Financial inclution di Indonesia

Adapun strategi yang diterapkan pemerintah Indonesia untuk meminimalisir hambatan-hambatan yang ada yaitu dengan melakukan pemetaan masyarakat. Strategi keuangan inklusif secara eksplisit menyasar kelompok dengan kebutuhan terbesar atau belum dipenuhi atas layanan keuangan yaitu tiga kategori penduduk orang miskin berpendapatan rendah, orang miskin bekerjamiskin produktif, dan orang hampir miskin dan tiga lintas kategori pekerja migran, perempuan, dan penduduk daerah tertinggal. Adapun kerangka kerja umum keuangan inklusif dibangun di atas enam pilar diantaranya: 41 Pilar 1 Edukasi Keuangan. Bertujuan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat luas tentang produk-produk dan jasa-jasa keuangan yang ada dalam pasar keuangan formal, aspek perlindungan konsumen dan pemahaman manajemen risiko. Pilar 2 Fasilitas Keuangan Publik. Strategi pada pilar ini mengacu pada kemampuan dan peran pemerintah dalam penyediaan pembiayaan keuangan publik baik secara langsung maupun bersyarat guna mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pilar 3 Pemetaan Informasi Keuangan. Bertujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat terutama yang sebenarnya dikategorikan tidak layak untuk menjadi layak atau dari unbankable menjadi bankable 41 Booklet Keuangan Inklusif. Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM. Bank Indonesia. 2004. h.11-14. Pilar 4: KebijakanPeraturan yang mendukung. Pelaksanaan program keuangan inklusif membutuhkan dukungan kebijakan baik oleh pemerintah maupun Bank Indonesia guna meningkatkan akses akan layanan jasa keuangan. Pilar 5 Fasilitas Intermediasi dan Saluran Distribusi. Bertujuan untuk meningkatkan kesadaran lembaga keuangan akan keberadaan segmen potensional di masyarakat dan memperluas jangkauan layanan jasa keuangan dengan memanfaatkan metode distribusi alternatif. Pilar 6 Perlindungan Konsumen. Bertujuan agar masyarakat memiliki jaminan rasa aman dalam berinteraksi dengan institusi keuangan dalam memanfaatkan produk dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan. Untuk mengetahui sejauh mana perkembangan kegiatan keuangan inklusif diperlukan suatu ukuran kinerja. Dari beberapa referensi, Indikator yang dapat dijadikan ukuran sebuah negara dalam mengembangkan keuangan inklusif adalah:

a. Ketersediaan akses : mengukur kemampuan penggunaan jasa keuangan

formal dalam hal keterjangkauan fisik dan harga. Salah satu point untuk mengukur ketersediaan dapat dilakukan dengan mengetahui jumlah akses poin atau tempat melakukan transaksi cash in cash out seperti kantor pelayanan jasa keuangan, ATM, dan agen. Namun dalam penelitian ini yang menggunakan objek BPRS hanya menggunakan jumlah kantor yang tersebar di seluruh Indonesia.

b. Penggunaan : mengukur kemampuan penggunaan aktual produk dan jasa

keuangan keteraturan, frekuensi dan lama penggunaan. Indikator ini dapat diukur dengan jumlah rekening simpanan dalam bentuk tabungan, giro dan deposito. Dalam penelitian ini jumlah rekening simpanan yang digunakan sebatas rekening tabungan dan deposito. Karena BPRS tidak boleh menggunakan produk dalam bentuk jasa pembayaran seperti giro. Selain rekening simpanan, indikator ini juga dapat diukur dengan jumlah rekening pembiayaan.

c. Kualitas : mengukur apakah atribut produk dan jasa keuangan telah

memenuhi kebutan pelanggan.

d. Kesejahteraan : mengukur dampak layanan keuangan terhadap tingkat

kehidupan pengguna jasa.

C. Lembaga Keuangan Mikro Syariah

Upaya pemerintah mendorong pemberdayaan masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dan usaha mikro, kecil, dan menengah UMKM diperlukan dukungan yang komprehensif dari lembaga keuangan. Lembaga-lembaga tersebut dikenal dengan sebutan lembaga keuangan mikro LKM. Lembaga Keuangan Mikro LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. 42 Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, memperkuat keberadaan LKM untuk memperluas usaha keuangannya. 42 Undang-unndang Republik Indonesia No. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro LKMLKMS menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah baik pusat maupun daerah. LKMLKMS diharapkan mampu meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat, membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas masyarakat, serta membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat miskin danatau berpenghasilan rendah. 43 LKM di Indonesia menurut Bank Indonesia dibagi menjadi dua kategori yaitu LKM yang berwujud bank serta non bank. LKM yang berwujud bank adalah BRI UnitDesa, BPR dan BKD Badan Kredit Desa. Sedangkan yang bersifat non bank adalah koperasi simpan pinjam KSP, unit simpan pinjam USP, lembaga dana kredit pedesaan LDKP, baitul mal wattanwil BMT, lembaga swadaya masyarakat LSM, arisan, pola pembiayaan Grameen, pola pembiayaan ASA, kelompok swadaya masyarakat KSM, dan credit union. 44 Tabel 3.1. : Skala Lembaga Keuangan Mikro No Skala LKM Ruang Lingkup Pembiayaan Modal 1 Desa Kelurahan Memberikan pembiayaan kepada penduduk dalam 1 Desa Kelurahan. Rp 50.000.000,- 2 Kecamatan Memberikan pembiayaan kepada penduduk di 2 Desa Kelurahan atau lebih dalam 1 Kecamatan. Rp 150.000.000,- 3 Kabupaten Kota Memberikan pembiayaan kepada penduduk di 2 Kecamatan atau lebih dalam 1 KabupatenKota. Rp 500.000.000,- Sumber : UU no 1 tahun 2013 tentang LKM. 43 Undang-unndang Republik Indonesia No. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro 44 Khusniati, “PERAN LEMBAGA KEUANGAN MIRO DALAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DI KABUPATEN PONOROGO”, Kodifikasia, vol. 5 No. 1, 2011, h.119 Di Indonesia menerapkan dual system dalam penyelanggaraan lembaga keuangan. Begitu pula dengan penyelenggaraan keuangan di sektor mikro yang dalam hal ini lembaga keuangan mikro yang menjadi pelakunya. Hampir semua lembaga keuangan mikro juga menjalankan usahanya dengan sistem syariah. Begitu pula dengan Bank Perkreditan Rakyat yang menjadi salah satu lembaga keuangan mikro formal yang berazas perbankan. BPR yang menjalankan kegiatannya dengan sistem syariah selanjutnya disebut BPRS. Berbagai macam bentuk dan jenis lembaga keuangan sebagai lembaga intermediery mempunyai andil dalam penyerapan tenaga kerja. Keikutsertaan lembaga keuangan dapat dilakukan dengan menyalurkan pembiayaan atau kredit untuk kegiatan produktif seperti pada UMKM. Seperti yang telah disampaikan Rasulullah SAW 45 : ِ نع ِ ْعشِ نْبِ رْي غ ْلاِ ِ ه عِهِيضر ،ِ ِ اقِ: اق ِ ِ ي َ ل ِ ِهِ ص م س ِهي ع :ِ ِ َرحِهِ َ ا ِ ِ، ا ْلاِ ْأ ِ، ا َمأاِقْوقعِ:ْم ْي ع لاِ رْثك ِ، اق ِلْي قِْم لِ رك ِ، اه ِع م ِ ا ْلاِ عاض ِ، ا س ِ ِ ا ر را لا ِ Diriwayatkan dari Al- Mughirah bin Syu’bah, Nabi bersabda,”Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagi kalian durhaka kepada ibu, membunuh anak perempuan, dan kikir disertai tamak. Dan Allah membenci bagi kalian menceritakan yang diceritakan orang, banyak bertanya, dan menyia- nyiakan harta.” 45 Imam Az-Zubaidi. Ringkasan Shahih Bukhari.Surakarta, Insan Kamil:2014 h.463.

D. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagai LKMS Formal

Menurut UU Perbankan No 7 tahun 1992, BPR adalah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR. Sedangkan menurut UU No 10 tahuun 1998, disebutkan bahwa BPR adalah lembaga keuangan bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 menyebutkan Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah BPRS yaitu Bank Syari’ah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 46 Yang perlu diperhatikan dari ketentuan diatas adalah kepanjangan dari BPR Syari’ah yang berupa Bank Perkreditan Syari’ah. Ini berarti semua peraturan perundangan-undangan y ang menyebut BPR Syari’ah dengan Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah harus dibaca dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah BPRS. 47 Secara teknis, BPRS bisa diartikan sebagai lembaga keuangan sebagaimana BPR konvensional yang operasionalnya menggunakan prinsip-prinsip syariah Sudarsono, 2003:71. Selain itu Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah BPRS adalah Bank Syari’ah yang dalam kegiatanya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 48 46 Khotibul Umam, S.H.,LL.M. Trend pembentukan Bank Umum Syari’ah Pasca UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 Konsep, Regulasi, dan Implementasi, Yogyakarta : BPFE Yogayakrta, 2009, h. 41. 47 Zubairi Hasan, Undang- Undang Perbankan Syari’ah Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional, Jakarta: PT Rajagrafindo persada, 2009, h. 7. 48 Ahmad Ifham, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syari’ah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010, h. 3.