksabaran untuk mendapatkan suatu barang. Elemen afektif meliputi pembelian yang disertai dengan respon emosi Verplanken Aarts, 1999. Respon emosi ini meliputi perasaan senang dan puas setelah pembelian dilakukan, namun pembelian dilakukan atas timbulnya perasaan yang mendorong untuk segera melakukan pembelian Dittmar Drury, dalam Verplanken, 2001. Membeli dengan impulsif dapat menghilangkan dorongan emosi negatif yang terdapat dalam diri individu. Universitas Sumatera Utara Pembelian impulsif telah menjadi gaya hidup yang menyebar ke setiap segmen populasi dan terjadi diberbagai situasi dan budaya yang berbeda Kacen Lee, 2002. Lembaga survey Myvesta dalam Citacinta, 2009 tahun 2009 mengungkapkan, 64.8 konsumen yang berusia18-24 tahun mengalami perubahan emosi sesaat sebelum dan setelah belanja. Pada usia tersebut rata-rata konsumen berstatus sebagai mahasiswa. Konsumen merasa ada dorongan emosional dalam dirinya yang menyebabkan mereka berbelanja. Pembeli tipe ini disebut sebagai pembeli impulsif karena mereka merasakan adanya dorongan emosi negatif yang dapat dihilangkan dengan melakukan aktivitas seperti berbelanja dengan impulsif Verplanken Herabadi, 2001. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh mahasiswi USU pada wawancara tanggal 7 dan 8 september 2009 berikut ini : “Kalau saya melihat barang unik yaa langsung saya beli. Karena kalau gakdibeli ntar jadi merasa gak nyamanlah. Apalagi kalau lagi stress, belanja bisa jadi obatlah” Elka, 18 tahun; mahasiswi Psikologi angkatan 2009 “Biasanya merasa gak nyaman kalau liat barang cantik, terus gak dibeli” Myesa, 22 tahun; mahasiswi Psikologi angkatan 2005. Hasil survey yang dilakukan pada tanggal 16 september kepada 53 mahasiswa USU Fakultas Kedokteran juga menunjukkan adanya kecenderungan pembelian impulsif pada mahasiswa. Berdasarkan survey tersebut, sebanyak 71.6 atau 38 mahasiswa, memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang tinggi, dan 28.4 atau 15 mahasiswa, memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang rendah. Data diatas dapat dilihat melalui tabel berikut : Universitas Sumatera Utara Tabel 1. Gambaran persentase kecenderungan pembelian impulsif mahasiswa S1 Fakultas Kedokteran USU angkatan 2009 Kecenderungan Pembelian Impulsif Frekuensi Persentase Tinggi 38 orang 71,6 Rendah 15 orang 28.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan pembelian impulsif yaitu : kondisi mood dan emosi konsumen, normative influence pengaruh lingkungan, kategori produk dan pengaruh toko, variabel demografis dan variabel perbedaan individu Thai, 2003. Variabel perbedaan individu meliputi karakteristik- karakteristik khas individu yang salah satunya adalah trait karakter individu Verplanken Herabadi, 2001. Penelitian-penelitian telah dilakukan untuk melihat pembelian impulsif ini terkait dengan karakteristik perbedaan individu. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Verplanken Herabadi 2001 yang ingin melihat hubungan pembelian impulsif ini dengan trait-trait individu. Hasilnya menunjukkan adanya hubungan antara trait-trait individu dengan pembelian impulsif Verplanken Herabadi, 2001. Penelitian ini juga diperkuat oleh Rook 1995 yang mengatakan bahwa salah satu aspek psikologis terkait dengan pembelian impulsif adalah trait di dalam diri individu. Trait merupakan prediktor yang signifikan terhadap kecenderungan pembelian impulsif. Trait adalah karakter khas yang bersifat jangka panjang yang membedakan individu satu dengan yang lain Lahey, 2004. Ketika Universitas Sumatera Utara seseorang dikatakan ramah, pemarah, agresif maka mereka disebut memiliki trait ramah, trait pemarah, trait agresif. Trait-trait tersebut menyusun kepribadian manusia. Kepribadian didefinisikan sebagai respon yang konsisten terhadap stimulus lingkungan Engel Blackwell, 1995. Kepribadian merupakan suatu pola yang relatif permanen dari sifat, watak atau karakteristik yang memberikan konsistensi pada perilaku seseorang Feist Feist 2002. Eysenck dalam Suryabrata, 2000 menambahkan kepribadian sebagai jumlah keseluruhan dari pola perilaku yang aktual dari organisme yang ditentukan oleh hereditas dan lingkungan. Kepribadian memainkan peran penting dalam berbelanja. Dalam berbelanja konsumen mendasarkan keputusan pembelian mereka berdasarkan kepribadian mereka. Bagaimana konsumen memandang diri mereka, begitu pulalah mereka akan memilih produk mana yang akan mereka konsumsi. Seperti yang terlihat di banyak peristiwa, konsumen memiliki selera tersendiri ketika ditawarkan jenis produk yang sama namun memiliki merek dan kemasan berbeda. Misalnya produk mobil yang ditawarkan kepada beberapa konsumen. Mobil-mobil yang ditawarkan memiliki merek dan warna berbeda. Masing-masing konsumen akan memilih mobil yang memiliki warna serta merek yang sesuai dan dianggap dapat mewakilii karakter dirinya. Konsumen akan menampakkan karakter yang mampu merespon berbagai situasi yang dihadapkan padanya. Secara alamiah konsumen akan membangun seperangkat karakteristik yang relatif tetap yang mampu memberikan jawaban bagaimana seharusnya mereka merespon setiap situasi. Artinya, kepribadian Universitas Sumatera Utara merupakan panduan konsumen dalam memilih cara untuk memenuhi tujuannya dalam berbagai situasi yang berbeda Ferrina, 2008. Psikologi kepribadian membutuhkan suatu model deskriptif atau taksonomi untuk mencoba menggambarkan kepribadian individu. Adanya taksonomi dapat membantu peneliti melihat gambaran kepribadian individu yang berbeda-beda yang membuat individu menjadi makhluk yang unik John Srivasta, 1999. Psikologi kepribadian kemudian memperoleh suatu pendekatan taksonomi kepribadian yang dapat diterima secara umum yaitu The Big Five Personality John Srivastava, 1999. Kerangka berpikir Big Five merupakan suatu model hirarki kepribadian dengan lima faktor yang setiap faktornya menjelaskan kepribadian dengan jelas dan sangat luas. Pandangan Big Five menyatakan bahwa setiap perbedaan individu dalam kepribadiannya dapat dikelompokkan ke dalam 5 lima bagian secara empiris Gosling, Rentfrow, Swann Jr, 2003. Istilah Big Five pertama kali dicetuskan oleh Lew Goldberg dalam Pervin 2005. Srivastava 2008 mengatakan Big Five merupakan lima dimensi sifat kepribadian yang meluas. Faktor-faktor tersebut adalah: Extraversion Surgency, Agreeableness, Conscientiousness, Neuroticism terkadang terbalik dan disebut dengan Emotional Stability, Openness to Experience terkadang disebut dengan Intelect atau Intelect Imagination. Dimensi extraversion terdiri dari sifat-sifat seperti: suka berbicara, berenergi, dan asertif. Dimensi agreeableness ini mencakup sifat-sifat, seperti simpati, baik hati, dan berperasaan. Dimensi Conscientiousness cenderung teratur, teliti, dan terencana. Openness to Experience dikarakteristikkan Universitas Sumatera Utara dengan sifat tegang, dan cemas. Dimensi neuroticism ini mencakup sifat-sifat seperti rasa ketertarikan yang luas, imaginatif, dan berwawasan luas. Dimensi Big Five Personality merupakan salah satu pendekatan yang lebih sederhana dan deskriptif dalam menggambarkan kepribadian manusia Pervin, 2005. Hasil yang konsisten mengenai teori ini juga telah diperoleh dari berbagai teknik pengukuran. Kelima dimensi ini telah ditemukan pada anak-anak dan orang dewasa. Berdasarkan studi longitudinal selama 6 enam tahun diperoleh kestabilan sifat pada subjek yang sama dalam Schultz Schultz, 1994. Kerangka berpikir Big Five mencoba menggambarkan trait-trait individu yang diwakili oleh lima dimensi. Kelima dimensi inilah yang akan digunakan dalam penelitian untuk melihat apakah kelima dimensi Big Five Personality memiliki pengaruh terhadap pembelian impulsif. Berdasarkan penjelasan-penjelasan sebelumnya, maka peneliti ingin melihat apakah ada pengaruh antara dimensi Big Five Personality dengan pembelian impulsif.

B. PERUMUSAN MASALAH