Nilai Penting Sumberdaya Air Karst sebagai Pertimbangan Penyusunan Zonasi Taman Nasional

(1)

1.1 Latar Belakang

Keberadaaan taman nasional seharusnya mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, sebuah taman nasional selayaknya dikelola sesuai dengan potensi dan karakteristik sumberdaya alamnya agar dapat dimanfaatkan secara lestari guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Menurut Soekmadi (2003) paradigma pengelolaan kawasan konservasi seharusnya dititikberatkan pada pertimbangan aspek manfaat dan akomodasi kepentingan masyarakat lokal.

Penjelasan dalam Permenhut 56/Menhut-II/2006 menunjukkan bahwa pengelolaan taman nasional terutama untuk zona-zona perlindungan, seperti zona inti dan rimbanya seringkali lebih mengutamakan aspek potensi sumberdaya alam hayati dibandingkan nilai jasa lingkungan. Hal ini dipertegas oleh banyaknya, bahkan hampir semua taman nasional di Indonesia yang penetapan zona intinya adalah berdasarkan spesies yang dilindungi, sehingga tidak sedikit taman nasional yang memiliki konflik dengan masyarakat terutama yang tinggal di sekitar kawasan terkait pembatasan dalam pemanfaatan sumberdaya alam kawasan oleh masyarakat. Selain keanekaragaman hayati, taman nasional juga memiliki manfaat jasa lingkungan yang pemanfaatannya bisa lebih dirasakan oleh masyarakat.

Salah satu jasa lingkungan dari taman nasional yang mutlak diperlukan bagi kehidupan manusia adalah sebagai penyedia sumberdaya air. Pemanfaatan sumberdaya air di taman nasional tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat di sekitar kawasan saja tetapi dapat mencapai lokasi yang agak jauh dari kawasan. Beberapa kawasan taman nasional telah terbukti merupakan daerah tangkapan air yang dapat menyediakan air pada musim hujan dan kemarau, seperti Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) yang berada di Kabupaten Bogor dan Cianjur yang manfaat mata air dan sungainya dirasakan oleh masyarakat Jakarta, Sukabumi, Cianjur, dan Bogor (Widarti 1995; IUCN 2008). Contoh lain adalah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

Bentang alam yang memiliki nilai hidrologi tinggi sebagai penyedia sumberdaya air adalah kawasan karst. Menurut Ford dan Williams (2007) karst


(2)

2

merupakan wilayah dengan hidrologi khusus dan terbentuk dari kombinasi tingginya pelarutan batuan dengan porositas yang berkembang baik. Istilah karst diperuntukkan bagi suatu kawasan yang memiliki karakteristik relief serta drainase yang khas dan berkembang secara khusus pada batuan karbonat (Gambar 1). Kekhasan ekosistem karst sangat dipengaruhi oleh keberadaan dua komponen lingkungannya, yaitu eksokarst dan endokarst. Eksokarst ditandai dengan dataran yang luas, bukit-bukit dan cekungan di atas permukaan tanah, sedangkan endokarst merupakan sebuah ekosistem di bawah permukaan tanah berupa celah-rekah dan lorong bawah tanah.

Sumber: http//web.viu.ca (dimodifikasi)

Gambar 1 Karakteristik sebuah bentang alam karst.

Kawasan karst mendapat input air dari infiltrasi dalam tanah dan aliran permukaan yang mengalir langsung ke dalam endokarst. Sistem permukaan dan bawah tanah kawasan karst menyatu melalui sistem drainase bawah tanah. Air


(3)

karst akan mengalir melewati celah-rekah dan lorong bawah tanah (goa) sebagai sumber mata air. Aliran bawah tanah seringkali sangat kompleks sehingga air yang berasal dari satu sumber bisa keluar pada beberapa mata air (Ford dan Williams 2007).

Salah satu kawasan dengan bentang alam karst yang cukup luas dan menjadi salah satu daerah resapan air di Pulau Sumba adalah Taman Nasional Manupeu Tanahdaru (TNMT). Disisi lain, masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan TNMT mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan airnya. Menurut Witono (2008), Pulau Sumba merupakan salah satu wilayah yang berpotensi mengalami kekeringan, karena memiliki curah hujan yang rendah. Pentingnya potensi air yang terdapat pada karst TNMT dapat menjadi bahan rujukan bagi penyusunan zonasi TNMT. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang potensi air karst di TNMT agar dapat dipertimbangan dalam penetapan zonasi untuk mengatasi kekurangan air masyarakat.

1.2 Perumusan Masalah

Karst merupakan salah satu kawasan yang berperan penting dalam menyediakan sumberdaya air bagi kehidupan. Sebagian besar masyarakat menjadikan kawasan karst sebagai pemasok air utama dalam memenuhi kebutuhan hariannya. Menurut Ford dan Williams (2007), hampir 25 % penduduk dunia memenuhi kebutuhan airnya dari kawasan karst. Kondisi ini menunjukkan bahwa kelestarian kawasan karst perlu dijaga agar manfaat sumberdaya air tetap dapat dirasakan masyarakat terutama untuk daerah yang seringkali kesulitan air.

Secara global, mata air terbesar di dunia merupakan mata air karst (Jennings 1985, diacu dalam Sunkar 2009). Beberapa mata air penting di dunia adalah mata air Manavgat di kawasan karst di Turki memiliki debit sebesar 150-130 m3/dtk dan merupakan mata air terbesar di dunia. Air dari Fore-Alps di Italia, dengan debit sebesar 40 m3/dtk, merupakan sumberdaya air yang penting dan menggambarkan salah satu sumberdaya yang masih alami (Sauro 1993, diacu dalam Sunkar 2009). Mata air Chingsui, salah satu mata air karst terbesar di Cina memiliki debit rata-rata 33 m3/dtk. Salah satu mata air yang terkenal di wilayah Eropa dijumpai di wilayah karst, tepatnya di Timavo, dengan debit rata-rata 26,25 m3/dtk (Jennings 1971, diacu dalam Sunkar 2009), sementara mata air Silver dan


(4)

4

Blue yang merupakan terbesar di Florida, memiliki debit sebesar 14-15 m3/dtk. Karst Maros-Pangkep di Sulawesi Selatan merupakan sumber air tawar bagi wilayah Maros yang menjadi salah satu wilayah penghasil beras yang cukup besar.

Perlindungan terhadap kawasan karst di Indonesia sayangnya belum menjadi prioritas utama. Beberapa kawasan karst menjadi bagian dari kawasan yang dilindungi yang penetapannya lebih mempertimbangkan aspek keanekaragaman hayati. Taman Nasional Manupeu Tanahdaru (TNMT) adalah contoh kawasan dengan wilayah karst yang cukup luas tetapi penetapannya didasarkan pada keberadaan spesies burung endemik Pulau Sumba.

Pentingnya keberadaan kawasan karst dalam menyediakan sumber air dan juga memperhatikan fungsi taman nasional dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar, memberikan landasan mengenai pentingnya pengelolaan TNMT yang didasarkan pada nilai jasa lingkungannya. Oleh karena itu, penetapan zonasi TNMT dapat didasarkan pada keberadaan kawasan karstnya sebagai zona perlindungan mutlak seperti zona inti dan rimba serta wilayah yang dapat dimanfaatkan secara lestari sebagai zona pemanfaatan. Berdasarkan pemaparan ini maka dapat dirumuskan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab dalam penelitian ini yaitu:

1. Dimana wilayah sebaran karst di dalam kawasan TNMT ? 2. Dimana sebaran mata air di dalam kawasan TNMT ?

3. Bagaimana kontribusi mata air karst terhadap kebutuhan air masyarakat di sekitar TNMT ?

4. Bagaimana klasifikasi karst yang berada di dalam kawasan TNMT ? 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memetakan sumberdaya air karst dan menentukan wilayah karst yang diutamakan untuk perlindungan atau disebut sebagai karst prioritas. Untuk mencapai tujuan ini, maka tujuan-tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Menentukan luas kawasan karst yang terdapat di dalam kawasan TNMT. 2. Mengidentifikasi lokasi sumber air kawasan karst di dalam kawasan TNMT.


(5)

3. Menentukan kebutuhan dan pemanfaatan air oleh masyarakat di sekitar TNMT. 4. Menetapkan wilayah karst prioritas di TNMT.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Konservasi

Manfaat penelitian dalam bidang konservasi adalah sebagai berikut:

1. Menghasilkan data dan informasi tentang potensi sumberdaya air di taman nasional.

2. Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang manfaat taman nasional.

3. Meningkatkan peran serta masyarakat dan perguruan tinggi dalam melestarikan potensi taman nasional.

4. Meningkatkan upaya pelestarian kawasan karst serta pemeliharaan fungsi-fungsinya.

1.4.2 Manfaat dalam Manajemen Kawasan

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pedoman penyusunan zonasi bagi kawasan konservasi yang wilayahnya memiliki bentang alam karst.

1.4.3 Manfaat bagi Masyarakat

Penyusunan rencana pengelolaan yang mempertimbangkan sumberdaya air kawasan karst dapat memberikan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan air masyarakat.


(6)

2 KONDISI UMUM

2.1 Letak dan Luas

Taman Nasional Manupeu Tanahdaru (TNMT) secara geografi terletak di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur pada 119º27’-119º55’ BT dan 09º29`-09º54` LS sedangkan secara administratif terletak di 3 kabupaten yaitu: Sumba Timur, Sumba Tengah dan Sumba Barat (Gambar 2). Kawasan TNMT berada di 22 desa yang menjadi bagian dari 7 kecamatan yaitu: Kecamatan Loli, Wanokaka, Waikabukak (Kabupaten Sumba Barat), Umbu Ratu nggay, Umbu Ratunggay Barat, Katikutana (Kabupaten Sumba Tengah), dan Lewa (Kabupaten Sumba Timur) (Wello 2008). Batas kawasan Taman Nasional Manupeu Tanahdaru meliputi:

1. Sebelah timur mengarah ke utara, yaitu wilayah Kecamatan Lewa.

2. Sebelah barat mengarah ke selatan, yaitu wilayah Kota Waikabubak, Kecamatan Loli dan Wanokaka.

3. Sebelah selatan, yaitu mengikuti garis pantai Samudera Hindia.

4. Sebelah utara mengarah ke barat, yaitu wilayah Kecamatan Umburatunggay dan Kakikutana.

Kawasan TNMT ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 576/Kpts-II/1998 dengan luas wilayah 87.984,09 ha. Kawasan yang ditetapkan merupakan penggabungan dari kawasan Hutan Lindung Manupeu (9.500 ha), Cagar Alam Langaliru (24.200 ha), Hutan Lindung Tanahdaru-Paramamongutidas (43.750 ha), dan Hutan Produksi Terbatas Praingpalinda-Tanahdaru (10.534 ha).

2.2 Kondisi Fisik

2.2.1 Geologi dan Tanah

Pulau-pulau di Nusa Tenggara memiliki geologi yang seragam yaitu tersusun atas batuan vulkanik. Kondisi ini berbeda dengan Pulau Sumba yang dikategorikan sebagai kawasan karst karena penyusun utama wilayahnya adalah batu gamping atau kapur yang menjadi ciri khas kawasan karst (Purnama 2005). Kawasan TMNT mempunyai bentuk lahan yang bervariasi mulai dari dataran aluvial atau dataran


(7)

Sumber: hasil identifikasi google earth.


(8)

8

banjir dekat meander sungai hingga daerah gunung. Batuan penyusunnya secara umum didominasi oleh alluvium, gamping, pasir, lempung, konglomerat, tuff, dan granit. Batuan tersebut tersebar di seluruh taman nasional berdasarkan bentuk lahan dan kelerengan dari daerah dataran rendah hingga daerah pegunungan (Dephut 2007). Tanah di Pulau Sumba terdiri dari jenis tanah mediteran dengan bentuk wilayah pegunungan lipatan dan dataran, wilayah volkan dan latosol dengan bentuk wilayah plato atau volkan dan grumosol dengan bentuk wilayah pelembaban. Tanah mediteran merupakan jenis tanah yang paling luas penyebarannya, yaitu terletak di bagian Pulau Sumba memanjang dari barat ke timur (Deptan 2006). Berdasarkan Peta Tanah Eksplorasi Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur, kawasan TNMT didominasi oleh jenis tanah renzina, litosol, podsolik, kambisol, dan mediteran (Purnama 2005).

2.2.2 Topografi

Pulau Sumba memiliki topografi yang didominasi oleh daerah perbukitan, namun, dikategorikan sebagai areal yang lebih datar dibandingkan pulau-pulau lain di Nusa Tenggara. Menurut Monk et al. (2000), pulau- pulau di daerah Maluku dan Nusa Tenggara hampir setengah dari luas daratannya memiliki kemiringan lebih dari 40 %, kecuali Pulau Sumba, Tanimbar dan Aru. Karakteristik topografi kawasan TNMT yang kasar dan bergelombang tergolong daerah pegunungan dengan ketinggian yang terlihat sama memiliki kemiringan 2% hingga kemiringan 40%-60% yang terbentang dari permukaan laut. Kawasan Manupeu merupakan dataran perbukitan yang cukup curam dengan topografi berkisar antara 5%-60% (Wiranansyah 2005). Daerah pegunungan membentang pada lokasi tengah kawasan dari utara sampai pantai selatan dan pada wilayah Tanahdaru. Rangkaian gunung membentang dari utara kawasan sampai ke selatan. Puncak-puncak tertingginya adalah Praingpalindi Tanahdaru (919 mdpl), Praimamongutidas (827 mdpl), Janggapraing (820 mdpl), Tumbani (798 mdpl), Praingkaminggu (702 mdpl), Hapenduk (685 mdpl), Maredasalai (680 mdpl), Letape (735 mdpl), Manupeu (482 mdpl) dan Lawangggu (600 mdpl) (Purnama 2005).


(9)

2.2.3 Iklim

Pulau Sumba memiliki tipe iklim kering yang terutama dipengaruhi oleh angin musim yang masing-masing bertiup dari daratan Asia (selama lebih kurang 3 bulan) yang membawa uap air tinggi dan Australia (selama lebih kurang 9 bulan) yang membawa uap air rendah (Wello 2008). Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim di kawasan TNMT termasuk tipe iklim E (agak kering) di bagian selatan, tipe iklim D (sedang) di bagian utara, dan tipe iklim C (agak basah) di bagian timur laut. Curah hujan tahunan berkisar antara 500-2000 mm. Pulau Sumba memiliki curah hujan tahunan antara 500-800 mm, namun demikian di daerah-daerah bagian selatan pulau curah hujannya mencapai 2000 mm pertahun (Widiyono 2003).

2.2.4 Hidrologi

Kawasan TNMT merupakan daerah resapan air utama yang dialirkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih dan pengairan lahan pertanian (Purnama 2005). Suplai air diperoleh dari mata air dan sungai yang terdapat dan berhulu di kawasan taman nasional (Gambar 3). Aliran air bawah tanah yang keluar sebagai mata air melewati goa-goa yang terdapat di dalam kawasan. Menurut Monk et al. (2000), mata air merupakan sumber air utama untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Berdasarkan peta hidrologi, potensi air tanah di bagian timur kawasan lebih tinggi dibandingkan bagian baratnya. Menurut Sejatnika et al. (2000), diacu dalam Monk et al. (2000), ketersediaan air tanah dan aliran sungai yang relatif lebih tinggi di bagian timur Pulau Sumba merupakan keunikan, karena di bagian barat secara umum volume curah hujannnya lebih besar dan periode musim hujannya lebih panjang dibandingkan dengan di bagian timur.

2.3 Kondisi Masyarakat

Keberhasilan pengelolaan suatu taman nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakat di sekitar kawasan. Masyarakat di sekitar TNMT tersebar di 22 desa yang menjadi wilayah administratif Kabupaten Sumba Barat, Tengah dan Timur (Tabel 1). Pada umumnya masyarakat tersebut memanfaatkan potensi taman nasional untuk memenuhi sebagian kebutuhan hidupnya. Kawasan hutan dimanfaatkan


(10)

Sumber: hasil overlay peta sungai,administratif dan batas kawasan TNMT.


(11)

untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sumber pendapatan masyarakat, seperti kayu bakar, bahan bangunan, obat-obatan dan bahan pangan. Keberadaan lahan sangat dibutuhkan masyarakat untuk kegiatan pertanian dan penggembalaan ternak. Selain itu, kegiatan membakar padang rumput merupakan kebiasaan masyarakat di sekitar TNMT yang sangat sulit untuk dihentikan (Wello 2008) yang bertujuan untuk menyiapkan lahan bercocok tanam dan memenuhi kebutuhan pakan ternak gembalaan pada musim kemarau (Purnama 2005).

Tabel 1 Desa yang berada disekitar TNMT

Kecamatan Desa

Waikabubak Kalembukuni

Wanokaka Baliloku, Hupumada, Katikuloku

Loli Beradolu

Kakikutana Selatan Waimanu, Tanamodu, Kondamaloba, Manurara, Malinjak Umbu Ratunggay Barat Umbulanggang, Umbupabal

Umbu Ratunggay Praikaroku Jangga, Mbilur Pangadu, Weluk Praimemang, Padiratana, Maradesa Lewa dan Lewa Prehau Kambatawundut, Watumbelar, Umamanu,

Mondulambi, Kangeli

Sumber: peta administratif TNMT.

Kebutuhan hidup yang signifikan bagi masyarakat di sekitar kawasan TNMT adalah tersedianya sumberdaya air. Air merupakan sumberdaya yang dibutuhkan masyarakat, karena Pulau Sumba termasuk daerah yang kering dan memiliki intensitas curah hujan rendah. Menurut Purnama (2005) Pulau Sumba memiliki bulan basah yang lebih sedikit dari bulan kering dengan rata-rata hujan pada bulan basah adalah 400 mm sedangkan pada bulan kering adalah 18 mm. Kondisi tersebut menjadi kendala dalam memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap sumberdaya air.

Masyarakat membutuhkan air untuk memenuhi kebutuhan harian, pengairan lahan pertanian dan minum hewan ternak. Kebutuhan harian dan pengairan lahan pertanian sulit terpenuhi pada musim kering karena sulitnya mendapatkan sumber air. Sedangkan, penanaman padi harus menunggu musim hujan. Kawasan TNMT yang menjadi salah satu wilayah resapan air di Pulau Sumba dapat menjadi alternatif untuk mengatasi kesulitan air masyarakat.


(12)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan baik di dalam kawasan maupun zona penyangga TNMT yaitu desa di sekitar kawasan. Lokasi penelitian berada dalam wilayah administratif Kabupaten Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur (Gambar 4). Penelitian lapangan berlangsung pada bulan Mei-Juni 2010 dan penelitian laboratorium pada bulan Agustus-Desember 2010.

Sumber: hasil overlay peta administratif dan batas kawasan TNMT.

Gambar 4 Lokasi penelitian. 3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data spasial berupa peta administratif, peta batas kawasan, peta geologi, peta hidrologi, peta rupa bumi, peta tutupan lahan, peta sistem lahan (landsystem), peta Pulau Sumba dan sebaran goa. Alat yang digunakan di lapangan adalah kamera, Global Positioning System (GPS) untuk penetapan titik koordinat dan alat-alat tulis. Pengolahan data dilakukan dengan seperangkat komputer yang dilengkapi paket software Google Earth, ArcGIS 10 dan Global Mapper 11.


(13)

3.3 Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini dikelompokkan kedalam lima parameter seperti terlihat pada tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2 Jenis data yang diambil

No Parameter Variabel Sumber Metode

1 Kondisi umum

a. Letak dan luas b. Sejarah dan status c. Iklim dan curah hujan d. Topografi dan ketinggian e. Aksesibilitas

f. Sosial, ekonomi dan budaya masyarakat a. Kantor pengelola b. Masyarakat c. BPS a. Wawancara b. Studi pustaka c. Pengamatan

2 Pengelolaan taman nasional

a. Visi dan misi taman nasional b. Tujuan pengelolaan

c. Tata cara pengelolaan d. Kriteria hidrologi dalam

penetapan kawasan e. Kriteria penetapan zonasi

Kantor pengelola

a. Wawancara b. Studi

pustaka

3 Sumberdaya air

a. Posisi mata air

b. Sungai bawah permukaan c. Data curah & hari hujan d. Data DAS Pulau Sumba

a. Lapangan b. Dinas PU c. BPS d. Kantor Pengelola a. Studi literatur b. Pengamatan

4 Data spasial a. Peta rupa bumi b. Peta Pulau Sumba

c. Peta geologi Pulau Sumba d. Peta hidrologi Pulau Sumba e. Peta adminidtratif

f. Peta landsystem g. Peta batas kawasan h. Peta tutupan lahan i. Sebaran Goa

a. Kantor pengelola b. PPLH-IPB c. Himakova-IPB a. Studi pustaka

5 Masyarakat a. Karakteristik b. Kegiatan yang

mempengaruhi keberadaan suplai air dari karst

c. Tingkat ketergantungan dan bentuk pemanfaatan

masyarakat terhadap sumber air karst

d. Penilaian masyarakat terhadap kondisi air e. Pengaruh keberadaan

sumberdaya air terhadap kehidupan masyarakat. a. Kantor pengelola b. Masyarakat c. BPS a. Wawancara b. Studi pustaka c. Pengamatan


(14)

14

3.4 Tahapan Penelitian

Tahap penelitian dapat dilihat dari diagram alir penelitian (Gambar 5). 3.5 Metode Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode: 1. Studi pustaka

Studi pustaka bertujuan untuk mengumpulkan data yang berhubungan dengan TNMT. Data diperoleh dari kantor Balai Taman Nasional, Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Pekerjaan Umum, PPLH-IPB dan laporan lainnya. Data sekunder terbanyak didapatkan dari balai taman nasional, terutama data spasial. Selain itu, beberapa data merupakan hasil penelitian lembaga lain yang bekerjasama dengan taman nasional seperti ASC (Acintyacunyata Speleological Club) dan Burung Indonesia.

2. Wawancara

Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (in-depth interview). Wawancara mendalam merupakan wawancara antara pewawancara dengan narasumber yang dilakukan secara berulang-ulang yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman mengenai perspektif narasumber terhadap kondisi kehidupannya, pengalaman dan situasi yang dihadapi (Taylor dan Bogdan 1998, diacu dalam Rahayu 2008). Penggunaan in-depth interview bertujuan untuk melihat pemahaman narasumber terhadap wilayah karst, terkait manfaat hidrologi dan perlindungannya. Selain itu, alasan penggunaan in-depth interview agar dapat mengetahui peran taman nasional yang dirasakan masyarakat, karena hal tersebut tidak dapat diamati secara langsung.

Narasumber yang dipilih adalah pengelola kawasan dan masyarakat di sekitar kawasan. Pengelola kawasan yang diwawancarai adalah kepala balai taman nasional, karena mengetahui kondisi kawasan secara menyeluruh. Sedangkan dari masyarakat, narasumber yang dipilih adalah satu tokoh kunci (key person) pada setiap desa. Narasumber yang digolongkan sebagai tokoh kunci adalah orang yang memiliki informasi tentang daerah tersebut melebihi masyarakat pada umumnya. Pada penelitian ini, masyarakat yang digolongkan tokoh kunci adalah kepala desa, tokoh adat dan pemuka agama.


(15)

(16)

16

Wawancara terhadap masyarakat dilakukan dengan memilih desa yang menjadi bagian taman nasional atau berbatasan langsung dengan kawasan. Dari 22 desa, wawancara hanya dilakukan pada 17 desa. Desa yang tidak diwawancara adalah Desa Baliloku, Kangeli, Tanamodu, Kambatawundut dan Watumbelar. Pada Desa Desa Baliloku, Kangeli dan Tanamodu, tokoh kunci desa tersebut tidak dapat ditemui pada saat penelitian. Sedangkan, Desa Kambatawundut dan Watumbelar telah memiliki data yang dapat digunakan untuk penelitian ini.

Wawancara dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara. Panduan wawancara adalah sebuah daftar pertanyaan atau isu yang harus dieksplorasi oleh peneliti terhadap narasumber selama proses wawancara berlangsung (Patton 2002, diacu dalam Rahayu 2008). Jenis panduan wawancara yang digunakan adalah panduan wawancara semi terstruktur (semi-structured interview guide). Menurut Minichiello et.al (1996), diacu dalam Rahayu (2008) jenis panduan wawancara yang dapat digunakan dalam in-depth interview adalah pedoman wawancara tidak terstuktur (Unstructured interview guide) dan semi terstruktur (semi-structured interview guide). Panduan wawancara hanya hanya menampilkan pokok bahasan tanpa menentukan urutan dan bentuk pertanyaan. Panduan tersebut cocok digunakan untuk wawancara dengan in-depth interview karena akan mempermudah dalam mendapatkan informasi dari narasumber.

3. Pengecekan lapang (Groundcheck)

Pengecekan lapang dilakukan dengan meninjau lokasi, pengambilan gambar dan pengambilan titik GPS. Lokasi yang ditinjau merupakan wilayah yang menunjukkan ciri kawasan karst. Ciri kawasan karst yang diamati adalah goa dan sumber air. Peninjauan bertujuan untuk melihat kondisi lapangan secara langsung. 3.6 Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan tiga metode, yaitu: analisis spasial, kebutuhan air dan deskriptif.

3.6.1 Analisis Spasial

Analisis spasial bertujuan untuk menghasilkan peta karst dan peta karst prioritas yang dapat menjadi sumber informasi bagi pengelolaan taman nasional. Peta karst disusun agar dapat diketahui luasan karst yang menjadi bagian wilayah


(17)

taman nasional. Sedangkan peta karst prioritas menyajikan kawasan karst yang memiliki nilai penting terutama air bagi masyarakat di sekitar kawasan taman nasional. Karst prioritas merupakan karst yang diutamakan sebagai daerah yang akan dilindungi. Peta karst prioritas disusun berbentuk wilayah karst yang dibagi kedalam zonasi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan penyusunan zonasi TNMT secara keseluruhan.

Pengolahan data dilakukan dengan analisis dan manipulasi data spasial. Proses analisis data dilakukan adalah sebagai berikut:

1) Identifikasi wilayah karst

Proses identifikasi wilayah karst dilakukan dengan tahapan sebagai berikut (Gambar 6):

a. Identifikasi kondisi geologi

Proses identifikasi geologi dilakukan dengan melakukan analisis formasi batuan pada peta geologi yang didapatkan dari taman nasional. Formasi batuan kemudian dikelompokkan menjadi wilayah yang berbatuan karbonat dan non-karbonat. Batuan karbonat dapat berbentuk batu gamping, dolomit dan marmer. Pengelompokan dilakukan dengan proses merge yang ada pada software ArcGIS 10. Merge adalah penggabungan dua atau lebih data menjadi satu data baru(Jaya 2008). Tujuannya agar wilayah karbonat yang terpisah menjadi satu wilayah. b. Komponen lingkungan karst

Komponen lingkungan karst dibagi menjadi dua bagian yaitu endokarst dan eksokarst. Komponen endokarst berupa data goa dan hidrologi kawasan karst. Bentuk informasi goa berupa data titik koordinat posisi mulut goa. Jenis analisis lain yang dilakukan adalah buffering. Menurut Jaya (2008) buffering merupakan pembuatan coverage baru berupa zona penyangga (buffer zone) disekeliling feature dari coverage input. Buffering dilakukan terhadap mulut goa karena kemungkinan besar disekitar mulut goa masih merupakan wilayah karst. Sedangkan hidologi karst yang diidentifikasi adalah aliran bawah tanah. Aliran bawah tanah dapat menjadi indikator keberadaan wilayah karst. Menurut Haryono (2011) jaringan sungai bawah tanah merupakan ciri utama kawasan karst. Sedangkan, penggunaan mata air sebagai indikator keberadaan karst sangat tergantung dari kondisi aliran airnya. Mata air karst adalah mata air yang


(18)

18

terhubung dengan jaringan pergoaan dan jaringan sungai bawah tanah (Haryono 2011). Wilayah mata air karst dan air bawah tanah dilihat dari peta hidrologi Pulau Sumba. Peta akan di overlay dengan batas taman nasional sehingga peta yang dihasilkan berupa peta air bawah tanah dan mata air karst. Overlay merupakan penggabungan lokasi spasial dan atribut satu polygon dengan polygon lainnya untuk membuat coverage baru (Jaya 2008).

Identifikasi komponen eksokarst dilakukan dengan melihat morfologi kawasan taman nasional. Identifikasi morfologi dilakukan dengan software google earth yang terkoneksi dengan internet agar dapat menampilkan citra dari wilayah yang diinginkan. Metode yang digunakan adalah On-screen Digitizing (digitasi on-screen). Digitasi on-screen merupakan proses konversi data analog kedalam format digital menggunakan software (GIS Konsorsium Nias Aceh 2007). Identifikasi morfologi dilakukan dengan melihat langsung ciri kawasan karst pada citra dengan bantuan peta karst landsystem dan komponen lingkungan karst. Pemasukan data dilakukan setelah mengkonversi format data menjadi KML menggunakan ArcGIS 10 agar dapat dioverlay pada google earth. Pada tahapan selanjutnya, hasil digitasi disimpan dalam bentuk gambar.

c. Kawasan karst

Penentuan kawasan karst dilakukan menggunakan tiga software, yaitu global mapper 11, google earth dan ArcGIS 10. Global mapper 11 digunakan untuk membuat koordinat pada data gambar hasil google earth. Sedangkan google earth berfungsi sebagai acuan untuk penentuan titik koordinat pada global mapper 11. Peta yang telah memiliki sistem kordinat akan dibuka pada ArcGIS 10 untuk didigitasi. Hasil digitasi akan didapatkan daerah karst berdasarkan identifikasi morfologi.

d. Identifikasi landsystem

Identifikasi landsystem merupakan pengelompokan wilayah yang dikategorikan sebagai kawasan karst dan kawasan bukan karst. Wilayah yang termasuk kedalam kawasan karst menurut peta landsystem akan dioverlay dengan kawasan karst berdasarkan identifikasi morfologi. Wilayah karst yang telah digabungkangkan akan dioverlay kembali dengan batas kawasan taman nasional sehingga didapatkan kawasan karst taman nasional.


(19)

Gambar 6 Tahap identifikasi wilayah karst. Eksokarst Endokarst

Komponen Lingkungan Karst

Batuan Karbonat Batuan Non-Karbonat

Analisis Peta Landsystem Analisis Peta Geologi

Wilayah Non-Karst Wilayah Karst

Morfologi Sungai Bawah Tanah Data Goa

Wilayah Karst

Batas Taman Nasional


(20)

20

2) Analisis daerah resapan air

Daerah resapan air dilihat dari kondisi tutupan lahan, ketinggian tempat dari permukaan laut dan intensitas curah hujan (Gambar 7). Klasifikasi tutupan lahan didasari atas kondisi tutupan hutan, dimana hutan sebagai penahan turunnya air hujan dari tumbukan terhadap tanah secara langsung sehingga erosi permukaan tanah bisa dicegah. Hal ini akan memberikan kesempatan pada air untuk meresap ke dalam tanah dan mengalir sebagai air tanah yang dikeluarkan perlahan-lahan sebagai mata air.

Gambar 7 Analisis daerah tangkapan air.

Klasifikasi ketinggian tempat didasari atas tipe vegetasi di bawah ketinggian 1000 mdpl (Soerianegara 1996), terdiri dari daerah dataran rendah (0-300 mdpl), daerah perbukitan (300-800 mdpl) dan daerah sub-pegunungan (800-1500 mdpl). Sedangkan klasifikasi intensitas curah hujan tahunan menurut Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/kpts/um/11/1980, terdiri dari: sangat rendah (<13,6 mm), rendah (13,6-20,7 mm), sedang (20,7-27,7 mm), tinggi (27,7-34,8 mm) dan sangat tinggi (>34,8 mm). Intesitas curah hujan tahunan merupakan hasil pembagian jumlah curah hujan pertahun dengaan jumlah hari hujan pertahun.

Kondisi suatu areal berpotensi tinggi sebagai daerah resapan air bila areal tersebut: 1) merupakan areal berhutan, 2) berada pada ketinggian tempat >300 mdpl (daerah perbukitan dan sub-pegunungan) dan 3) memiliki intensitas curah hujan tahunan tinggi sampai sangat tinggi. Analisis daerah resapan air dilakukan untuk melihat daerah-daerah yang memiliki kemampuan untuk meresapkan air hujan dan merupakan tempat pengisian air bumi (akuifer) yang berguna sebagai pasokan sumber air (Keppres No.32 1990; PP No.47 1997).

Daerah Resapan Air

Ketinggian Tempat Intensitas Curah Hujan


(21)

3) Analisis karst prioritas

Metode yang digunakan untuk penyusunan karst prioritas adalah On-screen Digitizing (digitasi on-screen). Proses digitasi dilakukan secara langsung dengan melihat informasi dari data pendukung. Karst prioritas ditetapkan melalui pertimbangan terhadap komponen lingkungan karst dan daerah resapan air. Penetapannya dilakukan dengan overlay peta karst dengan peta komponen lingkungan dan daerah resapan air (Gambar 8).

Gambar 8 Analisis kawasan karst prioritas. 3.6.2 Analisis Kebutuhan Air

Kebutuhan air masyarakat dihitung berdasarkan SNI (Standar Nasional Indonesia). Perhitungan kebutuhan air mencakup kebutuhan harian dan hewan peliharaan masyarakat. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-6728.1-2002 tentang penyusunan neraca sumber daya air, kebutuhan harian masyarakat sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan lokasi bermukimnya. Masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan memerlukan air sebanyak 120 liter/hari/kapita, sedangkan masyarakat di pedesaan hanya 60 liter/hari/kapita. Sedangkan dalam perhitungan kebutuhan air ternak unit kebutuhan airnya disesuaikan dengan jenis ternaknya yaitu: sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, babi dan unggas (Tabel 3). Tabel 3 Unit kebutuhan air untuk peternakan

Jenis Ternak Kebutuhan Air (liter/ ekor/ hari)

Sapi/kerbau/kuda 40

Kambing/domba 5

Babi 6

Unggas 0,6

Sumber: Technical Report National Water Resources Policy (1992), diacu dalam BSN (2002).

Karst Taman Nasional Komponen Eksokarst

Komponen Endokarst Daerah Resapan Air


(22)

22

Berdasarkan asumsi tersebut maka dapat diformulasikan kebutuhan air masyarakat adalah sebagai berikut:

Keterangan:

Kp: kebutuhan air (liter/ tahun) , : jumlah yang membutuhkan air, α: unit kebutuhan air (liter/ hari/ kapita), : jumlah hari dalam satu tahun.

3.6.3 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan cara yang digunakan untuk memecahkan masalah yang tidak terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data saja, namun meliputi analisis data sampai pada kesimpulan dengan berdasarkan penelitian. Analisis deskriptif dilakukan dengan cara menjelaskan kondisi umum, potensi air karst, kebutuhan air masyarakat di sekitar kawasan, pemanfaatan sumberdaya air kawasan karst dan rencana pengelolaan di Taman Nasional Manupeu Tanahdaru. Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel dan alinea untuk bahan pertimbangan dalam penyusunan pengelolaan kawasan karst.


(23)

5.1 Bentuk Pemanfaatan Air

Air merupakan salah satu sumberdaya yang mutlak dibutuhkan untuk kehidupan manusia. Pemanfaatan air tidak hanya terbatas pada kebutuhan rumah tangga, tetapi hampir mencakup seluruh sektor kehidupan. Menurut Ismanto (2005) dan Ekaprasetya (2008) air dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai sektor kehidupan seperti pertanian, industri, rumah tangga dan infrastruktur.

Kawasan Taman Nasional Manupeu Tanahdaru (TNMT) merupakan daerah resapan air utama dan pemasok bagi pengairan lahan pertanian dan sumber air bersih (BKSDA 2004). Namun, hasil wawancara menunjukkan bahwa kenyataannya sebanyak 19 desa dari total 22 desa mengalami kekurangan air pada musim kemarau. Lokasi desa yang mengalami kekurangan air berada di sekitar kawasan dan sebagian merupakan bagian dari kawasan TNMT (Gambar 21).

Pengamatan langsung di desa yang mengalami kesulitan air menunjukkan adanya sumber air dan areal sawah yang mengalami kekeringan (Gambar 22). Pada musim kemarau, umumnya masyarakat di sekitar TNMT kesulitan untuk mendapatkan sumber air minum. Untuk memenuhi kebutuhan, sebagian masyarakat harus berjalan kaki sejauh 1-3 km agar dapat menemukan mata air yang masih dapat dimanfaatkan.

(a) (b)


(24)

Sumber: hasil overlay peta administrasi dan batas kawasan TNMT.


(25)

Dari hasil wawancara, potensi air TNMT dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan harian dan pengairan lahan pertanian. Selain itu juga ada pemanfaatan yang direncanakan pemerintah untuk kepentingan masyarakat.

5.1.1 Kebutuhan harian

Kehidupan masyarakat sangat tergantung dari sumber air untuk kebutuhan harian, termasuk masyarakat di sekitar kawasan TNMT. Berdasarkan hasil wawancara, bentuk kebutuhan air harian masyarakat adalah minum, memasak, mandi dan mencuci. Pemanfaatan air untuk kebutuhan harian sangat dipengaruhi oleh lokasi bermukimnya dan jumlah penduduk yang bermukim pada daerah tersebut. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah masyarakat yang berada disekitar TNMT adalah 32.114 orang dan tersebar di 22 desa dalam 7 kecamatan. Masyarakat di sekitar kawasan TNMT dikategorikan sebagai masyarakat pedesaan. Masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan memerlukan air sebanyak 60 liter/hari/kapita (BSN 2002). Berdasarkan kategori tersebut, maka kebutuhan air masyarakat di desa sekitar TNMT adalah sekitar 703.296.600 liter/tahun (Tabel 9).

Tabel 9 Kebutuhan harian masyarakat di sekitar TNMT Desa Jumlah Penduduk

(Orang) Hari SNI

Kebutuhan Air (liter/ tahun)

Kalembukuni 3.640 365 60 79.716.000

Baliloku 1.323 365 60 28.973.700

Hupumada 1.640 365 60 35.916.000

Katikuloku 1.657 365 60 36.288.300

Beradolu 2.476 365 60 54.224.400

Waimanu 1.196 365 60 26.192.400

Manurara 992 365 60 21.724.800

Malinjak 1.447 365 60 31.689.300

Tanamodu 1.216 365 60 26.630.400

Kondamaloba 2.912 365 60 63.772.800

Umbulanggang 726 365 60 15.899.400

Umbupabal 1.643 365 60 35.981.700

Praikaroku Jangga 875 365 60 19.162.500

Mbilurpangadu 939 365 60 20.564.100

Welukpraimemang 758 365 60 16.600.200

Padiratana 939 365 60 20.564.100

Maradesa 1.236 365 60 27.068.400


(26)

43

Kangeli 1.430 365 60 31.317.000

Watumbelar 775 365 60 16.972.500

Umamanu 921 365 60 20.169.900

Mondulambi 632 365 60 13.840.800

Total 32.114 365 60 703.296.600

Hasil perhitungan menunjukkan beberapa desa dengan tingkat kebutuhan air yang tinggi. Desa tersebut adalah Kalembukuni, Kambatawundut, Beradolu dan Kondamaloba. Tingginya tingkat kebutuhan air disebabkan oleh besarnya jumlah penduduk yang menempati wilayah desa. Menurut Badan Standarisasi Nasional (2002) kebutuhan air harian berbanding lurus dengan jumlah penduduk, semakin tinggi jumlah penduduk maka semakin besar penggunaan airnya. Kebutuhan tertinggi berada di Desa Kalembukuni sebesar 79.716.000 liter/tahun. Tingginya tingkat kebutuhan di Desa Kalembukuni disebabkan oleh posisi desa yang berdekatan dengan Kota Waikabubak sehingga jumlah penduduknya lebih banyak dibandingkan desa lainnya.

Kebutuhan air masyarakat di sekitar TNMT tiap tahunnya mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh jumlah penduduk juga mengalami peningkatan pada sebagian besar desa di sekitar kawasan. Peningkatan jumlah penduduk dapat dilihat dari desa di sekitar TNMT yang berada di kabupaten Sumba Barat dan Sumba Tengah (Tabel 10). Pada tahun 2005 jumlah penduduk hanya 24.676 orang, sedangkan pada tahun 2008 berjumlah 25.615 orang. Peningkatan jumlah penduduk tersebut harus diimbangi dengan ketersediaan sumber air, agar masyarakat tidak mengalami kekurangan air.

Tabel 10 Perubahan jumlah penduduk masyarakat di sekitar TNMT

Desa Jumlah Penduduk (orang)

Tahun 2005 Tahun 2008 Peningkatan Penurunan

Kalembukuni 3542 3640 98 -

Baliloku 1302 1323 21 -

Hupumada 1505 1640 135 -

Katikuloku 1606 1657 51 -

Beradolu 2433 2476 43 -

Waimanu 1076 1196 120 -

Manurara 967 992 25 -

Malinjak 1302 1447 145 -

Tanamodu 1054 1216 162 -


(27)

Umbulanggang 590 726 136 -

Umbupabal 1654 1643 - 11

Praikaroku Jangga 815 875 60 -

Mbilurpangadu 1212 939 - 273

Welukpraimemang 625 758 133 -

Padiratana 821 939 118 -

Maradesa 1209 1236 27 -

Total 24676 25615 939 -

Sumber: BPS Sumba Barat (2006 dan 2009) 5.1.2 Pengairan lahan pertanian

Masyarakat yang berada disekitar kawasan TNMT pada umumnya memiliki lapangan usaha dibidang pertanian. Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur tahun 2009 menunjukan masyarakat yang bertani lebih dari 75 % jumlah penduduknya (Tabel 11). Jenis usaha pertanian yang dilakukan mencakup tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan laut.

Tabel 11 Persentase lapangan pekerjaan masyarakat desa di sekitar TNMT Lapangan Usaha Sumba Barat dan Tengah Sumba Timur

Pertanian 76,57 87.17

Perdagangan 2,34 5.92

Industri 11,69 *

Pertambangan 0,94 *

Konstruksi 1,00 *

Transportasi dan Komunikasi 1,31 *

PNS/ABRI * 5.74

Pensiunan * 1.16

Keuangan 0,25 *

Jasa 5,90 *

Keterangan: * tidak ada data

Sumber: BPS Sumba barat (2009) dan BPS Sumba Timur (2009).

Perkembangan usaha pertanian akan mengakibatkan kebutuhan masyarakat terhadap sumberdaya air meningkat. Hal ini disebabkan oleh jenis usaha pertanian yang utama memerlukan air untuk kelangsungannya. Jenis usaha pertanian tersebut adalah padi sawah dan peternakan. Padi sawah merupakan usaha tanaman pangan dengan areal tersebar luas di Pulau Sumba. Penanaman padi seringkali hanya dapat dilakukan pada musim hujan. Kondisi ini disebabkan oleh sawah masyarakat disekitar TNMT pada umumnya adalah sawah tadah hujan sehingga tidak memiliki pengairan tetap (Gambar 23).


(28)

Sumber: hasil overlay peta tutupan lahan, administrasi dan batas kawasan TNMT


(29)

Sumberdaya air juga dimanfaatkan masyarakat untuk kebutuhan hewan ternak. Hewan yang dipelihara yaitu: sapi, kerbau, kuda, babi, kambing, domba, itik dan ayam. Total kebutuhan air untuk hewan peliharaan sebesar 177.385.766 liter/tahun. Kebutuhan air tertinggi untuk hewan adalah untuk jenis ternak besar (sapi, kerbau dan kuda) sebesar 144.759.000 liter/tahun (Tabel 12). Kebutuhan tersebut dapat terpenuhi karena sebagian dari ternak dibiarkan liar di alam.

Tabel 12 Kebutuhan air untuk ternak masayarakat Jenis Ternak Jumlah

(ekor) Hari

Konsumsi Air

Kebutuhan Air (liter/ tahun)

Sapi/kerbau/kuda 9915 365 40 144.759.000

Babi 12722 365 5 23.217.650

Kambing 1495 365 6 3.274.050

Unggas 28014 365 0.6 6.135.066

5.1.3 Pemanfaatan lain

Bentuk pemanfaatan lain sumberdaya air adalah sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Pembangunan PLTMH merupakan salah satu bentuk pemanfaatan yang direncanakan oleh pemerintah daerah. Hasil Survey menunjukkan adanya dua lokasi sumber air di TNMT yang memiliki potensi untuk dikembangkan, yaitu sumber air Lapopu dan Matayangu (lihat sub bab 4.2). Berdasarkan data Balai TNMT, sumber air Lapopu dapat menghasilkan listrik untuk 1.267 kepala keluarga, sedangkan sumber air Matayangu untuk 2.228 kepala keluarga. Namun, sumber air Lapopu memiliki potensi yang lebih besar karena lokasinya berada di dekat pemukiman masyarakat.

5.2 Pemenuhan Kebutuhan Air Masyarakat

Berdasarkan hasil wawancara, terpenuhinya kebutuhan air merupakan salah satu keinginan utama masyarakat di sekitar kawasan TNMT. Penyebab kebutuhan air masyarakat sulit terpenuhi adalah faktor topografi kawasan dan sebaran pemukiman masyarakat. Kawasan TNMT memiliki topografi yang didominasi oleh daerah perbukitan dan membentang di bagian selatan dari arah barat ke timur melintasi Desa Manurara, Hupumada, Waimanu, Malinjak, Kondamaloba, Watumbelar, Mondulabi dan Umamanu, sedangkan dari arah utara melewati Desa Maradesa, Umbupabal, Mbilurpangadu dan Umbulangang (Gambar 24).


(30)

47

Dominasi perbukitan di kawasan TNMT mengakibatkan aliran air permukaan menyebar dan mengalir mengikuti daerah lembah diantara perbukitan. Penyebaran aliran air permukaan dapat terlihat dari banyaknya anak sungai yang berada di kawasan TNMT (lihat gambar 3). Sungai tersebut memiliki lokasi yang berdekatan dengan wilayah perbukitan. Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam memanfaatkan sumberdaya air taman nasional perlu mempertimbangkan kondisi topografinya.

Permasalahan lain adalah sulitnya mengelola air yang dialirkan untuk masyarakat karena lokasi pemukimannya saling berjauhan. Masyarakat di sekitar kawasan umumnya hidup dalam kelompok kecil dan tersebar, sedangkan pemukiman dalam kelompok yang besar hanya dapat ditemukan pada daerah yang menjadi pusat pemerintahan. Salah satu contohnya adalah hasil identifikasi menggunakan google earth yang dilakukan terhadap masyarakat di bagian barat kawasan TNMT. Pemukiman dalam kelompok besar hanya di temukan pada daerah Waikabubak yang menjadi ibukota Sumba Barat (Gambar 25).

Kesulitan dalam memenuhi kebutuhan air dialami masyarakat selama enam bulan pada musim kemarau. Asumsinya, pada musim hujan selama empat bulan masyarakat mendapatkan air dan mampu menyimpannya untuk dua bulan. Ketersediaan air dapat ditingkatkan dengan pembuatan sarana yang dapat menampung air dalam jumlah besar, seperti embung. Menurut Marwonto et al. (1998), krisis air pada musim kering dapat ditanggulangi dengan pembuatan sarana penampungan air dalam jumlah besar dan pembuatan sarana penampungan air hujan pada setiap rumah. Sistem lain yang dapat diterapkan adalah penampungan sumber air, akan tetapi beberapa sumber air akan kering atau mengalami penurunan debit pada musim kemarau. Untuk itu, sumber air yang mengalami penurunan debit dapat diusahakan dengan meningkatkan debitnya melalui pengelolaan daerah resapan air sehingga dapat memanfaatkan air lebih lama.

Daerah resapan air karst merupakan salah satu wilayah yang perlu dilindungi. Beberapa sumber air karst di TNMT dapat menyediakan air sepanjang tahun. Contohnya adalah sumber air Matayangu yang memiliki debit air yang besar pada musim hujan, namun pada musim kemarau yang tersisa hanya air dari kawasan karst (Gambar 26). Perlindungannya dapat dilakukan dengan


(31)

(32)

Sumber: hasil identifikasi dengan google earth.


(33)

mengelompokkan wilayah karst yang penting sebagai penyedia sumberdaya air ke wilayah karst yang diprioritaskan.


(34)

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM

PENYUSUNAN ZONASI TNMT

6.1 Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Manapeu Tanahdaru

Wilayah karst dapat menyediakan air sepanjang tahun. Hal ini disebabkan daerah karst memiliki waktu tunda untuk mengalirkan air karena akuifer karst mampu menyisakan air pada musim kemarau. Menurut Haryono (2001) endapan isian di mintakat dekat permukaan (epikarst) berfungsi sebagai tandon air sehingga air tidak bisa mengalir cepat ke sistem sungai bawah tanah. Air hanya akan mengalir melewati celah rekahan batuan dan mensuplai sebagian sungai permukaan dan bawah tanah sepanjang tahun. Sehingga, kawasan karst dapat menjadi solusi dalam mengatasi kekurangan air. Untuk itu, wilayah karst yang memiliki potensi sebagai penyimpan air perlu dipertimbangkan dalam penyusunan zonasi pengelolaan kawasan TNMT.

Zonasi merupakan sistem pembagian wilayah yang digunakan taman nasional untuk pengelolaan kawasannya. Menurut P.56/Menhut-II/2006, zonasi taman nasional sekurang-kurangnya terdiri dari zona inti, zona rimba, dan zona pemanfaatan. Tujuan penataan zonasi adalah terwujudnya sistem pengelolaan taman nasional yang efektif dan optimal sesuai dengan fungsinya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2006 tentang pedoman zonasi taman nasional, fungsi masing-masing zona adalah sebagai berikut:

1. Zona inti

Perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya.

2. Zona rimba

Kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti.


(35)

3. Zona pemanfaatan

Pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan, kegiatan penunjang budidaya.

Ketiga zona ini umumnya digunakan pada kawasan taman nasional yang basis pengelolaannya adalah keanekaragaman hayati sehingga pada taman nasional dengan basis pengelolaan yang berbeda nama-nama zona tersebut belum tentu sesuai, seperti pada taman nasional laut istilah zona rimba tidak cocok digunakan. Zona rimba hanya dapat digunakan untuk wilayah daratan, sedangkan taman nasional laut merupakan kawasan yang didominasi oleh lautan. Penyusunan zonasi kawasan TNMT saat ini sedang berjalan, yang dilakukan melalui pengumpulan data potensi sebagai bahan pertimbangannya. Potensi karst TNMT patut dipertimbangkan karena dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan. Hal ini akan sesuai dengan paradigma pengelolaan kawasan konservasi dimana kawasan harus dapat memberikan manfaat serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Seperti telah dibahas pada bab terdahulu, bahwa 19 dari 22 desa yang berada di sekitar kawasan mengalami kekeringan setiap tahunnya. Sehingga kemampuan karst untuk menyimpan dan menyediakan air dapat dimanfaatkan untuk membantu mengatasi kekurangan air yang terjadi di desa-desa tersebut. Peran TNMT dalam hal penyediaan jasa lingkungan dirasakan sangat penting, sehingga pengelolaan TNMT dapat mempertimbangkan keberadaan kawasan karstnya sebagai bahan penyusunan zonasi taman nasional. Namun demikian, karst dikategorikan sebagai kawasan yang memiliki tingkat kerentanan yang tinggi. Kawasan karst memiliki komponen lingkungan endokarst dan eksokarst yang saling terkait, dimana kerusakan salah satu komponen akan memberikan pengaruh terhadap komponen lainnya. Untuk itu, penetapan zonasi TNMT yang sebagian wilayahnya adalah karst dilakukan dengan menentukan wilayah yang menjadi prioritas. Bentuk pertimbangan terhadap kawasan karst dapat diterapkan dengan menentukan wilayah karst yang diprioritaskan, terutama sebagai penyedia sumberdaya air.


(36)

53

6.2 Kawasan Karst Prioritas

Karst prioritas adalah wilayah karst yang diutamakan dalam perlindungannya. Penentuan karst prioritas dilakukan dengan mempertimbangkan komponen lingkungan karst dan daerah resapan air. Komponen lingkungan yang berpengaruh terhadap potensi kawasan karst TNMT dalam menyediakan sumber air dikategorikan sebagai kawasan karst prioritas. Komponen lingkungan karst yang dipertimbangkan adalah eksokarst dan endokarst. Potensi eksokarst yang menjadi bahan pertimbangan adalah aliran sungai permukaan dan mata air (Gambar 27). Menurut Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, wilayah perlindungan untuk mata air adalah daerah linear dengan jari-jari 200 meter dari sumber air, sedangkan untuk sungai berjarak 50 meter untuk anak sungai serta 100 meter untuk sungai besar.

(a) (b) Gambar 27 (a) Aliran sungai (b) mata air.

Pertimbangan lingkungan endokarst dilakukan dengan melihat keberadaan goa dan aliran sungai bawah tanah (Gambar 28). Daerah goa dikategorikan sebagai karst prioritas karena goa terbentuk melalui proses pelarutan batuan oleh air. Sedangkan aliran bawah tanah merupakan potensi air yang dapat keluar dalam bentuk mata air. Daerah resapan air merupakan pertimbangan khusus dalam menentukan karst prioritas.

Daerah resapan air merupakan daerah yang dianggap mampu meresapkan air dibanding daerah lainnya dan berperan penting dalam menjaga ketersediaan air di kawasan taman nasional. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung kawasan resapan air adalah daerah yang


(37)

mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air. Daerah resapan air yang diidentifikasi mencakup seluruh wilayah TNMT. Luas daerah tangkapan air TNMT adalah 7.970,2 ha dan 63,83 persennya berada di wilayah karst (Gambar 29).

(a) (b)

Gambar 28 (a) Aliran bawah tanah (b) mulut Goa Ngaduredu.

Wilayah karst yang dapat dikategorikan sebagai kawasan karst prioritas memiliki luasan yang tergolong besar, yaitu sebesar 15.934,29 ha atau menutupi 69,35 % dari total luas karst yang berada di dalam kawasan TNMT (21,82 % dari kawasan TNMT) (Gambar 30). Mengacu kepada pertimbangan dan fungsi zonasi dalam Permenhut 56/2006, maka wilayah karst prioritas dilakukan dengan membagi wilayahnya kedalam tiga zona, yaitu:

1. Karst prioritas inti

Karst prioritas inti ditetapkan pada wilayah karst prioritas yang memiliki kemampuan sebagai daerah resapan air atau memiliki sumber air yang penting untuk pembentukan wilayah karst. Tujuan penetapannya adalah memberikan perlindungan terhadap wilayah karst agar terhindar dari kerusakan sehingga ketersediaan sumberdaya air tetap lestari. Pada wilayah karst prioritas inti dapat dilakukan kegiatan, terutama yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya air. Berbeda dengan di zona inti lainnya, salah satu kegiatan yang mungkinkan dilakukan di zona karst prioritas inti adalah penanaman untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas resapan air.


(38)

Sumber: hasil identifikasi.


(39)

(40)

57

Kegiatan yang tidak diperbolehkan adalah kegiatan yang dapat menurunkan potensi air karst. Contohnya, penebangan pohon dan pemanfaatan air secara langsung. Penebangan pohon dapat menggangu kondisi daerah resapan air. Sedangkan pemanfaatan air tanpa pertimbangan dapat mempengaruhi proses perkembangan wilayah karst di sekitar sumber air.

2. Karst prioritas perlindungan

Wilayah karst perlindungan merupakan wilayah yang mengelilingi karst prioritas inti. Penetapannya bertujuan untuk memberikan batasan antara wilayah karst prioritas inti dan pemanfaatan. Wilayahnya disesuaikan dengan jarak antara batas terluar wilayah karst prioritas inti dan pemanfaatan. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah jenis kegiatan yang mendukung perlindungan terhadap wilayah karst prioritas inti.

3. Karst prioritas pemanfaatan

Karst prioritas pemanfaatan ditetapkan pada wilayah karst prioritas yang memiliki sumber air yang dapat bermanfaat bagi masyarakat. Bentuk pemanfaatan pada zona ini merupakan pemanfaaatan terbatas, dimana sumber air tidak dapat diambil langsung. Sumberdaya air dikelola oleh taman nasional untuk dialirkan ke daerah pemukiman masyarakat di sekitar taman nasional.

Ketiga zonasi tersebut dapat diterapkan pada wilayah karst yang terdapat di dalam kawasan taman nasional. Namun, seringkali keberadaan wilayah karst membentang luas melewati batas kawasan taman nasional. Kondisi ini menuntut adanya kolaborasi dengan berbagai pihak, sehingga wilayah karst yang berada di luar kawasan tetap mendukung kelestarian wilayah karst di dalam kawasan taman nasional. Pengelola taman nasional dapat bekerjasama dengan masyarakat, pemerintah daerah, instansi pemerintah dan lembaga lainnya. Sebagai contoh, potensi karst TNMT memiliki peluang untuk dimanfaatkan sebagai PLTMH.

Pengelolaan taman nasional berbasis karst ini akan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk memanfaatkan potensi air tersebut. Namun, pembangunan PLTMH harus melalui kajian menyeluruh terhadap sumberdaya air dan keberadaan karstnya. Proses pengkajian dapat dilakukan oleh pihak lain yang memiliki kompetensi mengenai kawasan karst.


(41)

7.1 Kesimpulan

1. Kawasan TNMT memiliki wilayah karst yang luasnya 23.609,25 ha. Luasan tersebut menutupi sekitar 32,33 % dari kawasan taman nasional.

2. Kawasan karst TNMT menyediakan sumber air dalam bentuk sungai dan mata air. Lokasi sumber air tersebut menyebar di kawasan TNMT, namun sebagian mendapat suplai air dari wilayah karst.

3. Total kebutuhan air masyarakat di sekitar TNMT adalah 880.682.366 liter/tahun. Masyarakat memanfaatkan air untuk memenuhi kebutuhan harian dan pengairan lahan pertanian.

4. Karst prioritas wilayah TNMT memiliki luasan sebesar 15.934,29 ha atau menutupi 69,35 % dari total luas karst yang berada di dalam kawasan TNMT (21,82 % dari kawasan TNMT). Dalam penetapan zonasi, wilayah karst prioritas dapat dikategorikan menjadi karst prioritas inti, perlindungan dan pemanfaatan.

7.2 Saran

1. Pelaksanaan identifikasi langsung ke lapangan sebaran karst di TNMT. 2. Melengkapi data sumber air, terutama debit air di kawasan TNMT.

3. Mengidentifikasi kebutuhan penduduk, terutama yang berhubungan dengan kebutuhan air untuk lahan pertanian.

4. Perlu adanya identifikasi lapang dalam penetapan zonasi wilayah karst prioritas.

5. Pelaksanaan penelitian dengan tema yang lebih spesifik untuk karst di kawasan TNMT, terutama yang berhubungan dengan daerah resapan air dan vegetasi kawasan karst.

6. Pelaksanaan kajian menyeluruh kawasan karst sebelum pembangunan PLTMH. 7. Perlu adanya kerjasama dengan pihak lain untuk dapat melindungi wilayah


(42)

NILAI PENTING SUMBERDAYA AIR KARST SEBAGAI

PERTIMBANGAN PENYUSUNAN ZONASI TAMAN

NASIONAL

ISKA GUSHILMAN

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(43)

Adji TN. 2006. Kontribusi Hidrologi Karst dalam Monitoring Keberlangsungan Ekosistem Karst. Prosiding Seminar Biospeleologi dan Ekosistem Karst sebagai Wahana Upaya Pelestarian dan Penyelamatan Gua Indonesia Yogyakarta, 05-06 Desember 2006. Yogyakarta: Biologi UGM dan LIPI. [ASC] Acintyacunyata Speleological Club. 2008. Survey Potensi Gua Kawasan

Taman Nasional Manupeau Tanadaro (TMNT) Desa Umbulangang, Mbilur Pangadu, Konda Maloba dan Manurara Kabupaten Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur [Resume]. Waikabubak: Balai Taman Nasional Manupeu Tanahdaru.

[BKSDA] Balai Konservasi Sumber Daya Alam. 2004. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Manupe Tanahdaru. Kupang: Anggaran DIK-S DR-Kegiatan Pembinaan Peningkatan Usaha Konservasi dan Keanekaragaman Hayati di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Sumba Barat dalam Angka tahun 2006. Waikabubak: BPS Sumba Barat.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Sumba Barat dalam Angka tahun 2009. Waikabubak: BPS Sumba Barat.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Sumba Timur dalam Angka tahun 2009. Waingapu: BPS Sumba Barat.

[BSN] Badan Standar Nasional. 2002. Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-6728.1-2002 tentang Penyusunan Neraca Sumberdaya Air.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56 tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Jakarta: Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. 50 Taman Nasional di Indonesia. Bogor:

DEPHUT, JICA dan LHI.

[Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1998. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 576/Kpts-II/1998 tentang Penetapan Kawasan Taman Nasional Manupeu Tanahdaru. Jakarta: Dephutbun. [Deptan] Departemen Pertanian. 1980. Keputusan Menteri Pertanian

No.837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Jakarta: Deptan.

[Deptan] Departemen Pertanian. 2006. Buku RTRW Propinsi Nusa Tenggara Timur 2006-2009. http://www.deptan.go.id. [21 Juni 2011].

Djumasari A, Ramli YR. 2002. Penyelidikan Geokimia Regional Sistematik Lembar Waikabubak Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur. Direktorat Mineral Non Logam, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral (DIM). Bandung: ESDM.

Ekaprasetya DMR. 2008. Nilai Ekonomi Sumberdaya Hutan dalam Menghasilkan Air di Sub DAS Ciseuseupan, DAS Ciujung Kabupaten Pandeglang


(44)

60

Provinsi Banten [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Field MS. 2002. A Lexicon of Cave and Karst Terminology with Special Reference to Environmental Karst Hydrology. Washington, DC: U.S. Environmental Protection Agency.

Ford DC, Williams PW. 2007. Karst Hydrogeology and Geomorphology. England: John Wiley and Sons.

GIS Konsorsium Nias Aceh. 2007. Modul Pelatihan ArcGis Tingkat Dasar. Aceh: Badan Reehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam – Nias (BRR NAD – Nias).

Haryono E. 2001. Nilai Hidrologis Bukit Karst. Makalah dalam seminar Nasional, Eko-Hidrolik, 28-29 Maret 2001. Yogyakarta: Teknik Sipil, Universitas Gajah Mada.

Haryono E. 2011. Pedoman Identifikasi Karst [Draft]. Forum Karst Gunungsewu. Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

Ismanto A. 2005. Mekanisme Pemanfaatan Air Taman Nasional Gunung Gede Pangrango [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2008. Guidelines for Applying Protected Area Management Categories. Gland, Switzerland: IUCN.

Jaya INS. 2008. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Kehutanan. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

[KPG] Kelompok Pemerhati Goa. 2009. Eksplorasi Potensi Goa-Goa di Taman Nasional Manupeu Tanadaru. Laporan SURILI (Studi Konservasi Lingkungan) 2009. Bogor: HIMAKOVA.

Kurniawan R. 2010. Sistem Pengelolaan Kawasan Karst Maros-Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan secara Berkelanjutan [Ringkasan Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Marwoto A, Haryono B, Endarmiyati. 1998. Penanggulangan Krisis Air pada Musim Kering di Kabupaten Gunung Kidul. Buletin Penalaran Mahasiswa Vol 4 No 2. Yogyakarta: Fakultas Geografi, Universitas Gajah Mada.

Monk KA, Fretes YD, Reksodihardjo-Liley G. 2000. Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Jakarta: Prenhanllindo.

Purnama SI. 2005. Penyusunan Zonasi Taman Nasional Manupeu Tanadaru Berdasarkan Kerentanan Kawasan dan Aktivitas Masyarakat [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Rahayu MA. 2008. Pyschological Well-Being pada Istri Kedua dalam Pernikahan Poligami (Studi Kasus pada Dewasa Muda). [Skripsi]. Depok: Program Sarjana Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.


(45)

[RI] Republik Indonesia. 1990. Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Jakarta: Republik Indonesia.

[RI] Republik Indonesia. 1997. Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Jakarta: Republik Indonesia. [RI] Republik Indonesia. 2008. Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Jakarta: Republik Indonesia. Samodra H. 2001. Nilai Strategis Kawasan Kars di Indonesia. Bandung: Pusat

Penelitian dan Pengembangan Geologi.

Soekmadi R. 2003. Pergeseran Paradigma Pengelolaan Kawasan Konservasi: Sebuah Wacana Baru dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi. Bogor: Media Konservasi, Institut Pertanian Bogor edisi 8 hal 87-93.

Soerianegara I. 1977. Pengelolaan Sumberdaya Alam. Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sunkar A. 2006. Pertimbangan Biospeologi dalam Konservasi Kawasan Karst. Prosiding Seminar Biospeleologi dan Ekosistem Karst sebagai Wahana Upaya Pelestarian dan Penyelamatan Gua Indonesia Yogyakarta, 05-06 Desember 2006. Yogyakarta: Biologi UGM dan LIPI.

Sunkar A. 2007. Ekosistem Subterranean: Suatu Keindahan Alam Bawah Tanah. Makalah Pelatihan Pemandu Wisata Petualangan dan Eksplorasi. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Sunkar A. 2009. Sustainability in Karst Resource Management: The Case of The Gunung Sewu in Java [Disertasi]. Auckland: School of Geography, geology and Environmental Science, The University of Auckland.

Veni G, DuChene H, Crawford NC, Groves CG, Huppert GN, Kastning EH, Olson R, Wheeler BJ. 2001. Living with karst – A Fragile Foundation. Kerjasama American Geological Institute dengan National Speleological Society,American Cave Conservation Association, Illinois Basin Consortium, National Park Service, U.S. Bureau of Land Management, USDA Forest Service, U.S. Fish and Wildlife Service, U.S. Geological Survey.

Watson J, Hamilton E, Gillieson D, Kiernan K. 1997. Guidelines for Cave and Karst Protection. World Commission on Protected Area (WCPA). Gland, Switzerland: IUCN.

Wello YE. 2008. Spesies Kunci Budaya (Cultural Keystone Species) Masyarakat Sumba di Sekitar Taman Nasional Manupeu Tanadaru Nusa Tenggara Timur [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Widarti A. 1995. Studi Permintaan Jasa Hidrologi Kawasan Hutan Taman Nasional Gede Pangrango [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Widiyono W, Hapid U, Komarudin E. 2003. Pengujian Varietas Kacang Tanah pada Wilayah Agroklimat Kering di Desa Maka Menggit, Kab Sumba


(46)

62

Timur. Laporan Teknik. Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi. Bogor: LIPI.

Wiranansyah H. 2005. Studi Interaksi Masyarakat terhadap Potensi Sumberdaya Alam di Taman Nasional Manupeu Tanadaru dan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti Berdasarkan Kearifan Tradisionalnya [Tugas Akhir]. Bogor: Program Diploma III Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Witono A. 2008. Minimalisasi Dampak Kekeringan di Indonesia. Bidang Aplikasi Klimatologi dan Lingkungan. Bandung: LAPAN.

Zulfikar, Yusuf AF, Bahar N, Latif NA, Sukmawardany R, Sutisna T. 2002. Penyelidikan Pendahuluan Bahan Galian Industri di Daerah Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Direktorat Mineral Non Logam, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral (DIM). Bandung: ESDM.

Zulfikar, Sutisna T, Supardan M. 2004. Inventarisasi dan Evaluasi Mineral Non Logam di Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Direktorat Mineral Non Logam, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral (DIM). Bandung: ESDM.


(47)

NASIONAL

ISKA GUSHILMAN

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(48)

NILAI PENTING SUMBERDAYA AIR KARST SEBAGAI

PERTIMBANGAN PENYUSUNAN ZONASI TAMAN

NASIONAL

ISKA GUSHILMAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(49)

ISKA GUSHILMAN.

Pertimbangan Penyusunan Zonasi Taman Nasional. Dibimbing oleh ARZYANA SUNKAR dan RACHMAN KURNIAWAN.

Keberadaan taman nasional memiliki arti penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun demikian, selama ini basis penyusunan zonasi yang merupakan sistem pengelolaan dalam taman nasional umumnya adalah keanekaragaman hayati yang menyebabkan keterbatasan akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya dalam kawasan. Selain keanekaragaman hayati, taman nasional juga memberikan manfaat berupa jasa lingkungan yang lebih memungkinkan untuk dimanfaatkan masyarakat karena sifatnya yang tidak eksploitatif atau dapat dimanfaatkan di luar kawasan, seperti pemanfaatan sumberdaya air. Salah satu penyedia sumberdaya air adalah bentangan alam karst. Beberapa kawasan taman nasional yang memiliki kawasan karst yang signifikan seharusnya mampu memberikan jasa lingkungan air kepada masyarakat di sekitarnya, sehingga manfaat taman nasional dalam mensejahterakan masyarakat dapat dicapai. Namun sayangnya, belum ada satupun kawasan taman nasional dengan bentang alam karst yang membagi zonasinya berdasarkan fungsi hidrologis karst. Taman Nasional Manupeu Tanahdaru (TNMT) merupakan taman nasional dengan bentang alam karst yang sedang dalam tahap penyusunan zonasi dan memiliki kawasan penyangga yang sering mengalami kekurangan air. Kajian mengenai potensi air karst dilakukan agar dapat dipertimbangan dalam penyusunan zonasi untuk membantu memenuhi kebutuhan air masyarakat di sekitar kawasan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memetakan sumberdaya air karst dan menentukan wilayah karst yang diutamakan untuk perlindungan sumberdaya air karst (karst prioritas). Penelitian dilakukan di kawasan TNMT dan berlangsung pada bulan Mei-Juni 2010 di lapangan dan pada bulan Agustus-Desember 2010 di laboratorium SIG Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor. Metode yang digunakan adalah studi pustaka, wawancara dan pengecekan lapangan. Analisis data dilakukan dengan analisis spasial dan analisis kebutuhan air. Selain itu, dilakukan analisis deskriptif untuk menjelaskan kondisi umum, potensi air karst, kebutuhan dan pemanfaatan air masyarakat serta rencana pengelolaan di TNMT.

Kawasan karst di TNMT menjadi salah satu bukti bahwa sebagian wilayah karst telah menjadi kawasan yang dilindungi. Hasil identifikasi menunjukkan luas wilayah karst yang terdapat di kawasan TNMT adalah seluas 23.609,25 ha dan menutupi sekitar 32,33 % dari seluruh kawasan. Air yang berasal dari akuifer karst akan mengalir melewati lorong goa dan keluar sebagai mata air dan mengimbuh sungai permukaan. Lokasi sumber air tersebut menyebar di dalam


(50)

kawasan dan sebagian mengalir ke pemukiman masyarakat. Masyarakat memanfaatkan air untuk memenuhi kebutuhan harian dan pengairan lahan pertanian. Total kebutuhan air masyarakat adalah sebesar 880.682.366 liter/tahun. Kebutuhan air hanya dapat terpenuhi selama 6 bulan dengan asumsi air dapat disimpan selama 2 bulan setelah 4 bulan musim hujan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa kenyataannya sebanyak 19 desa dari total 22 desa yang mengalami kekurangan air, terutama pada musim kemarau. Desa yang mengalami kekurangan air berada di sekitar kawasan TNMT. Potensi air dan keberadaan wilayah karst menjadi pertimbangan dalam penentuan wilayah karst prioritas. Luas wilayah karst prioritas di kawasan TNMT adalah 15.934,29 ha atau menutupi 69,35 % dari total kawasan karst. Dalam penetapan zonasi, wilayah karst prioritas dapat dikategorikan menjadi karst prioritas inti, perlindungan dan pemanfaatan.

Kata kunci : karst, karst prioritas, masyarakat, sumberdaya air, zonasi Taman Nasional Manupeu Tanahdaru (TNMT).


(51)

ISKA GUSHILMAN

Consideration of National Park Zoning. Under the Supervision of ARZYANA SUNKAR and RACHMAN KURNIAWAN.

The existence of national parks provides many benefits for communities. However, the formulation of national park zoning, which is the bases for national park management in Indonesia, in general used biodiversity values which very often limit the utilization of resources within the national park. Apart from biodiversity, national parks also provide environmental services which offered greater possibility of utilization because of its non-exploitative nature or can be utilized outside the national parks’ boundaries, such as water resource. One supplier of water resource is karst landscape. National parks that have significant karst landscape should be capable in providing water as their environmental services to local communities thus enhancing benefits of national parks for improving communities’ welfare. Unfortunately, no national park in Indonesia with extensive karst landscape that formulates its zoning based on the hydrological function of karst itself. One national park with extensive karst landscape and undergoing zoning preparation is Manupeu Tanahdaru National Park (MTNP) in the province of East Nusa Tenggara. Therefore, study of potential karst water in MNTP was conducted to provide considerations for MNTP zoning formulation to aid in reducing water shortages that the local communities experienced during drought period.

The main objectives of this study were to map karst water resources and determining priority areas for karst protection (karst priority). The study was conducted in MNTP from May to June 2010 to collect field data and from August to December 2010 in GIS Laboratory of Department of Forest Resources Conservation and Ecotourism, Bogor Agricultural University. The research methods comprised of literature studies, interviews, and ground check. Data analysis was performed by spatial analysis and water demand analysis. Furthermore, descriptive analysis was done to provide explanation for the general condition, the potentials of karst water, water requirement for the local communities and water utilization by the local communities.

Karst area of MTNP was proof that some karst areas are protected. Results of field identification indicated the existence of a total of 23,609.25 ha of karst area within the MTNP, covering approximately 32.33% of the entire park. Water cwhich originated from the karst aquifer would flow through the cave and channelled out as springs and gave inputs to surface water rivers. These location were spread out within the national park and partly flowing into the residential communities. The community utilized water to meet daily needs and irrigation of agricultural land. The total water demand of the community was 880,682,366


(52)

litres/year. Water requirements could only be met for 6 months with the assumption that water could be stored for 2 months after 4 months of rainy season. Interviews with resource person and local communities showed that there were as many as 19 out of 22 villages that experienced water shortages, especially during dry season. The villages that were experiencing the most water shortages

were located adjacent to the MTNP’s area. Water potential and the presence of karst areas should be taken into consideration in determining priority karst area. The total area of karst in MTNP priority was 15,934.29 ha or 69.35% of the total area of the karst. Under national park’s zoning, these karst priority areas could be categorized into karst core, protection and utilization priorities.

Key words: karst, karst priority,community,water resource, Manupeu Tanah Daru National Park zoning


(53)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ Nilai Penting Sumberdaya Air Karst sebagai Pertimbangan Penyusunan Zonasi Taman Nasional ” adalah hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan telah dipresentasikan dalam forum internasional yaitu Asian Trans-Disciplinary Karst Conference di Yogyakarta pada tanggal 7-10 Januari 2011. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2012

Iska Gushilman E 34052984


(54)

Judul Skripsi : Nilai Penting Sumberdaya Air Karst sebagai Pertimbangan Penyusunan Zonasi Taman Nasional

Nama : Iska Gushilman

NIM : E34052984

Menyetujui: Komisi Pembimbing Ketua

Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc NIP. 19710215 199512 2 001

Anggota

Dr. Rachman Kurniawan, S.Si, M.Si NIP. 19700120 199903 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP. 19580915 198403 1 003


(55)

Bismillahirrahmanirrahim,

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, nikmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Nilai Penting Sumberdaya Air Karst sebagai Pertimbangan Penyusunan Zonasi

Taman Nasional” dibawah bimbingan Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc dan Dr.

Rachman Kurniawan, S.Si, M.Si. sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB.

Karst merupakan kawasan dengan nilai hidrologis yang tinggi dan perlu pengelolaan yang berbeda karena wilayah karst memiliki komponen lingkungan permukaan dan bawah permukaan tanah. Keberadaan wilayah karst banyak ditemukan di kawasan taman nasional, namun pengelolaannya belum mempertimbangkan wilayah karst. Kondisi ini menyebabkan terbatasnya akses masyarakat untuk memanfaatkan potensi sumberdaya air karst, padahal paradigma pengelolaan kawasan konservasi dititikberatkan pada pertimbangan aspek manfaat dan akomodasi kepentingan masyarakat. Penelitian ini diharapkan menjadi pembuka penelitian-penelitian mengenai kawasan karst, terutama yang berada di kawasan konservasi agar dapat menjadi pertimbangkan dalam penyusunan pengelolaannya.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukan serta dapat memperkaya wawasan pembaca. Skripsi ini merupakan hasil maksimal yang dapat penulis kerjakan, penulis menyadari kemungkinan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan atau dari apa yang diharapkan.

Bogor, Januari 2012


(56)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 02 Agustus 1987 di Lintau, Sumatera Barat. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Isman dan Sukarti. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 39 Halaban pada tahun 1999, pendidikan menengah pertama di MTsN Padang Panjang pada tahun 2002 dan pendidikan menengah atas pada tahun 2005 di SMU Negeri 1 Lintau Buo.

Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai salah satu mahasiswa di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE), Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis aktif di Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang (IPMM) dan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA). Penulis merupakan ketua Kelompok Pemerhati Goa (KPG-HIMAKOVA) periode 2007-2008 dan menjadi panitia beberapa kegiatan di IPMM dan HIMAKOVA.

Kegiatan lapang dan praktek yang telah diikuti penulis diantaranya: Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Cilacap-Baturraden, Praktek Konservasi Eksitu (PUKES) di Bogor-Tanggerang, Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional (TN) Bali Barat, Eksplorasi Fauna Flora Indonesia (RAFFLESIA-HIMAKOVA) tahun 2007 di Hutan Pendidikan Gunung Walat, RAFFLESIA tahun 2008 di Cagar Alam Gunung Simpang Propinsi Jawa Barat, Studi Konservasi Lingkungan (SURILI-HIMAKOVA) tahun 2007 di Taman Nasional (TN) Bantimurung Bulusaraung Propinsi Sulawesi Selatan, SURILI tahun 2008 di TN Bukit Baka Bukit Raya Propinsi Kalimantan Barat-Tengah. Selain itu, penulis juga menjadi asisten lapang dalam Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) dan SURILI tahun 2009 di TN Manupeu Tanahdaru Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis

menyelesaikan skripsi dengan judul “Nilai Penting Sumberdaya Air Karst sebagai

Pertimbangan Penyusunan Zonasi Taman Nasional” dibawah bimbingan Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc dan Dr. Rachman Kurniawan, S.Si, M.Si.


(1)

34

4.2 Kawasan Karst TNMT sebagai Penyedia Sumberdaya Air

Perbedaan antara kawasan karst dengan kawasan bukan karst adalah terjadinya proses pelarutan pada kawasan karst yang mengakibatkan adanya sistem pergoaan dan aliran bawah tanah. Menurut Gillieson (1996), diacu dalam Adji (2006) lorong goa dan sungai bawah tanah disebut sebagai porositas lorong atau secara hidrogeologis dikenal dengan porositas sekunder. Lorong goa yang terisi air akan membentuk sungai bawah tanah dan keberadaannya tidak terdistribusi merata sedangkan porositas pada kawasan bukan karst dapat dikatakan seragam kesegala arah (Gambar 16) (Adji 2006).

Sumber: modifikasi dari Adji (2006).

Gambar 16 Perbedaan porositas di daerah non-karst (kiri) dan karst (kanan). Kondisi ini berpengaruh terhadap keluarnya air, dimana sumber air akan muncul dibanyak tempat dengan debit yang bervariasi. Porositas sekunder ini menyebabkan penduduk di daerah karst pada umumnya terkesan kesulitan untuk menemukan sumber air untuk mencukupi kehidupan mereka sehari-hari, padahal di bawah mereka sebenarnya terdapat sungai bawah tanah yang kadang kala debitnya bisa mencapai ribuan liter/detik (Adji 2006).

Debit sungai bawah tanah sangat ditentukan oleh proses aliran masukan dan keluaran air di daerah karst. Menurut Domenico dan Schwartz (1990), diacu dalam Adji (2006) sifat aliran pada kawasan karst terbagi menjadi komponen aliran diffuse dan aliran conduit. Jenis aliran air pada kawasan karst sangat ditentukan oleh karakteristik perkembangan lorong, kondisi topografi permukaan dan simpanan air di dalam akuifer karst (Tabel 6).


(2)

35

Tabel 6 Karakteristik aliran akuifer karst

Tipe aliran Karakteristik Kondisi daerah tangkapan Simpanan Saluran

(Conduit)

1. Perpipaan (streamsink) 2. Sangat cepat dan

sensitif terhadap hujan

Banyak luweng dengan sinkhole dan ponor

Rendah dan hanya pada saat musim hujan

Dasar (Diffuse)

1. Menyebar 2. Respon lambat

terhadap hujan

1.Rekahan (Fracture) 2.Intergranular

Besar dan sepanjang tahun Sumber: Adji (2006)

Aliran conduit mengimbuh sungai bawah tanah melalui ponor yang ada di permukaan, melewati ronga-rongga besar dan mengalir cepat. Aliran diffuse

masuk ke sungai bawah tanah melalui proses infiltrasi yang terjadi secara perlahan-lahan melewati epikarst dan kemudian mengimbuh sungai bawah tanah berupa tetesan atau rembesan kecil. Contohnya adalah tetesan air pada ornamen goa yang mengisi sungai bawah tanah. Keberadaan aliran air bawah tanah di kawasan TNMT dapat terlihat pada beberapa goa (Gambar 17). Hasil survey ASC (2008) dan KPG-HIMAKOVA (2009) menunjukkan terdapat sebanyak 12 goa yang memiliki aliran air bawah tanah (Tabel 7).

Tabel 7 Goa dengan aliran air bawah tanah di kawasan TNMT

No Nama Goa Lokasi (Desa)

1 Padamu Watumbelar

2 Air es Watumbelar

3 Kanabubulang 2 Kambatawundut

4 Pattamawai Umbulanggang

5 Way liang Kondamaloba

6 Marabi Kondamaloba

7 Bakul Kondamaloba

8 Matayangu Manurara

9 10 11 12 Wacupadano Milipahuruk Laimapidu Wangga Umbulanggang Kondamaloba Manurara Mbilur Pangadu Sumber: ASC (2008) dan KPG (2009)


(3)

36

Gambar 17 Aliran bawah tanah di goa.

Air yang berasal dari akuifer karst akan mengalir melewati lorong goa dan keluar sebagai mata air. Mata air di TNMT merupakan salah satu sumber air utama yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat (Gambar 18). Data TNMT menunjukkan penyebaran mata air mencakup daerah yang luas, namun lokasi mata air belum teridentifikasi pada beberapa desa. Jumlah mata air yang telah diketahui lokasinya ada 249 buah. Mata air tersebut dapat ditemukan di Desa Baliloku, Hupumada, Kambatawundut, Katikoloku, Kondamaloba, Laihau, Malinjak, Mbilurpangadu, Padiratana, Watumbelar, Waimanu, Umbulanggang dan Umbupabal.

Potensi lain sumberdaya karst adalah pengimbuh sungai permukaan. Air yang keluar dari celah rekah batuan akan menjadi bagian dari sungai yang melewati kawasan karst. Secara tidak langsung, sungai yang dimanfaatkan masyarakat mendapat pengaruh dari sumberdaya air karst. Kondisi sungai dan besarnya air dipengaruhi oleh musim. Pada musim penghujan (overflow) debit airnya besar dan pada musim kemarau (underflow) debit air akan mengalami penurunan (Haryono 2011). Beberapa sungai di TNMT memiliki debit yang besar seperti sungai dari sumber air Lapopu dan Matayangu (Gambar 19). Berdasarkan data dari Balai TNMT, pada musim hujan sumber air Lapopu memiliki debit sebesar 1.600 liter/detik sedangkan sumber air Matayangu debitnya mencapai


(4)

Sumber: hasil overlay mata air, peta tutupan lahan dan batas kawasan TNMT.


(5)

38

2.700 liter/detik. Selain itu, pada beberapa tempat terdapat sungai bawah tanah seperti di Lapopu dan Wangga.

(a) (b)

Gambar 19 Sumber air TNMT (a) air terjun Matayangu (b) air terjun Lapopu. Sungai yang terdapat di TNMT termasuk kedalam 12 daerah aliran sungai (Gambar 20). Pada daerah aliran sungai tersebut terdapat anak-anak sungai yang mengalir ke sungai utama. Aliran sungai utama bermuara ke Laut Sawu (utara) dan Samudera Hindia (selatan) serta dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sungai utama mengalir melewati daerah pemukiman dan pedesaan di sekitar TNMT sebagai pemasok kebutuhan air masyarakat (Tabel 8) (Purnama 2005).

Tabel 8 Beberapa sungai di kawasan TNMT

No Nama Sungai Melintasi/Hilir/Muara Arah Aliran

1 Wanokaka Desa Katikuloku Selatan

2 Waekelo Kecamatan Wejewa Utara Selatan

3 Praikajelu Desa Konda Maloba Selatan

4 Sendi Desa Konda Maloba Selatan

5 Prainga - Selatan

6 Nanga Mamboro Utara

7 Paponggu Desa Praikarokujangga dan Desa Soru Utara

8 Prainglala - Timur

9 Pungulamba - Barat Laut

10 Kadassa Kadahang (pantai Utara) Timur Laut

11 Tidas Desa Mondulambi Timur

12 Kangeli Desa Kangeli Timur

13 Laikahabar Desa Laihau Timur

14 Palawandut Desa Kambatawundut Timur

15 Palamedo Desa Lenang Utara


(6)

Sumber: hasil overlay peta sungai, administrasi dan batas kawasan TNMT.