31 sebagian BAL. Hal ini disebabkan pada konsentrasi ampisilin 25-100
μgml, intensitas koloni BAL menurun menjadi agak banyak.
Menurut Pearlman 1979, ampisilin tidak efektif terhadap kapang dan khamir. Sementara untuk kultur BAL yang semuanya merupakan bakteri gram positif, ada beberapa yang sensitif dan
ada juga yg resisten terhadap ampisilin. Hartanti 2007 menyatakan bahwa Pediococcus, tahan terhadap ampisilin, sedangkan Lactobacillus rhamnosus sensitif terhadap ampisilin. Hummel et
al. 2007 juga menyatakan bahwa resistensi ampisilin tidak terjadi pada Lactobacillus, S. thermophilus, dan Leuconostoc. Ketidaktahanan beberapa BAL terhadap ampisilin disebabkan
oleh mekanisme ampisilin yang bekerja menghambat enzim transpeptidase yang berfungsi dalam pembentukan struktur ikatan silang pada dinding sel bakteri. Pertumbuhan sel dengan keberadaan
ampisilin akan mengakibatkan pembentukan dinding sel yang lemah sehingga sel bakteri akan pecah karena tekanan osmotik internal yang tinggi Haddix et al. 200. Sementara adanya BAL
yang tahan terhadap ampisilin dapat disebabkan oleh degradasi enzimatis senyawa antibiotik sehingga tidak dapat kontak dengan senyawa target, perubahan protein bakteri yang menjadi
target antibiotik tersebut, atau perubahan permeabilitas membran terhadap antibiotik tersebut Dever dan Dermody 1991.
Oleh karena resistensi ampisilin isolat mutan DES c7 rendah, maka isolat mutan yang digunakan pada tahap penelitian selanjutnya adalah mutan YR t2a dan mutan FWH c3. Kedua
isolat ini masih dapat bertahan pada media yang mengandung ampisilin hingga konsentrasi 100 μgml dengan intensitas pertumbuhan yang tetap. Sebenarnya konsentrasi ampisilin 25 μgml
sudah cukup dapat membedakan isolat mutan YR t2a dan FWH c3 dengan isolat normalnya. Oleh
karena Clontech USA menyatakan bahwa konsentrasi ampisilin yang direkomendasikan adalah 100
μgml, maka konsentrasi ampisilin yang digunakan untuk keperluan tahap penelitian selanjutnya adalah 100
μgml. Kemudian karena hingga konsentrasi ampisilin 100 µgml kultur kapang, khamir, BAL, dan kultur campuran yang menjadi simulasi keragaman mikroorganisme
pada jagung masih dapat tumbuh, maka pada pengujian sintas mutan Cronobacter spp. selama perendaman jagung, jagung diklorinasi terlebih dahulu untuk mengurangi jumlah mikroorganisme
awal. Sementara untuk pengujian sintas mutan Cronobacter spp. selama pengeringan maizena, air dan maizena yang akan digunakan sebagai sampel dapat disterilisasi terlebih dahulu secara
terpisah menggunakan autoklaf sebelum diinokulasi oleh mutan Cronobacter spp.
2. Penentuan Metode Pemupukan dan Media Pertumbuhan Inokulum
Setelah konsentrasi ampisilin ditentukan, tahap selanjutnya adalah menentukan metode pemupukan dan media pertumbuhan inokulum terbaik yang dapat mempertahankan karakteristik
fenotip dari isolat mutan. Gambar 16 menunjukkan bahwa inokulum kedua isolat mutan yang dipupuk dengan metode permukaan memiliki persentase koloni berpendar yang lebih tinggi
99.98 - 100 dibandingkan dengan metode tuang 78.27 - 91.48, baik inokulum dari media pertumbuhan BHI maupun BHI+A. Sebagai contoh, isolat mutan YR t2a yang dipupuk
dari BHI+A dengan metode permukaan memiliki 99.98 koloni berpendar, sedangkan dengan metode tuang hanya memiliki persentase 89.75 koloni berpendar. Hal ini disebabkan dengan
metode permukaan, intensitas fluoresens koloninya sangat jelas terlihat karena kromofor pada GFPuv terpapar secara langsung dengan lampu UV. Sementara dengan metode tuang, koloni
yang tumbuh di bawah permukaan agar tampak kecil sehingga sulit dilihat intensitas flouresennya ketika diamati di bawah lampu UV. Hal ini dapat mengakibatkan kesalahan negatif dimana koloni
yang sebenarnya berasal dari sel bakteri yang mengandung pGFPuv terlihat tidak menyandikan protein GFPuv.
32 Gambar 16. Grafik perbandingan persentase koloni fluoresens inokulum isolat mutan yang
ditumbuhkan dari media BHI dan BHI+A dengan metode pemupukan tuang dan permukaan Perbandingan viabilitas isolat mutan antar media pertumbuhan inokulum dapat dilihat
pada Gambar 17. Gambar 17 menunjukkan bahwa inokulum mutan YR t2a yang ditumbuhkan di media BHI yang ditambah ampisilin 100 µgml BHI+A memiliki viabilitas koloni berpendar
yang lebih tinggi 8.07 log CFUml dibandingkan dengan inokulum yang ditumbuhkan di media BHI tanpa ampisilin 6.70 log CFUml. Inokulum mutan FWH c3 yang ditumbuhkan di media
BHI+A juga memiliki viabilitas koloni berpendar yang lebih tinggi 9.66 log CFUml dibandingkan dengan inokulum yang ditumbuhkan di media BHI saja 5.60 log CFUml. Hal ini
disebabkan pada media BHI+A telah terjadi seleksi antibiotik dimana pada media tersebut sel bakteri memerlukan enzim
β-lactamase yang disandikan oleh gen Amp
r
pada pGFPuv untuk mendegradasi ampisilin. Oleh sebab itu, gen GFPuv yang juga terdapat pada pGFPuv ikut
terekspresikan yang mengakibatkan koloni yang tumbuh berfluoresens saat diamati di bawah UV. Sementara pada media BHI yang tidak mengandung ampisilin, tidak terjadi seleksi antibiotik
sehingga ada sel bakteri yang tidak mengandung plasmid yang ditransformasikan. Oleh sebab itu, pada sel tersebut gen penyandi GFPuv tidak terekspresikan dan ketika GFPuv tidak diproduksi,
koloni bakteri akan memiliki fenotip seperti wild-type yaitu tidak berfluoresens Micklos et al. 2003. Berdasarkan hasil tersebut, pada pengujian sintas mutan Cronobacter spp. selama
perendaman jagung dan pengeringan maizena, inokulum ditumbuhkan pada media BHI yang mengandung ampisilin 100
μgml BHI+A. Kemudian media penghitungan yang digunakan adalah TSA yang mengandung ampisilin 100
μgml TSA+A dengan metode pemupukan permukaan.
80.77 89.75
78.27 91.48
99.98 99.98
100 100
20 40
60 80
100 120
BHI BHI+A
BHI BHI+A
mutan YR t2a mutan FWH c3
Persentase koloni fluoresens
Inokulum
Tuang Permukaan
33 Gambar 17. Grafik perbandingan viabilitas koloni fluoresens inokulum isolat mutan yang
ditumbuhkan dari media BHI dan BHI+A dengan metode pemupukan permukaan
C. PENGUJIAN SINTAS MUTAN Cronobacter spp. SELAMA PEMBUATAN