tinggi dimana manfaat ekonomi hanya diperoleh pihak-pihak tertentu sedangkan masyarakat umum dari kedua wilayah secara keseluruhan tidak dapat mengambil manfaat
dari aktivitas perdagangan tersebut. Dampak selanjutnya akan terjadi konflik sosial yang dapat tumbuh menjadi ancaman terhadap berbagai aspek kepentingan nasional.
1.2. Permasalahan
Wilayah perbatasan merupakan wilayah yang unik karena aktivitas masyarakatnya selalu dipengaruhi oleh negara lainnya sehingga memerlukan penanganan
khusus yang lebih komprehensif dimana tidak hanya memperlakukan wilayah perbatasan dari aspek pertahanan dan keamanan tetapi juga dari aspek ekonomi demi peningkatan
kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan. Pendekatan pembangunan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat di wilayah perbatasan selama ini lebih menekankan
wilayah perbatasan sebagai wilayah belakang dari negeri ini sehingga menyebabkan kesenjangan pembangunan. Sebagaimana dikemukakan Bappenas 2005 bahwa
permasalahan pembangunan di perbatasan yang membutuhkan penanganan adalah bukan hanya berkaitan dengan aspek demarkasi dan deliniasi batas, aspek politik, hukum dan
keamanan. Akan tetapi juga berkaitan dengan aspek kesenjangan pembangunan baik dengan wilayah lainnya di Indonesia maupun dengan negara tetangga.
Menyadari adanya kesenjangan pembangunan dan kemiskinan antara wilayah perbatasan dengan wilayah lainnya maka pemerintah merubah konsep pembangunan
wilayah perbatasan yakni dengan memandang wilayah perbatasan sebagai halaman depan wilayah NKRI. Oleh karena itu, aktivitas perekonomian wilayah perbatasan harus
dikelola dengan baik karena wilayah perbatasan merupakan kawasan strategis nasional yang menjadi wilayah prioritas pengembangan sebagaimana tertuang dalam Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN tahun 2004-2009 bahwa program pengembangan kawasan
perbatasan ditujukan untuk: 1 menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh hukum internasional;
2 meningkatkan kesejahteraan masyarakat kawasan perbatasan dengan menggali potensi ekonomi, sosial budaya serta keuntungan letak geografis yang strategis untuk
berhubungan dengan negara tetangga.
Terdapat 20 kabupaten perbatasan yang menjadi prioritas pembangunan dalam RPJM nasional tahun 2004-2009, dimana Kabupaten TTU merupakan salah satu
kabupaten perbatasan yang diprioritaskan pembangunannya. Namun kenyataannya, wilayah perbatasan masih termarginalkan dimana jumlah keluarga KK miskin di
Kabupaten TTU sebagai salah satu kabupaten yang berbatasan darat dengan Timor Leste pada tahun 2005 adalah sebanyak 27.854 KK dengan penduduk miskinnya sebanyak
114.769 jiwa atau 55,40 dari seluruh penduduk Kabupaten TTU dimana terdapat 16.233 jiwa 4.072 KK yang mengungsi dari Timor Leste dan tidak ingin kembali lagi
ke Timor Leste. Sedangkan masyarakat miskin yang berada di wilayah yang berbatasan langsung dengan Timor Leste sebanyak 16.789 jiwa BPS TTU,2005. Meskipun
pendapatan per kapita rata-rata mengalami peningkatan yakni dari Rp 1.157.770,- pada tahun 1999 menjadi Rp 2.371.937,- pada tahun 2005. Namun belum setara dengan
pendapatan per kapita rata-rata Provinsi NTT pada tahun 2005 yakni sebesar Rp 3.235.699,- ataupun pendapatan per kapita rata-rata secara nasional yang sebesar Rp
12.450.000,-. Hal ini berimplikasi pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia di wilayah
perbatasan Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi karena dengan pendapatan tersebut masyarakat tidak mampu memperoleh pendidikan formal yang baik sehingga
SDM masyarakat masih rendah dan kondisi kesehatan masyarakat yang buruk. Sebagaimana ditunjukkan oleh rendahnya Indeks Pembangunan Manusia IPM
Kabupaten TTU yang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Indeks Pembangunan Manusia IPM tahun 1999, 2002, 2004 dan 2005 Kab.
