Kandungan Karbon dalam Tanah di Hutan Alam Tropika

konsentrasi gas-gas rumah kaca tersebut akan menyebabkan pemanasan secara global yang dapat meningkatkan suhu tanah daratan. Menurut Barchia 2006 perubahan suhu akan menentukan komposisi spesies dan aktivitas flora fauna dan pada waktu bersamaan juga secara langsung mempengaruhi setiap organisme dalam komunitasnya. Metabolisme mikrobia dan proses mineralisasi dari senyawa karbon lebih lambat pada suhu rendah, pada saat terjadi peningkatan suhu akan terjadi proses metabolisme dan respirasi yang akan melepaskan gas CO 2.

2.5. Kandungan Karbon dalam Tanah di Hutan Alam Tropika

Jumlah hara pada hutan tropika sebagian besar terdapat pada biomassa tegakan Medina Cuevas 1989 di acu dalam Sulistiyanto 2005. Dimana 50 dari biomassa adalah karbon Brown 1997. Perpindahan hara dan transfer energi banyak di pengaruhi oleh keberadaan biomassa serasah dan proses daur balik turnover akar dalam tanah Gower 2003. Hal ini sangat penting untuk ”budget” hara dari ekosistem hutan terutama pada tanah yang miskin hara, dimana tumbuhan sangat tergantung pada ”recycling” hara pada serasah tersebut. Menurut hasil penelitian Hairiah et al 2004, biomassa serasah hutan di Sumberjaya Lampung sekitar 2,1 tonha, kebun kopi multistrata umur 10 tahun menghasilkan biomassa serasah sekitar 1,8 tonha, pada kebun kopi naungan sekitar 1,2 tonha, dan pada kebun kopi monokultur sekitar 1,2 tonha. ahan kopi mono Menurut Lasco et al 2000, Wingum dan Schroeder 1998 di acu dalam Hilmi 2003, kepadatan biomassa hutan tua berkisar 1,655 mega gramha. Dimana dari 94 biomassa terdiri dari 55 di akar, sedangkan untuk hutan sekunder 80 berada di atas permukaan tanah dan 20 di bawah permukaan tanah. Sejak tahun 1973, kajian dampak suhu tanah terhadap berat kering biomassa akar telah banyak di lakukan. Seperti kajian dampak suhu tanah terhadap berat kering jenis blue grama Bouteloua gracilis Willd. Ex H. B. K oleh Wilson 1981, jenis soybean Glycine max. L oleh Mattews dan Hayes 1982 perennial ryegrass Lolium perenne. L oleh Clarkson et al 1986 dan sorgum Sorgum vulgare oleh Rao et al 1989. Secara umum, berat kering biomassa akar di pengaruhi oleh kondisi suhu dengan pertumbuhan optimum pada suhu 25 C Kaspar Bland 1992. Biomassa akar root biomass biasanya lebih rendah dibanding biomassa tegakan. Rasio biomassa akarbiomassa tegakan root weightshoot weight untuk spesies kayu kayuan di hutan tropika berkisar 0,03 sampai 0,81 Dean et al 1996 di acu dalam Sulistiyanto 2005. Biomassa akar berkisar antara 13,9 – 20,2 tonha pada hutan Kartanaka, India. Angka yang relatif rendah, karena tidak memasukkan akar halus. Dimana pada hutan tersebut tidak ditemukan akar halus dengan diameter dibawah 5 cm Rai dan Proctor 1986 di acu dalam Sulistiyanto 2005. Padahal menurut Klinge 1978 di acu dalam Sulistiyanto 2005, akar-akar halus ini mempunyai proporsi yang besar untuk jumlah kuota akar khususnya di hutan tropika. Contoh ekstrim yang ditunjukkan oleh Klinge 1978 di acu dalam Sulistiyanto 2005, untuk hutan amazon hampir 80 akar mempunyai diameter kurang dari 1 cm. Lebih lanjut dalam hal yang sama, Schulze et al 1996 melaporkan 90 dari total biomassa akar berada pada kedalaman antara 0 – 0,60 m untuk Nothofagu pumilio, Jackson et al 1996 melaporkan 52 dari biomassa akar untuk hutan coniferous biasanya berada pada kedalaman 0 – 30 cm, dan Laclau 2003, mendapatkan 75 dari biomassa akar dari ponderosa pine Pinus ponderosa pada kedalaman antara 0 – 50 cm. Evolusi CO 2 dari tanah dikenal dengan istilah respirasi. Menurut Hanson et al 2000 di acu dalam Chen et al 2005 kontribusi akar terhadap total respirasi tanah berkisar antara 10 sampai lebih dari 90 . Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Siringoringo dan Siregar 2006, kandungan karbon dalam tanah pada kedalaman 0 – 30 cm di bawah tegakan Paraserianthes falcataria L Nielsen dan vegetasi hutan sekunder adalah relatif sama, yaitu masing-masing berkisar antara 1,52 – 3,16 dan 1,24 – 3,21 , dimana kandungan karbon dalam tanah pada lapisan atas lebih tinggi dari pada lapisan yang lebih bawah. Secara analisis statistik, tegakan hutan tanaman rakyat jenis Paraserianthes falcataria L Nielsen belum memberikan pengaruh yang berarti terhadap peningkatan simpanan karbon dalam tanah hingga tegakan berumur 6 – 7 tahun. Simpanan karbon dalam tanah pada kedalaman 0 – 30 cm di bawah tegakan Paraserianthes falcataria L Nielsen dan hutan sekunder masing-masing sebesar 59,43 tonha dan 51,16 tonha. Hariyadi 2005 mengemukakan, bahwa pada sistem pertanaman teh umur 5 tahun yang dibudidayakan secara intensif memiliki cadangan karbon sebesar 27,02 jika dibandingkan dengan hutan alam di Taman Nasional Gunung Halimun. Nilai cadangan karbon ini meningkat sejalan dengan peningkatan umur tanaman dan pada tanaman teh umur 20 tahun, pertanaman teh tersebut memiliki cadangan karbon sebesar 29,66 jika dibandingkan dengan hutan alam. Cadangan karbon pada lahan bera umur 4 tahun sampai 7 tahun memiliki cadangan karbon dalam tanah 10,71 – 13,88 jika dibandingkan dengan hutan alam. Hutan pinus umur 30 tahun dan kebun campuran 30 tahun memiliki cadangan karbon masing-masing 66,27 dan 77,68 jika dibandingkan dengan hutan alam. Cadangan karbon di hutan alam Gunung Halimun secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rata-rata kadar karbon pada kawasan hutan alam Gunung Halimun No Parameter Rata-rata ton Cha 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Bagian tajuk Bagian akar Tumbuhan dengan dbh 5 cm Pohon mati tegak Pohon mati di atas tanah Serasah dan tumbuhan bawah Humus Tanah 0 – 60 cm 225,65 ± 45, 95 56,41 ± 11,49 8,52 ± 1,32 2,66 ± 0,64 1,34 ± 0,34 2,10 ± 0,67 16,36 ± 3,52 88,35 ± 14,93 Total C 401,39 ± 54,20 Pada umunya kandungan karbon dalam tanah di bagian atas top soil lebih tinggi dibanding bagian bawah sub soil. Penelitian tentang kandungan karbon dalam tanah pada berbagai kondisi lahan di dataran rendah Sumatera di laporkan van Noordwijk et al. 1997 di acu dalam Hariyadi 2005 seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan Corganik tanah dan rasio CN di dataran rendah 200 m dpl Corganik Rasio CN Kondisi Lahan Sub soil Top soil Sub soil Top soil Hutan primer Hutan sekunder Lahan semak Lahan pertanian Lahan alang-alang Rawa 1,06 1,11 1,13 1,04 1,06 1,21 3,38 3,83 3,34 2,98 2,98 5,25 10,99 10,70 10,87 9,55 11,16 10,70 12,34 12,49 12,19 11,08 13,03 13,50 Sumber : Noordwijk et al 1997 di acu dalam Hariyadi 2005 Loomis 1949 di acu dalam Imas dan Setiadi 1988 telah membuat suatu perhitungan terhadap jumlah karbon yang