Keterkaitan Sebaran Titik Panas dengan Perubahan Penggunaan Lahan

5.9 Keterkaitan Sebaran Titik Panas dengan Perubahan Penggunaan Lahan

Keterkaitan titik panas dengan perubahan penggunaan lahan ditandai oleh banyaknya titik panas secara terus menerus setiap tahun pada suatu kawasan. Salah satu kasus yang terjadi adalah kemunculan titik panas yang terus-menerus di Kabupaten Bengkayang pada akhir tahun 2004 dan awal tahun 2005. Sebelum ditemukan adanya kemunculan titik panas, penggunaan lahan pada lokasi tersebut adalah hutan, hutan rawa, dan perkebunan. Jumlah titik panas pada areal tersebut terbilang rendah selama tahun 2000 hingga awal tahun 2004, bahkan pada bulan Agustus dimana jumlah titik panas biasanya terpantau maksimum tidak terlihat adanya titik panas. Pada bulan Juni tahun 2004 tampak kemunculan titik panas sebanyak 65 titik ketika memasuki musim kemarau. Titik panas selanjutnya ditemui pada lokasi yang berpindah-pindah dan pada bulan Agustus terdapat 22 titik. Bulan berikutnya yakni bulan September hingga Desember, tidak ada titik panas di sekitar areal hutan tersebut. Hal ini terjadi karena kondisi iklim yang telah memasuki awal musim penghujan. Titik panas kembali muncul sebanyak 20 titik di bulan Januari tahun berikutnya. Selanjutnya, titik panas muncul selama 2 bulan berturut-turut dengan jumlah yang cukup besar yakni 52 titik di bulan Februari, 84 titik di bulan Maret. Memasuki bulan Juli titik panas kembali tampak di areal sekita hutan rawa tersebut berjumlah 35 titik, dan meningkat jumlahnya di bulan Agustus menjadi 85 titik. Akhir bulan September tahun 2005 terpantau sebanyak 9 titik. Titik panas yang terpantau secara relatif singkat selama rentang waktu hanya satu tahun ternyata diikuti oleh terjadinya penambahan luas areal perkebunan sebesar 21.810 ha. Pola perkebunan yang terbentuk hampir serupa dengan pola kemunculan titik panas selama bulan Juni tahun 2004 hingga bulan September tahun 2005. Setelah adanya konversi penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lahan perkebunan, pada areal tersebut tidak ditemukan adanya sebaran titik panas. Titik panas justru tampak di sekitar areal perkebunan tersebut yakni pada penggunaan lahan rawa. Pada bulan Juli tahun 2006 terjadi kemunculan titik panas pada penggunaan lahan rawa sebanyak 21 titik. Satu bulan setelahnya, yakni di bulan Agustus 2006 ditemukan kembali titik panas sebanyak 7 titik. Pada bulan Oktober di tahun yang sama jumlah titik panas terlihat sebanyak 5 titik. Di awal tahun berikutnya, tidak terlihat adanya kemunculan titik panas. Titik panas kembali muncul di bulan Agustus tahun 2007 sebanyak 8 titik. Intensitas sebaran titik panas pada areal hutan rawa tersebut tidak sebesar sebaran titik panas yang ditemukan sebelumnya, tetapi kemunculan titik panas yang terus-menerus di areal yang sama menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Hal ini terbukti dengan bertambahnya luas penggunaan lahan perkebunan yaitu sebesar 12.250 ha dalam waktu yang singkat. Secara lebih lengkap, kemunculan titik panas dan perubahan penggunaan lahan yang terjadi dapat dilihat pada Lampiran 21. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa kemunculan titik panas yang terjadi pada penggunaan lahan hutan dan hutan rawa tersebut menyebabkan bertambahnya areal perkebunan sebesar 34.060 ha. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kemunculan titik panas yang terus menerus kontinyu pada suatu areal dapat menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Dalam kasus ini, perubahan penggunaan lahan yang terjadi adalah perubahan penggunaan lahan hutan dan hutan rawa menjadi perkebunan. Perubahan penggunaan lahan terjadi dalam kurun waktu yang relatif cukup singkat. Lampiran 22 menyajikan contoh kasus lain yang dapat menunjukkan bahwa kemunculan titik panas yang kontinyu mengakibatkan adanya perubahan penggunaan lahan. Sebelum ditemukan adanya kemunculan titik panas, penggunaan lahan pada areal tersebut adalah hutan, hutan rawa dan perkebunan. Pada tahun 2005, luas perkebunan yang terdapat pada kawasan tersebut sebesar 5.726 ha. Kemunculan titik panas pertama kali tampak sekitar bulan Maret tahun 2007 sebanyak 21 titik. Sebaran titik panas tersebut terjadi pada penggunaan lahan berupa hutan dan hutan rawa. Pada bulan berikutnya, titik panas kembali terlihat sebanyak 6 titik. Secara berturut-turut, kemunculan titik panas terpantau sejak bulan Maret tahun 2007 hingga bulan Agustus tahun 2007. Kemunculannya di bulan Mei terpantau sebanyak 4 titik dan di bulan Juni sebanyak 6 titik. Memasuki bulan Juli, sebaran titik panas mulai meningkat yakni sebanyak 8 titik. puncak kemunculannya terjadi di bulan Agustus yaitu sebanyak 20 titik. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bulan Agustus adalah waktu dimana intensitas kemunculan titik panas paling maksimal. Ketika memasuki musim penghujan di bulan September tidak ditemukan adanya kemunculan titik panas hingga akhir tahun. Titik panas kembali terlihat di bulan Januari sebanyak 11 titik. Tiga bulan setelahnya tidak diketahui ada kemunculan titik panas. Sebarannya baru terlihat di bulan Mei sebanyak 36 titik, bulan Juni sebanyak 7 titik dan di bulan Agustus sebanyak 4 titik. Pada tahun 2008 tersebut, kemunculan titik panas paling banyak di areal tersebut justru ditemukan di bulan Mei. Kemunculan titik panas tidak tampak selama kurun waktu hampir setahun, dan mulai terlihat kembali di bulan April tahun 2009 sebanyak 2 titik. Sebulan setelahnya terlihat sebanyak 6 titik dan di bulan Juni sebanyak 6 titik. Titik panas kembali terlihat sebanyak 6 titik di bulan Juli, 20 titik di bulan Agustus dan di bulan September sebanyak 7 titik. Setelah kemunculannya di bulan September tahun 2009, tidak ditemukan adanya kemunculan titik panas kembali. Pada areal tersebut terlihat adanya perubahan penggunaan lahan hutanhutan rawa menjadi perkebunan. Luasan areal perkebunan bertambah sebesar 27.870 ha. Walaupun kepadatan titik panas yang terpantau tidak sebanyak yang terjadi pada kasus sebelumnya, tetapi kemunculannya yang kontinyu dalam jangka waktu yang lebih lama dapat menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN