Universitas Sumatera Utara Tiga karakteristik di atas merupakan kerangka dasar dalam menyusun
klasifikasi keganasan hematologi. WHO membagi keganasan hematologi menjadi enam bagian besar, yaitu:
i. Proposed WHO classification of Myeloid Neoplasms
- Myeloproliferative Disease - Myelodysplasticmyeloproliferative Diseases
- Myelodysplastic Syndromes - Acute Myeloid Leukemia
- Acute Biphenotypic Leukemias
ii. Proposed WHO classification of Lymphoid Neoplasms
B-Cell Neoplasms - Precursor B-cell neoplasm
- Mature peripheral B-cell neoplasms T and NK-Cell Neoplasms
- Precursor T-cell neoplasm - Mature peripheral T-cell neoplasms
Hodgkin’s Lymphoma Hodgkin’s Disease
iii. Mast Cell Diseases
iv. Histiocytic and Dendritic-Cell Neoplasms
- Macrophagehistiocytic neoplasm - Dendritic-Cell Neoplasms
v. Plasma Cell Disorders : Subtypes and Variants
vi. Immunosecretory Disorders Clinical Manifestations of Diverse
Lymphoid Neoplasms
2.2.2. Etiologi dan Faktor Predisposisi Keganasan Hematologi
Keganasan hematologi merupakan penyakit-penyakit klonal yang berasal dari satu sel tunggal di sumsum tulang atau jaringan limfoid perifer yang telah
mengalami perubahan genetik. Sel-sel yang mengalami perubahan ini akan berproliferasi secara berlebihan atau resisten terhadap apoptosis. Penyebabnya
masih belum diketahui secara pasti, namun faktor-faktor yang mungkin dapat
Universitas Sumatera Utara mencetuskannya sudah banyak diteliti. Kombinasi antara latar belakang genetik
dan pengaruh lingkungan merupakan resiko terbesar menuju keganasan. Akan tetapi pada beberapa kasus, bahkan kedua resiko tersebut bisa saja tidak
ditemukan sama sekali.
a. Faktor Keturunan
Kejadian leukemia meningkat secara signifikan pada beberapa penyakit genetik, terutama
Down’s Syndrome. Penyakit-penyakit lain seperti Bloom’s Syndrome, Fanconi’s Anemia, Klinefelter’s Syndrome dan lainnya. Namun gen
yang menghubungkan penyakit ini dengan keganasan masih belum diketahui.
b. Pengaruh Lingkungan
- Bahan Kimia Paparan kronis bahan tertentu seperti benzene dapat menyebabkan
terjadinya abnormalitas bone marrow. - Obat-obatan
Alkylating agents, radioterapi, bahkan obat-obatan antileukemik pun juga dapat mencetuskan terjadinya kanker.
- Radiasi Semua jenis radiasi bersifat leukemogenik. Hal ini terlihat pada
peningkatan insidensi leukemia pada korban selamat ledakan bom atom di Jepang.
- Infeksi
Tabel 2.1. Infeksi Yang Berhubungan dengan Keganasan Hematologi
Infeksi Tumor
Virus HTLV-1
Epstein-Barr Virus HHV-8
HIV-1 Bakteri
Helicobacter pylori Protozoa
Malaria Adult T-cell leukemialymphoma
Burkitt’s dan Hodgkin’s Lymphomas; PTLD Primary Effusion Lymphoma ; multicentric Castleman’s disease
High-grade B-cell lymphoma Gastric lymphoma MALT
Burkitt’s lymphoma Dikutip dari : Hoffbrand, 2006
Universitas Sumatera Utara
2.3. Leukemia
Leukemia, berasal dari bahasa Yunani, leukos yang berarti putih dan haima yang berarti darah, adalah kanker darah ataupun bone marrow yang
ditandai dengan peningkatan abnormal sel darah putih imatur yang disebut „blast‟ Mosby, 1994. Sel abnormal ini menimbulkan gejala karena kegagalan bone
marrow serta infiltrasi ke berbagai organ. Kegagalan bone marrow ini mengakibatkan dua proses penyakit. Pertama,
produksi sel darah normal akan menurun secara signifikan. Oleh karena itu terjadilah anemia, trombositopenia dan neutropenia dalam derajat yang bervariasi.
