Hubungan antara konformitas kelompok teman sebaya dengan resiliensi pada remaja awal.
HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS KELOMPOK TEMAN SEBAYA DAN RESILIENSI PADA REMAJA AWAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Anggun Novianti NIM : 089114028
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(2)
(3)
(4)
iv
HALAMAN MOTTO
Kegagalan terbesar adalah kegagalan untuk mencoba. (William A. Ward)
Bahagia itu bukan sebuah pencapaian, namun suatu kesadaran. Sadar bahwa dirimu berarti dan dibutuhkan oleh hidup ini. (Merry Riana)
Don’t care what people say, just follow your own way. Don’t give up and use
the chance. (Enigma)
Hidup ini bukan untuk menumbuhkan keluhan, tapi untuk menumbuhkan kemampuan. (Mario Teguh)
(5)
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk :
Tuhan Yesus Sang pencipta kehidupan yang penuh kuasa dan kasih
selalu mengajarkanku berserah, percaya dan mensyukuri berkat serta karunia yang telah Engkau berikan sepanjang usiaku.
Bunda Maria, Bunda penuh rahmat dan kasih. Tempat berkeluh kesah.
Tempat setiap tetesan air mata mengalir. Tempat menyerahkan seluruh hidupku. Atas tuntunan cahaya terang Bunda, hari ini dan seterusnya aku yakin semua yang ada dalam hidupku ini adalah hal baik.
Ayahandaku J. Herry Woerjanto HS dan Ibundaku M.M. Sri Pujianti
yang selama ini banting tulang untuk menyekolahkanku, memenuhi setiap kebutuhanku, dan tidak pernah lelah mendoakanku agar aku menjadi anak yang berhasil. Terima kasih untuk setiap cinta dan cucuran keringatmu ayahanda, ibunda. Aku selalu mencintai kalian.
(6)
(7)
vii
HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS KELOMPOK TEMAN SEBAYA DAN RESILIENSI PADA REMAJA AWAL
Anggun Novianti
ABSTRAK
Penelitian korelasional ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konformitas kelompok teman sebaya dengan resiliensi pada remaja awal. Subjek penelitian adalah siswa-siswi SMP Negeri 2 Sragen yang memiliki rentang usia 12-15 tahun. Subjek penelitian berjumlah 247 orang. Subjek yang berusia 15 tahun sebanyak 40 orang, subjek berusia 14 tahun sebanyak 80 orang, subjek berusia 13 tahun sebanyak 88 orang, dan subjek berusia 12 tahun sebanyak 66 orang. Subjek yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 124 orang dan berjenis kelamin perempuan sebanyak 150 orang. Subjek penelitian dipilih melalui proses purposive sampling. Hipotesis penelitian yang diajukan adalah terdapat hubungan antara konformitas kelompok teman sebaya dan resiliensi pada remaja awal. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah skala, yaitu skala resiliensi dan skala konformitas yang menggunakan pedoman skala sikap model Likert. Skala resiliensi memiliki koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,863 dari 37 aitem, sedangkan skala konformitas memiliki koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,922 dari 42 aitem. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis Product Moment Pearson Correlation. Hasil analisis data menunjukkan koefisien korelasi (r) sebesar 0,436 dengan taraf signifikansi 0,000 (p<0,05). Hal ini berarti semakin tinggi kecenderungan konformitas subjek pada kelompok teman sebaya, maka semakin tinggi kecenderungan resiliensi pada diri subjek. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah kecenderungan konformitas subjek pada kelompok teman sebaya, maka semakin rendah kecenderungan resiliensi subjek.
(8)
viii
THE CORRELATION BETWEEN PEER GROUP CONFORMITY AND RESILIENCE IN EARLY ADOLESCENTS
Anggun Novianti
ABSTRACT
The aim of this research was to find out the correlation between peer group conformity and resilience in early adolescents. Subjects were students of SMP Negeri 2 Sragen with age range 12-15 years. The numbers of subjects were 247 people, consisted of 40 people aged 15 years old, 80 people aged 14 years old, 88 people aged 13 years, and 66 people aged 12 year old. Subjects were 124 male and 150 female. Subjects were selected through purposive sampling process. The hypothesis proposed research was whether there was a relationship between peer group conformity and resilience in early adolescence. Data collection methods used in this study was the scale. There were two scales i.e. scales of resilience and conformity scales using guidelines Likert attitude scale models. Resilience Scale had a Alpha Cronbach reliability coefficient of 0.863 from 37 aitem, while conformity scale had Alpha Cronbach reliability coefficient of 0.922 from 42 aitem. Data analysis was performed using Pearson Product Moment Correlation analysis. The result of data analysis shows a correlation coefficient (r) of 0.436 with a significance level of 0.000 (p <0.05). This result means that the higher tendency of subject conformity to the peer group is the higher tendency of resilience on the subject. Otherwise, the less likely the conformity of subject to peer group is the less likely the resilience subject.
(9)
(10)
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penyertaan, perlindungan,
serta kasih yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Skripsi dengan judul ”Hubungan Konformitas Kelompok Teman
Sebaya dengan Resiliensi pada Remaja Awal” disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak yang dengan tulus membantu penulis. Oleh karena
itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Sylvia Carolina MYM., S. Psi., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi
yang dengan kesabaran dan kasih sayang beliau tidak pernah lelah memberi
waktu dan dorongan penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini. Terima
kasih untuk setiap diskusi dan masukan yang ibu berikan selama ini.
2. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi dan Dosen
Pembimbing Akademik yang selalu menjadi inspirasi tersendiri bagi penulis.
Terima kasih banyak atas bimbingan dan semangat ”berdarah-darah” yang ibu ajarkan selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi.
3. Ibu Ratri Sunar Astuti., S.Psi., M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi dan
dosen penguji skripsi yang turut membantu kelancaran penyusunan skripsi
(11)
xi
4. Ibu MM. Nimas Eki Suprawati, M. Si., Psi. selaku dosen penguji skripsi yang
banyak memberi saran dan wawasan tambahan yang menunjang isi skripsi ini.
5. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Psikologi atas bimbingan dan ilmu yang penulis
peroleh dari setiap kelas perkuliahan. Terima kasih pula untuk setiap
kesempatan yang diberikan untuk ikut ambil bagian dalam setiap kegiatan
yang banyak memberi pembelajaran bagi penulis.
6. Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Muji, Mas Doni, Pak Gi’ untuk setiap senyum, sapaan, candaan serta bantuannya selama perkuliahan dan penulisan
skripsi.
7. Ibu M. M. Wiwik Yulisriani, S.Pd. selaku Kepala Sekolah SMP Saverius 1
Sragen yang telah memberi ijin serta bantuan selama peneliti melakukan try
out.
8. Ibu NM. Dwi Mulyani PA, S.Pd., M.Pd. selaku Kepala Sekolah SMP Negeri 2
Sragen yang telah memberi ijin peneliti untuk melakukan penelitian.
9. Bapak Drs. Kasno selaku penanggungjawab Bimbingan Konseling (BK) SMP
Negeri 2 Sragen dan Ibu Dra. Wiwit Retno W. yang banyak membantu penulis
dalam proses pengambilan data.
10.Adik-adik SMP Saverius 1 Sragen dan SMP Negeri 2 Sragen yang telah
bersedia menjadi subjek penelitian. Keceriaan dan ’gombalan-gombalan’ yang kalian berikan menjadi salah satu hal yang membuat semangat ini selalu
(12)
xii
11.Kakakku Ch. Intan Kurniyanti, keponakanku F. Kiera Lintang Kinasih, kakak
iparku Bayu Adichandra yang selalu mendukung dan mendoakanku. Terima
kasih untuk setiap keceriaan yang keluarga kecil kalian berikan padaku.
12.Keluarga besarku khususnya tante Noer Maturbong, om Chris Maturbong,
tante Tatik, om Hariyadi, dan adik sepupuku Aya yang selalu mendukung,
mendoakan, dan membantuku dalam segala hal khususnya bantuan finansial.
13. My super hero, mas Alexander Denny Kristian untuk semua stok kesabaran, kasih sayang, cinta, tenaga, pikiran dan apapun yang tidak pernah berhenti
dirimu berikan padaku. Inilah awal perjalanan dan perjuangan kita, tetap
semangat ♥
14.Bapak Paulus Pujianto, ibu Ch. Budi Hartini, adik Wenny dan Dinny serta
Mbah Putri untuk kasih sayang, dukungan dan doa yang diberikan.
15.Teman-teman seperjuangan Psikologi 2008 Kika, Lusi, Chelly, Wawan,
Nursih, Puput, Priska, Mila, Ayu, Dewi, Anis, Meili, Tiwi, Sita, Elisa, Alent,
Benoni, Skolas, Agnes, Heni, Adita, Gigi, Monic, Wahyu, Pho-pho, Abet,
Cwelly, Kriyol, mbak Desi, mbak Vita, jenk Anna, kak Arisa, Pritta, Berta,
Mamat, Riana, Vicke, Nopai, mace Siska, Nita, Alberto, Budi, Corry, dan
semuanya saja atas keceriaan, persahabatan, ke’gokil’an, semangat, kesedihan,
kemarahan, gosip-gosip, tangisan, kekecewaan, ilmu, perdebatan, diskusi,
pelukan, gratisan, serta kasih sayang yang telah bersama kita alami dan kita
bagi selama perjumpaan kita. Semoga kelak cerita kita ini dapat berlanjut
(13)
xiii
16.Semua penghuni jagad Fakultas Psikologi Sanata Dharma Yogyakarta, mbak
Oie, mbak Anas, kak Grace, mas Anton, mas Adel, mbak Ngatini, mbak Ina,
mbak Lily, mas Arya, Rhutie, Panjul, Albert ’gendut’, Dinda, Xyannie, Anjar, Yatim, Cicik, Astrid, Ginza, Sita, mbak Ayu, mbak Manda, mbak Halida,
kakak Timo, mbak Noy, semua teman-teman BEMF Psikologi periode
2009-2010 atas kesempatan mengenal kalian semua dan berdinamika bersama di
Psikologi.
17.Segenap pihak yang selalu mendukung dan memberi semangat penulis yang
tidak disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna, oleh karena itu
penulis menerima kritik dan saran yang membangun guna menunjang
kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak dan
dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut.
Yogyakarta, 1 Maret 2013
Penulis,
(14)
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……… i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING………. ii
HALAMAN PENGESAHAN ………. iii
HALAMAN MOTTO……….. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN……….. v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……… vi
ABSTRAK ……… vii
ABSTRACT ………. viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ………. ix
KATA PENGANTAR ……….. x
DAFTAR ISI ………. xiv
DAFTAR TABEL ……… xix
DAFTAR LAMPIRAN ……… xx
BAB I. PENDAHULUAN ……… 1
A. Latar Belakang Masalah ……….. 1
B. Rumusan Masalah ……… 10
C. Tujuan Penelitian ………. 10
D. Manfaat Penelitian ………... 10
1. Manfaat Teoritis ……….... 10
(15)
xv
BAB II.LANDASAN TEORI ………. 12
A. Remaja Awal ……….…………. 12
1. Pengertian Remaja Awal ……… 12
a. Perkembangan Fisik Awal ………... 12
b. Perkembangan Kognitif Awal ………. 13
c. Perkembangan Psikososial Awal ………. 13
2. Karakteristik Remaja Awal ……… 14
3. Permasalahan yang Dihadapi Remaja Awal dalam Kehidupannya……… 15
B. Resiliensi ………. 17
1. Pengertian Resiliensi ………. 17
2. Faktor-faktorResiliensi ………. 19
a. Atribut Individu ……… 19
b. Karakteristik Keluarga ………. 20
c. Pengaruh Lingkungan (Sekolah, Teman Sebaya, dan Masyarakat) ……….. 21
3. Aspek-aspek Resiliensi ………. 22
a. I Have atau Aspek Dukungan Sosial ……….. 22
b. I Am atau Aspek Kepribadian Positif ………. 24
c. I Can atau Kompetensi Sosial ……… 25
C. Konformitas ………. 32
(16)
xvi
2. Penyebab Munculnya Konformitas ……… 33
a. Perilaku Orang Lain Memberikan Informasi yang Bermanfaat ……….. 33
b. Rasa Takut pada Celaan Sosial ……… 35
c. Rasa Takut pada Penyimpangan ………. 35
3. Aspek-aspek Konformitas ………. 36
a. Kekompakan ……… 36
b. Kesepakatan ………. 36
c. Kepatuhan ……… 37
4. Konformitas Kelompok Remaja ……… 38
D. Hubungan antara Konformitas Kelompok Teman Sebaya dan Resiliensi pada Remaja Awal ……… 40
E. Hipotesis Penelitian ……… 48
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ……… 49
A. Jenis Penelitian ……… 49
B. Identifikasi Variabel ……… 49
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ……… 49
1. Resiliensi ……….. 49
2. Konformitas ……….. 52
D. Subjek Penelitian ………. 53
E. Prosedur Penelitian ……….. 54
(17)
xvii
G. Validitas, Reliabilitas dan Seleksi Aitem ……… 56
1. Validitas ……… 56
2. Reliabilitas ……… 57
3. Seleksi Aitem ……… 57
a. Skala Resiliensi ……… 58
b.Skala Konformitas ……… 64
H. Metode Analisis Data ………. 68
1. Uji Asumsi ……… 68
a. Uji Normalitas ……….. 68
b.Uji Linearitas ……… 68
2. Uji Hipotesis ………. 69
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 70
A. Pelaksanaan Penelitian ……… 70
B. Deskripsi Subjek Penelitian ……… 71
1. Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia ………. 71
2. Deskripsi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ……….. 71
C. Deskripsi Data Penelitian ……… 72
D. Kategorisasi Subjek Penelitian ……… 73
1. Resiliensi ………... 73
2. Konformitas ……….. 74
E. Hasil Penelitian ……… 75
1. Uji Asumsi ………. 75
(18)
xviii
b.Uji Linearitas ………. 75
2. Uji Hipotesis ………. 76
F. Pembahasan ………. 77
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ..………... 83
A. Kesimpulan ………. 83
B. Keterbatasan Penelitian ……….. 83
C. Saran ………... 83
1. Bagi Remaja ………. 83
2. Bagi Peneliti Selanjutnya ………. 84
DAFTAR PUSTAKA ……….. 85
(19)
xix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Skor Kategori Pernyataan Skala Resiliensi ……… 51
Tabel 2. Skor Kategori Pernyataan Skala Konformitas ……… 53
Tabel 3. Blue Print Skala Resiliensi ……… 55
Tabel 4. Blue Print Skala Konformitas ……… 56
Tabel 5. Sebaran Aitem Skala Resiliensi (setelah uji coba 1) ……….. 58
Tabel 6. Sebaran Aitem Skala Resiliensi (revisi untuk uji coba 2) ………. 60
Tabel 7. Sebaran Aitem Skala Resiliensi (setelah uji coba 2) ………. 61
Tabel 8. Sebaran Aitem Skala Resiliensi (revisi untuk uji coba 3) ………. 62
Tabel 9. Sebaran Aitem Skala Resiliensi (setelah uji coba 3) ………. 63
Tabel 10. Sebaran Aitem Skala Konformitas (setelah uji coba 1) ………… 64
Tabel 11. Sebaran Aitem Skala Konformitas (revisi untuk uji coba 2) …… 65
Tabel 12. Sebaran Aitem Skala Konformitas (setelah uji coba 2) ………… 66
Tabel 13. Sebaran Aitem Skala Konformitas (revisi untuk uji coba 3) …… 67
Tabel 14. Sebaran Aitem Skala Konformitas (setelah uji coba 3) ………… 68
Tabel 15. Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ………. 71
Tabel 16. Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ……….. 71
Tabel 17. Deskripsi Data Penelitian ………..……….….……….. 72
Tabel 18. Kategorisasi Subjek Skala Resiliensi……… 74
Tabel 19.Kategorisasi Subjek Skala Konformitas ……… 75
Tabel 20. Hasil Uji Normalitas ………..……….….………. 75
Tabel 21. Hasil Uji Linieritas ………..……….….……….... 76
(20)
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Skala Penelitian ……….. 90
Lampiran B. Skala Penelitian Revisi 1 ……….... 104
Lampiran C. Skala Penelitian Revisi 2 ……….... 116
Lampiran D. Uji Reliabilitas Skala Resiliensi ……….. 129
Lampiran E. Uji Reliabilitas Skala Konformitas ……….. 148
Lampiran F. Uji Normalitas ……….. 163
Lampiran G. Uji Linearitas ………... 165
Lampiran H. Uji Hipotesis ……….... 169
(21)
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Remaja merupakan suatu periode yang ditandai oleh perubahan fisik,
kognitif, dan psikososial. Perubahan fisik tampak dari perkembangan tinggi
dan berat badan, proporsi tubuh, serta ciri seks primer dan sekunder.
Menginjak masa remaja, seorang individu juga mulai mengembangkan
kemampuannya dalam pengambilan keputusan dan mulai mengembangkan
orientasi akan masa depan. Hal tersebut merupakan sebagian dari proses
perubahan kognitif pada remaja. Perkembangan fisik dan kognitif pada masa
remaja kemudian mempengaruhi pula pada perubahan psikososial. Hal
tersebut ditandai dengan adanya perkembangan identitas serta perubahan
hubungan antara remaja dengan keluarga dan remaja dengan teman sebaya.
Selain itu, berkembang pula resiliensi pada remaja. G. Stanley Hall
menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa badai dan topan. Masa
tersebut datang akibat dari kebudayaan modern yang penuh gejolak
pertentangan nilai-nilai (dalam Sarwono, 2007).
Beberapa tahun belakangan ini, banyak terdengar kasus-kasus tentang
remaja yang beberapa diantaranya dilakukan oleh remaja dengan rentang usia
12-15 tahun. Pada periode usia tersebut, remaja berada dalam masa yang
dikenal dengan sebutan masa pubertas. Akibat dari perubahan remaja pada
(22)
yang ditimbulkan cukup membuat perubahan dalam pola perilaku, sikap dan
kepribadian remaja. Remaja pada masa tersebut cenderung memiliki emosi
yang meninggi, tampak dari perilaku mereka yang sering mengalami ledakan
amarah yang tidak terkendali. Mereka juga mulai kehilangan rasa percaya diri
dan mulai bosan dengan tugas-tugas sekolah serta rutinitas kehidupan pada
umumnya (Hurlock, 1990).
Salah satu kasus yang terjadi pada masa remaja adalah remaja putri
yang hamil di luar nikah. Kasus yang terjadi di Kecamatan Gemolong,
Kabupaten Sragen pertengahan tahun 2011 mencapai 20 orang remaja putri
(Solopos.com Rabu, 20 Juli 2011). Mayoritas remaja yang hamil di luar nikah
disebabkan oleh pergaulan sosial yang kurang baik. Survei yang pernah
dilakukan pada 9 kota besar di Indonesia menunjukkan bahwa kehamilan pada
remaja mencapai 37.000 kasus yang terdiri dari 27% terjadi dalam lingkungan
pranikah dan 12,5% adalah pelajar. Meningkatnya jumlah kasus kehamilan di
luar nikah yang terjadi pada remaja memicu remaja melakukan tindak aborsi
yang membahayakan nyawa mereka. Menurut salah satu surat kabar online,
jumlah kasus aborsi di Indonesia setiap tahun mencapai 2,3 juta, 30 persen di
antaranya dilakukan oleh para remaja (Kompas.com, Rabu, 16 Februari 2009).
Kasus remaja lainnya adalah remaja yang memutuskan untuk tidak
sekolah lagi karena menjadi korban kekerasan seniornya di sekolah. Kasus
lain yang sedang marak terjadi di kalangan remaja di Kabupaten Sragen
adalah pesta minuman keras dan penggunaan pil koplo (Solopos.com Sabtu,
(23)
untuk diakui dan tidak dikucilkan dalam pergaulan. Beberapa kasus lain
adalah kasus remaja yang kabur dari rumah. Kebanyakan dari mereka kabur
karena berselisih paham dengan orang tua atau keinginannya tidak dipenuhi
oleh orang tua. Kasus lain yang memprihatinkan pada masa remaja adalah
adanya tindakan bunuh diri. Seperti yang terjadi pada seorang siswa SMP
berusia 15 tahun yang nekat mengakhiri hidupnya dengan cara meloncat dari
sebuah menara setinggi 30 meter karena tidak diberi uang oleh orang tuanya
untuk memperbaiki motor (KOMPAS Senin, 30 April 2012).
Tindakan-tindakan remaja di atas merupakan tindakan yang kurang
adaptif. Salah satu pemicu mereka melakukan tindakan tersebut adalah
perubahan hidup yang dialami remaja secara tiba-tiba. Remaja mengalami
perubahan hidup yang besar dalam rentang kehidupannya. Adanya beberapa
perubahan dalam masa kehidupan dari fase anak-anak menuju fase remaja
dapat menimbulkan perasaan tertekan, kebingungan, ketakutan dan
ketidakpastian yang mempengaruhi remaja dalam mengatasi masalah-masalah
dalam hidupnya. Apabila perubahan dalam perkembangan tersebut disertai
dengan kejadian lain seperti perceraian orang tua, kehilangan orang yang
dicintai, konflik dengan teman dan keluarga, kesulitan ekonomi, serta
kesulitan di sekolah, maka remaja mengalami krisis hidup yang berat sehingga
melampaui kapasitas mereka untuk mengatasi masalah (Susana, 2006).
Munculnya perilaku yang melibatkan tindakan bunuh diri merupakan
cermin dari kehidupan remaja yang penuh dengan konflik dan
(24)
risiko yang membahayakan dirinya sendiri (Papalia, Olds, dan Feldman 2009).
Tugas-tugas perkembangan pada masa remaja yang disertai oleh
berkembangnya kapasitas intelektual, stres dan harapan-harapan baru yang
dialami remaja membuat mereka mudah mengalami gangguan baik berupa
gangguan pikiran, perasaan maupun gangguan perilaku. Stres, kesedihan,
kecemasan, kesepian, keraguan pada diri remaja mempengaruhi cara berpikir
mereka ketika memecahkan suatu masalah.
Namun, pada dasarnya remaja mulai berpikir lebih abstrak, logis dan
idealis dibandingkan ketika masa anak-anak (Khun, 1999 dalam Santrock,
2002). Remaja mulai menyusun rencana-rencana untuk memecahkan masalah
dan menguji pemecahan masalah tersebut secara sistematis. Pemecahan
masalah tersebut dikenal dengan penalaran deduktif hipotesis (hypothetical
deductive reasoning) yang merupakan konsep operasional formal milik Piaget.
Adanya perubahan hidup yang besar dalam kehidupan mereka menuntut
mereka untuk mampu bertahan dalam keadaan tersebut. Beberapa dari mereka
kurang mampu mengolah diri sehingga cenderung memilih melakukan
tindakan-tindakan yang berbahaya. Tidak jarang beberapa dari mereka mampu
bertahan dan mengatasi masalah yang sedang dihadapinya. Kemampuan
remaja untuk bertahan dalam suatu situasi atau masalah yang berat biasa di
kenal dengan istilah resiliensi (recilience).
Grotberg (1995) mengemukakan bahwa resiliensi terbentuk dari tiga
aspek. Pertama, I Have yaitu aspek yang berhubungan dengan dukungan sosial
(25)
yaitu aspek resiliensi yang menggambarkan kepribadian positif dalam diri
individu itu sendiri. Ketiga, I Can merupakan aspek dari resiliensi yang
berhubungan dengan kompetensi sosial/ keterampilan sosial dan interpersonal
individu hasil pembelajaran dari interaksinya dengan orang lain.Individu yang
dapat mengembangkan ketiga aspek tersebut dengan baik akan mampu
bertahan dan menghadapi situasi-situasi yang sulit. Hal tersebut membentuk
individu mengembangkan resiliensi dalam dirinya. Ketiga aspek pembentuk
resiliensi tersebut tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Resiliensi dapat
berkembang dalam diri individu manakala terjadi interaksi diantar ketiga
aspek tersebut (Desmita, 2009).
Resiliensi menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang.
Resiliensi biasanya muncul dari fungsi normatif pada sistem adaptasi manusia
dengan ancaman terbesar untuk perkembangan manusia. Resiliensi pada
dasarnya berasal dari proses yang memandang lebih positif perkembangan
manusia dan proses adaptasi (Masten, 2001). Werner (1990) menyatakan
bahwa remaja yang memiliki resiliensi berhasil mengatasi masalah meskipun
dalam kemiskinan, memiliki orang tua dengan gangguan atau psikopatologi,
dan berada dalam keluarga yang berselisih. Para remaja ini lebih bertanggung
jawab dan berorientasi pada prestasi daripada teman-teman mereka yang
bermasalah. Remaja tersebut juga lebih matang secara sosial dan telah mampu
menyerap nilai-nilai yang positif. Mereka akan lebih perhatian, empatik dan
lebih tanggap terhadap lingkungan sosial dibandingkan dengan teman-teman
(26)
Beberapa studi longitudinal mengungkapkan bahwa anak dengan
resiliensi memperoleh banyak dukungan emosional dari orang-orang di luar
keluarga mereka. Teman, tetangga dan guru memberikan nasihat dan
memberikan kenyamanan ketika mereka menghadapi masa transisi atau krisis
(Werner, 1990). Anak-anak yang memiliki resiliensi cenderung disukai oleh
teman bermain dan teman-teman sekelasnya serta memiliki satu atau lebih
teman dekat, walaupun mereka berasal dari keluarga yang miskin, kacau dan
sumbang. Mereka akan cenderung menjaga teman kecil mereka hingga
dewasa dan tetap bergantung pada mereka untuk memperoleh dukungan
emosional (Werner, 1990). Wallerstein dan Kelly (dalam Werner 1990)
melakukan studi tentang peran teman dalam kehidupan anak yang orang
tuanya bercerai mengemukakan bahwa teman dapat memperkaya dan
memperluas kualitas kehidupan anak-anak yang memiliki resiliensi. Layaknya
saudara, teman lebih berperan sebagai tambahan dan bukan sebagai pengganti
untuk hubungan yang erat dan stabil dengan satu orang dewasa di rumah atau
lingkungan sekitarnya.
Paul R. Smokowski, Arthur J. Reynolds dan Nikolaus Bezruczko
(1999) melakukan penelitian yang fokus pada perkembangan dari resiliensi
remaja dan faktor pelindung dengan sampel 86 siswa SMA dalam kota
Chicago. Faktor pelindung merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut
faktor yang melindungi individu dari faktor-faktor yang dapat menimbulkan
risiko. Fokus analisis pada tiga kategori faktor pelindung yaitu atribut internal,
(27)
dari penelitian tersebut mengungkapkan beberapa remaja mendeskripsikan
teman menawarkan pemodelan peran yang lebih negatif daripada pemodelan
peran positif. Remaja yang memiliki resiliensi dan sangat cerdas mengadopsi
sikap hati-hati. Mereka membedakan teman-teman yang dapat diandalkan
menjadi rekan di sekolah atau di lingkungan. Persahabatan yang positif
merupakan hal yang penting dalam resiliensi. Memiliki perasaan positif
terhadap teman dapat membuat hubungan positif pula dengan saudara dan
keluarga.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh M. Salis Yuniardi dan Djudiyah
(2011) pada remaja yang berasal dari keluarga dengan orangtua tunggal
(single parent) di kota Malang menunjukkan bahwa terapi dukungan
kelompok (support group therapy) terbukti berhasil mengembangkan
resiliensi remaja dengan orangtua tunggal. Terapi dukungan kelompok
merupakan terapi yang dilakukan bersama dengan kelompok teman sebaya
yang memiliki masalah yang kurang lebih sama. Terapi ini dilakukan dengan
cara berbagi informasi (sharing) tentang permasalah yang dihadapi dan solusi
yang perlu dilakukan dalam rangka proses saling belajar dan menguatkan
(Yalom, 1985 dalam Yuniardi dan Djudiyah, 2011). Pada dasarnya remaja
yang tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh (hidup dengan ayah atau ibu
saja) mengalami ketimpangan dalam menjalani kehidupannya. Hal ini dapat
menyebabkan adanya beban psikologis yang berat bagi remaja yang berada
dalam kondisi tersebut. Penelitian ini memberi gambaran pada subyek tentang
(28)
variasi hasil pada individu yang mengalaminya. Masalah atau kemalangan
yang dihadapi individu cenderung memberikan reaksi awal yang disfungsi,
tetapi setiap individu tetap memiliki kemampuan untuk bangkit dari
keterpurukan.
Pengaruh keberadaan teman sebaya paling kuat terjadi pada masa
remaja awal atau sekitar usia 12-13 tahun (Fuligni dalam Papalia, Olds, dan
Feldman 2009). Teman sebaya adalah individu yang tingkat dan kematangan
dan umumnya kurang lebih sama. Teman sebaya menyediakan sarana untuk
perbandingan secara sosial dan sumber informasi tentang dunia di luar
keluarga. Hubungan teman sebaya yang baik mungkin diperlukan untuk
perkembangan sosial yang normal pada masa remaja (Santrock, 2003).
Perubahan yang terjadi pada masa perkembangan remaja, membuat mereka
merasa tidak aman dan terganggu. Remaja cenderung menutup diri pada orang
dewasa. Ketika berada dalam masalah mereka cenderung lebih terbuka
terhadap teman-teman sebayanya. Hal ini terjadi karena remaja lebih memilih
untuk menentukan sikap, keinginan dan pemecahan masalah sendiri.
Berdasarkan hubungan antara remaja dengan teman sebaya ini dapat
muncul apa yang di sebut konformitas. Konformitas muncul ketika individu
meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan oleh tekanan yang
nyata maupun yang dibayangkan. Tekanan yang nyata contohnya seorang
anak mendapat teguran dari teman sekelompoknya ketika dia tidak memakai
sepatu warna hitam sama seperti teman–temannya yang lain. Sedangkan tekanan yang dibayangkan contohnya karena melihat semua temannya
(29)
memakai sepatu warna hitam seorang anak memutuskan untuk menggunakan
sepatu dengan warna yang sama seperti teman–temannya (Santrock, 2003). Konformitas dapat dikatakan merupakan salah satu perilaku adaptif.
Hal ini dikarenakan setiap individu memerlukan penyesuaian diri dengan
orang lain. Selain itu, tindakan orang lain dapat menjadi sumber informasi
bagi individu tentang cara bertindak yang tepat dalam keadaan tertentu.
Remaja berusaha meluangkan waktu bersama dengan kelompok teman sebaya
untuk melakukan aktivitas yang bermanfaat bagi lingkungan, motivasi untuk
berusaha memperoleh prestasi khususnya dalam bidang akademik, dan tak
jarang hobi bersama. Meningkatnya kedekatan remaja dengan dengan
kelompok teman sebayanya mencerminkan adanya kepedulian remaja untuk
mengenali diri mereka sendiri. Aktivitas bercerita dengan teman membantu
remaja menggali perasaan, mendefinisikan tentang identitas dan harga diri
mereka (Buhrmester, 1996 dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2009).
Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan konformitas juga
menimbulkan perilaku yang kurang adaptif. Hal ini tampak dari
ketergantungan remaja terhadap kelompoknya. Remaja cenderung akan
melakukan apa saja yang menjadi tuntutan dalam kelompok. Remaja mulai
kehilangan kendali terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itu, tidak jarang
remaja membenarkan segala perilaku-perilaku negatif. Pemecahan masalah
yang dipilih pun menjadi kurang tepat dan mengakibatkan munculnya masalah
baru. Hal tersebut mungkin saja membuat remaja semakin terpuruk dalam
(30)
Berdasarkan seluruh penjelasan di atas, peneliti ingin melihat secara
khusus apakah konformitas kelompok teman sebaya memiliki hubungan
terhadap resiliensi. Subjek yang menjadi sasaran penelitian adalah remaja
yang berada pada masa remaja awal dengan rentang usia 12-15 tahun (Mönks,
Knoers, Haditono, 2006). Peneliti memutuskan untuk meneliti remaja awal
karena pada masa tersebut remaja berada dalam masa transisi dari masa
kanak-kanak akhir menuju ke masa remaja awal. Pada masa transisi ini,
remaja berpotensi mengalami permasalahan dalam hidupnya.
B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara konformitas kelompok teman sebaya
dan resiliensi pada remaja awal?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan atau korelasi antara
konformitas kelompok teman sebaya dengan resiliensi pada remaja awal.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan khususnya
dalam ilmu psikologi perkembangan remaja. Selain itu, penelitian ini
dapat memberi sumbangan penelitian mengenai resiliensi pada remaja
(31)
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan
pembaca mengenai resiliensi pada remaja awal. Melalui penelitian ini,
remaja, khususnya remaja usia 12-15 tahun (remaja awal) dapat
memahami tentang pentingnya resiliensi dalam proses perkembangan
(32)
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Remaja Awal
1. Pengertian Remaja Awal
Remaja atau dikenal dengan istilah ”adolescence”, berasal dari Bahasa Latin ”adolescere”. Istilah tersebut memiliki arti tumbuh menjadi
dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa (Hurlock, 1990). Masa
remaja secara umum berlangsung antara usia 12-21 tahun. Menurut
Mönks, Knoers, dan Haditono (2006) usia 12-15 tahun termasuk pada
masa remaja awal. Pada masa remaja awal ditandai dengan masuknya anak
pada masa pubertas. Masa pubertas adalah serangkaian dari periode
perkembangan yang ditandai dengan kematangan fisik yang pesat, adanya
perubahan hormonal dan tubuh seseorang (Santrock, 2007). Hal tersebut
ditandai dengan adanya perkembangan fisik, kognitif dan psikososial
remaja yang diurai sebagai berikut :
a. Perkembangan Fisik Awal
Perkembangan fisik adalah perubahan yang terjadi pada tubuh,
otak, kapasitas sensori, dan keterampilan motorik (Papalia dan Olds,
2001). Pada masa remaja awal dikenal dengan masa pubertas. Remaja
mulai mengalami perubahan-perubahan biologis diantaranya
pertambahan tinggi tubuh yang berlangsung cepat, perubahan
(33)
laki-laki mulai muncul kumis/janggut, otot, dan mampu menghasilkan sel
sperma. Pada anak perempuan mulai tampak perubahan bentuk
payudara dan pinggul yang mulai membesar serta mulailah siklus
menstruasi (Sarwono, 2007).
b. Perkembangan Kognitif Awal
Menurut Piaget (dalam Santrock, 2003) remaja berada dalam
tahap perkembangan kognitif yang terakhir, yaitu tahap operasional
formal. Tahap ini muncul pada usia 11-15 tahun dimana remaja
mengalami peningkatan pada kemampuan berpikir. Pada tahap ini
remaja mulai berpikir secara lebih abstrak, lebih idealis, dan logis.
Remaja mulai membuat perencanaan-perencanaan untuk memecahkan
masalah dan secara sistematis menguji solusi yang telah dibuatnya. Hal
tersebut oleh Piaget dinamakan sebagai penalaran hipotesis deduktif
(hypothetical-deductive reasoning) yaitu kemampuan remaja untuk
mengembangkan hipotesis atau dugaan tentang bagaimana
memecahkan suatu masalah. Setelah hipotesis dikembangkan, remaja
secara sistematis melakukan deduksi pada langkah yang paling baik
untuk memecahkan masalah (Santrock, 2007).
c. Perkembangan Psikososial Awal
Perkembangan psikososial ini pada dasarnya menggunakan
(34)
tetapi, perkembangan ini dimulai pada saat masa remaja awal di mana
remaja mulai berpikir mengenai siapa diri mereka dan hal-hal apa yang
membuat mereka tampak berbeda dari orang lain (Santrock, 2003).
Menurut Erikson (dalam Santrock, 2003) remaja mulai mengalami
tahap identitas versus kebingungan identitas (identity versus identity
confusion). Remaja mulai berusaha menemukan siapakah diri mereka,
apa yang terdapat dalam diri mereka, dan tujuan hidup mereka.
Hubungan remaja dengan lingkungan sosial juga mulai berubah dari
hubungan yang lekat dengan keluarga menjadi hubungan dengan
teman sebaya. Penerimaan teman sebaya mulai menjadi hal penting
bagi remaja. Teman sebaya adalah tempat remaja untuk berbagi
perasaan, pengalaman dan menjadi bagian dari pembentukan identitas
pada remaja (Gunarsa, 2004). Oleh karena hubungan yang lekat antara
remaja dengan teman sebaya, mulai muncullah konformitas.
2. Karakteristik Remaja Awal
Menginjak masa remaja, terjadi perubahan yang besar pada sikap
dan pola perilaku seorang individu. Masa remaja awal (12-15 tahun)
merupakan masa dimana seorang anak berada dalam tahap perkembangan
pubertas. Hal ini membuat remaja memiliki karakteristik yang menonjol
(35)
a. Adanya keinginan untuk menyendiri dengan keinginan menjalin
relasi dengan orang lain, dan keinginan untuk bebas dengan
kebutuhan memperoleh bantuan dari orang lain.
b. Cenderung membandingkan nilai-nilai atau norma dengan kenyataan
yang terjadi dalam kehidupan orang dewasa.
c. Reaksi dan ekspresi emosi yang labil.
d. Memiliki standart dan harapan terhadap perilakunya sendiri.
3. Permasalahan yang Dihadapi Remaja Awal dalam Kehidupannya
Pada masa remaja terjadi banyak perubahan mulai dari perubahan
fisik, kognitif dan psikososial. Perubahan yang terjadi tidak jarang
menyebabkan munculnya permasalahan seiring masa kehidupan remaja.
Permasalahan yang muncul, antara lain transisi sekolah dari Sekolah Dasar
(SD) ke Sekolah Menengah Pertama (SMP). Remaja harus beradaptasi
dengan lingkungan sekolah yang baru. Remaja juga mulai mengalami
perubahan dalam hubungannya dengan orang tua, maka muncul konflik
antara remaja dan orang tua. Konflik yang terjadi dapat muncul karena
keinginan remaja untuk mandiri atau otonom. Perdebatan menyangkut
seputar masalah tugas di rumah, tugas sekolah, pakaian, uang, jam malam,
pacaran dan teman (Adams & Laursen, 2001; B.K. Barber, 1994 dalam
Papalia, Olds, dan Fledman, 2009).
Perubahan kognitif yang terjadi pada masa remaja membuat
(36)
Remaja lebih memikirkan dirinya sendiri dan memandang dirinya lebih
hebat dari pada orang lain. Perubahan kognitif juga mempengaruhi remaja
dalam proses pengambilan keputusan. Remaja cenderung mengambil
keputusan yang salah karena mendapat pengaruh dari orientasi masyarakat
terhadap dirinya dan kegagalan yang dilakukannya.
Menginjak masa remaja, banyak waktu yang dihabiskan para
remaja untuk berada di luar bersama dengan teman-temannya. Tak jarang
sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku remaja banyak
dipengaruhi oleh teman sebaya daripada keluarga (Hurlock, 1990).
Pengaruh teman sebaya mencapai puncaknya pada usia 12-13 tahun.
Keterikatan remaja dengan kelompok teman sebayanya dapat
menyebabkan masalah ketika keterikatan tersebut terjalin semakin kuat
sehingga remaja cenderung untuk mengabaikan aturan rumah, tidak
mengerjakan tugas sekolah, sampai dengan penggunaan obat-obatan
terlarang dan melakukan sesuatu yang disetujui oleh teman sebaya dan
memperoleh popularitas (Fuligni et al., 2001). Keterikatan yang terjadi
memicu adanya tekanan dalam kelompok dan konformitas.
Permasalahan lain yang banyak muncul dalam kehidupan remaja,
membuat beberapa dari mereka sampai berani melakukan tindakan bunuh
diri. Brent (1989, dalam Santrock, 2002) mengungkapkan bahwa bunuh
diri merupakan salah satu penyebab kematian pada remaja dan dewasa
muda. Penelitian tentang bunuh diri yang terjadi pada remaja
(37)
rata-rata berusia 16 tahun dan lebih banyak remaja laki-laki (dalam
Hurlock, 1990).
B. Resiliensi
1. Pengertian Resiliensi
Menurut Werner (1990 dalam Mandleco dan Peery, 2000)
resiliensi merupakan kemampuan individu untuk melakukan adaptasi dan
penyesuaian diri pada kejadian besar dalam hidup atau stresor yang kronik.
Resiliensi juga dikenal sebagai kapasitas dasar seorang individu yang
sejak lahir dimiliki oleh setiap individu (Grotberg, 1994). Masten (1994,
dalam Karol L. Kumpfer, 1999) menjelaskan bahwa resiliensi individu
berarti bahwa individu mampu beradaptasi walaupun berada dalam
kesulitan dan banyak risiko. Barbara L. Mandleco,PhD,RN dan J. Craig
Peery,PhD (2000) menyatakan bahwa resiliensi adalah kapasitas untuk
merespon, bertahan, berkembang, dan berkuasa walaupun berada di dalam
keadaan pengalaman hidup menjengkelkan yang menjadi stresor. Selain
itu, resiliensi dilihat sebagai kemampuan yang dimiliki individu, kelompok
atau masyarakat yang membuat mereka mampu menghadapi, mencegah,
meminimalisir atau bahkan menghilangkan dampak negatif yang berasal
dari kondisi kehidupan yang sulit menjadi suatu hal yang dapat diatasi
(Desmita, 2007).
Masten dan Wright (2010, dalam Pooley dan Cohen, 2010) melihat
(38)
interaksi antara individu dengan lingkungannya yang selalu berubah.
Menurut Werner dan Smith (1982, dalam Benard, 1991) perkembangan
resiliensi individu ditentukan melalui keseimbangan antara faktor risiko,
peristiwa kehidupan yang dapat menimbulkan stres, dan faktor prlindung
(protective factor). Faktor pelindung merupakan faktor yang melindungi
individu dari faktor-faktor yang dapat menimbulkan risiko. Faktor
pelindung dapat berasal dari atribut atau disposisi kepribadian individu,
karakteristik keluarga, dan pengaruh lingkungan yang diperoleh dari
sekolah, teman sebaya, dan masyarakat (Benard, 1991). Selama
keseimbangan antara peristiwa kehidupan yang dapat menimbulkan stres
dan faktor pelindung dapat terjaga dengan baik, maka kesuksesan dalam
melakukan adaptasi dapat terjadi. Akan tetapi, apabila peristiwa kehidupan
yang dapat menimbulkan stres lebih banyak daripada faktor pelindung
maka perkembangan resiliensi akan mengalami hambatan (Werner, 1990,
dalam Bernard, 1991).
Berdasarkan beberapa definisi di atas, peneliti mendefinisikan
resiliensi sebagai suatu kemampuan yang sebenarnya dimiliki setiap
individu yang digunakan untuk menyesuaikan diri dalam keadaan hidup
yang penuh dengan tekanan, peristiwa traumatis, dan kondisi yang tidak
menyenangkan lainnya. Individu yang resilien dapat menjadi pribadi yang
(39)
2. Faktor-faktor Resiliensi
Resiliensi dipengaruhi oleh tiga faktor yang dikenal dengan istilah
faktor pelindung (protective factor), yaitu :
a. Atribut Individu
Individu dengan inteligensi dan kompetensi akademik yang
baik cenderung memiliki kemampuan untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan dalam hidupnya. Menurut Luthar dan Zigler (1992, dalam
Kumpfer, 1990) kemampuan verbal yang tinggi dan kemampuan
membaca yang baik dapat membantu anak-anak yang resilien dalam
mempelajari keadaan dunia diluar keluarga dan tetangga mereka.
Selain itu, menurut Freud (1908, dalam Kumpfer, 1990) kreatifitas
mendorong kemampuan individu untuk mengendalikan permasalahan
di masa lalu.
Sisi spiritualitas individu juga menjadi faktor yang
mempengaruhi resiliensi seseorang. Masten (1994, dalam Kumpfer,
1990) menyatakan bahwa faktor penting resiliensi individu adalah
kepercayaan akan agama atau afiliasi. Selain itu, karakteristik
temperament positif individu menjadi salah satu faktor pelindung yang
membantu seseorang untuk mengembangkan resiliensi. Karakteristik
temperament yang dimaksud contohnya individu yang ramah dan
(40)
Gender juga menjadi faktor yang mempengaruhi
perkembangan resiliensi individu. Secara umum, laki-laki lebih
berisiko terpuruk dalam situasi yang sulit dibandingkan perempuan
(Benard, 1991). Individu yang memiliki kesehatan fisik yang baik juga
membantu dalam pembentukan resiliensi. Selain itu, kemampuan
coping individu yang baik juga mempengaruhi perkembangan
resiliensi. Ketika stres dan kesuliatan menghampiri kehidupan
individu, mereka dapat mengatasinya dengan baik. Kepribadian
individu juga menjadi faktor yang mempengaruhi resiliensi. Individu
yang mampu mendeskripsikan dirinya positif (karakteristik
intrapersonal) dan hubungannya dengan orang lain (karakteristik
interpersonal) dengan baik dapat membantu mereka mengembangkan
resiliensi dalam diri mereka.
b. Karakteristik Keluarga
Hubungan sosial yang baik antara anak dengan orang tua
merupakan salah satu faktor yang kuat dalam pembentukan resiliensi
pada anak. Hubungan baik dengan orang dewasa yang mendukung,
khususnya orangtua atau pengasuh lain membantu anak-anak pulih
dari rasa kehilangan, stres, dan trauma. Werner dan Smith (dalam
Benard, 1991) mengidentifikasikan bahwa pengasuhan anak selama 1
tahun kehidupan mereka merupakan prediktor yang kuat dalam
(41)
faktor penting dalam mengurangi efek dari risiko dan membantu
perkembangan anak dan remaja yang sehat (Masten, 1994, dalam
Smokowski, 1999).
Selain itu, lingkungan rumah, gaya pengasuhan, dan anggota
keluarga tertentu (kekek-nenek, saudara) menjadi faktor penting
terbentuknya resiliensi (Werner, 1990, dalam Mandleco, 2000).
Lingkungan rumah yang tenang menjadi hal yang mendukung
tumbuhnya resiliensi. Orangtua yang menunjukkan pengasuhan yang
konsisten, saling percaya satu sama lain, memperlihatkan perilaku
yang kompeten, memberi kesempatan untuk membangun kepercayaan,
mengembangkan pengalaman yang menantang, menjadi bagian dari
sebuah kegiatan, responsif dan ekspresif, serta menggunakan pola
komunikasi yang terbuka dapat membantu remaja dalam
pengembangan resiliensi. Kasih sayang, kehangatan dan pengasuhan
yang baik dari anggota keluarga lain seperti kakek, nenek, paman, bibi,
dan saudara kandung juga dapat membantu individu bertahan dalam
keadaan yang sulit dan mengembangkan resiliensi.
c. Pengaruh Lingkungan (Sekolah, Teman Sebaya, dan Masyarakat)
Lingkungan sekolah memberikan kesempatan anak untuk
mengembangkan kepedulian dengan orang lain. Salah satunya
hubungan anak dengan guru yang disukainya. Guru yang baik menjadi
(42)
resilien memiliki dan mengambil kesempatan yang menyediakan
pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan dukungan sosial,
kepedulian dan cinta dari orang lain (Benard, 1991). Faktor yang
berasal dari masyarakat berkaitan dengan norma budaya yang positif.
Kebudayaan memiliki norma yang dapat menjadi sumber bagi remaja
untuk mengembangkan pemecahan masalah (Benard, 1991). Remaja
yang memiliki hubungan yang positif dengan teman-temannya menjadi
salah satu faktor penting yang mempengaruhi resiliensi. Teman-teman
yang baik memberikan kasih sayang, dukungan emosional, dan
bantuan bagi remaja dalam usaha mereka menghadapi permasalahan
dalam hidup mereka. Hal tersebut membantu remaja untuk
mengembangkan resiliensi dalam dirinya.
3. Aspek-aspek Resiliensi
Seorang tokoh, Grotberg (1995) kemudian mengemukakan tiga hal
yang membentuk resiliensi, yaitu :
a. I Have atau Aspek Dukungan Sosial
I Have adalah bagian dari aspek resiliensi merujuk pada
dukungan sosial yang diterima individu dari lingkungan disekitarnya.
Dukungan yang diperoleh remaja melalui lingkungan sosialnya dapat
membantu mereka untuk membentuk rasa nyaman dan aman yang
merupakan dasar untuk mengembangkan resiliensi pada remaja.
(43)
sumbangan pada pembentukan resiliensi pada remaja. Sumbangan
tersebut antara lain :
1) Hubungan yang dilandasi rasa percaya
Remaja mendapatkan penerimaan yang baik dan kasih
sayang dari orangtua, anggota keluarga, guru, dan teman mereka.
Selain itu, remaja juga memperoleh dukungan emosional dari
orangtua, pengasuh utama maupun orang dewasa lain.
2) Struktur dan peraturan
Orangtua membuat peraturan dan rutinitas yang jelas untuk
membantu remaja melakukan kegiatan di rumah. Kelompok teman
sebaya juga membuat suatu peraturan dan rutinitas yang dilakukan
bersama-sama. Peraturan dan rutinitas tersebut dibuat dengan
harapan remaja dapat mengikuti keinginan orang lain dan remaja
dapat diandalkan dalam melakukannya. Ketika remaja dapat
mematuhi peraturan dan rutinitas yang telah dibuat, mereka
memperoleh perlindungan dan tidak akan disakiti oleh orang lain.
3) Model peran
Orangtua, saudara yang lebih tua, orang dewasa lain dan
teman-teman menunjukan pada remaja perilaku yang dapat
diterima oleh keluarga dan orang lain. Mereka akan meminta
remaja untuk meniru apa yang mereka lakukan. Mereka juga
(44)
4) Dorongan untuk mandiri
Orangtua dan orang dewasa lain akan mendorong remaja
untuk mandiri dengan cara melakukan suatu pekerjaan sendiri dan
mencari bantuan yang diperlukan. Remaja dibantu untuk
menumbuhkan inisiatif dan membentuk pribadi yang independen.
5) Adanya akses untuk layanan kesehatan, pendidikan, keamanan, dan
kesejahteraan.
Layanan-layanan umum akan membantu remaja untuk
memenuhi kebutuhan yang terkadang tidak dapat dipenuhi oleh
keluarga.
b. I Am atau Aspek Kepribadian Positif
I Am adalah aspek dari resiliensi yang menggambarkan
kepribadian positif dalam diri individu. I Am terdiri dari perasaan,
sikap dan keyakinan yang ada dalam diri individu (Grotberg, 1995).
Hal-hal yang menjadi sumber dari aspek ini dan memberi sumbangan
pada pembentukan resiliensi adalah:
1) Merasa disayangi dan temperamen diri menarik
Remaja menyadari bahwa orang lain itu menyayangi dan
mencintai dirinya. Oleh karena itu, remaja menjadi lebih peka pada
(45)
2) Mencintai, berempati, dan peduli pada orang lain
Remaja mencintai orang lain dan dapat mengekspresikan
rasa cintanya dengan berbagai cara. Mereka memiliki kepedulian
terhadap apa yang terjadi pada orang lain dan dapat
mengekspresikannya melalui kata-kata atau tindakan nyata.
3) Bangga pada diri sendiri
Remaja memiliki rasa bangga terhadap dirinya sendiri dan
apa yang dapat dilakukannya. Mereka tidak akan membiarkan
orang lain meremehkan apa yang telah mereka lakukan. Dengan
demikian, remaja memiliki harga diri dan kepercayaan diri yang
baik untuk menghadapi segala persoalan dalam hidupnya.
4) Bertanggung jawab dan otonom
Remaja mampu melakukan apa yang menjadi kehendaknya
dan siap menerima segala risiko yang akan terjadi.
5) Percaya diri, optimis, dan penuh harapan
Remaja percaya bahwa dirinya masih memiliki harapan dan
masih ada tempat atau lembaga-lembaga yang dapat dipercaya.
Mereka pun memiliki kepercayaan pada Tuhan dengan moral dan
kebaikan.
c. I Can atau Kompetensi Sosial
I Can merupakan aspek dari resiliensi berkaitan dengan hal-hal
(46)
keterampilan sosial dan interpersonal atau kompetensi sosial
(Grotberg, 1995). Individu mempelajari keterampilan ini melalui
interaksinya dengan orang lain. Selain itu, keterampilan ini juga
diperoleh melalui siapapun yang mengajar mereka, contohnya
orangtua, guru, teman, dll. Keterampilan yang dimaksud terdiri dari :
1) Komunikasi
Remaja mampu mengungkapkan pikiran dan perasaan
mereka pada orang lain. Selain itu, mereka juga mampu
mendengarkan perkataan orang lain dan memahami apa yang orang
lain rasakan.
2) Pemecahan masalah
Remaja dapat melihat permasalahan yang terjadi dari
berbagai sudut pandang sehingga mereka dapat menentukan cara
mengatasinya.
3) Mengolah perasaan dan impuls-impuls
Remaja mampu mengenali perasaan dan emosi dalam
dirinya. Dengan demikian, mereka dapat berperilaku tanpa
menyakiti perasaannya sendiri dan orang lain.
4) Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain
Remaja memiliki pengetahuan terhadap temperamennya
(47)
5) Menjalin hubungan dengan saling percaya
Remaja dapat menemukan orang lain (orangtua, guru,
teman atau orang dewasa lain) untuk meminta bantuan, berbagi
perasaan dan perhatian.
Perkembangan resiliensi merupakan salah satu dari proses
perkembangan manusia yang sehat. Proses tersebut terjadi antara
kepribadian dan lingkungan individu. Oleh karena itu, untuk
mengembangkan resiliensi pada remaja dibutuhkan interaksi dari ketiga
aspek tersebut. Akan tetapi, agar interaksi yang terjadi antar ketiganya
berhasil, diperlukan lingkungan sosial remaja yang berkualitas.
Apabila antara aspek-aspek yang berasal atribut internal dan
eksternal seimbang, maka resiliensi dapat tercapai. Sebagai contoh, remaja
yang mendapatkan kehangatan dan dukungan dari guru mendukung remaja
untuk mengembangkan perilaku positif dengan teman dan orang dewasa
lainnya. Selain itu, orangtua juga didukung untuk lebih terlibat dalam
kehidupan anak-anak mereka. Dalam suatu keadaan, dapat ditemukan
remaja yang tidak memperoleh dukungan dari orang dewasa di luar
keluarga mereka. Remaja tersebut mungkin saja masih mampu
mengembangkan resiliensi, khususnya apabila orangtua, saudaranya atau
teman-temannya memberikan dukungan. Pada remaja lainnya, mungkin
mereka tidak memiliki kesehatan yang baik dan gaya berpikir yang kurang
jelas. Pada dasarnya mereka masih mampu mengembangkan resiliensi
(48)
kepribadian yang positif, dan pengasuhan dari orang tua maupun guru
(Mandleco dan Peery, 2000).
Bonnie Benard (1991) mengemukakan bahwa individu yang
resilien memiliki empat sifat umum berikut, yaitu :
a. Social Competence
Social competence (kompetensi sosial) adalah kemampuan
individu untuk merespon dan membangun hubungan yang positif
dengan orang lain (dalam Desmita, 2009). Aspek ini mencakup
kualitas kepekaan, fleksibilitas, empati, dan kepedulian. Selain itu,
kemampuan berkomunikasi, rasa humor, dan perilaku prososial
lainnya. Werner dan Smith (1982) serta Demos (1989)
mengemukakan bahwa, anak-anak resilien terbukti lebih peka
(mereka mampu memberikan respon yang lebih positif pada orang
lain), lebih aktif, lebih fleksibel dan adaptif bahkan ketika masih
mereka bayi. Sebagai hasil dari resiliensi, sejak kanak-kanak hingga
dewasa, mereka mampu menciptakan hubungan yang lebih positif
dengan orang lain, termasuk di dalamnya adalah menjalin hubungan
pertemanan yang baik dengan teman sebayanya (Bernad dan Ladd,
1989; Werner dan Smith, 1982 dalam Bonnie Benard, 1991).
Hubungan yang terbentuk melalui keberhasilan seorang
remaja melakukan hubungan positif dengan orang lain akan
mengembangkan rasa percaya remaja pada orang lain (Desmita,
(49)
pula pada dirinya sendiri. Remaja percaya bahwa mereka memiliki
kemampuan, tindakan dan masa depan yang baik. Melalui
hubungan-hubungan yang positif ini pula, membantu remaja untuk terhindar
dari perilaku-perilaku yang berisiko dan remaja mampu
mengembangkan perilaku yang positif (Desmita, 2009). Remaja yang
memiliki relasi atau keterikatan yang positif dengan orang lain,
mampu menghindari perilaku yang berisiko dibandingkan dengan
remaja yang tidak memiliki relasi atau keterikatan yang positif
(Desmita, 2009).
b. Problem-Solving Skill
Problem-Solving Skill (keterampilan memecahkan masalah)
merupakan kemampuan yang dimiliki individu untuk membuat suatu
perencanaan yang mempermudah pengendalian diri individu dan
memanfaatkan akal sehat untuk mencari bantuan dari orang lain
(dalam Desmita, 2009). Individu semakin mampu untuk berpikir
lebih abstrak, reflektif, dan fleksibel. Selain itu, individu diharapkan
mampu untuk berusaha mencari solusi atau alternatif pemecahan
masalah baik masalah yang berkaitan dengan kognitif maupun sosial.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Halverson dan Waldrup (1974
dalam Benard, 1991), anak-anak yang ada di pra-sekolah, yang dapat
(50)
dalam situasi yang kacau sekalipun terbukti akan menjadi anak yang
aktif dan kompeten pada saat duduk di bangku sekolah lanjutan.
Lingkungan disekitar remaja memiliki andil besar untuk
membantu remaja menjadi pribadi yang kuat. Remaja membutuhkan
lingkungan yang menunjang dirinya dalam mengembangkan
kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya. Lingkungan
memberikan tanggung jawab dan kesempatan pada remaja untuk
berpartisipasi aktif salah satunya dengan memberi kesempatan remaja
untuk memecahkan masalah. Menurut Burn dan Lofquist (1996,
dalam Desmita, 2009) seseorang yang diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam membuat keputusan dan menentukan strategi
yang berpengaruh pada kehidupannya dapat merasa memiliki dan
menyadari keputusan dan strategi tersebut yang bermanfaat, efektif,
logis sehingga mereka berusaha untuk melaksanakannya.
c. Autonomy
Pada dasarnya, autonomy (otonomi) adalah kesadaran
individu tentang identitas dirinya dan kemampuan individu untuk
bertindak secara independen (Benard, 1991). Selain itu, individu juga
dapat menggunakan sebagian kendali dalam lingkungannya dan
interaksinya dengan orang lain. Para peneliti mengidentifikasi aspek
ini sebagai sebuah kemampuan individu untuk melepaskan diri dari
(51)
Remaja yang sadar akan identitasnya sendiri mampu
mendefinisikan dirinya dan membentuk self-image mereka (Desmita,
2009). Melalui kemampuan otonomi, remaja belajar untuk mandiri
dengan cara melakukan suatu pekerjaan sendiri dan mencari bantuan
yang diperlukan. Remaja juga dibantu untuk menumbuhkan inisiatif
dan membentuk pribadi yang independen. Remaja yang memiliki
kesadaaran akan dirinya sebagai sosok yang mandiri juga akan
membentuk kekuatan dalam dirinya. Kekuatan tersebut nantinya akan
menentukan bagaimana remaja harus bertindak ketika menghadapi
masalah.
d. Sense of Purpose and Future
Sense of purpose and future (kesadaran akan tujuan dan masa
depan) adalah kesadaran individu akan tujuan, aspirasi pendidikan,
ketekunan, pengharapan dan masa depan yang cemerlang (dalam,
Desmita, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Brook dkk
(1989 dalam Benard, 1991) tentang risiko dan faktor pelindungpada
remaja yang menggunakan narkoba dan mengkonsumsi alkohol,
ditemukan bahwa orientasi pada prestasi yang tinggi menjadi faktor
pelindung yang dapat mengimbangi efek dari konsumsi alkohol yang
dilakukan teman sebaya. Werner dan Smith (1982 dalam Benard,
(52)
berasal dari lingkungan internal dan eksternal merupakan komponen
yang efektif dalam mengatasi tekanan dalam kehidupan.
Harapan yang tinggi dan realistis adalah salah satu hal penting
yang harus dimiliki remaja karena dengan demikian mereka memiliki
motivasi yang tinggi. Menurut Hoy dan Miskel (2001, dalam
Desmita, 2009) harapan membuat seseorang percaya bahwa dengan
bekerja keras mereka akan mencapai prestasi yang tinggi. Ketika
remaja mampu mengembangkan resiliensi dalam kehidupannya,
mereka memiliki prediksi yang positif terhadap masa depan mereka
(Henderson Milstein, 2003 dalam Desmita, 2007). Remaja mampu
mengembangkan diri sesuai dengan apa yang mereka inginkan dan
mengukir prestasi baik dalam lingkungan sekolah maupun dalam
masyarakat.
C. Konformitas
1. Pengertian Konformitas
David G. Myers (2012) menyatakan bahwa konformitas adalah
perubahan perilaku atau kepercayaan agar sesuai dengan orang lain.
Konformitas bukan hanya bertindak sesuai dengan tindakan yang
dilakukan orang lain. Konformitas juga berarti individu dipengaruhi
bagaimana orang lain bertindak (David G. Myers, 2012). O.Sears,
Freedman, dan Pepalu, (2000) menggambarkan konformitas sebagai suatu
(53)
lain juga menampilkan perilaku tersebut. Baron dan Byrne (2004)
menyatakan bahwa konformitas remaja adalah sebuah perilaku yang
menjadi bentuk penyesuaian diri remaja.
Berdasarkan pengertian konformitas dari beberapa tokoh, peneliti
menyimpulkan bahwa konformitas merupakan kecenderungan individu
untuk meniru perilaku yang dilakukan orang lain sebagai suatu bentuk
penyesuaian diri.
2. Penyebab Munculnya Konformitas
Individu melakukan perilaku konform disebabkan oleh beberapa
alasan, yaitu:
a. Perilaku Orang Lain Memberikan Informasi yang Bermanfaat
Interaksi yang terjadi antara individu dengan orang lain, perilaku
ataupun perkataan yang muncul merupakan sumber informasi bagi
individu. Ketika seorang individu melakukan suatu hal yang sama
dengan orang lain, maka individu tersebut akan mendapatkan manfaat
dari pengetahuan mereka. Tingkat konformitas yang didasarkan pada
informasi ditentukan oleh dua aspek, yaitu :
1) Kepercayaan terhadap kelompok
Ketika individu memiliki kepercayaan yang besar terhadap
kelompoknya sebagai sumber informasi, maka besar kemungkinan
individu tersebut menyesuaikan diri terhadap kelompoknya. Apabila
(54)
diketahui individu sebelumnya, maka konformitas dapat semakin
meningkat. Tingkat keahlian setiap anggota kelompok merupakan
salah satu faktor yang menentukan ada tidaknya kepercayaan
individu terhadap kelompok. Tingkat keahlian yang dimaksud antara
lain, sejauh mana anggota tersebut menguasai suatu informasi dan
sejauh mana anggota tersebut memiliki hak untuk menyampaikan
suatu informasi. Semakin tinggi tingkat keahlian anggota kelompok,
semakin tinggi pula tingkat kepercayaan dan penghargaan individu
terhadap pendapat kelompok (O. Sears, Freedman, dan Pepalu,
2000).
2) Kepercayaan yang lemah terhadap penilaian sendiri
Konformitas akan menurun manakala tingkat kepercayaan
individu pada penilaiannya sendiri tinggi. Salah satu faktor yang
menyebabkan hal tersebut adalah keyakinan individu pada
kemampuannya sendiri. Tingkat keyakinan individu terhadap
kemampuannya sendiri dipengaruhi oleh sulit atau tidaknya
penilaian yang dibuat oleh individu yang bersangkutan. Individu
akan cenderung mengikuti penilaian yang dibuat orang lain ketika
rasa percaya individu pada dirinya sendiri rendah. Hal tersebut dapat
terjadi apabila penilaian yang dibuat oleh individu terhadap dirinya
(55)
b. Rasa Takut pada Celaan Sosial
Individu memiliki kecenderungan merasa takut melakukan
perilaku yang tidak sesuai dengan kelompok tempat mereka tinggal.
Ketakutan ini disebabkan oleh adanya celaan sosial yang akan
ditujukan pada individu yang menyimpang dari perilaku kelompok.
Oleh karena itu, individu cenderung akan berperilaku sesuai dengan
norma atau aturan dalam kelompok (O.Sears, Freedman, dan Pepalu,
2000).
c. Rasa Takut pada Penyimpangan
Kecenderungan dalam situasi sosial adalah individu memiliki
rasa takut akan dipandang menyimpang dari kebiasaan yang ada.
Individu tidak ingin dipandang sebagai orang yang berbeda dengan
orang lain di lingkungannya. Oleh karena itu, individu cenderung
melakukan apa yang sama dilakukan oleh kelompoknya sebagai
bentuk penyesuaian diri. Hal ini semata-mata agar individu
memperoleh penerimaan dari kelompoknya, disukai oleh
kelompoknya, dan diperlakukan dengan baik (O.Sears, Freedman, dan
(56)
3. Aspek-aspek Konformitas
Konformitas terdiri dari tiga aspek pendukung, yaitu :
a. Kekompakan
Kekompakan adalah jumlah keseluruhan kekuatan yang
membuat individu tertarik dan tetap ingin menjadi anggota dalam
sebuah kelompok (O. Sears, Freedman, dan Pepalu, 2000). Hubungan
seorang individu dengan kelompoknya menjadi hal yang
mempengaruhi ada tidaknya kekompakan dalam kelompok. Hubungan
yang dimaksud seperti individu merasa semakin nyaman dengan
anggota lain dalam kelompok. Selain itu, individu merasakan manfaat
selama berada dalam kelompok dan individu dalam kelompok
memiliki kesetiaan pada kelompoknya. Kekompakan menjadi
karakteristik kesatuan suatu kelompok. Adanya kekompakan yang
tinggi menunjukkan semakin tinggi pula konformitas dalam kelompok
(O. Sears, Freedman, dan Pepalu, 2000).
b. Kesepakatan
Kesepakatan adalah suatu bentuk pengaruh sosial yaitu
permintaan langsung dari orang lain pada individu (Baron dan Byrne,
2004). Kesepakan terhadap kelompok menjadi faktor penting
munculnya konformitas. Sebagai anggota kelompok, seorang individu
akan dihadapkan pada keputusan yang telah disepakati dalam
(57)
kelompok. Akan tetapi, apabila dalam kelompok terdapat satu anggota
yang tidak sependapat dengan kelompok, maka tingkat konformitas
dapat menurun (O. Sears, Freedman, dan Pepalu, 2000).
c. Kepatuhan
Kepatuhan adalah bentuk pengaruh sosial yang terjadi ketika
satu orang memerintahkan satu atau lebih orang untuk melakukan
suatu tindakan (Baron dan Byrne, 2004). Hal ini tampak ketika seorang
remaja berada dalam kelompok yang keseluruhan anggotanya
merokok. Anggota kelompok yang memiliki otoritas lebih tinggi akan
meminta anggota yang lain untuk merokok. Remaja yang tadinya tidak
terbiasa merokok akan mulai mencoba merokok dan akhirnya terbiasa
merokok seperti teman-teman sekelompoknya. Kepatuhan seseorang
dapat ditingkatkan dengan adanya ganjaran, hukuman dan ancaman.
Melalui ganjaran, hukuman, dan ancaman membuat individu mendapat
tekanan untuk melakukan perilaku yang diinginkan oleh kelompok (O.
Sears, Freedman, dan Pepalu, 2000). Selain itu, kepatuhan dapat
ditingkatkan dengan adanya harapan dari orang lain. Ketika suatu
perintah diajukan secara langsung, seseorang akan rela memenuhi
perintah tersebut (O. Sears, Freedman, dan Pepalu, 2000). Seperti
contoh di atas, seorang remaja yang masuk dalam kelompok akan
(58)
tersebut hanya orang-orang yang mau merokok yang akan diterima
sebagai anggota.
4. Konformitas Kelompok Remaja
Frekuensi bertemu antara remaja dengan kelompok teman sebaya
yang tergolong sering, dapat memicu meningkatnya interaksi sehingga
kohesivitas remaja terhadap kelompok teman sebaya cenderung
bertambah. Kohesivitas yang semakin kuat mengembangkan iklim
kelompok dan norma kelompok. Norma tersebut dikenal sebagai norma
tingkah laku yang merupakan pemberian kelompok teman (Ewert, 1983
dalam Mönks, Knoers, dan Siti Rahayu, 2006). Pemimpin dalam
kelompok menjadi orang yang menentukan norma tingkah laku yang
berlaku. Pada dasarnya, norma yang dibuat ada yang positif dan negatif.
Akan tetapi, bahaya yang ditimbulkan oleh norma tersebut adalah remaja
menjadi kehilangan identitas dirinya sendiri. Apa yang ada dalam
kelompok bisa saja merupakan hal-hal yang sangat bertentangan dengan
yang sudah diperoleh remaja dalam keluarganya. Remaja yang memiliki
kontrol eksternal tinggi, memungkinkan mereka untuk lebih peka terhadap
pengaruh kelompok. Temuan Lefcourt (1966 dalam Mönks, Knoers, dan
Siti Rahayu, 2006) memperlihatkan bahwa seseorang yang termasuk kelas
sosial lebih rendah, memiliki skor tinggi pada kontrol eksternal. Dalam
kehidupan remaja, mereka yang berasal dari kelas sosial rendah cenderung
(59)
kelompok remaja tersebut memberikan banyak keuntungan bagi remaja,
maka mereka cenderung akan melakukan apa yang menjadi tuntutan
kelompok.
Konformitas dapat berupa perilaku-perilaku yang positif dan
perilaku-perilaku yang negatif. Konformitas positif tampak dari perilaku
meluangkan waktu bersama untuk melakukan aktivitas yang bermanfaat
bagi lingkungan, motivasi untuk berusaha memperoleh prestasi khususnya
dalam bidang akademik, dan tak jarang hobi bersama. Meningkatnya
kedekatan remaja dengan dengan kelompok teman sebayanya
mencerminkan adanya kepedulian remaja untuk mengenali diri mereka
sendiri. Aktivitas bercerita dengan teman membantu remaja menggali
perasaan, mendefinisikan tentang identitas dan harga diri mereka
(Buhrmester, 1996 dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2009).
Konformitas juga dapat muncul dalam perilaku negatif. Ronni
Rambe (1997, dalam Sarwono dan Meinarno 2009) meneliti tentang
perkelahian pelajar. Keterlibatan remaja dalam perkelahian atau tawuran
pelajar muncul karena adanya tekanan dalam kelompok. Perilaku tersebut
didasari oleh solidaritas antar anggota yang kemudian muncul dalam
perilaku konformitas yang membuat perkelahian atau tawuran tidak dapat
dihindari. Perilaku merokok, meminum minuman beralkohol,
menggunakan obat-obatan, dan perilaku seks pranikah menjadi contoh
konformitas dalam perilaku negatif yang sering dilakukan oleh remaja.
(60)
teman saling mempengaruhi satu sama lain, terutama dalam masalah yang
berisiko atau bermasalah. Hal ini tampak ketika remaja mulai merokok.
Mereka akan mulai mencoba merokok jika seorang teman sudah merokok
begitu pula dengan tingkat pengguanaan narkoba.
Remaja memiliki kecenderungan untuk berteman dengan teman
yang memiliki kesamaan dengan mereka. Teman yang memiliki kesamaan
gender, kesukaan, kesamaan asal daerah, dll menjadi pilihan mereka untuk
menjalin sebuah pertemanan. Kedekatan remaja dengan kelompok teman
sebayanya membantu remaja dalam perkembangan kognitif dan
emosional. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran orang lain yang
signifikan dalam kehidupan individu dapat mempengaruhi fungsi dirinya.
Remaja membutuhkan kehadiran teman sebaya. Teman memainkan peran
penting dalam perkembangan remaja. Teman dalam kelompok
memberikan ikatan yang aman, kesenangan, saling menguatkan,
membantu dalam kesulitan, memuaskan kebutuhan, dll. Kelompok teman
sebaya juga menjadi media bagi remaja untuk menguji dirinya sendiri dan
orang lain. Pada saat berada dalam kelompok teman sebaya, remaja mulai
membentuk dan memperbaiki konsep dirinya.
D. Hubungan antara Konformitas Kelompok Teman Sebaya dan Resiliensi pada Remaja Awal
Terjadinya perkembangan pada masa remaja, menimbulkan banyaknya
(61)
perkembangan fisik, kognitif dan psikososial. Secara fisik, remaja mulai
mengalami perubahan bentuk tubuh seperti tumbuhnya payudara pada remaja
putri dan tumbuh jakun pada remaja laki-laki. Secara psikososial ditandai
dengan adanya perkembangan identitas serta perubahan hubungan antara
remaja dengan keluarga dan remaja dengan teman sebaya. Menurut tahap
perkembangan kognitif yang diungkapkan oleh Piaget, masa remaja berada
dalam tahap operasional formal. Remaja mulai berpikir secara lebih abstrak,
lebih idealis, dan logis. Piaget menyebutnya sebagai penalaran hipotesis
deduktif (hypothetical-deductive reasoning) yaitu kemampuan remaja untuk
mengembangkan hipotesis atau dugaan tentang bagaimana memecahkan suatu
masalah. Setelah hipotesis dikembangkan, remaja secara sistematis melakukan
deduksi pada langkah yang paling baik untuk memecahkan masalah (Santrock,
2007).
Perubahan yang terjadi dalam rentang kehidupan remaja cenderung
menimbulkan perasaan tertekan, kebingungan, ketakutan dan ketidakpastian
yang mempengaruhi remaja dalam mengatasi masalah-masalah dalam
hidupnya. Terkadang perubahan yang terjadi diikuti dengan kejadian lain
seperti perceraian orang tua, kehilangan orang yang dicintai, konflik dengan
teman dan keluarga, kesulitan ekonomi, serta kesulitan di sekolah, maka
remaja mengalami krisis hidup yang berat sehingga melampaui kapasitas
mereka untuk mengatasi masalah (Susana, 2006). Hal ini tidak jarang
(62)
penyalahgunaan narkoba, kehamilan, konflik dengan orang tua hingga bunuh
diri.
Pada dasarnya, setiap individu memiliki kemampuan dalam diri
mereka. Kemampuan tersebut membuat individu mampu menghadapi
permasalahan yang mereka hadapi. Kemampuan tersebut dikenal dengan
resiliensi. Resiliensi merupakan kemampuan adaptasi individu dan
penyesuaian diri pada kejadian besar dalam hidup atau stresor yang kronik
(Werner, 1990 dalam Mandleco dan Peery, 2000). Resiliensi juga dilihat
sebagai kemampuan yang dimiliki individu, kelompok atau masyarakat yang
membuat mereka mampu menghadapi, mencegah, meminimalisir atau bahkan
menghilangkan dampak negatif yang berasal dari kondisi kehidupan yang
sulit menjadi suatu hal yang dapat diatasi (Desmita, 2007). Barbara L.
Mandleco,PhD,RN dan J. Craig Peery,PhD (2000) menyatakan bahwa
resiliensi adalah kapasitas untuk merespon, bertahan, berkembang, dan
berkuasa walaupun berada di dalam keadaan pengalaman hidup
menjengkelkan yang menjadi stresor.
Perubahan besar dalam kehidupan remaja menuntut mereka untuk
mempertahankan diri dan beradaptasi dengan lingkungannya. Dengan
demikian, remaja tidak melakukan perilaku-perilaku yang kurang adaptif
sebagai akibat dari permasalahan yang mereka hadapi. Henderson dan
Milstein (2003) menyatakan bahwa remaja yang resilien mampu
memecahkan masalah dalam kehidupannya, berpikir kritis dan memiliki
(63)
prediksi positif terhadap masa depannya (dalam Desmita, 2007). Remaja
resilien memiliki kompetensi positif yang dapat membantu mereka bertahan
dan berhasil dalam lingkungan dengan stres yang tinggi (Mcknight dan
Loper, 2002). Remaja yang resilien juga menjadi lebih bertanggung jawab
dan berorientasi pada prestasi dibandingkan dengan teman-teman mereka
yang tidak resilien. Mereka lebih matang secara sosial dan mampu menyerap
nilai-nilai yang positif. Selain itu, mereka menjadi lebih perhatian, empati,
dan tanggap sosial dibandingkan dengan teman-teman mereka yang kesulitan
melakukan coping.
Grotberg (1995) mengemukakan bahwa resiliensi terbentuk dari tiga
aspek, yaitu I Have, I Am, dan I Can. I Am merupakan aspek resiliensi yang
berkaitan dengan gambaran kepribadian positif yang dimiliki oleh remaja itu
sendiri. I Can adalah aspek dari resiliensi yang berkaitan dengan hal-hal yang
dapat dilakukan oleh remaja yang berhubungan dengan keterampilan sosial
dan interpersonal atau kompetensi sosial. Kompetensi sosial tersebut
merupakan hasil pembelajaran remaja melalui interaksinya dengan orang lain.
I Have yaitu bentuk dukungan sosial yang berasal dari lingkungan disekitar
individu terhadap dirinya. Individu yang dapat mengembangkan ketiga aspek
tersebut dengan baik akan mampu bertahan dan mengahadapi situasi-situasi
yang sulit. Hal tersebut membentuk individu mengembangkan resiliensi dalam
dirinya. Ketiga aspek pembentuk tersebut tidak dapat berdiri sendiri-sendiri.
Resiliensi dapat berkembang dalam diri individu manakala terjadi interaksi
(64)
Sesuai dengan salah satu tugas perkembangannya, remaja mulai belajar
menerima perubahan yang terjadi pada dirinya dan mulai membangun
hubungan dengan sesama jenis ataupun lawan jenis. Menurut Desmita (2009)
salah satu karakteristik remaja adalah mengembangkan keinginan untuk
menjalin relasi dengan orang lain dan memperoleh bantuan dari orang lain.
Oleh karena itu, pada usia remaja menjadi masa dimana mereka banyak
berinteraksi dengan teman sebaya baik sesama jenis maupun lawan jenis.
Pengaruh teman sebaya mencapai puncaknya pada usia 12-13 tahun. Sikap,
pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku remaja banyak dipengaruhi
oleh teman sebaya daripada keluarga (Hurlock, 1990). Kelompok teman
sebaya menjadi media bagi remaja untuk menguji dirinya sendiri dan orang
lain. Pada saat berada dalam kelompok teman sebaya, remaja mulai
membentuk dan memperbaiki konsep dirinya.
Kedekatan remaja dengan kelompok teman sebaya menimbulkan
keterikatan yang memicu adanya tekanan dalam kelompok dan konformitas.
Konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan agar sesuai dengan
orang lain. Konformitas juga berarti individu dipengaruhi bagaimana orang
lain bertindak (Myers, 2012). Konformitas cenderung membuat individu
kehilangan identitas dan kebebasannya. Tingkat kepercayaan individu
terhadap dirinya sendiri juga akan menurun dikarenakan konformitas. Di satu
sisi, individu yang resilien cenderung akan lebih percaya diri dan bangga
terhadap dirinya sendiri. Hal ini memberikan gambaran jika individu yang
(1)
LAMPIRAN H
UJI HIPOTESIS
(2)
170
Correlations
Resiliensi Konformitas Resiliensi Pearson Correlation 1 .436**
Sig. (2-tailed) .000
N 274 274
Konformitas Pearson Correlation .436** 1 Sig. (2-tailed) .000
N 274 274
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
(3)
LAMPIRAN I
(4)
172
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(5)
vii
Anggun Novianti
ABSTRAK
Penelitian korelasional ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konformitas kelompok teman sebaya dengan resiliensi pada remaja awal. Subjek penelitian adalah siswa-siswi SMP Negeri 2 Sragen yang memiliki rentang usia 12-15 tahun. Subjek penelitian berjumlah 247 orang. Subjek yang berusia 15 tahun sebanyak 40 orang, subjek berusia 14 tahun sebanyak 80 orang, subjek berusia 13 tahun sebanyak 88 orang, dan subjek berusia 12 tahun sebanyak 66 orang. Subjek yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 124 orang dan berjenis kelamin perempuan
sebanyak 150 orang. Subjek penelitian dipilih melalui proses purposive sampling. Hipotesis
penelitian yang diajukan adalah terdapat hubungan antara konformitas kelompok teman sebaya dan resiliensi pada remaja awal. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah skala, yaitu skala resiliensi dan skala konformitas yang menggunakan pedoman skala sikap model Likert.
Skala resiliensi memiliki koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,863 dari 37 aitem,
sedangkan skala konformitas memiliki koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,922 dari 42
aitem. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis Product Moment Pearson
Correlation. Hasil analisis data menunjukkan koefisien korelasi (r) sebesar 0,436 dengan taraf signifikansi 0,000 (p<0,05). Hal ini berarti semakin tinggi kecenderungan konformitas subjek pada kelompok teman sebaya, maka semakin tinggi kecenderungan resiliensi pada diri subjek. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah kecenderungan konformitas subjek pada kelompok teman sebaya, maka semakin rendah kecenderungan resiliensi subjek.
(6)
viii
THE CORRELATION BETWEEN PEER GROUP CONFORMITY AND
RESILIENCE IN EARLY ADOLESCENTS
Anggun Novianti
ABSTRACT
The aim of this research was to find out the correlation between peer group conformity and resilience in early adolescents. Subjects were students of SMP Negeri 2 Sragen with age range 12-15 years. The numbers of subjects were 247 people, consisted of 40 people aged 15 years old, 80 people aged 14 years old, 88 people aged 13 years, and 66 people aged 12 year old. Subjects were 124 male and 150 female. Subjects were selected through purposive sampling process. The hypothesis proposed research was whether there was a relationship between peer group conformity and resilience in early adolescence. Data collection methods used in this study was the scale. There were two scales i.e. scales of resilience and conformity scales using guidelines Likert attitude scale models. Resilience Scale had a Alpha Cronbach reliability coefficient of 0.863 from 37 aitem, while conformity scale had Alpha Cronbach reliability coefficient of 0.922 from 42 aitem. Data analysis was performed using Pearson Product Moment Correlation analysis. The result of data analysis shows a correlation coefficient (r) of 0.436 with a significance level of 0.000 (p <0.05). This result means that the higher tendency of subject conformity to the peer group is the higher tendency of resilience on the subject. Otherwise, the less likely the conformity of subject to peer group is the less likely the resilience subject.
Keywords : conformity, resilence, early adolescent