TTU, Prov. NTT dan Indonesia
IPM No Wilayah
1996 1999 2002 2004 2005
1 Kab.TTU
59,6 53,7 59,5 62,4 63,1 2
Prop. NTT
61 60,4 60,3 62,7 63,6
3 Indonesia
68 64,3 65,8 68,7 69,8
Sumber: Laporan Pembangunan Manusia UNDP et al., 2004 dan IPM
1996, 2005 Data pada Tabel 2. memperlihatkan bahwa IPM secara nasional mengalami
penurunan pada masa krisis namun setelah itu terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, nilai IPM Kabupaten TTU meningkat dari 53,7 tahun 1999 menjadi 63,1
tahun 2005, namun masih lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur. Meskipun mengalami peningkatan, namun dalam urutan kabupaten
kota berada pada urutan 402 dari 440 kabupatenkota se-Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa peran pemerintah sebagai lembaga yang
membuat kebijakan pengembangan ekonomi wilayah perbatasan belum optimal karena belum dapat menentukan prioritas pembangunan dengan tepat. Orientasi pembangunan
masih menggunakan pendekatan keamanan dibanding pendekatan kesejahteraan sehingga berimplikasi pada semakin meningkatnya kesenjangan pembangunan antara
wilayah perbatasan dengan wilayah lainnya. Namun demikian, tidak berarti wilayah perbatasan tidak memiliki potensi untuk
dikembangkan. Meskipun sumberdaya pembangunan wilayah perbatasan umumnya terbatas, namun bila dimanfaatkan melalui perencanaan pembangunan yang tepat akan
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan. Adapun potensi yang dimiliki wilayah perbatasan berupa bahan tambang dan galian baik golongan A,B
maupun C. Potensi yang telah dieksploitasi adalah marmer dan batu aji, sedangkan potensi pertambangan lainnya yang bernilai ekonomis tinggi belum dimanfaatkan.
Selain itu, potensi pertanian lahan kering juga belum dimanfaatkan seluruhnya. Data potensi desa tahun 2006 menunjukkan bahwa luas pertanian lahan kering ladang
di Kabupaten TTU seluas 52.049,3 ha, sedangkan ladang yang belum dimanfaatkan seluas 37.344,5 ha atau sekitar 71,75 belum diolah. Sedangkan lahan sawah yang
belum diusahakan seluas 3.053 ha. Selain itu, potensi perikanan, perkebunan dan kehutanan meskipun sedikit namun masih dapat ditingkatkan.
Hal yang sama terjadi pula pada aktivitas ekonomi yang lain seperti home industry
maupun usaha perdagangan input maupun output serta kebutuhan lainnya belum berkembang dengan baik di wilayah perbatasan. Hal ini diperparah oleh minimnya
sarana-prasarana ekonomi di wilayah perbatasan misalnya pasar, koperasi, bank termasuk sarana dan prasarana transportasi sehingga menyulitkan masyarakat dalam melakukan
interaksi spasial ke wilayah lainnya. Selain itu, pengembangan wilayah perbatasan umumnya masih bersifat sektoral
dan belum menunjukkan keterkaitan antar sektor maupun antar wilayah. Adapun peranan setiap sektor dalam PDRB dapat ditampilkan sebagai berikut.
Tabel 3. Peranan sektor terhadap PDRB Kabupaten TTU tahun 1996–2005 berdasarkan harga konstan tahun 1993
Peranan lapangan usaha Tahun
Pertanian PP IP LGA
K PRH
PK KPJP
Jasa Total
1996 51,27 1,78 2,05 0,39 7,68 5,89 9,99 3,83 17,13
100 1997 53,31 1,68 1,92 0,41 7,24 6,11 9,75 3,78
15,80 100
1998 48,67 2,12 2,14 0,70 6,26 6,95
10,93 3,73
18,49 100
1999 51,55 1,36 2,00 0,57 6,01 6,03
10,44 3,38
18,67 100
2000 55,71 1,46 1,63 0,43 6,33 6,58 7,10 2,64 18,11
100 2001 52,69 1,42 1,64 0,48 6,32 7,03 7,46 2,65
20,32 100
2002 51,41 1,57 1,65 0,57 6,12 7,04 7,21 2,86 21,09
100 2003 50,96 1,73 1,67 0,67 6,55 7,12 7,16 3,08
24,17 100
2004 47,91 1,67 1,67 0,67 6,55 7,12 7,16 3,08 24,17
100 2005 47,80 1,65 1,58 0,68 6,58 7,17 7,18 3,23
24,13 100
Sumber : Pendapatan Regional Kabupaten TTU 1995-2005 2005
Keterangan: PP=Pertambangan dan penggalian IP=Industri pengolahan
K=Konstruksi LGA=Listrik, gas dan air bersih
PRH=Perdagangan, hotel dan restoran PK=Pengangkutan dan komunikasi
KPJP=Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
Berdasarkan data tersebut, peranan sektor pertanian terhadap PDRB di Kabupaten TTU masih tinggi yakni 51,55 pada tahun 1999, lalu mengalami peningkatan pada
tahun 2000 yakni mencapai 55,71, namun terus mengalami penurunan pada tahun 2001 yakni kontribusinya sebesar 52,69 hingga tahun 2005 kontribusi sektor pertanian
hanya sebesar 47,80. Apabila dihubungkan dengan persentase tenaga kerja berdasarkan sektor maka sektor pertanian menjadi tumpuan mata percaharian dari masyarakat di
Kabupaten TTU secara umum. Hal ini ditunjukkan oleh persentase tenaga kerja per sektor pada tahun 1999 sebesar 83,15 sedangkan sektor sekunder hanya sebesar 7,35
dan sektor tersier sebesar 9,49. Pada tahun 2004 terjadi sedikit pergeseran menjadi sebesar 78,60 sedangkan sektor sekunder sebesar 8,74 dan sektor tersier sebesar
12,66. Hal ini berarti pada saat terjadi krisis sosial, ekonomi dan politik di wilayah perbatasan, masyarakat memilih mengelola lahan usahataninya demi mempertahankan
hidup. Sedangkan pada tahun-tahun berikutnya, sektor pertanian terus mengalami penurunan karena sektor-sektor lainnya mulai menunjukkan perbaikan dalam kinerjanya.
Meskipun demikian transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor sekunder dan sektor tersier tidak terjadi karena jumlah tenaga kerja pada sektor pertanian terus
mengalami peningkatan, penambahan tenaga kerja pada sektor sekunder dan tersier
umumnya berasal dari kelompok penduduk yang selama ini tidak termasuk angkatan kerja sedang sekolah.
Merujuk pada kondisi tersebut, Kabupaten TTU sebagai sebuah daerah otonom yang berbatasan dengan district enclave merumuskan berbagai permasalahan di
Kabupaten TTU yang selanjutnya akan menjadi prioritas penanganan. Permasalahan tersebut mencakup: 1 terbatasnya sarana ekonomi; 2 pengelolan sumber daya alam
belum optimal; 3 kualitas SDM masih rendah; 4 keterkaitan wilayah yang masih terbatas; 5 kemiskinan dan kesenjangan ekonomi; 6 konflik sosial di 6 lokasi yang
masih bermasalah; 7 permasalahan yang berkaitan dengan pengungsi dari Timor Leste. Oleh karena itu, dalam RPJMD Kabupaten TTU tahun 2005–2010 dinyatakan
bahwa pengembangan sumber pendapatan daerah Kabupaten TTU dapat diperoleh melalui peningkatan potensi peternakan, agroindustri dengan memanfaatkan produk dari
jambu mete dan kemiri, pengembangan pasar perbatasan dengan district enclave Oekusi dan pertambangan daerah. Akan tetapi dalam penyusunan RPJMD ini tidak dilakukan
survei pemetaan sumberdaya sehingga diperlukan beberapa kajian yang dapat digunakan sebagai referensi tambahan dalam pengambilan kebijakan pengembangan wilayah.
Pengembangan wilayah perbatasan hanya akan berhasil bila didasarkan pada sumberdaya yang dimiliki di wilayah perbatasan. Sumberdaya pembangunan yang
dimaksud adalah sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sumberdaya manusia dan sumberdaya sosial. Pengembangan sumberdaya pembangunan tersebut dapat dilakukan
dengan menentukan prioritas pembangunan terhadap sumberdaya-sumberdaya tersebut sehingga dapat meningkatkan efisiensi pembangunan di wilayah perbatasan.
Penentuan prioritas pembangunan dilakukan melalui proses perencanaan yang melibatkan seluruh stakeholder sehingga setiap elemen masyarakat lebih berpartisipasi
aktif dalam proses pembangunan. Keinginan dan kepentingan seluruh elemen masyarakat dalam memandang wilayah perbatasan sebagai suatu potensi pengembangan perlu dikaji
sehingga setiap elemen masyarakat dapat berkontribusi penting terhadap pembangunan wilayah perbatasan. Stakeholder yang dimaksud meliputi akademisi, pemerintahan
government, swasta business, masyarakat madani LSM, tokoh adat dan tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh perempuan sehingga pembangunan wilayah
diharapkan dapat menjamin hak-hak masyarakat wilayah perbatasan untuk terbebas dari kemiskinan dan keterbelakangan.
Proses melibatkan stakeholder juga dimaksudkan untuk dapat mengurangi gap antara kekurangan informasi dari pengambil kebijakan terutama dari stakeholder yang
selama ini berinteraksi dengan masyarakat dari wilayah Timor Leste sehingga diharapkan keputusan yang diambil dapat lebih komprehensif karena memadukan antara aspek
rasionalitas dengan aspek kompromi yang dikaji secara ilmiah. Sebagaimana dikatakan oleh Rustiadi et al. 2007 bahwa partisipasi masyarakat dimaksudkan untuk a
menambah informasi dalam upaya meningkatkan efektivitas keputusan perencanaan, b mengorganisir persetujuan dan dukungan terhadap tujuan dari suatu perencanaan, dan c
perlindungan terhadap individu dan kelompok. Persepsi melibatkan aspek sikap, motivasi, kepentingan dan harapan dari
stakeholder dalam memandang kawasan perbatasan dalam situasi sebelum dan setelah
pisahnya Timor Leste serta upaya-upaya yang dilakukan dalam pengelolaan wilayah perbatasan. Upaya-upaya yang dilakukan di wilayah perbatasan dalam konteks
pengembangan ekonomi wilayah, seharusnya direncanakan dalam suatu model pengembangan ekonomi wilayah sebagaimana dikatakan Rustiadi et al. 2007 bahwa
model ekonomi secara umum dapat berupa kapet, kawasan agropolitan, kawasan cepat tumbuh. Selanjutnya menurut Hamid dan Alkadri 2003 menyatakan bahwa model
pengembangan ekonomi wilayah perbatasan dapat berupa kawasan cepat tumbuh, kawasan agropolitan, kawasan transito dan kawasan wisata. Pengembangan model
ekonomi tertentu di wilayah perbatasan dapat mempermudah interaksi antar sumberdaya pembangunan di wilayah perbatasan dan dapat mengarahkan setiap komponen yang
terlibat dalam peran tertentu yang saling mendukung. Semakin banyak pihak yang terlibat dalam proses perencanaan akan
meningkatkan biaya transaksi, namun tujuan dapat lebih mudah dicapai karena setiap komponen turut bertanggungjawab terhadap keputusan yang diambil secara bersama.
Oleh karena masyarakat wilayah perbatasan yang umumnya masih terbelakang, namun harus diperhadapkan dengan berbagai kebijakan internasional, nasional, provinsi,
kabupaten di wilayah perbatasan sehingga kearifan lokal dan keinginan masyarakat terkadang terabaikan. Kebijakan-kebijakan tersebut terkadang kurang mengakomodir
kepentingan, keinginan dan aspirasi seluruh stakeholder lokal sehingga perlu penelitian yang mengkaji persepsi stakeholder di wilayah perbatasan.
Pengembangan wilayah perbatasan juga dapat diprioritaskan melalui supply side strategy
yakni menentukan leading sector yang mampu menggerakkan perekonomian di wilayah perbatasan bahkan wilayah lainnya yang berinteraksi dengan wilayah perbatasan.
Penentuan leading sector perlu dilakukan di Kabupaten TTU yang berada di wilayah perbatasan sehingga kebijakan-kebijakan pemerintah tidak hanya mengoptimalkan
produksi sektor unggulan yang belum tentu memberikan nilai tambah bruto yang besar terhadap wilayah tersebut, namun kebijakan-kebijakan pemerintah diharapkan dapat
meningkatkan peran dari stakeholder lainnya untuk mengurangi kebocoran wilayah dengan melakukan usaha-usaha yang berkaitan dengan sektor-sektor unggulan tersebut.
Interaksi yang dimaksud adalah berupa pemasaran output suatu sektor ekonomi yang akan digunakan oleh sektor lainnya di wilayah perbatasan tersebut maupun ke
wilayah lainnya sehingga dapat mendatangkan pendapatan bagi masyarakat perbatasan. Dampak selanjutnya akan meningkatkan daya beli masyarakat wilayah perbatasan
terhadap produk lainnya yang dapat digunakan menjadi input bagi usahanya. Permintaan tersebut dapat dipenuhi dari sektor lainnya yang berada pada wilayah perbatasan tersebut
maupun dari wilayah lainnya. Hal ini akan mengurangi kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah pengembangan. Untuk itu, perlu didukung dengan penataan
ruang wilayah dan penyediaan infrastruktur di wilayah perbatasan yang lebih memadai sehingga memudahkan interaksi antar sektor dan antar wilayah.
Beberapa penelitian telah dilaksanakan terutama berkaitan dengan pengembangan potensi ekonomi dan sosial budaya untuk meningkatkan standar hidup di wilayah
perbatasan. Penelitian–penelitian terdahulu hanya mengeksplorasi potensi ekonomi sehingga perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan penentuan prioritas
pembangunan dalam rangka pengembangan ekonomi di wilayah perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara TTU dengan district enclave Oekusi yang berbasis pada persepsi
stakeholder, model pengembangan ekonomi wilayah dan penentuan leading sector.
1.3. Perumusan Masalah