Biomassa akar pohon ara Ficus indica ditemukan hampir di seluruh plot penelitian, hal ini diduga menurut Putz Holbrook 1986 di acu dalam Susilo
1999 bahwa meskipun ada yang berbentuk pohon, ara Ficus indica pada umumnya hemiepiphyt, yaitu tumbuhan yang hidupnya sebagai epiphyt, bermula
dari biji yang menempel di percabangan batang pohon inang berkecambah dan kemudian mengeluarkan akar udara akar gantung dan lama kelamaan bisa
sampai ke permukaan lantai hutan dan menembus tanah. Beberapa jenis Ficus ada yang mengembangkan akarnya ke samping kiri dan kanan menyelimuti pohon
inangnya hingga mencekik, akar-akar yang sampai ke tanah akan menyaingi pohon inangnya. Tajuknya dapat tumbuh cepat, hingga dapat lebih tinggi
dan lebih lebar dibandingkan dengan tajuk inangnya. Akibatnya, pohon inang mendapat saingan yang keras dalam mendapatkan
cahaya dan nutrisi. Inang yang tercekik akhirnya mati karena mendapat persaingan yang hebat di atas tanah dan di bawah tanah juga mendapat cekikan
pada batangnya. Pada umumnya ara memilih pohon inang yang kuat dan berumur panjang seperti ulin Eusideroxylon zwageri yang termasuk suku Lauraceae
dan pada jenis-jenis dari suku Dipterocarpeceae Leigton Leigton 1983 di acu dalam Susilo 1999.
Adanya kecenderungan peningkatan jumlah jenis akar pohon pada areal bekas tebangan TPTJ terutama pada jalur tanam seiring dengan bertambahnya
umur tanam, namun kecenderungan ini tidak diikuti dengan peningkatan kontribusi dari setiap kelas diameter biomassa akar, hal ini menunjukkan adanya
persaingan yang tinggi di antara setiap jenis pohon untuk mendapatkan unsur hara. Menurut Snaydon dan Harris 1981 di acu dalam Fisher dan Dunham
1992 persaingan di bawah tanah adalah lebih kuat dari pada persaingan di atas tanah untuk mendapatkan cahaya.
5.2.2. Cadangan Karbon Hutan Primer dan Areal TPTJ
Adanya kegiatan pemanenan kayu dan tindakan silvikultur TPTJ telah menyebabkan terjadinya perubahan akumulasi serasah pada permukaan tanah
yang signifikan. Akumulasi serasah tersebut ditentukan oleh jumlah dan komposisi masukan serasah, baik yang gugur cabang, ranting, daun, bunga
dan buah maupun sebagai akibat dari kegiatan pembebasan vertikal dan horizontal, dan kegiatan pemangkasan. Berubahnya akumulasi serasah pada
areal bekas tebangan TPTJ telah mempengaruhi cadangan karbon dalam serasah segar dan cadangan karbon dalam serasah hancur.
Secara statistik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata jika dibandingkan dengan hutan primer. Walaupun ada kecenderungan untuk
meningkat, namun belum bisa mengembalikan ke tingkat cadangan karbon dalam serasah di hutan primer. Hal ini diduga adanya perbedaan yang relatif kecil dari
input serasah dari segi kuantitas hasil biomassa dibandingkan dengan hutan primer.
Menurut Ishizuka et al 2002 potensi karbon memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap keberadaan biomassa. Dari hasil uji korelasi, diperoleh korelasi
yang sangat nyata antara biomassa serasah segar dengan cadangan karbon dalam serasah segar, dari hasil uji korelasi terhadap kedua variabel tersebut di peroleh
koefisien korelasi sebesar r 1,000 Gambar 43 b pada jalur tanam dan 1,000 Gambar 71 a pada jalur antara.
Biomassa serasah segar, serasah hancur dan akar memberikan kontribusi yang besar terhadap bahan organik. Bahan organik sangat mempengaruhi
besarnya kandungan karbon pada setiap bagian pohon, sehingga terdapat korelasi antara biomassa dengan kandungan karbon. Menurut Hilmi 2003 besarnya
potensi bahan organik akan meningkatkan potensi karbon, karena potensi bahan organik dapat mempengaruhi besarnya potensi selulosa, lignin, zat ekstraktif
dan hemiselulosa, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi potensi karbon yang dikandung oleh pohon tersebut. Selulosa merupakan gula linier yang berantai
panjang yang tersusun oleh karbon, sehingga makin tinggi selulosa maka kandungan karbon akan semakin meningkat.
