BAB 5 PEMBAHASAN
5.1 Perbedaan Tingkat Aktifitas Enzim Acetil Cholinesterase Darah
Penyemprot di Dalam dan di Luar Rumah Kaca PT. Bibit Baru
Hasil analisis perbedaan tingkat aktifitas enzim acetil cholinesterase darah penyemprot di dalam dan di luar rumah kaca menunjukkan terdapat perbedaan yang
signifikan p=0,000, dimana rata-rata aktifitas enzim acetil cholinesterase pada pekerja dalam rumah kaca sebesar 50,873 , sedangkan pada pekerja di luar rumah
kaca sebesar 58,483 , dengan demikian terdapat perbedaan rata-rata sebesar 7,610.
Perbedaan tingkat aktifitas enzim acetil cholinesterase darah penyemprot di dalam dan di luar rumah kaca pada PT Bibit Baru terkait dengan perbedaan kondisi
iklim di dalam dan diluar rumah kaca. Sesuai penelitian Rihatin 2008, bahwa intensitas radiasi surya, kelembaban udara dan kelembaban tanah di dalam rumah
kaca lebih rendah dibandingkan di luar rumah kaca, sedangkan suhu udara dan suhu tanah di dalam rumah kaca lebih tinggi dibandingkan di luar rumah kaca.
Perbedaan tersebut juga terkait dengan terjadinya perpindahan energi dalam rumah kaca, seperti disebutkan Tiwari dan Goyal 1994 bahwa sejumlah energi
radiasi yang memasuki rumah plastik sebagian dipantulkan oleh bermacam-macam permukaan di dalam struktur bangunan dan dilakukan keluar menembus penutup.
Sisanya akan diserap oleh tanaman, tanah, benda yang ada dalam rumah plastik. Energi akan dikeluarkan sebagai panas laten oleh transpirasi, hal tersebut memanasi
Universitas Sumatera Utara
udara rumah plastik oleh konduksi dan konveksi intrenal, atau hal itu diemisikan sebagai gelombang pendek, mengalami perubahan ketika diserap dan dikonversi
menjadi bahan, dan suatu bagian dari yang ada saat itu adalah radiasi gelombang panjang yang terperangkap di dalam struktur tanaman. Kejadian terperangkapnya
gelombang panjang di dalam rumah plastik, dan meningkat temperatur udara di dalam ruangan di kenal sebagai efek rumah kaca.
Menurut Wibowo 2005, sebenarnya ide awal untuk pembuatan bangunan pertanian rumah kaca di Indonesia dilatarbelakangi oleh kegiatan penelitian yang
dilakukan lembaga penelitian maupun dunia pendidikan. Kegiatan penelitian yang dimaksud disini adalah kegiatan mencari jawaban atau mencari solusi atau jalan
keluar atau pemecahan terhadap suatu kasus. Sebagai contoh, bila kita ingin mencari uji ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit tertentu, maka dengan
adanya green house yang mampu menciptakan iklim yang bisa membuat tanaman mampu berproduksi tanpa kenal musim ini ternyata juga mampu menghindarkan dari
serangan hama dan penyakit. Selain itu dengan adanya green house penyebaran hama dan penyakit dapat dicegah. Hal ini berbeda dengan percobaan yang dilakukan di luar
green house dimana dalam waktu yang sangat singkat hama dan penyakit dapat cepat menyebar luas karena terbawa angin maupun serangga.
Sejalan dengan bertambahnya waktu dan tingginya serapan teknologi pertanian, peranan green house bagi dunia pertanian kita semakin lama semakin
dibutuhkan. Dengan semakin maraknya pembangunan perumahan maupun kawasan industri akhir-akhir ini membuat lahan pertanian makin berkurang. Padahal
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan akan pangan di dalam negeri semakin lama semakin besar dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia. Berdasarkan pemikiran itulah penggunaan
green house untuk kegiatan bisnis pertanian semakin diperlukan. Pemikiran pengembangan green house untuk agribisnis hortikultura yang didasari pada
keinginan pemenuhan kebutuhan produk pertanian yang kontinyu tanpa kenal musim. Perbedaan kondisi lingkungan dalam dan luar rumah kaca pada saat
melakukan penyemprotan, maka pada saat penyemprotan, petani harus memperhatikan arah angin. Menurut penelitian Afriyanto 2009, bahwa lebih dari
75 aplikasi pestisida dilakukan dengan cara disemprotkan, sehingga memungkinkan butir-butir cairan tersebut melayang dan memapar orang yang menyemprotkan. Jarak
yang ditempuh oleh butrian-butiran cairan tersebut tergantung pada ukuran butiran. Butiran dengan radius lebih kecil dari satu mikron, dapat dianggap sebagai gas yang
kecepatan mengendapnya tak terhingga, sedang butiran dengan radius yang lebih besar akan lebih cepat mengendap. Dilaporkan bahwa 60–99 pestisida yang
diaplikasikan akan tertinggal pada target atau sasaran, sedang apabila digunakan dalam bentuk serbuk, hanya 10-40 yang mencapai target, sedang sisanya melayang
bersama aliran angin atau segera mencapai tanah. Pestisida jenis organofosfat ini sering disebut sebagai insektisida anti
kolinesterase yang bekerja dengan menghambat dan menginaktivasikan enzim acetil cholinesterase. Enzim ini secara normal menghancurkan asetilkolin yang dilepaskan
oleh susunan syaraf pusat, ganglion otonom, ujung-ujung saraf parasimpatis, dan ujung-ujung syaraf motorik. Hambatan pada enzim acetil cholinesterase
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan tertumpuknya sejumlah besar asetilkolin pada tempat-tempat tersebut. Pada susunan saraf pusat, perangsangan awal akan diikuti depresi sel-sel yang
menyebabkan kejang, kemudian penurunan kesadaran, dan depresi pernapasan. Pada ganglion otonom rangsangan awal akan menyebabkan gangguan yang bervariasi dan
multipel pada alat-alat tubuh yang dipersarafi oleh sistem saraf otonom. Penumpukan asetilkolin pada ujung saraf simpatis menyebabkan konstriksi pupil, penglihatan
kabur, stimulasi otot-otot intestinal berupa kejang perut, muntah, dan diare, perangsangan kelenjar sekretoris yang menyebabkan rinore, salivasi, banyak keringat,
kontriksi otot-otot bronkial dengan gejala-gejala gangguan pernapasan, penekanan aktivitas cardiac sinus pacemaker, dan gangguan konduksi atrioventrikular.
Penumpukan asetilkolin yang menetap pada sambungan neuromuskular menyebabkan tremor, kejang, dan fasikulasi yang diikuti dengan hambatan
neuromuskular dan paralisis flasid Mansjoer dkk, 2001.
5.2 Hubungan Lama Penyemprotan Pestisida dengan Tingkat Aktifitas Enzim
Acetil Cholinesterase Pada Penyemprot yang Bekerja di Dalam dan di Luar Rumah Kaca
Dari analisis hubungan faktor lama penyemprotan dengan tingkat aktifitas enzim acetil cholinesterase dalam darah tenaga penyemprot di dalam Rumah Kaca
pada PT Bibit Baru Desa Dolat Rakyat menunjukkan nilai p = 0,000, serta koefisien korelasi pearson = -0,587, berdasarkan hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa semakin
lama seorang tenaga penyemprot melakukan penyemprotan pestisida di dalam rumah kaca akan semakin menurunkan tingkat aktifitas enzim acetil cholinesterase dalam
Universitas Sumatera Utara
darahnya, artinya faktor lama penyemprotan berkorelasi negatif dengan aktifitas enzim acetil cholinesterase. Sedangkan tingkat aktifitas enzim acetil cholinesterase
dalam darah tenaga penyemprot di luar Rumah Kaca pada PT Bibit Baru Desa Dolat Rakyat menunjukkan nilai p = 0,000, serta koefisien korelasi Pearson = -0,794,
berdasarkan hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa semakin lama seorang tenaga penyemprot melakukan penyemprotan pestisida di luar rumah kaca akan semakin
menurunkan tingkat aktifitas enzim acetil cholinesterase dalam darahnya, artinya faktor lama penyemprotan berkorelasi negatif dengan aktifitas enzim acetil
cholinesterase. Hasil tersebut didukung dengan komposisi data penelitian berdasarkan
kategori responden menurut lama pemaparan dan aktifitas enzim acetil cholinesterase, dimana responden dalam rumah kaca yang mempunyai aktifitas
enzim acetil cholinesterase 25-50 dari normal adalah seluruhnya yang melakukan penyemprotan selama 4 jam perhari, sebaliknya responden yang lama penyemprotan
1 jam perhari seluruhnya mempunyai aktifitas enzim acetil cholinesterase 50-75 dari normal.
Namun berbeda dengan kondisi responden yang bekerja di luar rumah kaca, dimana persentase responden lebih banyak mempunyai aktifitas enzim acetil
cholinesterase 50-75 dari normal meskipun lama penyemprotan yang 1 jam maupun 4 jam. Hal ini diakibatkan kondisi yang berbeda juga pada rumah kaca dan
di luar rumah kaca, dimana kondisi lingkungan seperti kelembaban, kecepatan angin, sinar matahari serta suhu yang berbeda pada kedua lokasi tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Sesuai dengan penelitian Devilia 2006 tentang hubungan beberapa faktor pemaparan pestisida dengan aktivitas acetil cholinesterse darah petani penyemprot
cabai desa Sungi Bendung Air Kecamatan Kayu Aro Kabupaten Kerinci, menyimpulkan bahwa ada hubungan antara lama penyemprotan dengan aktivitas
acetil cholinesterase p value = 0,03. Demikian juga penelitian Sumekar, dkk 2006 tentang risiko paparan pestisida pada petani bawang di Kecamatan Adiwerna
Kabupaten Tegal dan faktor-faktor determinannya, menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan lama waktu menyemprot terhadap resiko paparan pestisida.
Menurut kajian Pan AP 2001, tentang dampak pestisida terhadap kesehatan manusia menyatakan bahwa penggunaan pestisida sangat berdampak terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan. Setiap hari ribuan petani dan para pekerja di pertanian diracuni oleh pestisida dan setiap tahun diperkirakan jutaan orang yang
terlibat dipertanian menderita keracunan akibat penggunaan pestisida. Dalam beberapa kasus keracunan pestisida langsung, petani dan para pekerja di pertanian
lainnya terpapar kontaminasi pestisida pada proses menyemprotkan pestisida. Di samping itu masyarakat sekitar lokasi pertanian sangat beresiko terpapar pestisida
melalui udara, tanah dan air yang ikut tercemar. Fakta empirik lainnya, hasil penelitian yang dilakukan oleh PAN Indonesia
2001 terhadap petani perempuan di Desa Bukit dan Desa Sampun, Berastagi Sumatera Utara, mengenai tingkat keracunan pestisida berdasarkan Indikator
kelaziman aktivitas enzim acetil cholinesterase dalam plasma darah, ditemukan bahwa tingkat pencemaran yang terjadi pada petani perempuan tersebut sudah
Universitas Sumatera Utara
melampau batas yang ditetapkan oleh WHO tidak kurang dari 70 dari aktivitas normal batas yang ditetapkan oleh WHO tidak kurang dari 70 dari aktivitas
normal. Dampak secara tidak langsung dirasakan oleh manusia, oleh adanya
penumpukan pestisida di dalam darah yang berbentuk gangguan metabolisme enzim acetil cholinesterase bersifat karsinogenik yang dapat merangsang sistem syaraf
menyebabkan parestesia peka terhadap perangsangan, iritabilitas, tremor, terganggunya keseimbangan dan kejang-kejang Frank, 1995. Hasil uji acetil
cholinesterase darah dengan Tintometer Kit yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur terhadap tenaga pengguna pestisida pada tahun 1999 dari 86
petani yang diperiksa 61,63 keracunan dan 2000 sebanyak 34,38 keracunan dari lokasi yang berbeda. Sulistiyono 2002, pada petani Bawang Merah di tiga
Kecamatan di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur, ditemukan petani yang terpapar pestisida kategori berat 5 orang dan ringan 83 kasus dari 192 responden.
Jenis pestisida yang digunakan pada penyemprotan tanaman di PT Bibit Baru adalah jenis organofosfat yaitu parathion. Menurut Prameswari 2007 jenis
organofosfat ini sering disebut sebagai insektisida antikolinesterase, karena memiliki efek pada sistem syaraf perifer dan pusat.
Menurut Pandit 2006, tingkat keracunan pestisida jenis insektisida dapat dibedakan menjadi 3, yaitu: a Acute poisoning, yaitu keracunan yang terjadi akibat
masuknya sejumlah besar pestisida sekaligus ke dalam tubuh, missal kasus salah makan ataupun bunuh diri. Gejala dari keracunan akut, mual, muntah-muntah, sakit
Universitas Sumatera Utara
kepala, pusing, kebingungan panik, kejang otot, lemah otot, sawan, b Sub-acute poisoning, merupakan keracunan yang ditimbulkan oleh sejumlah kecil pestisida
yang masuk ke dalam tubuh, namun terjadinya secara berulang-ulang, dan c Chronic poisoning, yaitu keracunan akibat masuknya sejumlah kecil pestisida
dalam waktu yang lama dan pestisida mempunyai kecenderungan untuk terakumulasi
dalam tubuh. Berdasarkan hasil penelitian dan pendapat sebelumnya dapat dijelaskan
bahwa faktor lama penyemprotan pestisida pada pekerja di PT Bibit Baru merupakan faktor yang berhubungan dengan aktivitas enzim acetil cholinesterase sehingga perlu
memperhatikan frekuensi dan durasi penyemprotan, karena penurunan enzim acetil cholinesterase kemungkinan lebih besar apabila frekuensi penyemprotan sering
dengan durasi panjang dibandingkan frekuensi jarang dengan durasi pendek. 5.3 Hubungan Jeda Waktu Penyemprotan Pestisida dengan Tingkat Aktifitas
Enzim Acetil Cholinesterase Pada Penyemprot yang Bekerja di Dalam dan di Luar Rumah Kaca
Dari analisis hubungan faktor jeda waktu penyemprotan dengan tingkat aktifitas enzim acetil cholinesterase dalam darah tenaga penyemprot di dalam rumah
kaca pada PT Bibit Baru Desa Dolat Rakyat menunjukkan nilai p = 0,000, serta koefisien korelasi Pearson = 0,769. Berdasarkan hasil tersebut dapat dijelaskan
bahwa semakin lama jeda waktu penyemprotan oleh tenaga penyemprot akan semakin meningkatkan aktifitas enzim acetil cholinesterase dalam darahnya, artinya
faktor jeda waktu penyemprotan berkorelasi positif dengan aktifitas enzim acetil
Universitas Sumatera Utara
cholinesterase. Sedangkan tingkat aktifitas enzim acetil cholinesterase dalam darah tenaga penyemprot di luar Rumah Kaca pada PT Bibit Baru Desa Dolat Rakyat
berdasarkan jeda waktu menunjukkan nilai p = 0,000, serta koefisien korelasi pearson = 0,849. Berdasarkan hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa semakin lama jeda waktu
penyemprotan oleh tenaga penyemprot akan semakin meningkatkan aktifitas enzim acetil cholinesterase dalam darahnya, artinya faktor jeda waktu penyemprotan
berkorelasi positif dengan aktifitas enzim acetil cholinesterase. Hasil tersebut didukung dengan komposisi data penelitian berdasarkan
kategori responden menurut jeda waktu penyemprotan dan aktifitas enzim acetil cholinesterase, dimana responden di dalam rumah kaca yang mempunyai aktifitas
enzim acetil cholinesterase 25-50 dari normal adalah yang jeda waktu penyemprotan 2 hari, sebaliknya responden yang jeda waktu penyemprotan 6 hari,
seluruhnya mempunyai aktifitas enzim acetil cholinesterase 50-75 dari normal.
Demikian juga dengan kondisi responden yang bekerja di luar rumah kaca, dimana seluruh responden yang jeda waktu penyemprotan 6 hari, seluruhnya
mempunyai aktifitas enzim acetil cholinesterase 50-75, sedangkan responden yang jeda waktu penyemprotan 2 hari, persentase yang mengalami keracunan sedang
lebih banyak dibandingkan yang mengalami keracunan ringan, meskipun persentasenya tidak jauh berbeda.
Sesuai penelitian Praptini, dkk 2002, bahwa tenaga kerja teknis pestisida perusahaan pemberantasan hama pest control di Kota Semarang, sebagian besar
Universitas Sumatera Utara
diakibatkan melakukan penyemprotan tidak lebih dari 2 kali setiap minggu dan tidak melakukan penyemprotan secara berturut-turut lebih dari 12 jam dalam waktu
3 bulan. Demikian juga penelitian Sumekar, dkk 2006, faktor determinan paparan pestisida selang waktu menunjukkan ada pengaruh terhadap resiko paparan pestisida.
Jeda waktu penyemprotan terkait dengan kebutuhan tanaman terhadap pestisida, artinya apabila jenis tanaman yang dibudidayakan membutuhkan frekuensi
penyemprotan pestisida yang sering, maka jeda waktu penyemprotan yang dilakukan juga semakin singkat, demikian pula sebaliknya.
5.4 Hubungan Metode Penyemprotan Pestisida dengan Tingkat Aktifitas