Kedua, proliferasi yang cepat dari sel-sel tersebut, diikuti dengan penurunan kemampuan untuk mencetuskan apoptosis, mengakibatkan penumpukan di bone
marrow, darah, serta limpa dan hati. Darah yang berfungsi sebagai organ transportasi kemudian akan membawa sel-sel ini ke tempat lain seperti meningen,
otak, kulit, testis, dan lainnya.
2.3.1. Klasifikasi
Klasifikasi utama leukemia adalah dengan membaginya menjadi empat tipe yaitu leukemia akut dan kronik yang masing-masing dibagi lagi menjadi
limfoid dan myeloid. Tabel 2.2. Klasifikasi Leukemia
Akut Kronik
Limfoid Acute Lymphoblastic Leukemia Chronic Lmphocytic Leukemia
Myeloid Acute Myelogenous Leukemia
Chronic Myelogenous Leukemia
2.4. Leukemia Akut
Leukemia akut biasanya bersifat agresif, dimana proses keganasan terjadi di hemopoietic stem cell atau sel progenitor awal. Perubahan genetika diduga
berperan pada sistem biokimia yang menyebabkan peningkatan laju proliferasi, mengurangi apoptosis dan menghalangi proses diferensiasi selular. Jika tidak
ditangani, penyakit ini bersifat fatal namun lebih mudah untuk diobati dari pada leukemia kronik. Selanjutnya, leukemia akut dikelompokkan menjadi acute
Universitas Sumatera Utara myelogenous leukemia dan acute lymphoblastic leukemia berdasarkan jenis sel
blast yang ditemukan.
2.4.1. Acute Myelogenous Leukemia
Acute myelogenous leukemia AML atau leukemia myeloid akut adalah penyakit keganasan bone marrow dimana sel-sel prekursor hemopoietik
terperangkap di fase awal perkembangannya. Kebanyakan subtipe dari AML dibedakan dari kelainan darah lainnya berdasarkan jumlah blast yang berada di
bone marrow, yaitu sebanyak lebih dari 20. Patofisiologi yang mendasari AML adalah kegagalan maturasi sel-sel bone
marrow di fase awal perkembangan. Mekanismenya masih diteliti, namun pada beberapa kasus, hal ini melibatkan aktivasi gen-gen abnormal melalui translokasi
kromosom dan kelainan genetik lainnya. Gejala klinis yang muncul pada pasien AML berakibat dari kegagalan
bone marrow dan atau akibat infiltrasi sel-sel leukemik pada berbagai organ. Durasi perjalanan penyakit bervariasi. Beberapa pasien, khususnya anak-anak
mengalami gejala akut selama beberapa hari hingga 1-2 minggu. Pasien lain mengalami durasi penyakit yang lebih panjang hingga berbulan-bulan.
Anemia, neutropenia dan trombositopenia muncul akibat kegagalan bone marrow mempertahankan fungsinya. Gejala anemia yang paling sering adalah
fatigue. Penurunan kadar neutrofil menyebabkan pasien rentan terkena infeksi. Perdarahan gusi dan ekimosis merupakan manifestasi akibat trombositopenia. Jika
perdarahan terjadi di paru-paru, saluran cerna dan sistem saraf pusat, hal ini sangat membahayakan jiwa pasien Seiter, 2012.
Limpa, hati, gusi dan kulit adalah tempat-tempat yang sering disinggahi akibat infiltrasi sel-sel leukemik. Pasien dapat mengalami splenomegali, gingivitis
dan gejala lainnya Seiter, 2012. Selain pemeriksaan fisik, pemeriksaan yang harus dilakukan antara lain
adalah pemeriksaan darah, pemeriksaan bone marrow, yang merupakan tes diagnostik defenitif, analisis kelainan genetik dan pencitraan.
Universitas Sumatera Utara Pada pemeriksaan hasil aspirasi bone marrow, dapat dihitung jumlah sel
blast. Menurut FAB, AML adalah ketika terdapat lebih dari 30 sel blast di bone marrow. Menurut klasifikasi terbaru WHO, AML sudah tegak jika terdapat lebih
dari 20 sel blast di bone marrow.
Tabel 2.3. Klasifikasi Acute Myelogenous Leukemia
i. Klasifikasi AML menurut FAB adalah sebagai berikut :
M0 Undifferentiated leukemia
M1 Myeloblastic without differentiation
M2
Myeloblastic with differentiation
M3
Promyelocytic
M4 Myelomonocytic; M4eo
– Myelomonocytic with eosinophilia
M5 Monoblastic leukemia; M5a
– Monoblastic without differentiation; M5b
– Monocytic with differentiation
M6 Eryhtroleukemia
M7 Megakaryoblstic leukemia
ii. Klasifikasi WHO - 2002 mengenai AML adalah sebagai berikut :
- AML with recurrent genetic abnormalities - AML with multilineage dysplasia
- AML and MDS, therapy related - AML, not otherwise classified
– AML, minimally differentiated; AML, without maturation; AML, with maturation; acute myelomonocytic
leukemia; acute monoblastic or monocytic leukemia; acute erythroid leukemia; acute megakaryoblastic leukemia; acute basophilic leukemia;
acute panmyelosis and myelofibrosis; myeloid sarcoma
2.4.2. Acute Lymphoblastic Leukemia
Leukemia Limfoblastik akut adalah penyakit keganasan klonal bone marrow dimana prekursor awal limfoid berproliferasi dan menggantikan
kedudukan sel-sel hemopoietik di marrow Seiter, 2012.
Universitas Sumatera Utara Hal ini akibat ekspresi gen abnormal, paling sering akibat translokasi
kromosom. Karena limfoblast menggantikan posisi komponen-komponen marrow normal, terjadi peningkatan signifikan terhadap produksi sel-sel darah normal.
Selain di marrow, sel-sel ini juga berproliferasi di hati, limpa dan nodus limfe. Gejala klinis ALL tersering adalah demam tanpa adanya bukti terjadinya
infeksi. Namun, setiap demam yang terjadi pada pasien ALL tetap harus diduga sebagai infeksi hingga ada bukti yang menyangkalnya, karena kegagalan
mengobati infeksi secara cepat dan tepat dapat berakibat fatal. Infeksi merupakan penyebab kematian tersering pada pasien ALL Seiter, 2012.
Pada pemeriksaan bone marrow, menurut FAB, harus ditemui setidaknya 30 sel limfoblast atau ditemukannya 20 sel limfoblast di darah dan atau di
bone marrow WHO, 2002 untuk menegakkan diagnosis ALL.
Tabel 2.4. Klasifikasi ALL
Klasifikasi ALL menurut FAB adalah sebagai berikut : L1
Small cells with homogenous chromatin, regular nuclear shape, small or absent nucleolus, and scanty
cytoplasm; subtype represents 25-30 of adult cases
L2 Large
and heterogenous
cells, heterogenous
chromatin, irregular nuclear shape and nucleolus often large; subtype represents 70 of cases
L3 Large and homogenous cells with multiple nucleoli,
moderate deep blue cytoplasm and cytoplasmic vacuolization that often overlies the nucleus most
prominent feature; subtype represents 1-2 of adult cases
Sistem pengklasifikasian WHO, mengelompokkan subtipe L1 dan L2 ALL sebagai precursor B lymphoblastic leukemialymphoblastic lymphoma atau
precursor T lymphoblastic leukemialymphoblastic lymphoma tergantung asal
Universitas Sumatera Utara selnya. Subtipe L3 ALL dikelompokkan kedalam grup mature B-cell neoplasms
sebagai subtipe dari Burkitt lymphomaleukemia.
2.5. Leukemia Kronik
2.5.1. Chronic Myelogenous Leukemia
Leukemia myeloid kronis atau Chronic Myelogenous Leukemia CML adalah salah satu myeloproliferative disorder yang ditandai dengan peningkatan
proliferasi sel-sel granulositik tanpa kehilangan kemampuan berdiferensiasi. Selain itu, gambaran darah perifer menunjukkan peningkatan jumlah granulosit
dan prekursor imaturnya termasuk beberapa jenis sel blast. CML merupakan satu dari beberapa kanker yang disebabkan oleh mutasi
genetik tunggal. Lebih dari 90 kasus, muncul akibat aberasi sitogenetik yang dikenal dengan sebutan Philadelphia chromosome.
