Penilaian ekonomi ganti rugi lahan pada program normalisasi sungai di DKI Jakarta (Studi Kasus: Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang Jakarta Selatan)

(1)

PENILAIAN EKONOMI GANTI RUGI LAHAN PADA

PROGRAM NORMALISASI SUNGAI DI DKI JAKARTA

(Studi Kasus: Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang Jakarta Selatan)

ANDIKA LESMANA W

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

i RINGKASAN

ANDIKA LESMANA W, Penilaian Ekonomi Ganti Rugi Lahan pada Program Normalisasi Sungai di DKI Jakarta (Studi Kasus: Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang Jakarta Selatan), Dibimbing Oleh PINI WIJAYANTI

Jakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang sering dilanda banjir. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti, tingkat pertambahan penduduk yang tinggi, kondisi geografis, berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH), dan lain-lain. Secara geografis Jakarta merupakan dataran rendah dengan dialiri oleh 13 sungai. Namun, secara umum kondisi sungai di Jakarta dapat dikategorikan buruk. Salah satunya adalah Sungai Krukut. Keberadaan pemukiman di sepanjang sungai memberikan dampak yang cukup besar terjadinya banjir. Hal tersebut membuat sungai menjadi dangkal dan semakin sempit, sehingga dapat mengganggu aliran air. Hal ini berdampak ketika terjadi hujan dengan intensitas tinggi, maka sungai tidak mampu menampung dan mengalirkan air sehingga akan meluap ke pemukiman warga. Salah satu solusi yang akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah dengan normalisasi sungai. Kondisi sungai yang mengalami penyempitan dan pendangkalan, harus segera dikembalikan seperti kondisi semula bahkan kapasitas sungai harus ditingkatkan. Pengerukan dan pelebaran sungai harus segera dilaksanakan untuk mengurangi resiko terjadinya banjir. Namun, hal ini akan menyebabkan masyarakat yang tinggal di bantaran sungai akan tergusur.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengetahui besarnya dana ganti rugi yang diharapkan masyarakat. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu: (1) mengkaji gambaran desain dan manfaat normalisasi Sungai Krukut, (2) mengkaji persepsi masyarakat Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang terhadap rencana program normalisasi Sungai Krukut, (3) mengestimasi nilai ganti rugi tanah dan bangunan yang terkena dampak dari normalisasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tersebut.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Responden merupakan masyarakat yang akan terkena dampak dari normalisasi. Metode yang digunakan yaitu metode skala semantik untuk mengkaji persepsi masyarakat, Willingness to Accept (WTA) untuk mengestimasi nilai ganti rugi, dan regresi linier berganda untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTA.

Sungai Krukut akan dilebarkan menjadi 20 m dari semula hanya 3-5 m dan diperdalam menjadi 3 m dari semula kurang dari 2 m. Hal ini akan meningkatkan debit sungai menjadi empat kali dari semula, sehingga air sungai tidak akan meluap dan membanjiri pemukiman warga. Berdasarkan persepsi masyarakat kondisi Sungai Krukut sudah sangat buruk ditandai oleh penyempitan dan pendangkalan. Masyarakat menilai bahwa sungai ini penting dan harus secepatnya dinormalisasi. Nilai ganti rugi (WTA) yang bersedia diterima masyarakat untuk tanah dan bangunannya sebesar Rp. 2 110 000 per m2. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tersebut adalah luas lahan, jarak tempat tinggal dengan sungai, pendidikan, status kepemilikan lahan, dan jenis bangunan.


(3)

PENILAIAN EKONOMI GANTI RUGI LAHAN PADA

PROGRAM NORMALISASI SUNGAI DI DKI JAKARTA

(Studi Kasus: Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang Jakarta Selatan)

ANDIKA LESMANA W H44070062

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(4)

ii Judul : Penilaian Ekonomi Ganti Rugi Lahan pada Program Normalisasi

Sungai di DKI Jakarta (Studi Kasus: Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang Jakarta Selatan)

Nama : Andika Lesmana W NIM : H44070062

Disetujui,

Pini Wijayanti, SP, M.Si Nuva, SP, M.Sc

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui,

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen


(5)

iii PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Penilaian Ekonomi Ganti Rugi Lahan pada Program Normalisasi Sungai di DKI Jakarta: Studi Kasus Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang Jakarta selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2011

Andika Lesmana W H44070062


(6)

iv UCAPAN TERIMA KASIH

Proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada:

1. Kedua orangtua tercinta Bapa Sudarwo dan Mamah Rita, mamih, papih, adik-adik ku tersayang Ajeng, Anti, Kiki, Fadil, serta segenap keluarga besar yang telah memberikan perhatian, doa, dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini serta Novia Handayani Syukma, yang telah memberikan motivasi, semangat, dan dukungannya dalam penelitian ini. 2. Pini Wijayanti SP, M.Si dan Nuva SP, M.Sc atas bimbingan dan arahan serta

motivasi yang diberikan selama proses penyusunan skripsi ini.

3. Ir. Nindyantoro, M.SP dan Adi Hadianto, SP, M.Si atas kesediaannya menjadi dosen penguji.

4. Pihak Balai Besar Wilayah Sungai – Ciliwung Cisadane, Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang yang telah memberika izin dan bantuannya kepada penulis.

5. Teman-teman sebimbingan Nasya, Dina, Desi, dan Andrian atas motivasi dan dukungannya dalam perjuangan yang luar biasa ini. Teman-teman ESL 44 dan teman se-kostan atas kebersamaanya selama ini.


(7)

v KATA PENGANTAR

Segala puji syukur senantiasa dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Kondisi sungai di Jakarta dapat dikategorikan buruk, salah satunya adalah Sungai Krukut. Sungai ini telah mengalami penyempitan dan pendangkalan. Hal ini menyebabkan kapasitas debit menurun sehingga ketika terjadi hujan dengan intensitas tinggi akan menyebabkan banjir di pemukiman sekitar. Salah satu solusi untuk menangani banjir adalah dengan normalisasi sungai, namun hal ini menyebabkan masyarakat yang tinggal di sepanjang pinggir sungai akan tergusur. Masyarakat yang terkena dampak normalisasi berhak menerima ganti rugi. Maka disusunlah skripsi ini dengan judul “Penilaian Ekonomi Ganti Rugi Lahan pada Program Normalisasi Sungai di DKI Jakarta”.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih terdapat kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain.

Bogor, Juni 2011


(8)

vi DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ………. ... i

HALAMAN PENGESAHAN ……… ii

HALAMAN KEORISINILAN ………. .. iii

UCAPAN TERIMAKASIH ……… iv

KATA PENGANTAR ………. v

DAFTAR ISI ……….. vi

DAFTAR TABEL ………. viii

DAFTAR GAMBAR ……….. ix

DAFTAR LAMPIRAN ……… .. x

I. PENDAHULUAN …... … ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Banjir ... 9

2.2 Pengendalian Banjir …..………. 9

2.2.1 Mitigasi Struktural... 10

2.2.2 Mitigasi non-Struktural ……… . 10

2.2.3 Normalisasi Sungai ………. ... 11

2.2.4 Manfaat Ekonomi Sungai ………. 13

2.3 Pembebasan Hak Atas Tanah ... 15

2.4 Persepsi Terhadap Banjir ... 16

2.5 Willingness to Accept ... 17

III. KERANGKA PEMIKIRAN …….. ... 18

3.1 Kerangka Operasional ... 18

IV. METODE PENELITIAN …….. ... 23

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 23

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 23

4.3 Metode Pengambilan Data ... 24

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 24

4.4.1 Persepsi Masyarakat Terhadap Normalisasi Sungai Krukut . ... 25

4.4.2 Analisis Nilai WTA dari Masyarakat Terhadap Program Normalisasi Sungai Krukut . ... 26

4.4.3 Analisis Fungsi Willingness to Accept …... 30


(9)

vii

V. GAMBARAN UMUM ……… 34

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……… . 34

5.2 Kependudukan ……… .. 35

5.3 Kondisi Sungai Krukut ……… . 37

5.3.1 Pola Aliran dan Bentuk DAS ………. 39

5.4 Karakteristik Responden ……… ... 41

5.4.1 Jenis Kelamin ……… . 41

5.4.2 Luas Tanah dan Bangunan yang Terkena Normalisasi .. 41

5.4.3 Lama Tinggal ………. 42

5.4.4 Pendidikan Terakhir ……… .. 43

5.4.5 Jenis Pekerjaan ……… .. 43

5.4.6 Tingkat Pendapatan ……… 44

5.4.7 Jarak Tempat Tinggal Dengan Sungai ……… 45

5.4.8 Kepemilikan Surat Tanah ……… .. 45

5.4.9 Jenis Bangunan ……… .. 46

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

6.1 Mengkaji Gambaran Desain dan Manfaat Normalisasi …… ... 47

6.2 Persepsi Masyarakat Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang Terhadap Normalisasi Sungai Krukut ……… 52

6.3 Analisis Willingness to Accept ……… ... 59

6.4 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai WTA …… .. 62

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ………... 69

7.1 Kesimpulan ………... 69

7.2 Saran ………... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71

LAMPIRAN ……… ... 74


(10)

viii DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Matriks Metode Analisis Data ... 25 2 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencahariannya di Kelurahan

Petogogan Tahun 2010 ……….. 36 3 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencahariannya di Kelurahan

Pela Mampang Tahun 2010 ……….. 36 4 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kelurahan

Petogogan Tahun 2010 ……….. 37 5 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kelurahan

Pela Mampang Tahun 2010 ………... 37 6 Debit Rata-Rata Bulanan sungai Krukut Tahun 2001-2006 ………. 40 7 Hasil Perhitungan Persepsi Masyarakat terhadap Kondisi Sungai

Krukut Tahun 2011 ……… 53 8 Distribusi Rataan WTA Responden di Kelurahan Petogogan dan

Pela Mampang Tahun 2011 ………... 60 9 Total WTA Responden di Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang

Tahun 2011 ………... 62 10 Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai WTA ... 63


(11)

ix DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Skema Proses Normalisasi Sungai ………... 13 2 Alur Kerangka Pemikiran ... 22 3 Kondisi Sungai Krukut di Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang 39 4 Sebaran Responden Menurut Luas Tanah dan Bangunan di

Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang Tahun 2011 ……… 42 5 Sebaran Responden Menurut Lama Tinggal di Kelurahan

Petogogan dan Pela Mampang Tahun 2011 ……….. 42 6 Sebaran Responden Menurut Tingkat Pendidikan di Kelurahan

Petogogan dan Pela Mampang Tahun 2011 ...……… 43 7 Sebaran Responden Menurut Jenis Pekerjaan di Kelurahan

Petogogan dan Pela Mampang Tahun 2011 ………... 44 8 Sebaran Responden Menurut Tingkat Pendapatan di Kelurahan

Petogogan dan Pela Mampang Tahun 2011 ………... 44 9 Sebaran Responden Menurut Jarak Tempat Tinggal dengan

Sungai di Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang Tahun 2011 …. 45 10 Ilustrasi Proses Terjadinya Banjir ……….… 47 11 Desain Normalisasi Sungai Krukut ……….. 48 12 Desain Potongan Penampang Sungai Krukut di Kelurahan

Petogogan dan Pela Mampang ………. 49 13 Sungai Krukut Sebelum dan Setelah Normalisasi ………... 50 14 Dugaan Kurva WTA Responden di Kelurahan Petogogan dan


(12)

x DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin di Kelurahan Petogogan Tahun 2010 ………... 75 2 Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin di Kelurahan

Pela Mampang Tahun 2010 ……….. 75 3 Uji Kenormalan, Uji Homoskedastisitas, dan

Uji F (Anova) dan Uji T ……… 76 4 Peta Lokasi Penelitian ……….. 78


(13)

1 I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan, dimana hampir semua aktifitas ekonomi dipusatkan di Jakarta. Hal ini secara tidak langsung menjadi daya tarik masyarakat untuk mencari nafkah dan tinggal di Jakarta, sehingga menimbulkan banyak persoalanantara lain masalah urbanisasi, kemacetan, konversi lahan, banjir, dan kerusakan lingkungan.

Sekitar 40 % atau ± 24 000 ha dari seluruh wilayah DKI Jakarta adalah dataran yang letaknya lebih rendah dari permukaan laut (Firman et al. 2010). Dataran yang rendah ini dialiri oleh 13 sungai yang bermuara di Laut Jawa. Ketiga belas sungai tersebut adalah S. Mookervaart, S. Angke, S. Pesanggrahan, S. Grogol, S. Krukut, S. Baru Barat, S. Ciliwung, S. Baru Timur, S. Cipinang, S. Sunter, S. Buaran, S. Jati Keramat dan S. Cakung. Saat ini Jakarta merupakan kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia dan jumlah ini terus bertambah karena daya tarik kota ini sebagai pusat perekonomian Indonesia. Jumlah penduduk Jakarta tahun 2010 sebesar 9 588 198 jiwa (BPS 2010). Data statistik Dinas Kependudukan DKI Jakarta pada Maret tahun 2011 menunjukkan bahwa rata-rata kepadatan penduduk Jakarta adalah 13 995 orang/km2, sementara luas Jakarta hanya 661.52 km2. Hal ini menjadikan Jakarta sebagai kota terpadat di Indonesia atau ke empat di dunia1.

Tingkat pertambahan penduduk yang tinggi ini menimbulkan tekanan pada lingkungan hidup Jakarta yang semakin lama semakin berat. Perpaduan antara

1

http://www.koleksiweb.com/opini-n-note/10-kota-terpadat-di-dunia-termasuk-jakarta.html diakses 26 Januari 2011


(14)

2 kondisi topografi yang rendah dan dialiri oleh banyak sungai serta semakin rusaknya lingkungan hidup akibat tekanan pertumbuhan penduduk, menyebabkan Jakarta semakin lama semakin rentan terhadap ancaman bencana banjir. Perkembangan penduduk yang pesat di DKI Jakarta memberikan konsekuensi terjadinya alih fungsi lahan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat seperti fungsi perumahan, perdagangan dan industri. Luas ruang terbuka hijau (RTH) DKI Jakarta tahun 2007 diperkirakan tersisa 6.2 % karena semua ruang tersisa sudah dikonversi atau dikomersialisasi. Hal ini berdampak pada menurunnya daya resap air oleh tanah ketika turun hujan. Ekstraksi air tanah di Jakarta semakin tidak terkendali. Batas pengambilan air bawah tanah Jakarta hanya berkisar 186.2 juta m3/tahun. Namun, volume air tanah yang diambil mencapai 251.8 juta m3 per tahun. Defisit pengambilan air tanah telah mencapai 66.6 juta m3/tahun2. Banyaknya air yang diekstraksi dari dalam tanah dan minimnya air yang terserap ke dalam tanah akibat minimnya RTH menyebabkan timbulnya ruang kosong. Hal ini semakin ditambah dengan gedung-gedung tinggi yang membuat penurunan permukaan tanah di Jakarta berlangsung cepat.

Perubahan tata guna lahan memberikan kontribusi dominan kepada aliran permukaan (run-off) (Kodoatie dan Sjarief 2008). Lahan terbuka digantikan oleh rumah dan bangunan. Tanah yang tersisa pun ditutupi oleh jalan aspal atau pelataran parkir sehingga tidak mampu menyerap air. Air hujan yang tidak terserap berubah menjadi aliran permukaan yang mengalir ke sungai, selanjutnya dialirkan ke laut sesuai kapasitas sungai-sungai yang ada dalam menampung air. Curah hujan yang tinggi tidak dapat tertampung, sehingga menjadi banjir.

2


(15)

3 Terjadinya banjir akan tergantung pada tingginya curah hujan di hulu dan di wilayah Jakarta. Selain itu volume sampah yang tinggi yang membuat sungai-sungai menjadi tersumbat dan dangkal.

Menurut UNDP dalam Marschiavelli (2008) terdapat korelasi yang sangat kuat antara peningkatan jumlah penduduk dengan tingkat kerusakan akibat bencana. Arus urbanisasi ke Jakarta telah menciptakan lokasi-lokasi permukiman kumuh yang hampir semuanya ilegal. Permukiman semacam itu banyak dibangun di bantaran sungai sehingga menimbulkan penyempitan sungai-sungai di Jakarta. Bila hujan deras turun di hulu atau pun di Jakarta, volume air akan meningkat tinggi sehingga tidak dapat tertampung oleh sungai-sungai yang telah mengalami penyempitan akibat berdirinya pemukiman kumuh. Hal ini mengakibatkan pengaliran air ke laut terhambat lalu banjir pun terjadi. Perilaku warga yang sering membuang sampah ke sungai juga memicu pendangkalan sungai yang dapat mengakibatkan banjir. Hal tersebut dapat meningkatkan kerentanan terhadap terjadinya banjir di Jakarta. Menurut Rashed and Weeks dalam Marschiavelli (2008) kerentanan merupakan fungsi dari kebiasaan manusia, yang menjelaskan bagaimana aset fisik dan karakteristik sosial ekonomi di daerah perkotaan baik yang rentan atau tahan terhadap dampak bencana. Kerentanan bervariasi antara ruang dan waktu karena selalu berubah oleh aktivitas manusia, pengetahuan, dan sosial capital (Marschiavelli 2008).

Terdapat banyak tindakan struktural dan non struktural yang dapat diterapkan untuk mengurangi dampak dari bencana banjir, seperti pembuatan tanggul atau bendungan, early warning system, peramalan banjir, dan peraturan penggunaan lahan (Marschiavelli 2008). Penanganan banjir di DKI Jakarta telah


(16)

4 berlangsung lama mulai dari masa kolonial Belanda yang membangun banjir kanal barat (BKB) sepanjang 17.5 km. Saat itu kanal ini cukup mampu mengatur air yang masuk ke Kota Batavia dan menampung air S. Ciliwung, S. Cideng, S. Krukut, dan S. Grogol. Setelah pembangunan BKB pemerintah DKI pun membangun banjir kanal timur (BKT) yang direncanakan dapat menampung aliran S. Ciliwung, S. Cililitan, S. Cipinang, S. Sunter, S. Buaran, S. Jati Kramat, dan S. Cakung3. Selain banjir kanal solusi untuk menanggulangi banjir seperti rencana pembangunan waduk, pembangunan polder, perbaikan drainase, pompanisasi, dan normalisasi sungai.

Umumnya untuk mengurangi banjir atau genangan yang terjadi dilakukan perbaikan penampang sungai atau disebut dengan normalisasi. Perbaikan sungai yang dilakukan umumnya dengan melebarkan atau memperdalam (pengerukan) sungai (Kodoatie dan Sjarief 2008). Lima sungai makro yang tersebar di wilayah DKI Jakarta akan dilebarkan tahun 2011 untuk mengatasi banjir di ibukota. Kelima sungai itu yakni, S. Sunter, S. Pesanggrahan, S. Krukut, S. Cipinang, dan S. Grogol. Pelebaran ke lima sungai makro itu, tidak sepenuhnya dilakukan Pemprov DKI Jakarta, sebab empat diantaranya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemprov DKI Jakarta hanya memiliki kewenangan melebarkan satu sungai yakni, S. Grogol. Namun, pembebasan lahan untuk keperluan pelebaran sungai tetap menjadi kewenangan Pemprov DKI Jakarta4.

Pelebaran sungai tergantung dari tata guna lahan di sekitarnya. Apabila sudah dipadati penduduk maka masalah utama yang terjadi adalah pembebasan lahan. Semakin padat penduduk dan semakin strategis lokasinya, biaya

3

http:/www.wikipedia.com/BANJIR/Banjir_Kanal_Jakarta.htm diakses 26 Januari 2011 4


(17)

5 pembebasan akan semakin mahal (Kodoatie dan Sjarief 2008). Pelebaran sungai tentunya akan menggusur pemukiman-pemukiman yang berdiri di sepanjang bantaran sungai. Masalah yang sampai saat ini menghambat pelaksanaan normalisasi sungai adalah masalah ganti rugi lahan. Hal ini karena sulitnya untuk mencapai kesepakatan antara masyarakat dan pemerintah dalam menentukan besaran ganti rugi.

1.2. Perumusan Masalah

Jakarta adalah wilayah yang tak pernah lepas dari bencana banjir. Musibah banjir sering terjadi di kawasan ini akibat meluapnya sungai. Keberadaan pemukiman di sepanjang sungai memberikan dampak yang cukup besar terjadinya banjir. Hal tersebut membuat sungai menjadi dangkal dan semakin sempit, sehingga dapat mengganggu aliran air. Dampak terburuk dari banjir saat ini adalah cenderung terjadi pada orang-orang yang memiliki kerentanan tinggi baik secara sosial ekonomi dan lingkungan tempat tinggalnya. Terutama penduduk yang tinggal di daerah kumuh, di sepanjang tepi sungai, kawasan rawan banjir, dan masyarakat yang tergolong memiliki penghasilan yang rendah (Marschiavelli 2008).

Daerah atau lahan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan air kini telah berubah fungsi menjadi lahan pemukiman. Hal ini menyebabkan penyempitan bantaran sungai. Ketika, suatu kawasan berubah menjadi pemukiman, maka penutup lahan kawasan ini akan berubah menjadi penutup lahan yang tidak mempunyai resistensi untuk menahan aliran air (Kodoatie dan Sjarief 2008). Pembangunan pemukiman yang menjorok ke arah sungai dengan ditopang tiang-tiang penyangga menyebabkan sampah tersangkut, sehingga ketika


(18)

6 hujan air tidak dapat mengalir dengan baik. Air hujan yang tidak dapat diserap akhirnya mengalir langsung ke sungai. Hal ini menyebabkan sungai tidak dapat menampung jumlah volume air, akhirnya air sungai meluap dan menyebabkan banjir pada daerah pemukiman sekitarnya.

Kondisi sungai yang mengalami penyempitan dan pendangkalan, harus segera dikembalikan seperti kondisi semula bahkan kapasitas sungai harus ditingkatkan. Pengerukan dan pelebaran sungai harus segera dilaksanakan untuk mengurangi resiko terjadinya banjir. Pengerukan adalah proses mengeluarkan lumpur dari dalam dan sisi saluran sungai. Pengerukan sungai dilakukan untuk meningkatkan aliran air dengan meningkatkan kedalaman, memperlebar, dan meluruskan saluran. Pengerukan dilakukan terhadap sungai yang mengalami pendangkalan akibat sedimen yang tinggi, sampah, dan tidak teraturnya bentuk dari alur sungai, sehingga sungai tidak mampu lagi mengalirkan debit air (Masyhuri 2007).

Pemerintah dalam hal ini melakukan beberapa usaha untuk penanganan banjir salah satunya adalah program normalisasi sungai meliputi pengerukan dan pelebaran. Beberapa sungai di Jakarta yang akan dinormalisasi adalah S. Pesanggrahan, S. Sunter, S. Krukut, S. Cipinang, S. Grogol. Salah satu daerah yang akan terkena normalisasi adalah Kelurahan Petogogan, Kebayoran Baru, dan Kelurahan Pela Mampang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Dua kelurahan ini merupakan salah satu wilayah yang sering dilanda banjir akibat meluapnya Sungai Krukut. Program normalisasi sungai akan menyebabkan penggusuran terhadap pemukiman yang berada disepanjang bantaran sungai. Akan tetapi permasalahan yang terjadi hingga saat ini adalah ganti rugi lahan. Selama ini lahan di sepanjang


(19)

7 bantaran sungai dijadikan tempat pemukiman bagi masyarakat. Masyarakat tidak mau tempat tinggalnya digusur karena warga merasa tempat tinggal mereka selama ini dekat dengan tempat mata pencahariannya. Sulitnya menentukan kesepakatan terkait besaran ganti rugi yang harus dibayarkan pemerintah kepada masyarakat, menjadi faktor utama terhambatnya pelaksanaan normalisasi sungai. Padahal program normalisasi sungai harus segera dilaksanakan untuk menanggulangi banjir. Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut maka perumusan masalah penelitian antara lain:

1. Bagaimana gambaran desain dan manfaat normalisasi Sungai Krukut di Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang?

2. Bagaimana persepsi masyarakat Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang terhadap program normalisasi Sungai Krukut?

3. Berapa besarnya nilai ganti rugi yang bersedia diterima masyarakat terhadap tanah dan bangunan yang terkena program normalisasi sungai dan faktor-faktor yang mempengaruhinya?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengkaji gambaran desain dan manfaat normalisasi Sungai Krukut di Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang.

2. Mengkaji persepsi masyarakat Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang terhadap program normalisasi Sungai Krukut.

3. Mengestimasi besarnya nilai ganti rugi yang bersedia diterima masyarakat terhadap tanah dan bangunan yang terkena program normalisasi Sungai Krukut dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.


(20)

8 1.4. Manfaat Penelitian

1. Akademisi dan peneliti, penelitian ini diharapkan menjadi pelengkap disiplin keilmuan ekonomi sumberdaya dan lingkungan.

2. Pemerintah DKI Jakarta sebagai bahan masukan dalam menetapkan kebijakan mengenai normalisasi sungai khususnya masalah biaya ganti rugi lahan. 3. Masyarakat luas, khususnya masyarakat Kelurahan Petogogan dan Pela

Mampang agar lebih mengedepankan permasalahan lingkungan dalam kehidupan mereka.

1.5. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Petogogan, Kebayoran Baru, dan Kelurahan Pela Mampang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Penelitian ini difokuskan pada masyarakat sekitar Sungai Krukut yang terkena dampak program normalisasi sungai. Program pelebaran sungai menyebabkan masyarakat yang tinggal di bantaran sungai harus meninggalkan tempat tinggalnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran normalisasi Sungai Krukut, mengkaji persepsi masyarakat yang terkena dampak normalisasi sungai, dan mengestimasi nilai ganti rugi tanah dan bangunan yang terkena dampak normalisasi.


(21)

9 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Banjir

Banjir adalah peristiwa meluapnya air yang menggenangi permukaan tanah, dengan ketinggian melebihi batas normal. Banjir umumnya terjadi pada saat aliran air melebihi volume air yang dapat ditampung dalam sungai, danau, rawa, drainase, tanggul, maupun saluran air lainnya pada selang waktu tertentu (Rahayu et al. 2009).

Penyebab terjadinya banjir dapat diklasifikasikan dalam dua kategori. Sebab alamiah berupa: curah hujan, pengaruh fisiografi, erosi, sedimentasi, kapasitas sungai, kapasitas drainase yang tidak memadai, dan pengaruh air pasang. Sebab tindakan manusia berupa: berubanya kondisi daerah aliran sungai, sampah, kawasan kumuh, perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak tepat, dan kerusakan bangunan pengendali banjir (Kodoatie dan Sugianto 2002).

Faktor alamiah menyangkut kondisi alam yang menyebabkan terjadinya banjir dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu: faktor kondisi alam yang relatif statis yaitu: geografi, topografi, dan geometri alur sungai antar lain: kemiringan dasar sungai, penyempitan alur sungai, pengaruh kelokan sungai. Faktor peristiwa alam yang dinamis seperti: curah hujan yang tinggi, kondisi pasang surutnya air laut, turunnya permukaan tanah, dan kelongsoran tebing (Siswoko 2002).

2.2. Pengendalian Banjir

Penanggulangan bencana banjir adalah upaya yang dapat dilakukan baik oleh pemerintah, masyarakat, dan pengambil kebijakan lainnya (stakeholder)


(22)

10 dalam rangka menanggulangi bencana banjir baik yang dilakukan sebelum terjadinya banjir, pada saat terjadi, maupun setelah terjadi banjir (Rahayu et al. 2009). Pengendalian banjir merupakan suatu hal yang utama bagi pemerintah DKI Jakarta. Proses pengendaliannya harus dilaksanakan secara menyeluruh dari hulu ke hilir. Upaya tersebut dilakukan dengan melibatkan pemerintah pusat dan daerah karena banjir tidak mengenal batas wilayah administrasi.

Mitigasi banjir adalah semua tindakan atau upaya untuk mengurangi dampak dari suatu bencana banjir. Upaya mitigasi ini biasanya ditujukan untuk jangka waktu yang panjang. Secara umum jenis-jenis mitigasi dapat dikelompokkan kedalam mitigasi struktural dan mitigasi non struktural (Rahayu et al. 2009).

2.2.1 Mitigasi Struktural

Mitigasi struktural adalah upaya-upaya pengurangan risiko bencana yang lebih bersifat fisik (Rahayu et al. 2009). Upaya-upaya mitigasi struktural banjir yang dilakukan oleh pemerintah antara lain:

a. Perbaikan dan peningkatan sistem drainase.

b. Normalisasi fungsi sungai dapat berupa pengerukan, sudetan, dan pelebaran. c. Relokasi pemukiman di bantaran sungai.

d. Pengembangan bangunan pengontrol tinggi muka air. e. Tanggul, pintu, pompa, waduk dan sistem polder. f. Perbaikan kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS). 2.2.2. Mitigasi Non-Struktural

Mitigasi non struktural adalah segala upaya pengurangan risiko bencana yang dilakukan yang bersifat non fisik, organisasional, dan sosial kemasyarakatan


(23)

11 (Rahayu et al. 2009). Upaya-upaya mitigasi non struktural banjir yang dilakukan pemerintah antara lain:

a. Membuat master plan pembangunan yang berbasis pengurangan risiko bencana.

b. Membuat peraturan daerah (PERDA) mengenai penanganan risiko bencana banjir yang berkelanjutan.

c. Mengembangkan peta zonasi banjir. d. Mengembangkan sistem asuransi banjir.

e. Membangun/memberdayakan sistem peringatan dini banjir.

f. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai bencana banjir melalui pendidikan dan pelatihan.

g. Mewujudkan budaya masyarakat dalam menjaga fungsi sistem pembuangan air (drainase) dan pengendalian banjir.

h. Mewujudkan budaya masyarakat yang tidak membuang sampah/limbah ke sungai.

i. Melakukan gerakan penghijauan/penanaman kembali tumbuh tumbuhan di lahan kosong.

Dahulu mitigasi struktural lebih diutamakan dibandingkan dengan mitigasi non-struktural. Namun, saat ini banyak negara maju mengubah pola pengendalian banjir dengan lebih dulu mengutamakan mitigasi non-struktural lalu mitigasi struktural (Kodoatie dan Sjarief 2008).

2.2.3. Normalisasi Sungai

Normalisasi sungai adalah menciptakan kondisi sungai dengan lebar dan kedalaman tertentu. Sungai mampu mengalirkan air sehingga tidak terjadi luapan


(24)

12 dari sungai tersebut (Pemerintah provinsi DKI 2010). Kegiatan normalisasi sungai berupa membersihkan sungai dari endapan lumpur dan memperdalamnya agar kapasitas sungai dalam menampung air dapat meningkat. Hal ini dilakukan dengan cara mengeruk sungai tersebut di titik-titik rawan tersumbatnya aliran air. Upaya pemulihan lebar sungai merupakan bagian penting dari program normalisasi sungai karena meningkatkan kapasitas sungai dalam menampung dan mengalirkan air ke laut. Kepadatan penduduk yang terus meningkat karena Jakarta menjadi sumber mata pencaharian, menyebabkan berdirinya permukiman ilegal. Bantaran sungai menjadi sasaran utama bagi rumah-rumah ilegal ini. Semakin banyak rumah yang dibangun di bantaran sungai, akan semakin sempit sungai tersebut dan semakin rendah kemampuannya untuk menampung air. Masyarakat yang tinggal di bantaran sungai perlu direlokasi ke tempat lain, sehingga program normalisasi sungai untuk menanggulangi banjir dapat dilakukan.

Menurut Maryono dalam Masyhuri (2007) pengembangan sungai-sungai di Indonesia dalam 30 tahun terakhir ini mengalami peningkatan pembangunan fisik yang relatif cepat. Pembangunan fisik tersebut misalnya pembuatan sudetan, pelurusan, pembuatan tanggul sisi, dan pembetonan tebing, baik sungai kecil maupun besar. Hal ini menyebabkan terjadinya percepatan aliran menuju hilir dan sungai bagian hilir akan menanggung aliran yang lebih besar dalam waktu yang lebih cepat dibanding sebelumnya. Perbaikan sungai akan memberikan pengaruh maksimal dua hingga empat kali lipat, itu pun jika proses pelebaran atau pengerukan sebesar dua kali lipatnya dapat berjalan lancar (Kodoatie dan Sjarief 2008). Pelebaran sungai harus dipertahankan sampai ke lokasi sungai paling hilir. Gambar 1 menunjukan skema sederhana proses normalisasi sungai:


(25)

13 b

h

Q1 Q2 b 2b

a. diperlebar dua kali

h debit Q1 debit h debit kembali 2-4Q1 keQ1

2h dikeruk sedimentasi

b b

b. diperdalam dua kali

keterangan: Q1 = debit air (m3/s) h = kedalaman sungai (m) b = lebar sungai (m)

Gambar 1. Skema proses normalisasi sungai 2.2.4. Manfaat Ekonomi Sungai

Daerah aliran sungai (DAS) dapat dipandang sebagai suatu ekosistem yang menghasilkan produk berupa barang dan jasa. Barang yang dihasilkan oleh komponen sungai dapat diukur berupa produktivitas, sedangkan jasa merupakan produk ekonomis dari sungai yang tidak dapat diukur. Oleh karena itu dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya keseimbangan antara kepentingan ekosistem dengan kepentingan ekonomi sehingga dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan.


(26)

14 Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka. Valuasi ekonomi bermanfaat untuk mengilustrasikan hubungan timbal balik antara ekonomi dan lingkungan (Yunus 2005). Konsep nilai bermacam-macam, karena menyangkut berbagai macam tujuan yang berkaitan dengan keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan. Menurut KNLH (2007) Nilai lingkungan secara keseluruhan atau total economic value (TEV) dibagi menjadi: (a) nilai guna (use value) yang terdiri dari direct use value dan

indirect use value, (b) nilai berbasis bukan pemanfaatan (non use value) yang terdiri dari option value, existence value, dan bequest value. Ada pun nilai manfaat ekonomi dari sungai yaitu

1. Manfaat langsung (direct use value)

Manfaat langsung adalah manfaat dari barang dan jasa suatu sumberdaya yang secara langsung dapat dimanfaatkan seperti, ikan dan air sungai itu sendiri.

2. Manfaat tidak langsung (indirect use value)

Manfaat tidak langsung merupakan manfaat barang dan jasa yang ada karena keberadaan suatu sumberdaya yang secara tidak langsung dapat diambil dari sumberdaya alam tersebut seperti, manfaat sungai sebagai pencegah banjir dan nilai estetikanya.

3. Manfaat pilihan (option value)

Suatu nilai yang diinterpretasikan sebagai manfaat sumberdaya alam yang potensial dimasa depan, seperti, nilai biodiversity yang terdapat di sungai kemungkinan bermanfaat pada masa yang akan datang.


(27)

15 4. Nilai keberadaan (exsistence value)

Nilai yang merupakan nilai yang didasarkan pada terpeliharanya SDAL tanpa menghiraukan manfaat dari keberadaan SDAL tersebut.

5. Nilai warisan (bequest value)

Nilai yang merupakan nilai yang diberikan oleh generasi saat ini terhadap SDAL agar dapat diwariskan pada generasi mendatang.

2.3. Pembebasan Hak Atas Tanah

Pembebasan hak adalah merupakan salah satu cara dalam memperoleh tanah untuk kepentingan pembangunan atau untuk keperluan umum. Pembebasan hak dilakukan mengingat pihak yang memerlukan tanah tidak memenuhi syarat sebagai subjek hak atas tanah yang tersedia. Upaya yang ditempuh adalah dengan cara melakukan pembebasan hak. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah (Perpres no. 36 tahun 2005 pasal 1 ayat 6).

Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada pemilik tanah, bangunan, tanaman, dan atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah (Perpres no. 36 tahun 2005 pasal 1 ayat 11).

Menurut pasal 15 ayat 1 Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 disebutkan bahwa dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas :


(28)

16 a. Nilai jual obyek pajak (NJOP) atau nilai nyata seharusnya dengan

memperhatikan nilai jual objek pajak pada tahun berjalan berdasarkan penetapan lembaga/tim penilai harga tanah yang ditunjuk oleh panitia.

b. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan.

c. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.

Pemerintah dapat menentukan ganti rugi yang sesuai bagi masyarakat. Sesuai dengan 13 ayat (1) Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 disebutkan ganti rugi dapat berupa uang, tanah pengganti, atau pemukiman kembali. Masalah pengadaan tanah pada intinya, kondisi tidak seimbangnya antara tanah yang tersedia dengan kebutuhan akan tanah. Kebutuhan tanah semakin meningkat disebabkan karena jumlah penduduk yang selalu bertambah, serta meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah. Namun, jumlah tanah tetap. Oleh karena itu, dalam pengadaan perlu dilakukan secara transparan dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah.

2.4. Persepsi Terhadap Banjir

Persepsi adalah proses dengan makna kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang akan mempengaruhi indra kita. Persepsi mempengaruhi rangsangan (stimulus) atau pesan apa yang kita berikan kepada mereka ketika mereka mencapai kesadaran (Devito 1997). Hasil penelitian Baskoro (2008) mengenai persepsi dan sikap masyarakat Kota Jakarta terhadap fungsi hutan di daerah hulu dalam pengendalian banjir, 78 % responden mempunyai persepsi yang sedang dan


(29)

17 14.3 % responden mempunyai persepsi baik terhadap fungsi hutan sebagai pengendali banjir. Persepsi dibutuhkan untuk mengetahui sampai sejauh mana minat atau opini masyarakat terhadap suatu objek dalam bentuk barang atau suatu kejadian. Persepsi seseorang dapat dipengaruhi oleh pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin, dan pendapatan.

2.5. Willingnes to Accept

Willingnes to accept (WTA) kompensasi, melalui pengukuran yang terkait dengan surplus konsumen, variasi kompensasi, dan variasi ekuivalen. WTA juga memberikan informasi variasi kompensasi terhadap penurunan kesejahteraan (Hanley dan Spash 1993). Pendekatan WTA dapat memberikan informasi tentang besarnya dana kompensasi yang bersedia diterima oleh masyarakat atas penurunan kualitas lingkungan disekitarnya. Hasil penelitian Buckley et.al (2008), mengenai rencana pembangunan jalan wisata yang melewati lahan pertanian dan peternakan masyarakat di Irlandia. Hasilnya 51 % masyarakat tidak mengijinkan pembangunan tersebut, 21 % masyarakat mengijinkan pembangunan tanpa adanya kompensasi ganti rugi, 28 % masyarakat bersedia mengijinkan pembangunan jalan melewati lahan mereka asalkan mereka mendapatkan kompensasi yang sesuai. Nilai WTA yang diharapkan masyarakat sebagai kompensasi adalah sebesar € 0.46 per m.


(30)

18 III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Operasional

Sungai Krukut telah mengalami penyempitan dan pendangkalan. Hal ini menyebabkan masyarakat Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang yang tinggal dipinggir sungai rentan akan banjir. Pemerintah DKI Jakarta berencana melakukan normalisasi sungai untuk mengurangi resiko terhadap banjir. Program normalisasi sungai akan menyebabkan penggusuran terhadap pemukiman yang berada disepanjang bantaran sungai. Masyarakat yang lahannya akan tergusur menuntut adanya ganti rugi dari pemerintah akibat kehilangan tanah dan bangunannya. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian mengenai besarnya nilai ganti rugi yang bersedia diterima masyarakat.

Tujuan pertama dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran bentuk dan manfaat normalisasi Sungai Krukut yang telah direncanakan pemerintah. Hal ini perlu diketauhi terlebih dahulu sebelum mengkaji persepsi dan mengestimasi nilai WTA. Seberapa besar pengaruh normalisasi terhadap pengurangan resiko banjir. Pemerintah DKI mengharapkan dengan menormalisasi Sungai Krukut maka tidak terjadi lagi banjir di Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang.

Tujuan selanjutnya yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap program normalisasi Sungai Krukut. Kajian persepsi masyarakat Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang terhadap program normalisasi Sungai Krukut penting, karena untuk untuk mengetahui sejauh mana respon masyarakat terhadap normalisasi sungai. Satu sisi masyarakat juga ingin agar banjir tidak lagi terjadi di wilayah meraka, tetapi disatu sisi


(31)

19 masyarakat yang tinggal di pinggir sungai harus merelakan tempat tinggal dan lahannya tergusur. Pematokan lahan atau tanda batas sudah dilakukan. Hal itu untuk mengetahui batas mana yang terkena pembebasan. Namun, sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai mekanisme dan besaran kompensasi dari Pemprov DKI Jakarta kepada masyarakat. Analisis persepsi ini menggunakan analisi deskriptif kualitatif.

Tujuan akhir dari penelitian ini yaitu mencari nilai ganti rugi yang bersedia diterima masyarakat (WTA). Kisaran nilai ganti rugi yang bersedia diterima masyarakat (WTA) atas lahan yang terkena program normalisasi sungai penting untuk diketahui karena untuk kelancaran proses normalisasi. Menurut Alias dan Daud (2007), jumlah kompensasi tidak hanya dapat mewakili nilai lahan yang diambil tetapi juga kerugian lainnya yang diterima sebagai konsekuensi dari akuisisi. Bagi pemerintah nilai ganti rugi terhadap masyarakat merupakan

opportunity cost dalam pelaksanaan normalisasi sungai sebagai upaya penanggulangan banjir. Apabila nilai ganti rugi yang diberikan pemerintah tidak disepakati oleh masyarakat maka proses normalisasi sungai akan terhambat.

Asumsi-asumsi yang diperlukan dalam pelaksanaan pengumpulan nilai WTA dari masing-masing responden adalah:

1. Responden merupakan masyarakat Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang yang lokasi tempat tinggalnya terkena dampak normalisasi sungai.

2. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersedia memberikan ganti rugi sebagai kompensasi terhadap masyarakat yang tempat tinggalnya terkena dampak normalisasi sungai.


(32)

20 3. Responden dipilih dari penduduk yang relevan dan merupakan kepala

keluarga dari masing-masing rumah tangga.

Hipotesis yang digunakan dalam analisa faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTA masyarakat adalah:

1. Luas lahan yang tergusur berpengaruh positif terhadap nilai WTA, semakin luas lahan milik seseorang semakin besar nilai ganti rugi yang diinginkan. 2. Jarak antara lahan atau tempat tinggal berpengaruh negatif dengan nilai

WTA, karena semakin dekat lahan atau tempat tinggal mereka dengan sungai nilai ganti rugi yang diharapkan semakin besar.

3. Lama tinggal berpengaruh positif terhadap nilai WTA, karena semakin lama seseorang tinggal di suatu tempat maka hubungan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang terjalin dengan baik sulit untuk berubah.

4. Pendapatan berpengaruh negatif terhadap nilai WTA, karena semakin tinggi pendapatan seseorang maka semakin rendah untuk menuntut ganti rugi yang tinggi.

5. Tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap nilai WTA, karena semakin tinggi pendidikan seseorang semakin tinggi nilai ganti rugi yang diharapkan. 6. Jumlah tanggungan berpengaruh positif terhadap nilai WTA, karena semakin

banyak jumlah tanggungan semakin tinggi nilai ganti rugi yang diharapkan. 7. Status kepemilikan lahan, jika lahan yang tergusur merupakan hak milik

pribadi maka akan berpengaruh positif terhadap nilai WTA.

8. Jenis bangunan permanen atau semi permanen, jika responden memiliki bangunan permanen maka akan mengharapkan WTA yang lebih besar.


(33)

21 Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai besarnya nilai ganti rugi yang diharapkan masyarakat kepada Pemprov DKI Jakarta. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi bagi pemerintah dalam menentukan nilai ganti rugi dan persepsi masyarakat terhadap program normalisasi sungai. Alur penelitian yang lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2.


(34)

22 Gambar 2. Diagram Alur Kerangka Berpikir

Penyempitan dan pendangkalan Sungai Krukut akibat peningkatan aktivitas penduduk

Menurunya kapasitas aliran sungai

Normalisasi sungai sebagai solusi pengendalian banjir

Timbul masalah:

1. Ganti rugi pemukiman tergusur

2. Nilai ganti rugi yang sesuai menurut masyarakat

Mengkaji persepsi masyarakat terhadap program normalisasi

sungai

Mengestimasi nilai Willingness

to Accept

Rekomendasi mengenai kompensasi atas program normalisasi sungai Banjir

Pelebaran sungai Pengerukan sungai

Pemprov DKI Jakarta

Mengetahui gambaran desain dan

manfaat normalisasi sungai


(35)

23 IV. METODE PENELITIAN

4.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Kelurahan Petogogan, Kebayoran Baru, dan Kelurahan Pela Mampang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan bahwa Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang merupakan lokasi yang terkena dampak program normalisasi sungai. Sungai Krukut yang melintas diantara Kelurahan tersebut rencananya akan dinormalisasi oleh Pemprov DKI Jakarta tahun 2011/2012 sebagai upaya pengendalian banjir. Pengambilan data primer dilaksanakan dari Maret hingga April 2011.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yang dibutuhkan meliputi: karakteristik seluruh respoden, respon seluruh responden mengenai persepsinya terhadap program normalisasi Sungai Krukut dan nilai kompensasi yang bersedia masyarakat terima dari Pemprov DKI Jakarta. Data primer pun didapat dari hasil wawancara dengan pihak Balai Besar Ciliwung Cisadane, Lurah Petogogan, Ketua RT dan RW di Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang, dan tokoh masyarakat. Data primer ini diperoleh melalui kuisioner dan wawancara langsung.

Data sekunder meliputi data-data kependudukan Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang, data mengenai banyaknya rumah yang terkena dampak, dan semua hal menyangkut rencana normalisasi sungai. Data tersebut dapat diperoleh dari Sudin Tata Air Jakarta Selatan, Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, Badan


(36)

24 Pertanahan Nasional, dan Balai Besar Ciliwung Cisadane, Kelurahan Petogogan, Kelurahan Pela Mampang.

4.3. Metode Pengambilan Data

Sampling frame dari penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang sehingga digunakan metode Cluster Sampling. Metode ini mengelompokkan populasi ke dalam beberapa kelompok yang lebih kecil, kemudian disampel secara acak hanya dari satu kelompok tersebut. Kelompok yang dimaksud adalah rumah tangga yang akan terkena dampak normalisasi Sungai Krukut. Jumlah sampel yang diambil adalah 50 responden, dimana yang dipilih adalah kepala keluarga dari kelompok yang tempat tinggalnya tergusur akibat normalisasi Sungai Krukut baik dari Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang. Responden dipilih secara acak salah satu rumah sebagai responden pertama kemudian setiap selang dua rumah dipilih sebagai responden selanjutnya. Informasi mengenai kajian normalisasi Sungai Krukut dapat dilakukan dengan metode snowball, yaitu setelah menemui satu responden (instansi), peneliti meminta rujukan kepada responden pertama untuk menentukan responden berikutnya.

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian akan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoftt Office Excel 2007 dan SPSS 15. Tabel 1 berikut ini akan menampilkan matriks metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan-tujuan dalam penelitian ini.


(37)

25 Tabel 1. Matriks Metode Analisis Data

4.4.1. Persepsi Masyarakat Terhadap Program Normalisasi Sungai Krukut Analisis persepsi responden terhadap rencana normalisasi Sungai Krukut bertujuan untuk mengetahui respon masyarakat terhadap rencana normalisasi sungai. Data responden meliputi, seberapa penting normalisasi sungai bagi responden, penilaian responden terhadap kualitas sungai, penilaian responden terhadap perubahan fisik dari sungai, persepsi responden terhadap tingkat kenyamanan daerah tempat tinggalnya, persepsi mengenai seberapa sering pihak terkait memberikan sosialisasi terhadap normalisasi sungai, dan frekuensi banjir di Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang.

Analisis persepsi menggunakan skala perbedaan semantik. Skala perbedaan semantik ini dapat digunakan untuk melihat bagaimana pandangan seseorang terhadap suatu konsep atau objek apakah sama atau berbeda. Responden diminta untuk menilai suatu konsep atau objek dalam suatu skala

No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data 1 Mengetahui

gambaran desain dan manfaat normalisasi Sungai Krukut

Data sekunder dari instansi terkait

Analisis deskriptif

2 Mengkaji persepsi masyarakat terhadap rencana program normalisasi sungai krukut

Data primer melalui kuisioner dan wawancara dengan masyarakat yang menjadi responden Analisis deskriptif kualitatif dengan Microsoftt Office Excel 2007

3 Mengestimasi WTA masyarakat dan identifikasi faktor-faktor yang

mempengaruhi nilai tersebut

Data primer melalui kuisioner dan wawancara dengan masyarakat yang menjadi responden

Analisis regresi berganda dengan SPSS15


(38)

26 bipolar dengan lima buah titik. Skala bipolar adalah skala yang berlawanan seperti baik-buruk, penting-tidak penting, bersih-kotor, dan sebagainya. Alternatif jawaban misalnya, nilai 5 untuk ”sangat bersih”, nilai 4 untuk “ bersih”, nilai 3 untuk “biasa saja”, nilai 2 untuk “kotor”, nilai 1 untuk “sangat kotor” (Nazir, 1988).

4.4.2. Analisis Nilai WTA dari Masyarakat Terhadap Program Normalisasi Sungai Krukut

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai ganti rugi (WTA) yang bersedia diterima masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tersebut. Pendekatan CVM akan digunakan untuk mengetahui nilai WTA masyarakat dalam penelitian ini. Walaupun yang menjadi objek dari WTA adalah lahan yang memiliki harga pasar, namun belum ada standar atau rumus mengenai penentuan nilai ganti rugi yang bersedia diterima sehingga dalam penelitian ini menggunakan metode WTA. Pendekatan CVM dalam penelitian ini terdiri dari enam tahap (Hanley dan Spash 1993), yaitu:

1. Membangun Pasar Hipotesis

Pasar hipotesis dalam penelitian ini dibentuk atas dasar kondisi Sungai Krukut yang sangat buruk. Indikatornya adalah telah terjadinya penyempitan dan pendangkalan. Hal ini menyebabkan ketika terjadi hujan dengan intensitas yang cukup tinggi, maka sungai tidak mampu menampung dan mengalirkan air sehingga akan meluap membanjir pemukiman sekitar. Salah satu wilayah yang lalui oleh Sungai ini adalah Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang. Kedua kelurahan ini sangat rentan terkena banjir dikarenakan kondisi sungai yang buruk dan ditambah kondisi topografi yang rendah. Banjir yang sering terjadi menyebabkan banyak kerugian sosial dan ekonomi seperti, kerusakan


(39)

barang-27 barang rumah tangga, kerusakan pada tempat tinggal, terganggunya pekerjaan, dan lain-lain. Kedua kelurahan ini pun termasuk pusat perekonomian di Jakarta Selatan. Banyak terdapat perkantoran, pertokoan, dan aktifitas ekonomi lainnya. Sungai yang dahulu berfungsi sebagai sumber kehidupan, telah berubah menjadi sumber bencana. Solusi yang akan dilakukan Pemprov DKI Jakarta sebagai upaya perbaikan kualitas lingkungan adalah dengan menormalisasi Sungai Krukut. Normalisasi dilakukan untuk menciptakan kondisi sungai yang baik, bersih, dan tidak lagi menyebabkan banjir yang dapat merugikan masyarakat sekitar.

Pasar hipotetik dengan terlebih dahulu responden diminta untuk mendengarkan pernyataan mengenai kondisi lingkungan khususnya kondisi sungai yang banyak menyebabkan eksternalitas negatif bagi kehidupan mereka. Selanjutnya, pasar hipotesis dibentuk dalam skenario sebagai berikut:

“Agar terciptanya perbaikan kualitas lingkungan khususnya kondisi Sungai Krukut, maka Pemprov DKI Jakarta akan memberikan ganti rugi kepada masyarakat yang tempat tinggalnya tergusur akibat program normalisasi. Melalui program ini diharapkan sungai dapat mengalirkan air dengan baik dan akan mengurangi resiko terjadinya banjir yang dapat menyebabkan kerugian sosial dan ekonomi bagi masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti akan menanyakan apakah masyarakat bersedia untuk menerima kebijakan tersebut dan berapa besarnya dana kompensasi yang sebenarnya bersedia diterima masyarakat.”


(40)

28 2. Memperoleh Nilai Tawaran

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Bidding Game, dimana responden ditawarkan harga yang semakin menurun sampai tingkat minimum bersedia terima. Pertama responden diberikan kebebasan untuk menyebutkan nilai WTA yang diharapkan, lalu peneliti menawarkan nilai WTA yang semakin menurun sampai responden tidak mau menerima.

