1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Banyak ahli psikologi perkembangan mengelompokkan remaja dalam masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal mencakup masa
sekolah menengah pertama dan saat perubahan pubertas, sedangkan masa remaja akhir, diyakini berada pada saat remaja berusia di atas 15 tahun. Santrock, 2003
Masa remaja akhir bermula saat individu mengalami perubahan status dari siswa ke mahasiswa. Pada masa transisi ini, pengaruh lingkungan atau kelompok
memegang peranan yang cukup besar dalam perkembangan remaja. Hal ini menyebabkan remaja memilih kelompok yang menonjol atau yang memiliki
pemikiran yang sama dengan remaja. Santrock, 2003 Lebih lanjut, Santrock 2002 mengemukakan remaja yang bergabung
dengan suatu kelompok menganggap keanggotaan dalam suatu kelompok akan sangat menyenangkan dan menarik baginya. Kelompok tersebut juga mampu
memenuhi kebutuhan remaja atas hubungan dekat dan kebersamaan. Kelompok dianggap mampu memenuhi kebutuhan remaja, di antara lain yaitu kebutuhan
untuk dihargai, kebutuhan akan informasi, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan akan suatu identitas Santrock, 2003. Kelompok juga dianggap
sebagai sumber informasi yang penting, karena dapat memberikan pengetahuan
2
yang tidak didapatkan dalam keluarga dan sekolah Rakhmat, 2009. Pada umumnya remaja akan melakukan konformitas pada fase ini.
Konformitas merupakan proses di mana tingkah laku seseorang terpengaruh atau dipengaruhi oleh orang lain di dalam suatu kelompok Sarwono Meinarno,
2009. Konformitas muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka
Santrock, 2002. Bila individu merasa kelompok tersebut menguntungkan, maka individu akan bertindak sesuai dengan tuntutan kelompok Monks, 1987.
Santrock 2003 menambahkan bahwa ketika seseorang tidak lagi bertingkah laku sesuai dengan harapan dari orang lain, maka orang tersebut
disebut sebagai non conformist. Santrock 2003 berpendapat bahwa orang yang non conformist tidak melakukan konformitas merupakan individu yang mandiri.
Kemandirian yang dimaksudkan di sini adalah perilaku yang dapat mengambil keputusan sendiri, tidak bergantung pada orang lain, serta tidak akanmengikuti
keputusan dan tindakan orang lain tanpa pertimbangan yang matang. Kemandirian dalam mengambil keputusan diperlukan, terutama setelah
mahasiswa lulus dan bekerja di suatu perusahaan atau organisasi. Santrock, 2003
Masa remaja juga merupakan masa di mana meningkatnya kemampuan mengambil keputusan Santrock, 2003. Sebuah studi mengungkapkan bahwa
usia 14 hingga 18 tahun adalah usia yang krusial, di mana seseorang mulai
3
memiliki prinsip sendiri dan dapat mempertahankan pendapatnya Santrock, 2003. Lewis dalam Santrock 2002 juga mengemukakan bahwa remaja yang
berusia lebih tua memiliki kemampuan mengambil keputusan lebih tepat daripada yang lebih muda. Sehubungan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa individu yang
sudah memasuki tahap remaja akhir seharusnya lebih mampu mengambil keputusan, yaitu yang berusia 15 sampai dengan 20 tahun Santrock, 2003;
Erikson, dalam Boeree 2006. Berdasarkan tugas-tugas perkembangan remaja, mahasiswa semester awal
yang berada pada tahap remaja akhir diharapkan untuk tidak melakukan konformitas Santrock, 2003, namun masih seringkali dijumpai banyak
mahasiswa semester awal yang melakukan konformitas. Fenomena konformitas pada remaja akhir atau mahasiswa semester awal juga muncul di Indonesia,
khususnya di Universitas Sanata Dharma. Berdasarkan pengamatan di Universitas Sanata Dharma, ketika mahasiswa baru berada dalam suatu kelompok, anggota
kelompok di dalamnya secara perlahan akan menyadari adanya suatu ”kekompakan” dalam kelompok. Setiap anggota kelompok akan melakukan hal
atau perbuatan yang sama, menggunakan sesuatu yang sama, bahkan mungkin memiliki pandangan yang sama. Sebagai contoh, dalam suatu Unit Kegiatan
Fakultas UKF, terdapat beberapa mahasiswa baru yang bergabung di UKF tersebut bersamaan. Beberapa di antara mereka hanya mengikuti ajakan teman
dalam kelompoknya agar bergabung dalam UKF tersebut. Tindakan atau perilaku
4
mahasiswa tersebut berkaitan dengan tekanan dari teman Santrock, 2003. Perubahan perilaku individu yang disebabkan oleh tekanan dari kelompok disebut
sebagai konformitas Myers, 2012. Adapun hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh mahasiswa
Psikologi mengenai konformitas pada mahasiswa yang berada pada tahap remaja akhir, menunjukkan bahwa konformitas kelompok pada remaja akhir tergolong
tinggi Nadhirah, 2008. Hasil penelitian lainnya yang juga mengenai konformitas pada remaja akhir juga menunjukkan bahwa individu yang sudah berusia 21 tahun
masih melakukan konformitas Sumarlin, 2008. Erikson dalam Boeree, 2006 menyatakan bahwa setiap tahap
perkembangan memiliki tugasnya masing-masing yang pada hakikatnya bersifat psikososial.Boeree 2006 menambahkan bahwa jika individu gagal dalam tugas
perkembangannya, maka ada kemungkinan individu tersebut tumbuh dengan maladaptasi atau adaptasi yang keliru. Menyikapi hal di atas, jika individu tetap
berperilaku “ikut-ikutan”, ini akan berdampak pada tahap perkembangan selanjutnya.
Baron dan Byrne 2005 mengemukakan bahwa salah satu dampak dari konformitas adalah kehilangan identitas pribadi.Menurut Baron dan Byrne
2005, keinginan untuk menjadi sama dengan orang lain memungkinkan individu melepaskan individuasi. Dampak yang lainnya adalah kehilangan kontrol atas
kehidupan individu itu sendiri.Individu perlu mempertahankan kontrol atas
5
kehidupannya sendiri. Hal tersebut diperlukan ketika individu beranjak dewasa dan memulai kehidupan mandiri. Jika individu membiarkan orang lain
menentukan pilihan hidup baginya, maka ada kemungkinan muncul penyesalan dalam diri individu di masa mendatang. Dengan demikian, konformitas perlu
dihindari agar individu tidak kehilangan identitas pribadi dan tetap memegang kontrol atas kehidupan diri sendiri. Baron Byrne, 2005
Deutsch dan Gerard dalam Baron Byrne, 2005 mengemukakan bahwaada dua kebutuhan psikologis yang menyebabkan individu melakukan
konformitas, yaitu kebutuhan untuk disukai pengaruh sosial informasional, dan kebutuhan untuk benar pengaruh sosial normatif. Pengaruh sosial normatif
terjadi ketika seseorang melakukan konformitas dengan tujuan untuk disukai atau diterima oleh kelompok, sedangkan pengaruh sosial informasional terjadi ketika
seseorang mengikuti anggota lain dalam kelompok untuk mendapatkan informasi yang akurat.
Eksperimen Sherif dalam Sears et al., 1985 mengenai gejala autokinetik menjelaskan bahwa norma sosial berkembang dalam situasi ambigu. Ketika
individu terjebak dalam situasi yang ambigu, individu akan merasa bingung apa yang harusnya dilakukan, kemudian individu akan mencari informasi atau
jawaban melalui orang lain atau kelompok dengan mengikuti apa yang diharapkan oleh orang lain atau kelompok tersebut. Melalui hasil eksperimen
Sherif dalam Sears et al., 1985, dapat disimpulkan bahwa ketika individu
6
dihadapkan pada situasi yang ambigu, individu akan melakukan konformitas dengan tujuan mencari informasi dari orang lain.
Sears, Freedman, dan Peplau 1985 menambahkan bahwa seseorang melakukan konformitas karena dua alasan utama, yaitu perilaku orang lain dapat
memberikan informasi yang berguna, dan adanya keinginan untuk diterima secara sosial dan menghindari celaan. Suatu hasil eksperimen, dalam tugas saksi mata
identifikasi, menunjukkan bahwa kelompok eksperimen memiliki suatu tekanan untuk memberikan jawaban yang akurat. Baron, Vandello, dan Brunsman dalam
Baron Byrne 2005 menyimpulkan bahwa ketika individu memiliki motivasi untuk mendapatkan jawaban benar, akan meningkatkan tendensi pada individu
untuk melakukan konformitas. Dengan kata lain, individu yang menginginkan keakuratan akan melakukan konformitas.
Keakuratan dapat
diperoleh dengan
memiliki wawasan
atau informasi.Informasi adalah sesuatu yang nyata atau setengah nyata yang dapat
mengurangi tingkat ketidakpastian tentang suatu keadaan atau kejadian Lucas, 1987. Estabrook dalam Yusup Subekti 2010 juga mengemukakan bahwa
informasi dapat mengurangi ketidakpastian dalam suatu keadaan yang ambigu. Santrock 2003 berpendapat bahwa keluasan pengetahuan dapat meningkatkan
pemikiran kritis pada remaja yang di mana dapat membantu meningkatkan keterampilan pengambilan keputusan.
7
Berdasarkan penjelasan mengenai konformitas serta peran informasi, dapat dikatakan bahwa keluasan informasi memiliki peranan penting dalam
konformitas. Sears et al. 1985 menjelaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan konformitas adalah kurangnya informasi
yang dimiliki individu. Berdasarkan fenomena di Indonesia, terutama di Universitas Sanata
Dharma, dan hasil-hasil penelitian sebelumnya Nadhirah, 2008; Sumarlin, 2008, menunjukkan bahwa masih muncul konformitas pada mahasiswa semester awal
remaja akhir. Indonesia yang merupakan negara bagian timur memiliki budaya yang berbeda dengan negara bagian barat. Studi Hofstede dalam Susana 2006
mengemukakan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke 68-69 dalam nilai indeks individualisme, sedangkan Amerika menduduki peringkat pertama dan
beberapa negara barat lainnya juga berada pada peringkat atas. Hofstede dalam Susana 2006 berpendapat bahwa semakin tinggi tingkat individualisme suatu
negara, memiliki arti semakin rendah tingkat kolektivismenya. Melalui hasil peringkat nilai indeks individualisme, tampak jelas bahwa Indonesia tergolong
negara yang memiliki kebudayaan kolektivisme. Soepomo dalam Atmaja, 2011 menjelaskan bahwa kolektivisme adalah
suatu konsep yang menjunjung kekeluargaan, dan kesatuan hidup bersama dalam masyarakat, di mana tiap individu merasa dirinya satu dalam golongannya.
Masyarakat Indonesia lebih mementingkan kepentingan bersama daripada
8
kepentingan pribadi. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia ingin menjaga hubungan kekerabatan atau kebersaman yang telah dibangun. Atmaja, 2011
Susana 2006 menyimpulkan, bahwa semakin sederhana suatu masyarakat, semakin erat hubungan kekerabatannya, maka semakin tinggi tingkat
kolektivismenya. Pada negara yang memiliki kebudayaan kolektivisme ini, apakah pernyataan yang dikemukakan oleh Sears et al. 1985, bahwa kurangnya
informasi dapat mempengaruhi konformitas, juga dapat diterapkan? Dengan demikian, muncullah sebuah pertanyaan: apakah keluasan informasi memiliki
hubungan terhadap konformitas yang terjadi pada diri mahasiswa semester awal di Indonesia?
B. Rumusan Masalah