CML berkembang melewati tiga fase: chronic, accelerated, dan blast. Pada fase kronik, sel-sel matur berproliferasi; pada fase accelerated, terjadi
kelainan sitogenetik tambahan; pada fase blast, terjadi proliferasi cepat sel-sel imatur. Sekitar 85 pasien terdiagnosa pada fase kronik yang kemudian berlanjut
ke fase accelerated dan i dalam waktu 3-5 tahun. Diagnosis CML ditegakkan berdasarkan temuan histopatologi di darah perifer dan Philadelphia chromosome
di sel-sel bone marrow. Kejadian CML berkisar 20 dari seluruh leukemia yang mengenai orang
dewasa, khususnya individu berusia separuh baya. Hanya sedikit yang terjadi pada pasien-pasien yang lebih muda. CML yang terjadi pada pasien yang lebih
muda biasanya lebih agresif terutama pada fase accelerated atau saat blast crisis. Manifestasi klinis CML bersifat insidious, artinya muncul perlahan dengan
gejala tersamar namun dengan efek yang besar. Biasanya penyakit ini ditemukan pada fase kronis, ketika terlihat peningkatan jumlah sel darah putih pada
pemeriksaan darah rutin atau ketika limpa yang membesar teraba pada saat pemeriksaan fisik umum.
Universitas Sumatera Utara Gejala non-spesifik seperti fatigue dan penurunan berat badan biasanya
timbul cukup lama setelah onset penyakit. Kehilangan tenaga dan menurunnya toleransi kegiatan fisik terjadi beberapa bulan setelah fase kronik.
Pasien biasanya mengalami gejala-gejala akibat pembesaran limpa, hati atau keduanya. Pembesaran limpa mendesak lambung sehingga pasien merasa
cepat kenyang yang berakibat pada menurunnya asupan makanan. Nyeri abdomen pada bagian kuadran kanan atas menunjukkan kemungkinan adanya infark pada
limpa. Pembesaran limpa juga mungkin berhubungan dengan keadaan hipermetabolik, demam, penurunan berat badan dan keletihan yang berlebihan.
Beberapa pasien CML menderita low grade fever dan keringat berlebihan akibat keadaan hipermetabolik.
Pasien yang datang dalam keadaan fase accelerated atau fase akut dari CML, gejala yang paling khas adalah ditemukannya perdarahan, peteki, dan
ekimosis. Apabila terjadi demam pada fase ini, maka penyebab paling mungkin adalah infeksi. Sedangkan gejala khas fase blast adalah nyeri tulang dan demam
serta peningkatan fibrosis pada bone marrow.
2.5.2. Chronic Lymphocytic Leukemia
Leukemia Limfoblastik Kronik atau Chronic Lymphocytic Leukemia CLL adalah kelainan monoklonal yang ditandai dengan akumulasi limfosit yang
inkompeten secara fungsional secara progresif. Menurut Elter pada tahun 2006, CLL merupakan bentuk leukemia paling umum yang ditemukan pada dewasa di
negara-negara Barat. Seperti kasus malignansi lainnya, penyebab pasti CLL belum diketahui. Penyakit ini merupakan penyakit yang didapat, jarang sekali
ditemukan kasus familial Slager, 2009. Onsetnya perlahan, dalam bentuk tersamar namun dengan hasil yang
berbahaya dan jarang ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan hitung jenis sel darah untuk tujuan lain. Sebanyak 25-50 pasien CLL tidak
menunjukkan gejala. Pembesaran nodus limfe merupakan gambaran klinis yang paling umum terjadi. Namun pasien dengan CLL bisa saja menunjukkan gejala
yang sangat beragam.
Universitas Sumatera Utara Sel-sel B klonal yang merupakan sel asal kanker pada pasien CLL,
terperangkap di jalur diferensiasi sel B yaitu diantara pre sel-B dan sel-B matur. Secara morfologis, sel-sel ini menyerupai bentuk limfosit matur di darah perifer.
Pada pasien CLL, pemeriksaan darah lengkap CBC menunjukkan limfositosis absolut dengan lebih dari 5000 Sel-
Bμl yang persisten selama lebih dari tiga bulan. Klonalitas harus dipastikan dengan flow cytometry. Sitopenia yang
disebabkan oleh keterlibatan sel klonal di bone marrow juga dapat menegakkan diagnosis CLL tanpa memperhatikan jumlah sel-B perifer.
Pemeriksaan apusan darah tepi dilakukan untuk melihat limfositosis. Biasanya ditemukan smudge cells yang merupakan artifak limfosit akibat
kerusakan selama pembuatan slide apusan. Sel-sel atipikal besar, cleaved cells dan sel prolimfositik juga sering ditemukan dan bisa mencapai 55 dari total limfosit
perifer. Flow cytometry darah perifer merupakan pemeriksaan paling baik untuk
memastikan diagnosis CLL. Melalui pemeriksaan ini, tampak sel-B klonal yang mengekspresikan CD5, CD19, CD20dim, CD 23 dan hilangnya FMC-7 staining.
2.6. Miscellanous Leukemia
2.6.1. Hairy Cell Leukemia
Hairy-Cell Leukemia adalah penyakit sel-B dengan sel abnormal memiliki proyeksi sitoplasma yang menyerupai rambut pada permukaannya. Penyakit ini
merupakan salah satu leukemia limfoid kronis yang pertama kali dijelaskan oleh Bouroncle dkk pada tahun 1958.
Penyakit keganasan sel-B ini dikenal berdasarkan susunan ulang gen immunoglobulin yang berakibat pada ekspresi fenotip sel-B terhadap antigen
permukaan, dimana menunjukkan perbedaan antara sel-B imatur pada CLL dan sel plasma dari penyakit multiple myeloma.
Sel-B klonal abnormal ini menginfiltrasi sistem retikuloendotelial penderita dan mengganggu fungsi dari bone marrow. Hal ini menyebabkan
kegagalan bone marrow atau pansitopenia. Sel-sel ini juga menginfiltrasi hati dan limpa yang mengakibatkan organomegali.
Universitas Sumatera Utara Etiologi masih belum diketahui, walaupun beberapa peneliti menduga
bahawa paparan terhadap benzena, racun serangga organofosfat atau bahan-bahan lainnya mungkin berkaitan dengan perkembangan penyakit ini. Adanya
overexpression dari protein cyclin D1, yang merupakan regulator siklus sel penting, ditemukan pada penderita hairy-cell leukemia dan mungkin saja berperan
pada patogenesis molekuler penyakit ini. Penyakit ini biasanya jarang, hanya berkisar 2 dari seluruh kejadian
leukemia dengan 600-800 pasien terdiagnosis setiap tahunnya. Orang kulit putih lebih sering menderita penyakit ini. Laki-laki lebih sering ditemukan menderita
hairy-cell leukemia dengan rasio 4-5:1. Predominasi penyakit ini terjadi pada lelaki paruh baya dengan rata-rata umur 52 tahun.
Proses aspirasi bone marrow biasanya tidak dapat dilakukan secara sempurna karena „dry tap‟. Infiltrasi sel-sel leukemik pada bone marrow
menyebabkan sel-sel yang akan diaspirasi sulit melewati jarum aspirasi. Gambaran hasil biopsi terhadap bone marrow menunjukkan pola infiltrasi hairy
cell dengan nukleus tunggal berbentuk bulat atau oval yang terpisah oleh sejumlah sitoplasma yang membentuk jaring-jaring fibrin.
2.6.2. Large Granular Lymphocytic Leukemia
Kelainan klonal dari limfosit besar bergranul dapat berasal dari sel T ataupun sel NK Natural Killer. Walaupun sel-sel T-LGL dan NK-LGL mirip
secara morfologi, sel-sel ini dapat dibedakan berdasarkan fenotip antigen permukaan dan menunjukkan dua penyakit terpisah dengan gejala klinis yang
berbeda. Penyakit ini pertama kali dipaparkan pada tahun 1977 untuk
menggambarkan keadaan klinis akibat neutropenia dengan peningkatan sel LGL yang nyata, dan pada studi sitogenetik ditemukan bahwa hal ini berasal dari suatu
sistem neoplastik. Nama lain yang digunakan untuk menyebut kelainan ini adalah Tg-lymphoproliferative disease dan lymphoproliferative disease of granular
lymphocytes.
Universitas Sumatera Utara Large granular lymphocytic leukemia meyumbang sekitar 10-15 dari
seluruh sel mononuklear pada darah normal, dapat berupa sel NK atau sel-T. Oleh karena itu pengklasifikasiannya dibagi menjadi dua, yaitu T
– LGL leukemia dan NK- LGL leukemia.
Leukemia T-LGL didefenisikan sebagai proliferasi klonal dari CD3+ LGL. Untuk mengkonfirmasi klonalitas dari kelainan ini, dilakukan pemeriksaan
terhadap penyusunan ulang gen reseptor sel-T. NK-LGL adalah proliferasi klonal dari CD3- LGL. Berbeda dengan T-LGL, studi yang digunakan untuk konfirmasi
adalah melalui pemeriksaan sitogenetik, karena mengandung hanya sedikit marka klonal sehingga sulit dilakukan pemeriksaan penyusunan ulang gen reseptor
antigen. Beberapa kasus T-LGL leukemia menyerang limpa, dimana temuan
khasnya adalah infiltrasi sel-sel leukemik pada sinus dan korda pulpa merah, hiperplasia sel plasma dan pusat germinal yang prominent. Sinusoid dan area
portal di hati juga terinfiltrasi oleh LGL. Biopsi marrow dapat terdiri dari nodul- nodul limfosit B dan LGL yang berserakan. Hal ini lebih terlihat jelas pada
sampel marrow yang didapat melalui proses aspirasi. Selain itu kegagalan maturasi dari granulosit serta aplasia sel merah murni juga dapat ditemukan.
2.7. Pemeriksaan
Bone marrow
Pemeriksaan bone marrow merujuk kepada suatu analisis patologi terhadap sampel bone marrow yang didapat melalui bone marrow biopsy atau
yang biasa disebut dengan trephine biopsy dan bone marrow aspiration. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendiagnosa beberapa keadaan, seperti
leukemia, multiple myeloma, lymphoma, anemia dan pancytopenia. Hal ini penting dilakukan karena informasi yang didapat akan lebih memuaskan
mengingat yang diperiksa adalah sumber dari sel-sel darah yang menggambarkan hemopoiesis. Dewasa ini pemeriksaan bone marrow merupakan salah satu uji
diagnostik paling diperhitungkan dalam menegakkan diagnosis kelainan-kelainan hematologi.
Universitas Sumatera Utara
2.7.1. Bone marrow Aspiration
Proses aspirasi bone marrow bertujuan mengambil sampel bone marrow yang bersifat semi-liquid dan kemudian diperiksa. Sampel ini digunakan untuk
pemeriksaan sitologis dengan analisa lainnya yang ditujukan khusus terhadap morfologi serta hitung jenis. Selanjutnya sampel dapat digunakan untuk
pemeriksaan sitogenetik,
studi molekuler,
kultur mikrobiologis,
immunohistokimia, dan flow cytometry. Peralatan yang digunakan adalah syringe 20 mL yang dapat mengambil
sekitar 300 µL bone marrow. Jika lebih dari itu, maka dapat terjadi dilusi antara sampel bone marrow dengan darah perifer.
a. Lokasi Prosedur
Lokasi utama prosedur ini adalah di tulang panggul atau spina iliaka posterior. Selain mudah dicapai, lokasi ini dipilih karena resiko sakit tidak begitu
besar. Lokasi lain adalah spina iliaka anterior. Lokasi ini dipilih jika spina iliaka posterior tidak dapat dicapai atau tidak memungkinkan untuk ditusuk akibat
infeksi lokal, trauma atau obesitas parah. Namun, prosedurnya lebih sulit karena ruang yang lebih kecil, dan sampel yang didapat lebih sedikit. Selain itu resiko
sakit lebih hebat dari daerah posterior. Lokasi lain yang memungkinkan adalah tulang sternum dan tibia.
b. Langkah-langkah Prosedur