Gambar 3. Jenis ruang yang dapat dibentuk tanaman sumber: Booth 1988
Gambar 4. Ruang terbuka diantara kelompok bangunan sumber: Booth 1988 5. Struktur Tapak Site structure
Struktur dalam lanskap tersusun atas elemen yang berhubungan dalam memudahkan pengguna untuk menikmati lanskap secara optimal. Dalam
jumlah massal, struktur ini termasuk elemen keras dengan kualitas arsitektural yang menguatkan susunan spasial dan fungsi lanskap. Contoh struktur dalam
lanskap antara lain : tangga, ram, dinding, pagar, dan bangku taman.
6. Elemen Air Water
Air memiliki karakter khas dalam lanskap yang memberikan daya hidup bagi lingkungan di sekitarnya. Air dapat menjadi elemen statis yang memberikan
keteduhan dan kenyamanan, atau menjadi elemen dinamis yang menarik perhatian. Air memiliki sifat plastis dan berubah-ubah bentuk sehingga bentuk
air ditentukan oleh bentuk penampungnya.
Secara umum air dapat juga digunakan sebagai pengontrol iklim Gambar 5 dan suara bising. Sebagai pengontrol iklim, air dimanfaatkan untuk mendinginkan udara
yang bertiup kearah lahan darat disekitarnya.
Gambar 5. Fungsi air sebagai pengontrol iklim
2.2 Lanskap Permukiman
Permukiman merupakan kelompok-kelompok rumah yang memiliki ruang terbuka secara bersama dan merupakan kelompok yang cukup kecil untuk
melibatkan semua anggota keluarga untuk suatu aktivitas, tetapi cukup besar untuk menampung fasilitas umum seperti tempat berbelanja, lapangan bermain,
dan daerah penyangga Simonds 1983. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992, permukiman adalah lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik
kawasan perkotaan maupun perkotaan sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan
permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang
terstruktur. Pada dasarnya, permukiman Settlement merupakan suatu proses seseorang mencapai dan menetap pada suatu daerah Vander Zee 1986. Fungsi
dari sebuah permukiman adalah tidak hanya untuk menyediakan tempat tinggal dan melindungi tempat bekerja tetapi juga menyediakan fasilitas untuk pelayanan,
komunikasi, pendidikan dan rekreasi.
Permukiman merupakan proses pewadahan fungsional yang dilandasi oleh pola aktivitas manusia serta adanya pengaruh setting rona lingkungan baik yang
bersifat fisik maupun non fisik sosial budaya yang secara langsung mempengaruhi pola kegiatan dan proses pewadahannya. Hubungan antar aspek
budaya culture dan lingkungan binaan environment dalam kaitannya dengan perubahan berjalan secara komprehensif dari berbagai aspek kehidupan sosial
budaya masyarakat. Faktor pembentuk lingkungan dapat dibedakan menjadi dua golongan Rapoport, 1993 yakni faktor primer sosio culture factors dan faktor
sekunder modifying factors. Lingkungan binaan seperti permukiman dapat terbentuk secara organic atau dapat juga terbentuk melalui perencanaan.
Pertumbuhan organik pada lingkungan permukiman terjadi dalam proses yang panjang dan berlangsung secara berkesinambungan. Lingkungan permukiman
merupakan refleksi dari kekuatan sosial budaya seperti kepercayaan, hubungan keluarga, organisasi sosial, serta interaksi sosial antara individu.
Untuk membangun suatu permukiman perlu memperhatikan lanskap. Rumah menjadi permukiman bila dipikirkan dalam kelipatannya baik sekumpulan
kesatuan yang terpisah di atas petak-petak lahan individual maupun sebagai kelompok rumah gandeng, rumah susun, atau apartemen. lanskap permukiman
adalah perubahan bentuk historis dari situasi, dimana taman dipertahankan dalam wujud rumahnya sendiri sampai wujud lainnya taman lingkungan serta
permukiman
–permukiman ditata dalam suatu kawasan yang lebih luas seperti pembangunan kota-kota baru. Laurie, 1986.
Sebuah permukiman terbentuk dari komponen-komponen dasar yaitu: 1 rumah-rumah dan tanah beserta rumah; 2 tanah kapling rumah dan ruang tanah
beserta rumah; dan 3 tapak rumah dan perkarangan rumah. Perkarangan rumah atau tempat-tempat rumah biasanya disusun dalam kelompok-kelompok yang
homogen dalam segi bentuk, fungsi, ukuran, asal mula dan susunan spasial. Dua atau lebih kelompok-kelompok dapat membentuk sebuah komplek Gambar 6.
Bentuk dari permukiman dinyatakan dalam bentuk tempat dan bentuk perencanaan tanah. Perencanaan tanah dibentuk oleh kelompok-kelompok dan
komplek-komplek dari tempat rumah dan perkarangan rumah. Perkarangan rumah atau tempat-tempat rumah biasanya disusun dalam kelompok-kelompok yang
homogen dalam segi bentuk, fungsi, ukuran, asal mula dan susunan spasial. Dua atau lebih kelompok-kelompok dapat membentuk sebuah komplek Vander Zee
1986.
Ukuran permukiman terbagi menjadi enam yaitu permukiman tunggal satu rumah, permukiman kecil 2-20 rumah, permukiman kecil-sedang sampai
dengan 500 penduduk, permukiman besar 2000-5000 penduduk, permukiman sangat besar lebih besar dari 5000 penduduk. Kerapatan permukiman diukur
berdasarkan jarak antar rumah-rumah sepanjang jalan sehingga dapat dikategorikan sangat jarang, jarang, rapat, sangat rapat, rapat-kompak. Tipe
permukiman dapat dibedakan menjadi tipe linear, tipe plaza, dan tipe permukiman dengan pengaturan area atau streetplan Vander Zee 1986.
Karakteristik permukiman menurut Kuswartojo 2005 dibedakan menjadi permukiman informal dan permukiman formal. Permukiman informal adalah
permukiman yang tidak tertata dan identik dengan wilayah perdesaan. Koestoer 1995 mengemukakan bahwa karakteristik permukiman di wilayah perdesaan
ditandai terutama oleh ketidakteraturan bentuk fisik rumah. Pola permukimannya cenderung berkelompok membentuk perkampungan yang letaknya tidak jauh dari
sumber air.Permukiman formal adalah permukiman yang tertata dan identik dengan wilayah perkotaan. Wilayah permukiman di perkotaan sering disebut
sebagai daerah perumahan, memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya sebagian besar rumah menghadap secara teratur ke arah kerangka jalan yang ada
dan sebagian besar terdiri dari bangunan permanen, berdinding tembok dan dilengkapi dengan penerangan listrik. Kerangka jalannya pun ditata secara
bertingkat mulai dari jalan raya, penghubung hingga jalan lingkungan atau lokal.
Gambar 6. Kelompok dan komplek dari rumah-rumah dan pekarangan sumber: Vander Zee 1986
2.2.1 Konsep Teritorialitas dalam Ruang Permukiman
Terbentuknya lingkungan permukiman dimungkinkan karena adanya proses pembentukan hunian sebagai wadah fungsional yang dilandasi oleh pola aktifitas
manusia serta pengaruh setting atau rona lingkungan, baik yang bersifat fisik maupun non fisik sosial-budaya yang secara langsung mempengaruhi pola
kegiatan dan proses pewadahannya Rapoport 1969. Secara umum adanya ruang fungsional ini mendorong seseorang untuk membentuk teritori sebagai ruang yang
dikuasai. Porteous, 1977 menyatakan, teritorialitas adalah batas di mana organisme hidup menentukan teritori dan mempertahankannya, terutama dari
kemungkinan intervensi atau agresi pihak lain. Proses terbentuknya teritorialitas dicirikan dengan adanya rasa memiliki dan upaya kontrol terhadap suatu
lingkungan dalam bentuk penandaan tempat baik secara fisik maupun simbolik Altman, 1975 dan Brower, 1976
Teritorialitas merupakan salah satu atribut arsitektur lingkungan dan perilaku, sehingga didalamnya terjadi interaksi antara Individu dengan tujuan
kegiatan dan institusi dengan tujuan kebijaksanaan terhadap ruang. Keterkaitan hubungan yang terjadi antar unsur teritorialitas ini menyebabkan teritorialitas
dapat dilihat sebagai atribut perilaku yang dapat diukur kualitasnya. Dengan adanya interaksi antar unsur teritorialitas, maka kualitas teritori juga bisa diukur
dimana yang terjadi antara pelaku dan seting fisiknya Burhanuddin, 2010.
Menurut Altman dalam Porteous 1977, teritorialitas dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu teritorialitas primer, teritorialitas sekunder, dan teritorialias
umum. 1.
Teritorialitas primer Teritorialitas primer merupakan ruang yang dimiliki secara permanen oleh
seseorang atau kelompok tertentu. Gangguan terhadap ruang ini dianggap sebagai penghinaan bagi penghuninya contoh: rumah tinggal, ruang kantor.
2. Teritorialitas sekunder
Teritorialitas sekunder merupakan ruang yang dikuasai dan dikontrol oleh seseorang atau kelompok tertentu namun masih mengijinkan orangkelompok
lain untuk mengakses ruang tersebut.
3. Teritorialitas umum
Teritorialitas umum merupakan ruang yang hanya dapat dikuasai dalam waktu singkat dan dapat diakses oleh semua orang
2.2.2 Pola Permukiman
Pola permukiman adalah bentuk persebaran tempat tinggal penduduk. Pola permukiman di setiap wilayah berbeda-beda. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perbedaan pola permukiman antara lain adalah relief, kesuburan tanah, keadaan iklim, kondisi ekonomi, dan kultur masyarakat. Bentukan lahan landform dapat
berupa pegunungan, lembah, dataran tinggi, dataran rendah, kawasan berlereng, atau daerah pantai. Perbedaan bentukan lahan menyebabkan perbedaan pola
adaptasi termasuk dalam penataan permukiman. Kesuburan tanah juga dapat mempengaruhi pola permukiman. Tingkat kesuburan tanah di setiap tempat
berbeda-beda. Di daerah pedesaan, lahan yang subur merupakan sumber penghidupan bagi penduduk sehingga tempat tinggal didirikan dengan pola
berkumpul dan memusat dekat dengan sumber penghidupannya. Faktor-faktor iklim seperti curah hujan, intensitas radiasi Matahari dan suhu di setiap tempat
berbeda-beda. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah dan kondisi alam daerah tersebut. Kondisi ini akan berpengaruh pada pola pemukiman
penduduk. Pada daerah dingin seperti pegunungan, dataran tinggi serta di Kutub utara orang akan cenderung mendirikan tempat tinggal saling berdekatan dan
mengelompok. Sedangkan di daerah panas pemukiman penduduk cenderung lebih terbuka dan agak terpencar. Kegiatan ekonomi seperti pusat-pusat perbelanjaan,
perindustrian, pertambangan, pertanian, perkebunan dan perikanan akan berpengaruh pada pola pemukiman yang mereka pilih, terutama tempat tinggal
yang dekat dengan berbagai fasilitas yang menunjang kehidupannya, karena hal itu akan memudahkan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Budaya
penduduk yang dipegang teguh oleh suatu kelompok masyarakat akan berpengaruh pada pola pemukiman kelompok tersebut.
Pola permukiman menurut pemusatan masyarakat di Pulau Jawa dapat dibagi menjadi pola permukiman memanjang linear mengikuti jalur lalu lintas
atau sungai, pola permukiman mengelompok clustered, dan pola permukiman tersebar Yudohusodo 1991. Leibo 1986 membedakan pola permukiman di
wilayah perdesaan menjadi tiga Gambar 7, yaitu : 1.
the scattered formstead community merupakan pola permukiman dimana sebagian orang berdiam di pusat layanan yang ada sementara lainnya tersebar
bersama sawah ladangnya masing-masing; 2.
the cluster village merupakan pola permukiman dimana penduduk tinggal mengelompok dengan dikelilingi sawah ladangnya;
3. the line village merupakan pola permukiman dimana rumah-rumah dibangun
mengikuti garis tertentu, menyilang, atau menyusur pinggiran sungai, kanal, atau pantai. Sawah dan ladang penduduk diletakkan di belakang lokasi
permukiman.