PENDAHULUAN Pola Sebaran Titik panas (hotspot) dan Keterkaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan (Studi Kasus Provinsi Kalimantan Barat)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi masyarakat. Dalam penggunaan lahan ini manusia berperan sebagai pengatur ekosistem, yaitu dengan menyingkirkan komponen-komponen yang dianggapnya tidak berguna ataupun dengan mengembangkan komponen yang diperkirakan akan menunjang penggunaan lahannya Mather, 1986; Gandasasmita, 2001. Dengan kata lain penggunaan lahan merupakan wujud nyata dari aktivitas manusia pada suatu lahan dan penggunaan lahan bersifat dinamis tergantung dari kondisi sekitar lahan tersebut berada. Berbagai metode pembukaan lahan telah dipraktekkan. Teknik tebang bakar slash and burn merupakan metode yang umum dan telah lama diaplikasikan dalam pembukaan lahan Van Noordwijk, 2001. Alasan utama penggunaan teknik slash and burn karena dianggap lebih murah, cepat dan praktis dibandingkan dengan teknik tanpa bakar. Selain itu, masyarakat masih menilai bahwa abu sisa pembakaran dapat meningkatkan kesuburan tanah. Di lahan pertanian, pembakaran seringkali dilakukan terutama dalam aktivitas penyiapan lahan. Tetapi permasalahan yang terjadi apabila pembakaran dilakukan tidak terkendali dapat menyebabkan kebakaran hutan lahan yang luas. Salah satu cara untuk mengetahui kejadian kebakaran hutanlahan dapat memanfaatkan informasi titik panas hotspot yang dipantau menggunakan satelit National Oceanic and Atmospheric Administration NOAA. Titik panas adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif tinggi dibandingkan suhu sekitarnya Permenhut, 2009. Namun perlu diperhatikan bahwa jumlah titik panas yang terpantau tidak selalu menggambarkan jumlah kebakaran yang sebenarnya, tetapi kemunculan titik panas dapat merupakan indikasi awal. Titik panas hanya akan memberikan informasi yang sedikit apabila tidak dilakukan interpretasi dan analisis lanjutan. Salah satu teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk interpretasi lanjutan mengenai titik panas adalah Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis SIG. Menurut Chuvieco and Salas 1996 SIG merupakan alat yang cocok untuk memetakan distribusi data spasial dari bahaya kebakaran hutanlahan. SIG dapat juga memadukan secara spasial beberapa variabel bahaya seperti vegetasi, topografi, dan sejarah kebakaran. Kalimantan Barat adalah salah satu wilayah dengan kemunculan titik panas tertinggi selain Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan. Kemunculan titik panas yang tinggi ini mengindikasikan tingginya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Provinsi Kalimantan Barat. Setiap tahun sebagian besar wilayah Kalimantan Barat selalu diselimuti kabut asap tebal yang berasal dari kegiatan pembakaran lahan atau kebakaran hutan dan lahan. Aktivitas pembakaran ini dilakukan oleh masyarakat setempat dalam penyiapan lahan untuk kegiatan pertanian. Kabut asap yang ditimbulkan akibat kegiatan pembakaran lahan ini tidak hanya menurunkan kualitas udara di tingkat lokal tetapi turut andil dalam menurunkan kualitas udara di tingkat nasional bahkan regional ASEAN. Seperti yang dikatakan Gubernur Kalimantan Barat Christiandy Sanjaya bahwa kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Barat menghasilkan asap dan sering mendapat komplain dari negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura, sehingga perlunya dilakukan pengendalian kebakaran hutanlahan secara efektif agar kemunculan titik panas dapat dikurangi Wartapedia, 2011. Melalui rilis yang disebar pertengahan Agustus 2011 lalu, Kemenhut menetapkan target pengurangan hotspot sebesar 20 per tahun dari rata-rata tahun 2005-2009 hingga tahun 2014 di Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi Prasetyo, 2011. Penurunan hotspot ini akan dapat dicapai dengan memfokuskan pengendalian kebakaran hutanlahan pada wilayah penyumbang jumlah titik panas tertinggi setiap tahunnya. Selain itu, pengendalian ditingkatkan pada waktu dimana aktivitas pembakaran lahan paling sering terjadi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai distribusi spasial dan distribusi temporal kemunculan titik panas sehingga pengendalian kebakaran hutanlahan dapat dilakukan secara efektif.

1.2 Tujuan Penelitian

a. Mendeskripsikan distribusi spasial dan distribusi temporal titik panas b. Menganalisis perubahan penggunaan lahan selama rentang tahun 2000 hingga tahun 2010 c. Menganalisis keterkaitan sebaran titik panas dengan perubahan penggunaan lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA