Universitas Sumatera Utara Tiga  karakteristik  di  atas  merupakan  kerangka  dasar  dalam  menyusun
klasifikasi keganasan hematologi. WHO membagi keganasan hematologi menjadi enam bagian besar, yaitu:
i. Proposed WHO classification of Myeloid Neoplasms
-  Myeloproliferative Disease -  Myelodysplasticmyeloproliferative Diseases
-  Myelodysplastic Syndromes -  Acute Myeloid Leukemia
-  Acute Biphenotypic Leukemias
ii. Proposed WHO classification of Lymphoid Neoplasms
B-Cell Neoplasms -  Precursor B-cell neoplasm
-  Mature peripheral B-cell neoplasms T and NK-Cell Neoplasms
-  Precursor T-cell neoplasm -  Mature peripheral T-cell neoplasms
Hodgkin’s Lymphoma Hodgkin’s Disease
iii. Mast Cell Diseases
iv. Histiocytic and Dendritic-Cell Neoplasms
-  Macrophagehistiocytic neoplasm -  Dendritic-Cell Neoplasms
v. Plasma Cell Disorders : Subtypes and Variants
vi. Immunosecretory  Disorders  Clinical  Manifestations  of  Diverse
Lymphoid Neoplasms
2.2.2.   Etiologi dan Faktor Predisposisi Keganasan Hematologi
Keganasan  hematologi  merupakan  penyakit-penyakit  klonal  yang  berasal dari  satu  sel  tunggal  di  sumsum  tulang  atau  jaringan  limfoid  perifer  yang  telah
mengalami  perubahan  genetik.  Sel-sel  yang  mengalami  perubahan  ini  akan berproliferasi  secara  berlebihan  atau  resisten  terhadap  apoptosis.  Penyebabnya
masih  belum  diketahui  secara  pasti,  namun  faktor-faktor  yang  mungkin  dapat
Universitas Sumatera Utara mencetuskannya  sudah  banyak  diteliti.  Kombinasi  antara  latar  belakang  genetik
dan  pengaruh  lingkungan  merupakan  resiko  terbesar  menuju  keganasan.  Akan tetapi  pada  beberapa  kasus,  bahkan  kedua  resiko  tersebut  bisa  saja  tidak
ditemukan sama sekali.
a. Faktor Keturunan
Kejadian  leukemia  meningkat  secara  signifikan  pada  beberapa  penyakit genetik,  terutama
Down’s  Syndrome.  Penyakit-penyakit  lain  seperti  Bloom’s Syndrome,  Fanconi’s  Anemia,  Klinefelter’s  Syndrome  dan  lainnya.  Namun  gen
yang menghubungkan penyakit ini dengan keganasan masih belum diketahui.
b. Pengaruh Lingkungan
-  Bahan Kimia Paparan  kronis  bahan  tertentu  seperti  benzene  dapat  menyebabkan
terjadinya abnormalitas bone marrow. -  Obat-obatan
Alkylating  agents,  radioterapi,  bahkan  obat-obatan  antileukemik  pun juga dapat mencetuskan terjadinya kanker.
-  Radiasi Semua  jenis  radiasi  bersifat  leukemogenik.  Hal  ini  terlihat  pada
peningkatan  insidensi  leukemia  pada  korban  selamat  ledakan  bom atom di Jepang.
-  Infeksi
Tabel 2.1. Infeksi Yang Berhubungan dengan Keganasan Hematologi
Infeksi Tumor
Virus HTLV-1
Epstein-Barr Virus HHV-8
HIV-1 Bakteri
Helicobacter pylori Protozoa
Malaria Adult T-cell leukemialymphoma
Burkitt’s dan Hodgkin’s Lymphomas; PTLD Primary Effusion Lymphoma ; multicentric Castleman’s disease
High-grade B-cell lymphoma Gastric lymphoma MALT
Burkitt’s lymphoma Dikutip dari : Hoffbrand, 2006
Universitas Sumatera Utara
2.3. Leukemia
Leukemia,  berasal  dari  bahasa  Yunani,  leukos  yang  berarti  putih  dan haima  yang  berarti  darah,  adalah  kanker  darah  ataupun  bone  marrow  yang
ditandai dengan peningkatan abnormal sel darah putih imatur yang disebut „blast‟ Mosby,  1994.  Sel  abnormal  ini  menimbulkan  gejala  karena  kegagalan  bone
marrow serta infiltrasi ke berbagai organ. Kegagalan bone marrow ini mengakibatkan dua proses penyakit. Pertama,
produksi  sel  darah  normal  akan  menurun  secara  signifikan.  Oleh  karena  itu terjadilah anemia, trombositopenia dan neutropenia dalam derajat yang bervariasi.
Kedua,  proliferasi  yang  cepat  dari  sel-sel  tersebut,  diikuti  dengan  penurunan kemampuan  untuk  mencetuskan  apoptosis,  mengakibatkan  penumpukan  di  bone
marrow,  darah,  serta  limpa  dan  hati.  Darah  yang  berfungsi  sebagai  organ transportasi kemudian akan membawa sel-sel ini ke tempat lain seperti meningen,
otak, kulit, testis, dan lainnya.
2.3.1.   Klasifikasi
Klasifikasi  utama  leukemia  adalah  dengan  membaginya  menjadi  empat tipe  yaitu  leukemia  akut  dan  kronik  yang  masing-masing  dibagi  lagi  menjadi
limfoid dan  myeloid. Tabel 2.2. Klasifikasi Leukemia
Akut Kronik
Limfoid Acute Lymphoblastic Leukemia   Chronic Lmphocytic Leukemia
Myeloid Acute Myelogenous Leukemia
Chronic Myelogenous Leukemia
2.4. Leukemia Akut
Leukemia akut  biasanya  bersifat  agresif, dimana proses keganasan terjadi di  hemopoietic  stem  cell  atau  sel  progenitor  awal.  Perubahan  genetika  diduga
berperan  pada  sistem  biokimia  yang  menyebabkan  peningkatan  laju  proliferasi, mengurangi  apoptosis  dan  menghalangi  proses  diferensiasi  selular.  Jika  tidak
ditangani,  penyakit  ini  bersifat  fatal  namun  lebih  mudah  untuk  diobati  dari  pada leukemia  kronik.  Selanjutnya,  leukemia  akut  dikelompokkan  menjadi  acute
Universitas Sumatera Utara myelogenous  leukemia  dan  acute  lymphoblastic  leukemia  berdasarkan  jenis  sel
blast yang ditemukan.
2.4.1. Acute Myelogenous Leukemia
Acute  myelogenous  leukemia  AML  atau  leukemia  myeloid  akut  adalah penyakit  keganasan  bone  marrow  dimana  sel-sel  prekursor  hemopoietik
terperangkap  di  fase  awal  perkembangannya.  Kebanyakan  subtipe  dari  AML dibedakan  dari  kelainan  darah  lainnya  berdasarkan  jumlah  blast  yang  berada  di
bone marrow, yaitu sebanyak lebih dari 20. Patofisiologi yang mendasari AML adalah kegagalan maturasi sel-sel bone
marrow  di  fase  awal  perkembangan.  Mekanismenya  masih  diteliti,  namun  pada beberapa kasus, hal ini melibatkan aktivasi gen-gen abnormal melalui translokasi
kromosom dan kelainan genetik lainnya. Gejala  klinis  yang  muncul  pada  pasien  AML  berakibat  dari  kegagalan
bone  marrow  dan  atau  akibat  infiltrasi  sel-sel  leukemik  pada  berbagai  organ. Durasi  perjalanan  penyakit  bervariasi.  Beberapa  pasien,  khususnya  anak-anak
mengalami  gejala  akut  selama  beberapa  hari  hingga  1-2  minggu.  Pasien  lain mengalami durasi penyakit yang lebih panjang hingga berbulan-bulan.
Anemia,  neutropenia  dan  trombositopenia  muncul  akibat  kegagalan  bone marrow  mempertahankan  fungsinya.  Gejala  anemia  yang  paling  sering  adalah
fatigue.  Penurunan  kadar  neutrofil  menyebabkan  pasien  rentan  terkena  infeksi. Perdarahan gusi dan ekimosis merupakan manifestasi akibat trombositopenia. Jika
perdarahan  terjadi  di  paru-paru,  saluran  cerna  dan  sistem  saraf  pusat,  hal  ini sangat membahayakan jiwa pasien Seiter, 2012.
Limpa,  hati,  gusi  dan  kulit  adalah  tempat-tempat  yang  sering  disinggahi akibat infiltrasi sel-sel leukemik. Pasien dapat mengalami splenomegali, gingivitis
dan gejala lainnya Seiter, 2012. Selain  pemeriksaan  fisik,  pemeriksaan  yang  harus  dilakukan  antara  lain
adalah  pemeriksaan  darah,  pemeriksaan  bone  marrow,  yang  merupakan  tes diagnostik defenitif, analisis kelainan genetik dan pencitraan.
Universitas Sumatera Utara Pada  pemeriksaan  hasil  aspirasi  bone  marrow,  dapat  dihitung  jumlah  sel
blast. Menurut FAB, AML adalah ketika terdapat lebih dari 30 sel blast di bone marrow. Menurut klasifikasi terbaru WHO, AML sudah tegak jika terdapat lebih
dari 20 sel blast di bone marrow.
Tabel 2.3. Klasifikasi Acute Myelogenous Leukemia
i. Klasifikasi AML menurut FAB adalah sebagai berikut :
M0 Undifferentiated leukemia
M1 Myeloblastic without differentiation
M2
Myeloblastic with differentiation
M3
Promyelocytic
M4 Myelomonocytic; M4eo
– Myelomonocytic with eosinophilia
M5 Monoblastic leukemia; M5a
– Monoblastic without differentiation; M5b
– Monocytic with differentiation
M6 Eryhtroleukemia
M7 Megakaryoblstic leukemia
ii. Klasifikasi WHO - 2002 mengenai AML adalah sebagai berikut :
-  AML with recurrent genetic abnormalities -  AML with multilineage dysplasia
-  AML and MDS, therapy related -  AML,  not  otherwise  classified
–  AML,  minimally  differentiated;  AML, without  maturation;  AML,  with  maturation;  acute  myelomonocytic
leukemia;  acute  monoblastic  or  monocytic  leukemia;  acute  erythroid leukemia;  acute  megakaryoblastic  leukemia;  acute  basophilic  leukemia;
acute panmyelosis and myelofibrosis; myeloid sarcoma
2.4.2. Acute Lymphoblastic Leukemia
Leukemia  Limfoblastik  akut  adalah  penyakit  keganasan  klonal  bone marrow  dimana  prekursor  awal  limfoid  berproliferasi  dan  menggantikan
kedudukan sel-sel hemopoietik di marrow Seiter, 2012.
Universitas Sumatera Utara Hal  ini  akibat  ekspresi  gen  abnormal,  paling  sering  akibat  translokasi
kromosom. Karena limfoblast menggantikan posisi komponen-komponen marrow normal,  terjadi  peningkatan  signifikan  terhadap  produksi  sel-sel  darah  normal.
Selain di marrow, sel-sel ini juga berproliferasi di hati, limpa dan nodus limfe. Gejala  klinis  ALL  tersering  adalah  demam  tanpa  adanya  bukti  terjadinya
infeksi.  Namun,  setiap  demam  yang  terjadi  pada  pasien  ALL  tetap  harus  diduga sebagai  infeksi  hingga  ada  bukti  yang  menyangkalnya,  karena  kegagalan
mengobati infeksi secara cepat dan tepat dapat berakibat fatal. Infeksi merupakan penyebab kematian tersering pada pasien ALL Seiter, 2012.
Pada pemeriksaan  bone  marrow, menurut  FAB,  harus ditemui setidaknya 30  sel  limfoblast  atau  ditemukannya  20  sel  limfoblast  di  darah  dan  atau  di
bone marrow WHO, 2002 untuk menegakkan diagnosis ALL.
Tabel 2.4. Klasifikasi ALL
Klasifikasi ALL menurut FAB adalah sebagai berikut : L1
Small  cells  with  homogenous  chromatin,  regular nuclear  shape,  small  or  absent  nucleolus,  and  scanty
cytoplasm; subtype represents 25-30 of adult cases
L2 Large
and heterogenous
cells, heterogenous
chromatin,  irregular  nuclear  shape  and  nucleolus often large; subtype represents 70 of cases
L3 Large  and  homogenous  cells  with  multiple  nucleoli,
moderate  deep  blue  cytoplasm  and  cytoplasmic vacuolization  that  often  overlies  the  nucleus  most
prominent  feature;  subtype  represents  1-2  of  adult cases
Sistem pengklasifikasian WHO, mengelompokkan subtipe L1 dan L2 ALL sebagai  precursor  B  lymphoblastic  leukemialymphoblastic  lymphoma  atau
precursor  T  lymphoblastic  leukemialymphoblastic  lymphoma  tergantung  asal
Universitas Sumatera Utara selnya.  Subtipe  L3  ALL  dikelompokkan  kedalam  grup  mature  B-cell  neoplasms
sebagai subtipe dari Burkitt lymphomaleukemia.
2.5. Leukemia Kronik
2.5.1. Chronic Myelogenous Leukemia
Leukemia  myeloid  kronis  atau  Chronic  Myelogenous  Leukemia  CML adalah  salah  satu  myeloproliferative  disorder  yang  ditandai  dengan  peningkatan
proliferasi  sel-sel  granulositik  tanpa  kehilangan  kemampuan  berdiferensiasi. Selain  itu,  gambaran  darah  perifer  menunjukkan  peningkatan  jumlah  granulosit
dan prekursor imaturnya termasuk beberapa jenis sel blast. CML  merupakan  satu  dari  beberapa  kanker  yang  disebabkan  oleh  mutasi
genetik  tunggal.  Lebih  dari  90  kasus,  muncul  akibat  aberasi  sitogenetik  yang dikenal dengan sebutan Philadelphia chromosome.
CML  berkembang  melewati  tiga  fase:  chronic,  accelerated,  dan  blast. Pada  fase  kronik,  sel-sel  matur  berproliferasi;  pada  fase  accelerated,  terjadi
kelainan  sitogenetik  tambahan;  pada  fase  blast,  terjadi  proliferasi  cepat  sel-sel imatur. Sekitar 85 pasien terdiagnosa pada fase kronik yang kemudian berlanjut
ke  fase  accelerated  dan  i  dalam  waktu  3-5  tahun.  Diagnosis  CML  ditegakkan berdasarkan temuan histopatologi di darah perifer dan  Philadelphia chromosome
di sel-sel bone marrow. Kejadian CML berkisar 20 dari seluruh leukemia yang mengenai orang
dewasa,  khususnya  individu  berusia  separuh  baya.  Hanya  sedikit  yang  terjadi pada  pasien-pasien  yang  lebih  muda.  CML  yang  terjadi  pada  pasien  yang  lebih
muda biasanya lebih agresif terutama pada fase accelerated atau saat blast crisis. Manifestasi klinis CML bersifat insidious, artinya muncul perlahan dengan
gejala tersamar namun dengan efek yang besar. Biasanya penyakit ini ditemukan pada  fase  kronis,  ketika  terlihat  peningkatan  jumlah  sel  darah  putih  pada
pemeriksaan  darah  rutin  atau  ketika  limpa  yang  membesar  teraba  pada  saat pemeriksaan fisik umum.
Universitas Sumatera Utara Gejala  non-spesifik  seperti  fatigue  dan  penurunan  berat  badan  biasanya
timbul  cukup  lama  setelah  onset  penyakit.  Kehilangan  tenaga  dan  menurunnya toleransi kegiatan fisik terjadi beberapa bulan setelah fase kronik.
Pasien  biasanya  mengalami  gejala-gejala  akibat  pembesaran  limpa,  hati atau  keduanya.  Pembesaran  limpa  mendesak  lambung  sehingga  pasien  merasa
cepat kenyang yang berakibat pada menurunnya asupan makanan. Nyeri abdomen pada  bagian  kuadran  kanan  atas  menunjukkan  kemungkinan  adanya  infark  pada
limpa.  Pembesaran  limpa  juga  mungkin  berhubungan  dengan  keadaan hipermetabolik,  demam,  penurunan  berat  badan  dan  keletihan  yang  berlebihan.
Beberapa pasien CML  menderita  low grade fever dan keringat  berlebihan akibat keadaan hipermetabolik.
Pasien  yang  datang  dalam  keadaan  fase  accelerated  atau  fase  akut  dari CML,  gejala  yang  paling  khas  adalah  ditemukannya  perdarahan,  peteki,  dan
ekimosis.  Apabila  terjadi  demam  pada  fase  ini,  maka  penyebab  paling  mungkin adalah infeksi.  Sedangkan gejala khas  fase blast  adalah nyeri tulang dan  demam
serta peningkatan fibrosis pada bone marrow.
2.5.2. Chronic Lymphocytic Leukemia
Leukemia  Limfoblastik  Kronik  atau  Chronic  Lymphocytic  Leukemia CLL adalah kelainan monoklonal yang ditandai dengan akumulasi limfosit yang
inkompeten  secara  fungsional  secara  progresif.  Menurut  Elter  pada  tahun  2006, CLL  merupakan  bentuk  leukemia  paling  umum  yang  ditemukan  pada  dewasa  di
negara-negara  Barat.  Seperti  kasus  malignansi  lainnya,  penyebab  pasti  CLL belum  diketahui.  Penyakit  ini  merupakan  penyakit  yang  didapat,  jarang  sekali
ditemukan kasus familial Slager, 2009. Onsetnya  perlahan,  dalam  bentuk  tersamar  namun  dengan  hasil  yang
berbahaya  dan  jarang  ditemukan  secara  tidak  sengaja  pada  pemeriksaan  hitung jenis  sel  darah  untuk  tujuan  lain.  Sebanyak  25-50  pasien  CLL  tidak
menunjukkan  gejala.  Pembesaran  nodus  limfe  merupakan  gambaran  klinis  yang paling  umum  terjadi.  Namun  pasien  dengan  CLL  bisa  saja  menunjukkan  gejala
yang sangat beragam.
Universitas Sumatera Utara Sel-sel  B  klonal  yang  merupakan  sel  asal  kanker  pada  pasien  CLL,
terperangkap di  jalur diferensiasi  sel  B  yaitu diantara pre sel-B dan sel-B matur. Secara morfologis, sel-sel ini menyerupai bentuk limfosit matur di darah perifer.
Pada  pasien  CLL,  pemeriksaan  darah  lengkap  CBC  menunjukkan limfositosis absolut dengan lebih dari 5000 Sel-
Bμl yang persisten selama lebih dari tiga bulan. Klonalitas harus dipastikan dengan flow cytometry. Sitopenia yang
disebabkan  oleh  keterlibatan  sel  klonal  di  bone  marrow  juga  dapat  menegakkan diagnosis CLL tanpa memperhatikan jumlah sel-B perifer.
Pemeriksaan  apusan  darah  tepi  dilakukan  untuk  melihat  limfositosis. Biasanya  ditemukan  smudge  cells  yang  merupakan  artifak  limfosit  akibat
kerusakan selama pembuatan slide apusan. Sel-sel atipikal besar, cleaved cells dan sel prolimfositik juga sering ditemukan dan bisa mencapai 55 dari total limfosit
perifer. Flow  cytometry  darah  perifer  merupakan  pemeriksaan  paling  baik  untuk
memastikan  diagnosis  CLL.  Melalui  pemeriksaan  ini,  tampak  sel-B  klonal  yang mengekspresikan CD5, CD19, CD20dim, CD 23 dan hilangnya FMC-7 staining.
2.6. Miscellanous Leukemia
2.6.1. Hairy Cell Leukemia
Hairy-Cell Leukemia adalah penyakit sel-B dengan sel abnormal memiliki proyeksi  sitoplasma  yang  menyerupai  rambut  pada  permukaannya.  Penyakit  ini
merupakan salah satu  leukemia limfoid kronis  yang pertama kali dijelaskan oleh Bouroncle dkk pada tahun 1958.
Penyakit  keganasan  sel-B  ini  dikenal  berdasarkan  susunan  ulang  gen immunoglobulin  yang  berakibat  pada  ekspresi  fenotip  sel-B  terhadap  antigen
permukaan,  dimana  menunjukkan  perbedaan  antara  sel-B  imatur  pada  CLL  dan sel plasma dari penyakit multiple myeloma.
Sel-B  klonal  abnormal  ini  menginfiltrasi  sistem  retikuloendotelial penderita  dan  mengganggu  fungsi  dari  bone  marrow.  Hal  ini  menyebabkan
kegagalan bone marrow atau pansitopenia. Sel-sel ini juga menginfiltrasi hati dan limpa yang mengakibatkan organomegali.
Universitas Sumatera Utara Etiologi  masih  belum  diketahui,  walaupun  beberapa  peneliti  menduga
bahawa paparan terhadap benzena, racun serangga organofosfat atau bahan-bahan lainnya  mungkin  berkaitan  dengan  perkembangan  penyakit  ini.  Adanya
overexpression  dari  protein  cyclin  D1,  yang  merupakan  regulator  siklus  sel penting, ditemukan pada penderita hairy-cell leukemia dan mungkin saja berperan
pada patogenesis molekuler penyakit ini. Penyakit  ini  biasanya  jarang,  hanya  berkisar  2  dari  seluruh  kejadian
leukemia  dengan  600-800  pasien  terdiagnosis  setiap  tahunnya.  Orang  kulit  putih lebih  sering  menderita  penyakit  ini.  Laki-laki  lebih  sering  ditemukan  menderita
hairy-cell  leukemia  dengan  rasio  4-5:1.  Predominasi  penyakit  ini  terjadi  pada lelaki paruh baya dengan rata-rata umur 52 tahun.
Proses  aspirasi  bone  marrow  biasanya  tidak  dapat  dilakukan  secara sempurna  karena  „dry  tap‟.  Infiltrasi  sel-sel  leukemik  pada  bone  marrow
menyebabkan  sel-sel  yang  akan  diaspirasi  sulit  melewati  jarum  aspirasi. Gambaran  hasil  biopsi  terhadap  bone  marrow  menunjukkan  pola  infiltrasi  hairy
cell dengan nukleus tunggal berbentuk bulat atau oval yang terpisah oleh sejumlah sitoplasma yang membentuk jaring-jaring fibrin.
2.6.2. Large Granular Lymphocytic Leukemia
Kelainan  klonal  dari  limfosit  besar  bergranul  dapat  berasal  dari  sel  T ataupun  sel  NK  Natural  Killer.  Walaupun  sel-sel  T-LGL  dan  NK-LGL  mirip
secara  morfologi,  sel-sel  ini  dapat  dibedakan  berdasarkan  fenotip  antigen permukaan  dan  menunjukkan  dua  penyakit  terpisah  dengan  gejala  klinis  yang
berbeda. Penyakit  ini  pertama  kali  dipaparkan  pada  tahun  1977  untuk
menggambarkan  keadaan  klinis  akibat  neutropenia  dengan  peningkatan  sel  LGL yang nyata, dan pada studi sitogenetik ditemukan bahwa hal ini berasal dari suatu
sistem neoplastik. Nama lain yang digunakan untuk menyebut kelainan ini adalah Tg-lymphoproliferative  disease  dan  lymphoproliferative  disease  of  granular
lymphocytes.
Universitas Sumatera Utara Large  granular  lymphocytic  leukemia  meyumbang  sekitar  10-15  dari
seluruh sel mononuklear pada darah normal, dapat berupa sel NK atau sel-T. Oleh karena itu pengklasifikasiannya dibagi menjadi dua, yaitu T
– LGL leukemia dan NK- LGL leukemia.
Leukemia T-LGL didefenisikan sebagai proliferasi klonal dari CD3+ LGL. Untuk  mengkonfirmasi  klonalitas  dari  kelainan  ini,  dilakukan  pemeriksaan
terhadap penyusunan ulang gen reseptor sel-T. NK-LGL adalah proliferasi klonal dari CD3- LGL. Berbeda dengan T-LGL, studi yang digunakan untuk konfirmasi
adalah melalui pemeriksaan sitogenetik, karena mengandung hanya sedikit marka klonal  sehingga  sulit  dilakukan  pemeriksaan  penyusunan  ulang  gen  reseptor
antigen. Beberapa  kasus  T-LGL  leukemia  menyerang  limpa,  dimana  temuan
khasnya  adalah  infiltrasi  sel-sel  leukemik  pada  sinus  dan  korda  pulpa  merah, hiperplasia  sel  plasma  dan  pusat  germinal  yang  prominent.  Sinusoid  dan  area
portal di hati juga terinfiltrasi oleh LGL. Biopsi  marrow dapat terdiri dari nodul- nodul  limfosit  B  dan  LGL  yang  berserakan.  Hal  ini  lebih  terlihat  jelas  pada
sampel  marrow  yang  didapat  melalui  proses  aspirasi.  Selain  itu  kegagalan maturasi dari granulosit serta aplasia sel merah murni juga dapat ditemukan.
2.7. Pemeriksaan
Bone marrow
Pemeriksaan  bone  marrow  merujuk  kepada  suatu  analisis  patologi terhadap  sampel  bone  marrow  yang  didapat  melalui  bone  marrow  biopsy  atau
yang  biasa  disebut  dengan  trephine  biopsy  dan  bone  marrow  aspiration. Pemeriksaan  ini  dilakukan  untuk  mendiagnosa  beberapa  keadaan,  seperti
leukemia,  multiple  myeloma,  lymphoma,  anemia  dan  pancytopenia.  Hal  ini penting  dilakukan  karena  informasi  yang  didapat  akan  lebih  memuaskan
mengingat yang diperiksa adalah sumber dari sel-sel darah yang menggambarkan hemopoiesis.  Dewasa  ini  pemeriksaan  bone  marrow  merupakan  salah  satu  uji
diagnostik paling diperhitungkan dalam menegakkan diagnosis kelainan-kelainan hematologi.
Universitas Sumatera Utara
2.7.1. Bone marrow Aspiration
Proses  aspirasi  bone  marrow  bertujuan  mengambil  sampel  bone  marrow yang  bersifat  semi-liquid  dan  kemudian  diperiksa.  Sampel  ini  digunakan  untuk
pemeriksaan  sitologis  dengan  analisa  lainnya  yang  ditujukan  khusus  terhadap morfologi  serta  hitung  jenis.  Selanjutnya  sampel  dapat  digunakan  untuk
pemeriksaan sitogenetik,
studi molekuler,
kultur mikrobiologis,
immunohistokimia, dan flow cytometry. Peralatan  yang  digunakan  adalah  syringe  20  mL  yang  dapat  mengambil
sekitar 300 µL bone marrow. Jika lebih dari itu, maka dapat terjadi dilusi antara sampel bone marrow dengan darah perifer.
a. Lokasi Prosedur
Lokasi  utama  prosedur  ini  adalah  di  tulang  panggul  atau  spina  iliaka posterior. Selain mudah dicapai, lokasi ini dipilih karena resiko sakit tidak begitu
besar. Lokasi lain adalah spina iliaka anterior. Lokasi ini dipilih jika spina iliaka posterior  tidak  dapat  dicapai  atau  tidak  memungkinkan  untuk  ditusuk  akibat
infeksi  lokal, trauma  atau obesitas parah. Namun, prosedurnya lebih sulit  karena ruang  yang  lebih  kecil,  dan  sampel  yang  didapat  lebih  sedikit.  Selain  itu  resiko
sakit  lebih  hebat  dari  daerah  posterior.  Lokasi  lain  yang  memungkinkan  adalah tulang sternum dan tibia.
b. Langkah-langkah Prosedur