melalui berbagai fase dari siklus dan hasilnya beserta dengan beberapa penambahan tercantum pada Tabel 3. Dari data yang tercantun di dalam Tabel 3 tersebut, terlihat bahwa tumbuhan laut akan mengikat karbon lebih banyak lagi, karena terdapat kadar karbon dioksida terlarut yang tinggi pada lapisan permukaan laut atau karena luas daerah yang cukup besar di atas lautan. Tabel 3. Jumlah karbon yang melintasi siklus karbon Jumlah Karbon dalam Kg C terfiksasi dalam lautan C terfiksasi daratan C dilepaskan tanah oleh aktivitas mikrobe C dilepaskan oleh respirasi hewan C dilepaskan oleh respirasi tumbuhan C dalam atmosfer C dalam jaringan tumbuhan C dalam tanah ¹ C dalam lautan CO 2 dan Karbonat 8,17 x 10 ¹³tahun 1,68 x 10 ¹³tahun 1,34 x 10 ¹³tahun 0,08 x 10¹³tahun 0,25 x 10 ¹³tahun 3,81 x 10 14 40 - 50 4,8 x 10 14 5,44 x 10 14 Keterangan : ¹ : Diasumsikan luas tanah 1,49 x 10¹º ha dan rataan berat tanah 19,94x10 5 kgha Sumber : Imas dan setiadi 1988 Fiksasi karbondioksida berguna untuk mendapatkan sejumlah karbon untuk keperluan tumbuhan, karena karbon meliputi 0,007 persen dari unsur-unsur di dalam atmosfer 0,03 persen dalam bentuk karbon dioksida dan 40-50 persen dari unsur-unsur di dalam jaringan tumbuhan. Dengan demikian pelepasan karbon dari jaringan tumbuhan amat penting guna mempertahankan suplai di dalam atmosfer yang dapat ditempuh dengan berbagai cara Imas dan setiadi 1988. Loomis 1949 di acu dalam Imas dan Setiadi 1988 menduga bahwa 15 persen dari karbon yang difiksasi tumbuhan hilang karena respirasi tumbuhan, 5 persen melalui respirasi hewan dan sisanya melalui respirasi mikroba 1,34 x 10¹³ kgtahun. Sebagian besar respirasi mikroba berlangsung di dalam tanah, sehingga bila diasumsikan masukan dan keluaran karbon berimbang berarti tidak kurang dari 1,34 x 10¹³ ton karbon 900 kgha telah ditambahkan kedalam tanah tiap tahun. 2.6. Dampak Pemanenan Kayu dan Perlakuan Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur Terhadap Potensi Kandungan Karbon dalam Tanah Cadangan karbon dalam tanah ditunjukkan oleh nilai C organik tanah yang merupakan penyusun utama bahan organik. Besar kecilnya kandungan C organik di dalam tanah akan mempengaruhi populasi mikroorganisme, kemudian akan berpengaruh pula pada biomassa mikroorganisme. Karena C organik merupakan salah satu sumber energi dan juga bahan makanan bagi mikroorganisme. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pamoengkas 2006 di areal TPTJ umur 1 tahun sampai 5 tahun dan hutan primer sebagai pembanding, diperoleh secara keseluruhan kandungan C organik pada seluruh plot penelitian termasuk kedalam kategori rendah sampai sedang. Yaitu berkisar antara 1,08 sampai 2,25 10,87 gkg – 22,50 gkg. Dari kisaran tersebut, ternyata kandungan C organik di seluruh areal bekas penebangan TPTJ pada kedalaman 0 – 10 cm dan 10 cm - 20 cm adalah lebih besar jika dibandingkan dengan hutan primer, dengan kandungan C organik terbesar pada areal bekas tebangan 3 tahun. Perbedaan nyata kandungan C organik dalam tanah hanya terlihat antara hutan primer dengan areal bekas tebangan 3, 4 dan 5 tahun pada kedalaman 0 – 10 cm, sedangkan pada kedalaman 10 cm - 20 cm perbedaan hanya tampak antara hutan primer dengan areal bekas tebangan 3 tahun.

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN