Lanskap Permukiman Kajian desain lanskap permukiman tradisional Madura

3. Teritorialitas umum Teritorialitas umum merupakan ruang yang hanya dapat dikuasai dalam waktu singkat dan dapat diakses oleh semua orang

2.2.2 Pola Permukiman

Pola permukiman adalah bentuk persebaran tempat tinggal penduduk. Pola permukiman di setiap wilayah berbeda-beda. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan pola permukiman antara lain adalah relief, kesuburan tanah, keadaan iklim, kondisi ekonomi, dan kultur masyarakat. Bentukan lahan landform dapat berupa pegunungan, lembah, dataran tinggi, dataran rendah, kawasan berlereng, atau daerah pantai. Perbedaan bentukan lahan menyebabkan perbedaan pola adaptasi termasuk dalam penataan permukiman. Kesuburan tanah juga dapat mempengaruhi pola permukiman. Tingkat kesuburan tanah di setiap tempat berbeda-beda. Di daerah pedesaan, lahan yang subur merupakan sumber penghidupan bagi penduduk sehingga tempat tinggal didirikan dengan pola berkumpul dan memusat dekat dengan sumber penghidupannya. Faktor-faktor iklim seperti curah hujan, intensitas radiasi Matahari dan suhu di setiap tempat berbeda-beda. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah dan kondisi alam daerah tersebut. Kondisi ini akan berpengaruh pada pola pemukiman penduduk. Pada daerah dingin seperti pegunungan, dataran tinggi serta di Kutub utara orang akan cenderung mendirikan tempat tinggal saling berdekatan dan mengelompok. Sedangkan di daerah panas pemukiman penduduk cenderung lebih terbuka dan agak terpencar. Kegiatan ekonomi seperti pusat-pusat perbelanjaan, perindustrian, pertambangan, pertanian, perkebunan dan perikanan akan berpengaruh pada pola pemukiman yang mereka pilih, terutama tempat tinggal yang dekat dengan berbagai fasilitas yang menunjang kehidupannya, karena hal itu akan memudahkan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Budaya penduduk yang dipegang teguh oleh suatu kelompok masyarakat akan berpengaruh pada pola pemukiman kelompok tersebut. Pola permukiman menurut pemusatan masyarakat di Pulau Jawa dapat dibagi menjadi pola permukiman memanjang linear mengikuti jalur lalu lintas atau sungai, pola permukiman mengelompok clustered, dan pola permukiman tersebar Yudohusodo 1991. Leibo 1986 membedakan pola permukiman di wilayah perdesaan menjadi tiga Gambar 7, yaitu : 1. the scattered formstead community merupakan pola permukiman dimana sebagian orang berdiam di pusat layanan yang ada sementara lainnya tersebar bersama sawah ladangnya masing-masing; 2. the cluster village merupakan pola permukiman dimana penduduk tinggal mengelompok dengan dikelilingi sawah ladangnya; 3. the line village merupakan pola permukiman dimana rumah-rumah dibangun mengikuti garis tertentu, menyilang, atau menyusur pinggiran sungai, kanal, atau pantai. Sawah dan ladang penduduk diletakkan di belakang lokasi permukiman. Gambar 7. Pola permukiman di wilayah perdesaan sumber: Leibo 1986

2.3 Permukiman Tradisional

Permukiman tradisional sering direpresentasikan sebagai tempat yang masih memegang nilai-nilai adat dan budaya yang berhubungan dengan nilai kepercayaan atau agama yang bersifat khusus atau unik pada suatu masyarakat tertentu yang berakar dari tempat tertentu pula di luar determinasi sejarah. Menurut Sasongko 2005, bahwa struktur ruang permukiman digambarkan melalui pengidentifikasian tempat, lintasan, batas sebagai komponen utama, selanjutnya diorientasikan melalui hirarki dan jaringan atau lintasan, yang muncul dalam suatu lingkungan binaan mungkin secara fisik ataupun non fisik yang tidak hanya mementingkan orientasi saja tetapi juga objek nyata dari identifikasi. Menurut Habraken dalam Fauzia 2006, ditegaskan bahwa sebagai suatu produk komunitas, bentuk lingkungan permukiman merupakan hasil kesepakatan sosial, bukan merupakan produk orang per orang. Artinya komunitas yang berbeda tentunya memiliki ciri permukiman yang berbeda pula. Perbedaan inilah yang memberikan keunikan tersendiri pada bangunan tradisional, yang antara lain dapat dilihat dari orientasi, bentuk, dan bahan bangunan serta konsep religi yang melatarbelakanginya. Keunikan tersebut sekaligus menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan. Oleh karena itu Koentjaraningrat 1987 menjelaskan bahwa benda –benda hasil karya manusia merupakan wujud kebudayaan fisik, termasuk di dalamnya adalah permukiman dan bangunan tradisional. Menurut Norberg-Schulz dalam Sasongko 2005, bahwa struktur ruang permukiman digambarkan melalui pengidentifikasian tempat, lintasan, batas sebagai komponen utama, selanjutnya diorientasikan melalui hirarki dan jaringan atau lintasan, yang muncul dalam suatu lingkungan binaan mungkin secara fisik ataupun non fisik yang tidak hanya mementingkan orientasi saja tetapi juga objek nyata dari identifikasi. Wikantiyoso dalam Krisna, Antariksa, dan Dwi Ari 2005 menambahkan, bahwa permukiman tradisional adalah aset kawasan yang dapat memberikan ciri ataupun identitas lingkungan. Identitas kawasan tersebut terbentuk dari pola lingkungan, tatanan lingkungan binaan, ciri aktifitas sosial budaya dan aktifitas ekonomi yang khas. Pola tata ruang permukiman mengandug tiga elemen, yaitu ruang dengan elemen penyusunnya bangunan dan ruang disekitarnya, tatanan formation yang mempunyai makna komposisi pattern atau model dari suatu komposisi. Pada bagian lain Dwi Ari Antariksa 2005 menyatakan bahwa permukiman tradisional memiliki pola-pola yang membicarakan sifat dari persebaran permukiman sebagai suatu susunan dari sifat yang berbeda dalam hubungan antara faktor-faktor yang menentukan persebaran permukiman. Terdapat kategori pola permukiman tradisional berdasarkan bentuknya yang terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu pola permukiman bentuk memanjang terdiri dari memanjang sungai, jalan, dan garis pantai; Pola permukiman bentuk melingkar; Pola permukiman bentuk persegi panjang; dan Pola permukiman bentuk kubus. 2.4 Madura 2.4.1 Karakteristik Lanskap Pulau Madura terletak di sebelah timur Pulau Jawa dan dibatasi oleh Selat Madura hingga ke sebelah selatan, sedangkan bagian utara hingga ke timur Pulau Madura berbatasan dengan Laut Jawa. Secara administratif Pulau Madura dibagi menjadi empat wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan, dan Kabupaten Sumenep. Luas keseluruhan Pulau Madura adalah 5.304 km2 dengan posisi wilayah berada pada ketinggian 2-350 m diatas permukaan laut. Wilayah terendah berada di kawasan pantai, sedangkan wilayah tertinggi menyebar dibagian tengah pulau yang sebagian besar berupa gundukan bukit kapur Subaharianto dkk 2004. Pulau Madura dikelilingi 67 pulau-pulau kecil. Kondisi perairan yang memisahkan pulau-pulau kecil tergolong jernih dan tidak terlalu dalam. Perairan ini menyimpan potensi taman laut yang menarik jika dapat dikembangkan secara optimal Subaharianto dkk 2004. Secara geologis, Madura merupakan kelanjutan sistem Pegunungan Kapur Utara di dataran Jawa. Hal ini menyebabkan tulang punggung Pulau Madura adalah perbukitan berkapur dengan puncak tertingginya Gunung Tembuku pada ketinggian 471 meter di atas permukaan laut. Bagian terbesar dari pulau ini adalah bukit –bukit cadas yang tinggi dan punggung–punggung kapur yang lebar diselingi bukit –bukit bergelombang. Hamparan dataran rendah banyak dijumpai di bagian selatan, sedangkan di sebelah timur laut dapat ditemukan formasi gundukan pasir laut membukit dengan tinggi mencapai 15 meter yang membentang sejauh 50 kilometer. Bukit pasir ini merupakan objek alam yang unik dan langka karena bentangannya termasuk yang terpanjang di dunia de Jonge 1989; Rifai 2007. Kondisi tanah Madura sebagian termasuk jenis tanah liat, mediteran, litosol, dan grumosol dengan kandungan phospat cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan baku pupuk. Sebagian lain berupa jenis batu-batuan seperti batu putih, batu kapur, batu gunung, dan batu bintang. Permukaan tanah di Madura relatif lebih rata dibandingkan dengan Pulau Jawa. Dataran pantai terpenting adalah dataran Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep. Perbukitan di sebelah timur dan tenggara Madura dilanjutkan dalam bentuk pulau-pulau dan karang-karang di laut. Sejumlah sungai melintasi Pulau Madura dengan ukuran yang lebih kecil dari Pulau Jawa. Pada musim kemarau sebagian besar dari sungai-sungai tersebut mengering. Keberadaan sungai-sungai di Madura memberikan kontribusi besar bagi kehidupan masyarakat Madura. Aliran sungai dimanfaatkan dalam kegiatan pertanian dan pemenuhan kebutuhan rumah tangga yaitu mandi dan cuci. Iklim Pulau Madura bercirikan dua musim, musim barat atau musim hujan nembara dan musim timur atau musim kemarau nemor. Musim hujan selama 6 bulan biasanya hanya terjadi di daerah pedalaman yang tinggi. Di lereng –lereng gunung yang lebih rendah, musim hujan hanya berlaku selama 3 –4 bulan saja. Sementara di sepanjang pantai utara dan daerah paling selatan, hujan hanya turun saat masa awal tahun. Suhu udara pulau ini tergolong tinggi. Suhu saat musim barat rata – rata mencapai 27°C, sedangkan pada musim timur mencapai 35°C. Komposisi tanah dan dan curah hujan yang tidak merata menyebabkan tanah Madura relatif kurang subur. Sebagian besar tanah yang diolah merupakan tanah tegalan, sedangkan lahan –lahan yang sama sekali tidak subur di bagian selatan umumnya dimanfaatkan untuk pembuatan garam de Jonge 1989. Ketandusan tanah dan iklim yang gersang menyebabkan jenis vegetasi yang ada di pulau ini hanya terdiri dari tumbuhan daerah beriklim kering saja sehingga keanekaragamannya tidak terlampau tinggi Rifai 2007. Sebagian besar aktivitas pertanian dilakukan di lahan tegalan dengan tanaman pokok jagung dan ubi. Areal sawah sangat terbatas dan umumnya berupa sawah tadah hujan sehingga petani Madura hanya menanam padi setahun sekali. Kuntowijoyo 1980 menyatakan bahwa lingkungan Madura yang semacam ini merupakan representasi dari ekotipe tegalan tegalan ecotype.

2.4.2 Karakter dan Budaya Masyarakat Madura

Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang memiliki gaya bicara yang khas dengan karakter dominan keras dan mudah tersinggung. Walaupun demikian, masyarakat Madura juga merupakan pribadi yang hangat, disiplin, dan rajin bekerja. Orang Madura tampak selalu ceria, lugu, suka berterus terang, dan apa adanya. Namun, citra sifat kaku dan kasar masih melekat karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang umumnya berasal dari daerah pedesaan. Orang Madura juga dikenal mempunyai kesetiaan pada sistem dan pranata sosialnya. Ketekunan dan etos kerja yang tinggi menyebabkan mereka tidak takut melakukan pekerjaan apa saja Rifai 2007. Secara umum, Rifai 2007 menyebutkan bahwa karakter orang Madura adalah ego tinggi, kaku dan kasar, pemberani, teguh pendirian, apa adanya, tulus setia, tertib, pamer, keras kepala, responsif, ulet, berjiwa wirausaha, suka berpetualang, hemat dan cermat, dan agamis. Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang religius. Dapat dikatakan ajaran islam secara kental telah mewarnai budaya dan peradaban Madura Rifai 2007; Hidayah 1996. Islam telah menjadi identitas etnis, sehingga tidak aneh jika orang Madura juga memiliki hubungan yang khas dengan ulama. Ulama Madura dikenal dengan sebutan kiai. Gelar kiai merupakan gelar kehormatan yang diberikan masyarakat kepada ahli agama islam yang memimpin pondok pesantren dan mengajarkan kitab-kitab islam klasik. Kiai memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat Madura bahkan hingga melampaui batas-batas geografi desa dan masyarakat tempat pesantrennya berada Dhofier 1994. Penghormatan yang tinggi terhadap ulama didasarkan pada falsafah dan prinsip hidup orang madura yang terdapat pada ungkapan buppa’-bhabbhu’, guru, rato; yang dalam bahasa Indonesia berarti bapak-ibu, guru, pemerintah. Ungkapan tersebut mencerminkan hierarki penghormatan dikalangan masyarakat Madura. Bagi orang Madura penghormatan yang pertama dan utama harus diberikan kepada kedua orang tua yang telah melahirkan, merawat, dan mengasuh hingga dewasa. Penghormatan pada orang tua merupakan kewajiban dan hal etik dari agama islam yang harus dilaksanakan. Penghormatan selanjutnya diberikan pada guru. Pengertian guru yang dimaksud adalah kiai. Kiai telah mengajarkan ilmu agama kepada santri-santri. Kiai juga dianggap dekat pada kesucian agama islam sehingga harus dihormati dan diteladani. Penghormatan kepada kedua orang tua dan kiai menjadi dasar untuk memberikan bakti pada ratu. Ratu dalam hal ini bermakna raja atau pemerintah. Seorang Madura dianggap baik apabila mampu menjalankan prinsip ini Subaharianto dkk 2004, Taufiurrahman 2007. Menurut Woodward 1989 dalam kategori tertentu, islam di Madura tidak dapat dikatakan sebagai islam murni, tetapi termasuk “islam lokal” yaitu islam yang bercampur dengan adat seperti Abangan atau Agama Adam di Jawa Geertz 1989. Selain melaksanakan ajaran agama dengan taat, orang Madura juga mempertahankan kepercayaan asal yang mempercayai bahwa roh leluhur mempunyai kekuatan yang dapat memberikan perlindungan. Gejala ini tampak pada kebiasaan masyarakat dalam melakukan upacara selamatan tanah dan rumah rokat, upacara mengirim doa melalui sesaji yang telah didoakan kiai, dan kebiasaan mengubur jenazah di pekarangan atau tanah tegalnya. Tanah mempunyai ikatan dengan roh leluhur dalam hal penguasaan. Menurut kepercayaan orang Madura, secara gaib tanah yang dimiliki oleh seseorang juga masih dikuasai oleh roh leluhur yang dulu memiliki tanah tersebut. Roh leluhur yang telah meninggal akan menyatu dengan tanah sehingga orang yang memiliki tanah harus tahu asal usul pemilik tanah sebab akan berkaitan dengan pengiriman doa dan pemohonan berkah. Secara fisik tanah dimiliki seseorang tetapi secara gaib roh leluhur menyatu dengan tanah dan mempunyai hak kekuasaan atas tanah tersebut Subaharianto dkk 2004. Hubungan tanah dan leluhur juga tampak pada tata cara penguburan jenazah. Setiap keluarga besar extended family pada umumnya memiliki kuburan keluarga sendiri. Pekuburan keluarga tersebut diletakkan di sebelah timur pekarangan atau di tanah tegalnya. Masyarakat Madura pada dasarnya tidak mengenal pemakaman umum, kecuali masyarakat perkotaan yang lahannya terbatas. Setiap keluarga sudah memiliki lokasi tertentu sebagai tempat mengubur jenazah bagi anggota keluarga yang meninggal sehingga tidak jarang dijumpai pemakaman yang kecil dan berdempetan dengan tanah pekarangan oarang lain.