31
kehilangan identitas pribadi dan dapat memiliki pandangan sendiri Baron Byrne, 2005.
D. Dinamika Hubungan antara Keluasan Informasi dengan Konformitas pada
Mahasiswa Semester Awal
Menurut Keating dalam Santrock, 2003, masa remaja adalah masa peralihan penting dalam perkembangan kognitif. Mahasiswa yang sudah berada
pada tahap remaja akhir diharapkan mencapai pemikiran operasional formal secara penuh, dan dituntut memiliki pemikiran yang kritis Santrock, 2003.
Berpikir kritis meliputi kemampuan individu untuk memahami makna dari suatu masalah, keterbukaan pikiran terhadap berbagai pendekatan atau pandangan,
dan menentukan sendiri hal yang diyakini atau dilakukannya. Perubahan kognitif yang memungkinkan peningkatan pemikiran kritis pada remaja, yaitu:
meningkatnya kecepatan, otomatisasi dan kapasitas pemrosesan informasi; bertambah luasnya isi pengetahuan; meningkatnya kemampuan membangun
kombinasi-kombinasi baru dari pengetahuan; semakin bervariasinya strategi dan spontanitas individu dalam penggunaan strategi Santrock 2003.
Menurut Stenberg dalam Santrock 2003, salah satu keterampilan berpikir kritis yang diperlukan remaja dalam kehidupan sehari-hari adalah mengambil
keputusan mengenai hal-hal pribadi. Santrock 2003 juga mengemukakan bahwa masa remaja adalah masa di mana meningkatnya kemampuan mengambil
32
keputusan. Suatu penelitian yang dikemukakan oleh Lewis dalam Santrock 2002, bahwa remaja yang berusia lebih tua memiliki kemampuan mengambil keputusan
lebih tepat daripada yang lebih muda. Dengan kata lain, mahasiswa semester awal yang sudah berada pada tahap remaja akhir memiliki kemampuan dalam hal
pengambilan keputusan. Kemampuan mengambil keputusan ini didukung dengan keluasan
informasi yang dimiliki. Informasi yang dimiliki individu akan sangat mempengaruhi kehidupan individu sehari-hari seperti dalam pengambilan
keputusan, dalam bertindak, dalam memilih, dan sebagainya. Informasi berguna ketika individu akan membuat keputusan karena informasi menurunkan
ketidakpastian atau meningkatkan pengetahuan. Ketika pengetahuan individu bertambah, individu dapat mengatasi situasi yang ambigu atau ketidakjelasan
tanpa mengikuti perilaku orang lain. Sears, Freedman, dan Peplau 1985 mengutarakan bahwa salah satu faktor
yang mempengaruhi konformitas adalah kurangnya informasi. Individu berharap mendapatkan manfaat dengan melakukan apa yang orang lain lakukan. Deutsch
dan Gerard dalam Baron Byrne 2005 juga mengemukakan bahwa salah satu kebutuhan psikologis yang menyebabkan individu melakukan konformitas yaitu
kebutuhan untuk benar pengaruh sosial informasional. Pengaruh sosial informasional terjadi ketika seseorang mengikuti anggota
lain dalam kelompok untuk mendapatkan informasi yang akurat. Ketika individu
33
terjebak dalam situasi yang ambigu, individu akan merasa bingung apa yang harus dilakukannya. Individu tersebut akan bergantung pada orang lain untuk
mendapatkan informasi atau jawaban, sedangkan keakuratan dapat diperoleh dengan memiliki wawasan atau informasi. Dengan demikian, diasumsikan bahwa
semakin banyak informasi yang dimiliki oleh individu, maka akan semakin rendah tingkat konformitasnya.
Melalui studi Hofstede dalam Susana 2006 diketahui bahwa Indonesia berada pada peringkat ke 68-69 dalam nilai indeks individualisme, sedangkan
Amerika menduduki peringkat pertama dan beberapa negara barat lainnya juga berada pada peringkat atas. Hofstede dalam Susana 2006 juga berpendapat
bahwa semakin tinggi tingkat individualisme suatu negara, memiliki arti semakin rendah tingkat kolektivismenya.
Hal yang dapat menyebabkan perbedaan tingkat individualisme dan kolektivisme adalah perbedaan pola interaksi dalam masyarakat. Masyarakat yang
mengandalkan pertanian agraris lebih sederhana bila dibandingkan dengan masyarakat industri dan informasi. Susana 2006 menyimpulkan, bahwa semakin
sederhana suatu masyarakat, semakin erat hubungan kekerabatannya, maka semakin tinggi tingkat kolektivismenya. Susana, 2006
Kolektivisme memiliki arti kekeluargaan, gotong royong, kebersamaan, komunalisme dan sebagainya. Soepomo dalam Atmaja, 2011 menjelaskan bahwa
kolektivisme adalah suatu konsep yang menjunjung kekeluargaan, dan kesatuan
34
hidup bersama dalam masyarakat, di mana tiap individu merasa dirinya satu dalam golongannya. Ketika konsep tersebut muncul dalam diri individu, ini
menunjukkan mulai terbentuknya rasa ketergantungan. Alhasil, kemerdekaan sebagai pribadi akan lenyap, dan tergantikan oleh sikap menuruti kehendak
mayoritas. Dengan kata lain, individu akan mengalami hambatan untuk mencapai tujuan pribadinya karena sikap individu itu sendiri yang mengikuti kehendak
mayoritas. Di budaya Timur yang kolektif, peran keluasan informasi terhadap
konformitas dipertanyakan. Hubungan antara keluasan informasi dengan konformitas menjadi suatu hubungan yang tidak jelas karena adanya peran
kolektivisme. Masyarakat Indonesia lebih mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia ingin
menjaga hubungan kekerabatan atau kebersaman yang telah dibangun. Keluasan informasi dengan konformitas tetap diyakini memiliki hubungan
karena adanya beberapa penelitian yang dilakukan oleh tokoh-tokoh sebelumnya, dengan catatan penelitian tersebut dilakukan di luar Indonesia. Berikut ini adalah
gambaran mengenai dinamika hubungan antara keluasan informasi dengan konformitas yang di mana kolektivisme ikut berperan di dalamnya.
35
Gambar 1.Dinamika hubungan antara keluasan informasi dengan konformitas, serta kolektivisme yang berperan di dalamnya.
E. Hipotesis Penelitian