Cadangan karbon dalam akar sebagian besar berasal dari hutan primer, kemudian diikuti ABT3, ABT4, ABT0 dan ABT2. Kandungan karbon dalam akar
memberikan pengaruh yang signifikan akibat dari kegiatan pemanean kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ. Terutama untuk akar dengan diameter 0,5 cm
dan 0,5 cm – 2 cm pada jalur tanam. Akar tersebut ternyata memberikan proporsi perkembangan akar yang cukup besar untuk jumlah total cadangan karbon dalam
akar. Hal ini memperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh Klinge 1978 di acu dalam Sulistiyanto 2005 di hutan Amazon, dimana hampir 80 akar
mempunyai diameter kurang dari 1 cm. Secara statisitk kandungan karbon dalam tanah di areal TPTJ menunjukkan
perbedaan yang tidak nyata jika dibandingkan dengan hutan primer. Hal ini menunjukkan bahwa produksi bahan organik yang dihasilkan dari biomassa
serasah segar, serasah hancur dan biomassa akar adalah belum banyak berbedaan yang signifikan.
Cadangan karbon dalam tanah pada kedalaman 0 – 20 cm sebagian besar berasal dari ABT3, kemudian di ikuti ABT4, hutan primer, ABT2 dan ABT0.
Sedangkan untuk cadangan karbon dalam tanah pada kedalaman 20 cm – 40 cm sebagian besar berasal dari ABT0 kemudian diikuti oleh cadangan karbon dalam
tanah pada kedalaman 20 cm – 40 cm pada ABT4, ABT3, hutan primer dan ABT2.
Hal tersebut menunjukkan bahwa cadangan karbon pada setiap plot penelitian dan kedalaman tanah adalah berbeda. Hal ini mengindikasikan adanya
laju dekomposisi yang berbeda pada setiap plot penelitian dan kedalaman tanah, sehingga menghasilkan keragaman kandungan karbon. Menurut Sanchez 1976
di acu dalam Siringoringo dan Siregar 2006, laju dekomposisi bahan organik serasah, daun, cabang, kulit, buah, batang yang melapuk dari vegetasi pada
lahan suatu areal menjadi C-organik tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tambahan bahan organik segar ke dalam tanah, kecepatan dekomposisi bahan
organik, serta kecepatan konversi bahan organik segar menjadi C-organik. Kandungan karbon tanah pada lapisan paling atas suatu profil tanah lebih tinggi
dari pada lapisan yang lebih dalam karena perkembangan struktur tanah pada lapisan tanah kemungkinan besar dipengaruhi oleh jumlah bahan organik tanah
yang lebih tinggi, perkembangan akar yang lebih cepat dan juga kegiatan mikroorganisme.
Jika mengacu dari hasil penelitian Pamoengkas 2006 yang dilakukan pada lokasi yang sama, baik di hutan primer maupun di areal TPTJ 0,1,2,3 4,5 tahun,
di peroleh nilai rasio CN serasah berkisar antara 32 – 56, hal ini menunjukkan bahwa serasah di seluruh plot penelitian akan terdekomposisi dengan lambat.
Karena menurut Palm dan Sanchez 1991 di acu dalam Hairiah et al 2004 serasah dikategorikan cepat lapuk apabila nisbah CN 25, kandungan lignin
15 dan polyphenol 3 . Sehingga perbedaan kandungan karbon dalam tanah dan serasah mungkin
lebih di pengaruhi oleh rumpang gap yang terbentuk. Di areal TPTJ, terutama areal bekas tebangan 0 tahun untuk jalur tanam memiliki keterbukaan tajuk yang
tinggi jika dibandingkan dengan plot penelitian yang lain. Hal ini menunjukkan adanya rumpang gap. Kondisi suhu yang lebih tinggi akan terjadi pada rumpang
gap yang terbentuk disuatu areal jika dibandingkan kondisi sekitarnya, walaupun tanah pada lapisan bawah di hutan lebih basah Jetten 1994a di acu
dalam Dam, 2001. Hal ini dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme untuk melakukan dekomposisi serasah. Kajian terhadap dekomposisi telah dilakukan
di Amerika dan diperoleh adanya perbedaan yang nyata antara ukuran rumpang gap dengan keterbukaan tajuk dan kecepatan dekomposisi Denslow et al 1998,
Luizäo et al 1998 di acu dalam Dam 2001. Sedangkan kajian di negara China yang dilakukan, menunjukkan adanya tingkat dekomposisi yang rendah pada
rumpang gap yang besar jika dibandingkan pada hutan dengan rumpang gap yang kecil dan hutan primer.
5.2.3. Sifat Fisik Tanah pada Hutan Primer dan Areal TPTJ