3. Menghitung Dugaan Nilai Rataan WTA (Estimating Mean WTA) Dugaan rataan WTA dihitung dengan rumus:

EWTA = WTAxi

n ………... (4.1) dimana:

EWTA = dugaan rataan WTA xi = jumlah tiap data n = jumlah responden

i = responden ke-i yang bersedia menerima dan kompensasi (i= 1,2,…,k)

4. Menduga Kurva Penawaran WTA

Menduga kurva penawaran merupakan proses menentukan variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap nilai WTA. Pendugaan kurva penawaran akan dilakukan menggunakan persamaan berikut ini:

LnWTA = f(LnX1,LnX2,LnX3,LnX4,LnX5,LnX6,D1,D2

ε

) ……… (4.2)

dimana:


(41)

29 LnX1 = luas lahan yang terkena normalisasi ( m2 )

LnX2 = jarak lahan/tempat tinggal ke sungai (m) LnX3 = lama tinggal (tahun)

LnX4 = pendapatan (rupiah/bulan) LnX5 = tingkat pendidikan (tahun) LnX6 = jumlah tanggungan (orang)

D1 = status kepemilikan lahan (bernilai 1 untuk “lahan milik” dan bernilai 0 untuk “lahan bukan milik”)

D2 =Jenis bangunan (bernilai 1 untuk “permanen” dan bernilai 0 untuk “semi permanen”)

ε

= galat

5. Menjumlahkan Data

Penjumlahan data merupakan proses dimana nilai rata-rata penawaran dikonversikan terhadap populasi yang dimaksud. Setelah menduga nilai rataan WTA maka dapat diduga nilai total WTA dari masyarakat dengan menggunakan rumus:

=

dimana: ……….. (4.3) TWTA = total WTA

WTAi = WTA individu sampel ke-i

ni = jumlah sampel ke-i yang bersedia menerima sebesar WTA


(42)

30 6. Mengevaluasi Penggunaan CVM

Hal ini merupakan penilaian sejauh mana penggunaan CVM telah berhasil. Tahap ini memerlukan pendekatan severapa besar tingkat keberhasilan dalam pengaplikasian CVM. Untuk mengevaluasi pelaksanaan model CVM dapat dilihat tingkat keandalan (realibility) fungsi WTA. Uji yang dapat dilakukan dengan uji keandalan yang melihat R squared dari model Ordinary Least Square (OLS)

4.4.3. Analisis Fungsi Willingness to Accept

Analisis fungsi Willingness to Accept digunakan model regresi linier berganda. Fungsi persamaan sebagai berikut:

LnWTA = β0+β1LnX1+β2LnX2+β3LnX3+β4LnX4+β5LnX5+β6LnX6+β7D1+

β8D2+

ε

i ……….. (4.4)

Estimasi parameter yang diharapkan adalah β0, β1, β3, β5, β6, β7, β8 >0 dan β4, β2

<0

dimana:

LnWTAi = nilai WTA responden (Rp/m2)

β0 = konstanta

β1,…,β8 = koefisien regresi

LnX1 = luas lahan yang terkena normalisasi ( m2 ) LnX2 = jarak lahan/tempat tinggal ke sungai (m) LnX3 = lama tinggal (tahun)

LnX4 = pendapatan (rupiah/bulan) LnX5 = tingkat pendidikan (tahun) LnX6 = jumlah tanggungan (orang)

D1 = status kepemilikan lahan (bernilai 1 untuk “lahan milik” dan bernilai 0 untuk “lahan bukan milik”)


(43)

31 D2 = jenis bangunan (bernilai 1 untuk “permanen” dan bernilai 0 untuk

“semi permanen”

i = responden ke i (i=1,2,3,…)

ε

= galat

Variabel yang diduga berbanding lurus dengan nilai WTA adalah variabel luas lahan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, lama tinggal, status kepemilikan lahan, jenis bangunan, yang terkena normalisasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka orang tersebut memiliki pengetahuan yang tinggi dengan kerugian yang akan dialami dan harus diganti dengan nilai yang layak dan dapat menutupi semua kerugian yang dialami. Jumlah tanggungan terkait dengan banyaknya anggota keluarga yang harus menanggung dampak dari penggusuran lahan/tempat tinggalnya. Semakin tinggi jumlah tanggungan maka semakin tinggi pula nilai ganti rugi yang diharapkan. Hal yang sama juga dengan lama tinggal, semakin lama seseorang tinggal di daerah tersebut maka akan semakin tinggi nilai kompensasi yang diharapkan. Hal ini terkait dengan faktor ekonomi dan sosialnya. Status kepemilikan lahan akan berpengaruh positif terhadap nilai WTA, jika status lahan responden merupakan hak milik maka nilai ganti rugi yang diminta responden akan lebih tinggi. Luas lahan pun berpengaruh positif terhadap nilai WTA. Semakin luas lahan yang tergusur maka nilai ganti rugi yang diminta akan semakin tinggi. Jenis Bangunan akan berpengaruh positif terhadap nilai WTA, jika jenis bangunan permanen maka nilai ganti rugi yang diharapkan semakin besar.

Varibel yang diduga berpengaruh negatif terhadap nilai WTA adalah jarak lahan/tempat tinggal dengan sungai dan pendapatan. Semakin dekat jarak


(44)

32 lahan/tempat tinggal dengan sungai maka nilai kompensasi yang diinginkan semakin tinggi. Pendapatan responden diduga berpengaruh negatif, berarti semakin tinggi pendapatan responden maka nilai kompensasi yang diinginkan pun relatif lebih rendah.

4.5. Pengujian Parameter

Uji kebaikan dari model yang telah dibuat dapat dilakukan melalui pengujian secara statistik. Uji yang dilakukan adalah:

1. Uji Kenormalan

Regresi linear normal klasik mengasumsikan bahwa tiap sisaan εi terdistribusi secara normal dengan E(εi) = 0 dan Var E(εi) = σ2 untuk i. Dengan asumsi kenormalan, distribusi probabilitas penaksir OLS dengan mudah diperoleh karena merupakan sifat distribusi normal bahwa setiap fungsi linear dari variabel-variabel yang didistribusikan secara normal dengan sendirinya didistribusikan secara normal. Hal ini akan ditunjukan bahwa asumsi kenormalan εi, penaksir OLS β0 dan β1 juga terdistribusi secara normal (Gujarati 2006).

2. Uji Keandalan

Uji ini dilakukan dengan melihat nilai R-squares (R2) dari OLS (Ordinary Least Square) WTA. R-squares menggambarkan persen keragaman peubah-peubah bebas yang dapat dijelaskan oleh model.

3. Uji Terhadap Kolinearitas Ganda (Multicolinearity)

Model yang melibatkan banyak peubah bebas sering terjadi masalah

multicolinerity, yaitu terjadinya koelasi yang kuat antara peubah-peubah bebas. Masalah multicolinearity dapat dilihat langsung melalui output


(45)

33 komputer, apabila nilai VIF (Varian Inflation factor) < 10 maka tidak ada masalah multicolinearity. Adanya, multikolinearitas berimplikasi bahwa sangat sedikit data dalam sample yang nilai peubah bebas lainnyayang berpasangan kemungkinan akan berubah juga sesuai arah kolinearitasnya. 4. Uji Heteroskedastisitas

homoskedastisitas, yaitu ragam galat konstan dalam setiap pengamatan pelanggaran atas asumsi homoskedastisitas adalah heteroskedastisitas. Masalah heteroskedastisitas dapat dideteksi dengan uji glejser. Uji Glejser dilakukan dengan meregresikan variabel-variabel bebas terhadap nilai absolute residualnya (Gujarati 2006). Jika nilai signifikan dari hasil uji Glejser lebih besar dari α (5%) maka tidak terdapat heteroskedastisitas dan sebaliknya.


(46)

34 V. GAMBARAN UMUM

5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di dua kelurahan di bantaran Sungai Krukut yaitu, Kelurahan Petogogan dan Kelurahan Pela Mampang. Sungai Krukut merupakan sungai yang akan segera di normalisasi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2012. Program ini merupakan program lanjutan setelah pada tahun 2009 dilakukan di bagian Sungai Krukut di Kelurahan Rawa Barat.

Kelurahan Petogogan merupakan salah satu kelurahan yang terletak di Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Secara administratif Kelurahan Petogogan berbatasan dengan Kelurahan Rawa Barat di sebelah utara, Kelurahan Melawai di sebelah barat, Kelurahan Pulo di sebelah selatan, dan Kelurahan Pela Mampang di sebelah timur.

Kelurahan Pela Mampang merupakan salah satu kelurahan yang terletak di Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Secara administratif Kelurahan Pela Mampang berbatasan dengan jalan Kapten Tendean di sebelah utara, Kelurahan Petogogan dan Kelurahan Pulo di sebelah barat, Kelurahan Bangka di sebelah selatan, dan Kelurahan Mampang Prapatan di sebelah timur.

Secara geografis Kelurahan Petogogan memiliki luas 86.32 ha yang terdiri dari 6 RW dan 76 RT sedangkan Kelurahan Pela Mampang memiliki luas 162.32 ha yang terdiri 14 RW dan 157 RT. Kedua kelurahan ini sering dilanda banjir ketika hujan dengan intensitas tinggi. Terutama RW 01, 02, 03 di Kelurahan Petogogan dan RW 05, 07, 11 di Kelurahan Pela Mampang. Keenam RW tersebut berada di sepanjang Sungai Krukut dengan jarak 0,5-100 m dari tepi sungai dan


(47)

35 ketinggian rata-rata 20-50 cm dari permukaan air sungai saat keadaan normal. Hal ini membuat dua kelurahan tersebut rentan terhadap banjir, terutama ketika banjir lima tahunan terjadi, hampir seluruh wilayah di dua kelurahan tersebut terkena banjir setinggi 3-5 m.

5.2. Kependudukan

Penduduk Kelurahan Petogogan yang tercatat sampai Desember 2010 berjumlah 17 925 jiwa yang terdiri dari 4 682 kepala keluarga (KK) dengan kepadatan penduduk 207 jiwa/ha. Jumlah warga negara Indonesia (WNI) laki-laki terdiri dari 9 407 jiwa dan 8 505 jiwa perempuan sedangkan jumlah warga negara asing (WNA) laki-laki 6 jiwa dan perempuan 7 jiwa.

Penduduk Kelurahan Pela Mampang yang tercatat sampai Desember 2010 berjumlah 48 937 jiwa terdiri dari 19 368 kepala keluarga (KK) dengan kepadatan penduduk 301 jiwa/ha, sehingga Pela Mampang lebih padat dibandingkan Petogogan. Jumlah WNI laki-laki 27 663 jiwa dan perempuan 21 257 jiwa sedangkan jumlah WNA laki-laki 11 jiwa dan perempuan enam jiwa. Rekapitulasi jumlah penduduk di dua kelurahan menurut golongan usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.

Mayoritas penduduk di Kelurahan Petogogan adalah masyarakat asli Jakarta khususnya masyarakat betawi. Sebaliknya, di Kelurahan Pela Mampang banyak masyarakat pendatang dari seputar Jakarta dan luar Jakarta. Hal ini terlihat dari banyaknya rumah kontrakan di bantaran Sungai Krukut. Menurut hasil wawancara dengan salah satu warga Petogogan, banyak warga Pela Mampang yang “mematok-matok” sungai dengan bambu dan menimbunnya dengan tanah untuk menambah lahan mereka. Hal ini diduga menjadi penyebab menyempitnya


(48)

36 Sungai Krukut. Kondisi sosial di dua kelurahan tersebut termasuk ke dalam wilayah pemukiman padat dan semi kumuh.

Jenis mata pencaharian yang utama di Kelurahan Petogogan adalah buruh 28.05 %, sektor swasta sebesar 26.59 %, dan pedagang/pengusaha 19.68 %. Namun, jumlah pengangguran dalam hal ini penduduk yang termasuk usia produktif tetapi tidak bekerja sebesar 22.32 %. Tidak berbeda jauh dengan Kelurahan Petogogan, jenis mata pencaharian yang utama di Kelurahan Pela Mampang adalah sektor swasta sebesar 29.38 %, pertukangan 28.61 %, dan buruh 11.02 %. Data jumlah penduduk menurut mata pencahariannya di Kelurahan Petogogan dan Kelurahan Pela Mampang dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.

Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencahariannya di Kelurahan Petogogan Tahun 2010

No. Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase %

1 Pedagang/Pengusaha 1 546 19. 68

2 Buruh 2 203 28. 05

3 Karyawan Swasta 2 088 26. 59

4 PNS 189 2. 41

5 ABRI 75 0. 95

6 Usia Produtif tidak bekerja 1 753 22. 32

Jumlah 7 854 100

Sumber: Kelurahan Petogogan 2010

Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencahariannya di Kelurahan Pela Mampang Tahun 2010

No. Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase %

1 Pedagang/Pengusaha 1 011 3.60

2 Buruh 3 099 11.02

3 Karyawan Swasta 8 260 29.38

4 PNS 1 011 3.60

5 TNI/POLRI 1 116 3.97

6 Pertukangan 8 043 28.61

7 Pensiunan 1 830 6.51

8 Pemulung 1 052 3.47

9 Jasa/lain-lain 2 693 9.58

Jumlah 28 115 100


(49)

37 Cukup banyaknya pengangguran dan tenaga kerja tanpa keterampilan disebabkan tingkat pendidikan masyarakat di dua kelurahan tersebut sangat rendah khusunya warga yang tinggal di bantaran sungai. Data jumlah penduduk menurut tingkat pendidikannya di Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5.

Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kelurahan Petogogan Tahun 2010

Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase %

Sekolah dasar (SD) 1 291 9.81

SLTP 2 061 15.66

SLTA 3 552 26.99

Diploma 741 5.63

Sarjana 5 516 41.91

Jumlah 13 161 100

Sumber: Kelurahan Petogogan 2010

Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kelurahan Pela Mampang Tahun 2010

Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase %

Sekolah dasar (SD) 4 767 14.92

SLTP 6 347 19.87

SLTA 11 271 35.28

Diploma 1 692 5.30

Sarjana 3 336 10.44

Pondok Pesantren 4 535 14.19

Jumlah 31 948 100

Sumber: Kelurahan Pela Mampang 2010

Berdasarkan Tabel 4 tingkat pendidikan terbanyak di Kelurahan Petogogan adalah sarjana sebesar 41.91 % sedangkan untuk Kelurahan Pela Mampang pada Tabel 5 adalah SLTA sebesar 35.28 %.

5.3. Kondisi Sungai Krukut

Sungai Krukut merupakan salah satu sungai yang termasuk wilayah Sungai Ciliwung Cisadane. Panjang sungai sekitar 30 km membentang mulai dari hulu di Situ Citayam Kota Depok yang sekarang berubah menjadi Depo Citayam,


(50)

38 lalu ke Cilandak, Jalan Tendean, Gatot Subroto, dan Pejompongan. Pada akhinya bergabung dengan banjir kanal barat (BKB) dan merupakan bagian dari drainase DKI Jakarta.

Daerah aliran sungai (DAS) Krukut memiliki luas ± 84 km2 dengan panjang sungai utama ± 30 km. Perkembangan pemanfaatan lahan di bagian hulu (Situ Citayam) dan tengah DAS Krukut, secara langsung berpengaruh terhadap volume aliran permukaan (run off) yang teralirkan di Sungai Krukut. Terdapat 13 sungai dan anak sungai yang mengalir ke Jakarta. Sungai ini sebagian besar polanya meander/berkelok-kelok. Mulai dari S. Angke, S. Pesanggrahan, S. Ciliwung, S. Krukut, dan seterusnya. Sebagian wilayah sungai-sungai tersebut merupakan lokasi banjir di Jakarta. Bentuk sungai berkelok-kelok ini menyebabkan aliran air lebih lambat dan lama tergenang sebelum mencapai titik

outlet/hilir.

Sungai Krukut memiliki lebar 3-5 m di daerah hulu (dari Situ Citayam sampai daerah Kelurahan Pondok Labu). Bantaran sungai berupa perumahan dengan tingkat kepadatan sedang dan pada beberapa lokasi masih terdapat area terbuka. Pada alur sungai mulai Kelurahan Pondok Labu sampai daerah Jalan Tendean mempunyai lebar 5-7 m dengan bantaran sungai berupa perumahan dengan tingkat kepadatan tinggi. Namun, lebar sungai di beberapa tempat hanya 2 m. Kondisi sungai yang menciut-melebar menyebabkan terdapat banyak jebakan air (pothole) di dalamnya. Hal ini diakibatkan dari pembangunan perumahan yang melakukan pemagaran di sempadan sungai. Berikut ini kondisi Sungai Krukut di daerah Petogogan dapa dilihat pada Gambar 3.


(51)

39 Gambar 3. Kondisi Sungai Krukut di Kelurahan Petogogan dan Pela

Mampang

Secara topografis, DAS Krukut terletak pada dataran landai dan bergelombang. Daerah dataran terletak di Jakarta Pusat (daerah Bendungan Hilir/Pejompongan) yang merupakan daerah hilir DAS Krukut. Menurut Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWS-CC) kondisi hulu DAS Krukut menunjukkan telah terjadi konversi lahan secara besar-besaran, dimana hutan alam telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Kondisi ini menyebabkan luas hutan semakin kecil dan semakin meluasnnya lahan kritis, yang dampaknya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir disertai erosi tanah yang besar di musim hujan. Penggunaan lahan sangat besar pengaruhnya terhadap karakterstik hidrologi suatu DAS karena dapat mempengaruhi proses-proses yang terlibat dalam siklus hidrologi seperti intersepsi, evapotranspirasi, infiltrasi, dan aliran permukaan.

5.3.1. Pola Aliran dan Bentuk DAS

Pola aliran Sungai Krukut mengikuti suatu pola atau jaringan satu arah, dimana cabang dan anak sungai mengalir ke sungai utama dengan membentuk pola aliran dendritik. Pola ini pada umumnya terdapat pada daerah dengan batuan


(52)

40 sejenis. Berdasarkan bentuk DAS, Sungai Krukut mempunyai bentuk memanjang (bulu burung). Bentuk semacam ini biasanya akan menyebabkan aliran debit banjir (peak flood) relatif kecil karena waktu tiba banjir dari anak sungai berbeda waktunya. DAS krukut memiliki beberapa anak sungai yaitu Sungai Mampang, Sungai Kalibata, dan Sungai Sarua.

Data aliran Sungai Krukut berdasarkan pencatatan pada stasiun automatic water level recorder (AWLR) di stasiun pencatatan Benhil selama lima tahun yaitu tahun 2001-2006 ditunjukan pada Tabel 6. Debit rata-rata maksimum terbesar terjadi pada bulan Februari tahun 2002 sebesar 19.93 m3/s, sedangkan debit terkecil terjadi pada bulan Agustus tahun 2003 sebesar 1.47 m3/s. Data diatas menunjukan bahwa fluktuasi debit maksimum dan minimum sangat besar. Fluktuasi ini menunjukkan kondisi DAS Krukut mendekati DAS Kritis (BBWS 2011).

Tabel 6. Debit Rata-Rata Bulanan Sungai Krukut Tahun 2001-2006 Bulan

Debit Rata-rata m3/s

2001 2002 2003 2004 2005 2006

Januari 5.095 10.682 3.101 8.706 9.075 7.422 Februari 5.488 19.932 7.930 11.085 8.855 10.238 Maret 6.629 9.574 7.592 7.519 9.305 10.526 April 8.040 10.891 5.781 9.380 4.502 10.401

Mei 6.354 5.242 5.076 8.903 5.909 8.320

Juni 8.317 5.309 3.229 3.194 6.675 4.543

Juli 5.545 5.350 2.064 3.908 4.149 3.806

Agustus 4.046 3.503 1.470 2.060 4.394 3.447 September 3.516 2.207 2.226 1.612 4.699 3.013 Oktober 5.639 2.008 3.529 2.502 5.168 2.806 November 5.076 3.167 6.342 4.652 4.178 3.547 Desember 4.107 4.824 6.376 5.645 4.667 6.335 Sumber: Stasiun pencatatan AWLR Benhil, BBWS 2011


(53)

41 5.4. Karakteristik Responden

Karakteristik umum responden di Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang diperoleh berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 50 warga masyarakat. Karakteristik umum responden ini dinilai dari beberapa variabel meliputi jenis kelamin, pendidikan formal yang pernah ditempuh, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan per bulan, lama tinggal, jumlah tanggungan, jarak rumah ke sungai, kepemilikan surat tanah, dan jenis bangunan.

5.4.1. Jenis Kelamin

Berdasarkan survei yang dilakukan, persentase jumlah responden yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 80%, sedangkan responden yang berjenis kelamin perempuan sebesar 20%. Responden umumnya lebih banyak laki-laki karena laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga dan pembuat keputusan di dalam rumah tangga.

5.4.2. Luas Tanah dan Bangunan yang Terkena Normalisasi

Salah satu proses pelaksanaan normalisasi Sungai Krukut adalah pelebaran sungai. Hal ini menyebabkan warga yang tinggal tidak jauh dengan sungai akan tergusur. Sebanyak 76 % dari total responden umumnya luas tanah dan bangunan yang terkena normalisasi di kedua kelurahan tersebut seluas 1-40 m2. Persentase jumlah responden sesuai dengan luas tanah dan bangunan yang terkena normalisasi dikedua kelurahan dapat dilihat pada Gambar 4.


(54)

Sumber: Data primer (diolah) Gambar 4. Sebaran Respon

Kelurahan Petogogan

5.4.3. Lama Tinggal

Mayoritas penduduk d betawi sedangkan di Kelurahan Jakarta maupun luar Jakarta. Se tinggal di kedua kelurahan responden sesuai dengan lama pada Gambar 5.

Sumber: Data primer (diolah)

Gambar 5. Sebaran Responden Petogogan dan

20% 0% 2%

24%

onden Menurut Luas Tanah dan Bangunan di Petogogan dan Pela Mampang Tahun 2011

di Kelurahan Petogogan merupakan penduduk as lurahan Pela Mampang lebih banyak pendatang seput arta. Sebanyak 38 % dari total responden umumnya tel

n tersebut selama 41-50 tahun. Persentase juml ma responden tinggal dikedua kelurahan dapat dilihat

sponden Menurut Lama Tinggal di Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang Tahun 2011

76% 2% 2%

1 - 40 m2 41 - 80 m2 81 - 120 m2 121 - 160 m2 161 - 240 m2

4% 30% 38% 4% < 30 31-40 41-50 51-60 > 61 asli putar telah mlah dilihat


(55)

5.4.4. Pendidikan Terakhir Tingkat pendidikan res dengan sekolah menengah p berpendidikan SMA. Persentase pendidikan yaitu pada SD se mayoritas penduduk yang ti rendah. Perbandingan persenta Gambar 6.

Sumber: Data primer (diolah) Gambar 6. Sebaran Respon

Kelurahan Petogogan

5.4.5. Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan respon khususnya di sepanjang Sun seperti, buruh, wirausaha/ped Mayoritas warga yang tinggal sebagai buruh sebesar 32 %. Peke buruh tidak tetap. Buruh haria

44,00%

responden hampir seragam antara sekolah dasar (SD) pertama (SMP), namun sebagian kecil ada ya Persentase jumlah responden tertinggi berdasarkan tingka

sebesar 50 %, SMP 44 %, dan SMA 6 %. Artiny tinggal disepanjang Sungai Krukut berpendidika ntase tingkat pendidikan responden dapat dilihat pa

onden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Petogogan dan Pela Mampang Tahun 2011

sponden di Kelurahan Petogogan dan Pela Mampa Sungai Krukut relatif homogen. Jenis pekerjaann

pedagang, ibu rumah tangga, dan pegawai swasta. gal di sepanjang Sungai Krukut bermata pencahari %. Pekerjaan sebagai buruh terbagi dua, buruh tetap da harian biasanya hanya menunggu permintaan orang lai

50,00% 6,00% SD Smp Sma (SD) yang gkat inya, dikan pada Mampang annya asta. ian dan lain


(56)

untuk bekerja, seperti buruh setiap pekerjaan dapat dilihat p

Sumber: Data primer (diolah) Gambar 7. Sebaran Respon

Petogogan dan P

5.4.6. Tingkat Pendapatan Sebesar 60 % dari tota 000 sampai Rp. 1 200 000 pencaharian warga disepanjan kasar, dan pedagang kecil. Mas padat. Distribusi tingkat penda Gambar 8.

Sumber: Data primer (diolah) Gambar 8. Sebaran Respon

Kelurahan Petogogan 28% 12% 6% 60% 16% 4%

uruh bangunan. Perbandingan jumlah responden pa pat dilihat pada Gambar 7.

onden Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Keluraha n Pela Mampang Tahun 2011

otal responden memiliki pendapatan sebesar Rp. 90 000 per bulan. Hal ini dikarenakan mayoritas ma

jang Sungai Krukut sebagai buruh bangunan, buru asyarakat hidup dalam pemukiman semi kumuh da t pendapatan responden di dua kelurahan dapat dilihat pa

onden Berdasarkan Tingkat Pendapatan di Petogogan dan Pela Mampang Tahun 2011

32% 20% 2% Buruh Ibu RT Wiraswasta/pedagang Pegawai Swasta Supir lain-lain 20% 60% 4% 500000-800000 900000-1200000 1300000-1600000 1700000-2000000 pada han 900 mata buruh dan at pada


(1)

73 Siswoko. 2002. Banjir Masalah Banjir dan Upaya Mengatasinya. Departemen

Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Jakarta.

Sumarjono M. 2001. Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi. Kompas. Jakarta.

United Nations Developmen Program. 1992. An Overview of Disaster Management. United Nations Development. 2nd edition. New York. Wisnubrata A. 27 September 2010. Jakarta Kurang Ruang Terbuka Hijau.

http://megapolitan.kompas.com/Banjir.Jakarta.Kurang.Ruang.Terbuka.Hij au.htm. diakses tanggal 26 Januri 2011.

Yunus L. 2005. Evaluasi Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy Hulu dan Akibatnya di Hilir. Tesis. Pasca Sarjana. IPB


(2)

75 Lampiran 1. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin di

Kelurahan Petogogan Tahun 2010

Sumber: Kelurahan Petogogan 2010

Lampiran 2. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin di Kelurahan Pela Mampang Tahun 2010

Sumber: Kelurahan Pela Mampang 2010

No Umur WNI WNA Jumlah

Lk. Pr. Jumlah Lk. Pr. Jumlah

1 0-4 861 906 1767 0 0 0 1767

2 5-9 751 748 1500 0 0 0 1500

3 10-14 889 797 1686 0 0 0 1686

4 15-19 878 559 1437 0 0 0 1437

5 20-24 879 913 1792 0 0 0 1792

6 25-29 653 747 1400 0 0 0 1400

7 30-34 598 599 1197 0 0 0 1197

8 35-39 650 597 1247 2 2 4 1251

9 40-44 519 521 1040 0 1 1 1041

10 45-49 530 436 966 0 0 0 966

11 50-54 514 402 916 0 1 1 917

12 55-59 427 385 812 2 1 3 815

13 60-64 344 290 634 1 1 2 636

14 65-69 361 232 593 1 1 2 595

15 70-74 285 195 480 0 0 0 480

16 75 ke atas 268 178 446 0 0 0 446

Jumlah 9407 8505 17912 6 7 13 17925

No Umur WNI WNA Jumlah

Lk. Pr. Jumlah Lk. Pr. Jumlah

1 0-4 5025 4843 9868 0 0 0 9868

2 5-9 3416 2456 5872 5 3 8 5880

3 10-14 2866 2205 5071 0 0 0 5071

4 15-19 4186 2711 6897 0 0 0 6897

5 20-24 3261 2618 5879 2 0 2 5881

6 25-29 1948 1301 3249 0 0 0 3249

7 30-34 1434 1204 3138 2 0 2 3140

8 35-39 1488 1084 2572 0 3 3 2575

9 40-44 1269 901 2170 0 0 0 2170

10 45-49 797 613 1410 0 0 0 1410

11 50-54 493 461 954 2 0 2 956

12 55-59 468 361 829 0 0 0 829

13 60-64 267 291 558 0 0 0 558

14 65-69 138 105 243 0 0 0 243

15 70-74 102 103 205 0 0 0 205

16 75 keatas 5 0 5 0 0 0 5


(3)

76 Lampiran 3. Uji Kenormalan

H0 : galat menyebar normal H1 : galat tidak menyebar normal

Nilai-p(0.946) > alpha 5% maka terima H0 artinya galat menyebar normal Uji Homoskedastisitas

H0 : Homoskedastisitas H1 : Heteroskedastisitas

P-value (1,00) > alpha 0,05 maka homoskedastis

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

50 ,0000000 ,05185352 ,074 ,067 -,074 ,525 ,946 N

Mean Std. Deviation Normal Parametersa,b

Absolute Positive Negative Most Extreme

Differences

Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)

Unstandardiz ed Residual

Test distribution is Normal. a.

Calculated from data. b.

ANOVAb

,000 6 ,000 ,000 1,000a

,132 43 ,003

,132 49

Regression Residual Total Model 1

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Predictors: (Constant), D2, D1, LnX5, LnX2, lnX1, LnX4 a.

Dependent Variable: absresid1 b.


(4)

77 Uji F ( Anova ) dan Uji t

yang berpengaruh nyata terhadap Y pada taraf nyata 5% adalah LnX1,LnX2,LnX5, D1 dan D2

Nilai VIF < 10 maka tidak terjadi multikolinieritas

ANOVAb

1,220 6 ,203 66,355 ,000a

,132 43 ,003

1,352 49 Regression Residual Total Model 1 Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Predictors: (Constant), D2, D1, LnX5, LnX2, lnX1, LnX4 a.

Dependent Variable: LnWTA b.

Model Summaryb

,950a ,903 ,889 ,05535311011917 ,903 66,355 6 43 ,000 1,538

Model 1

R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

R Square

Change F Change df1 df2 Sig. F Change Change Statistics

Durbin-Watson Predictors: (Constant), D2, D1, LnX5, LnX2, lnX1, LnX4

a.

Dependent Variable: LnWTA b.

Coefficientsa

13,557 ,608 22,308 ,000

,088 ,016 ,324 5,546 ,000 ,665 1,503

,073 ,021 ,262 3,513 ,001 ,408 2,448

-,035 ,050 -,058 -,696 ,490 ,327 3,062

,096 ,045 ,134 2,124 ,039 ,571 1,751

,159 ,020 ,459 8,077 ,000 ,703 1,423

,074 ,026 ,191 2,863 ,006 ,508 1,967

(Constant) lnX1 LnX2 LnX4 LnX5 D1 D2 Model 1

B Std. Error Unstandardized

Coefficients

Beta Standardized

Coefficients

t Sig. Tolerance VIF

Collinearity Statistics

Dependent Variable: LnWTA a.


(5)

78 Lampiran 4. Peta Lokasi Penelitian

Observed Cum Prob

1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0

E

xp

ec

te

d

C

u

m

P

ro

b

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0

Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual


(6)

i RINGKASAN

ANDIKA LESMANA W, Penilaian Ekonomi Ganti Rugi Lahan pada Program Normalisasi Sungai di DKI Jakarta (Studi Kasus: Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang Jakarta Selatan), Dibimbing Oleh PINI WIJAYANTI

Jakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang sering dilanda banjir. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti, tingkat pertambahan penduduk yang tinggi, kondisi geografis, berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH), dan lain-lain. Secara geografis Jakarta merupakan dataran rendah dengan dialiri oleh 13 sungai. Namun, secara umum kondisi sungai di Jakarta dapat dikategorikan buruk. Salah satunya adalah Sungai Krukut. Keberadaan pemukiman di sepanjang sungai memberikan dampak yang cukup besar terjadinya banjir. Hal tersebut membuat sungai menjadi dangkal dan semakin sempit, sehingga dapat mengganggu aliran air. Hal ini berdampak ketika terjadi hujan dengan intensitas tinggi, maka sungai tidak mampu menampung dan mengalirkan air sehingga akan meluap ke pemukiman warga. Salah satu solusi yang akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah dengan normalisasi sungai. Kondisi sungai yang mengalami penyempitan dan pendangkalan, harus segera dikembalikan seperti kondisi semula bahkan kapasitas sungai harus ditingkatkan. Pengerukan dan pelebaran sungai harus segera dilaksanakan untuk mengurangi resiko terjadinya banjir. Namun, hal ini akan menyebabkan masyarakat yang tinggal di bantaran sungai akan tergusur.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengetahui besarnya dana ganti rugi yang diharapkan masyarakat. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu: (1) mengkaji gambaran desain dan manfaat normalisasi Sungai Krukut, (2) mengkaji persepsi masyarakat Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang terhadap rencana program normalisasi Sungai Krukut, (3) mengestimasi nilai ganti rugi tanah dan bangunan yang terkena dampak dari normalisasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tersebut.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Responden merupakan masyarakat yang akan terkena dampak dari normalisasi. Metode yang digunakan yaitu metode skala semantik untuk mengkaji persepsi masyarakat, Willingness to Accept (WTA) untuk mengestimasi nilai ganti rugi, dan regresi linier berganda untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTA.

Sungai Krukut akan dilebarkan menjadi 20 m dari semula hanya 3-5 m dan diperdalam menjadi 3 m dari semula kurang dari 2 m. Hal ini akan meningkatkan debit sungai menjadi empat kali dari semula, sehingga air sungai tidak akan meluap dan membanjiri pemukiman warga. Berdasarkan persepsi masyarakat kondisi Sungai Krukut sudah sangat buruk ditandai oleh penyempitan dan pendangkalan. Masyarakat menilai bahwa sungai ini penting dan harus secepatnya dinormalisasi. Nilai ganti rugi (WTA) yang bersedia diterima masyarakat untuk tanah dan bangunannya sebesar Rp. 2 110 000 per m2. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tersebut adalah luas lahan, jarak tempat tinggal dengan sungai, pendidikan, status kepemilikan lahan, dan jenis bangunan.