commit to user
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi IPTEK menuntut seseorang untuk dapat memahami informasi dan pengetahuan. Dengan
demikian, diperlukan suatu kemampuan memperoleh, memilih, dan mengolah informasi. Kemampuan-kemampuan tersebut membutuhkan pemikiran yang
kritis, sistematis, logis, dan kreatif. Salah satu program pendidikan yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, analitis, sistematis, logis, dan
kreatif antara lain matematika, sehingga dari peranan yang sangat penting dalam perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi IPTEK upaya
pembaharuan pendidikan matematika harus selalu dilakukan. Nurhadi dan Agus Gerrard Senduk 2003:1 menyatakan bahwa
konteks pembaharuan pendidikan ada tiga isu utama yang perlu disoroti yaitu pembaharuan kurikulum, peningkatan kualitas pembelajaran dan efektivitas
metode pembelajaran. Kualitas pembelajaran harus ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan sehingga secara mikro harus
ditemukan strategi, pendekatan, atau metode pembelajaran efektif yang lebih memberdayakan potensi siswa sehingga model pembelajaran dapat mencapai
tujuan pembelajaran yang direncanakan.
Pembelajaran matematika di Indonesia jika dilihat dari penilaian atau
commit to user assesment masih terdapat banyak kekurangan, baik dari segi proses maupun
hasil yang dicapai. Hasil survey dari Trends in International Mathematics and Science
Study TIMSS yang disampaikan di Jakarta akhir tahun 2006 menyebutkan, prestasi Matematika siswa di Indonesia cukup rendah,
yaitu dengan indeks 411. Jadi, jauh tertinggal dari Malaysia 508 dan Singapura 605. Hasil penelitian tim Programme of International
Student Assessment PISA tahun 2001 menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-9 dari 41 negara pada kategori literatur
matematika.
http:www.topix.comforumworldmalaysiaTPKMP1F3 80BEBFJGS
, tanggal 09 Mei 2010 pukul 11.40. Lebih lanjut, mengacu angka kelulusan Ujian Nasional UN di
Sekolah Menengah Pertama SMP tahun 2010 turun cukup signifikan dibanding UN 2009, yaitu dari 95,05 persen menjadi 90,27 persen.
Atas dasar itu, jumlah siswa yang akan ikut UN ulang SMP pada 17-20 Mei mendatang sebanyak 350.798 dari total 3.605.163 peserta. Faktor
penyebab turunnya angka kelulusan UN SMP boleh dibilang sangat beragam dan terkait satu sama lain, kata Mendiknas Muhammad Nuh
kepada pers di Jakarta, Kamis, tentang rencana pengumuman kelulusan UN SMP pada 7 Mei secara serentak di seluruh Indonesia.
http:blog.unila.ac.idandikafiles201005KELULUSAN-Hasil-UN- Tingkat-SMP-juga-JEBLOK1.docx
, tanggal 29 Juli 2010 pukul 19.40. Sejalan dengan hasil tersebut dalam ruang lingkup yang lebih sempit
tepatnya di Kabupaten Wonogiri. Menurut Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan, 2009 hasil Ujian Nasional SMP di Kabupaten
Wonogiri tahun pelajaran 20082009 dengan jumlah sekolah 73 dan jumlah peserta 11091 yang tidak lulus Ujian Nasional sebanyak 124 siswa 1,929
dengan distribusi nilai siswa pada pelajaran matematika dibawah nilai 6 sebanyak 1447 siswa dengan nilai terendah 1,25.
Beberapa data di atas mengindikasikan bahwa hasil dari proses pembelajaran yang dilakukan kurang memuaskan. Hal ini menjadi diskusi dan
commit to user musyawarah rekan teman sejawat guru matematika SMP pada forum
Musyawarah Guru Mata Pelajaran MGMP Matematika sanggar 09 Sub Rayon 04 Kabupaten Wonogiri, daya serap siswa pada pelajaran matematika
banyak yang mengeluhkan miskonsepsi dan hasil belajar yang kurang memuaskan terutama materi yang menyangkut geometri.
Menurut pemaparan sebagian besar guru, materi yang menyangkut geometri kebanyakan anak mengalami kesulitan mengerjakan soal, sering
salah konsep, dan hanya menghafal rumus-rumusnya saja. Kecuali itu, hasil ulangan siswa yang menyangkut geometri terutama Bangun Ruang Sisi
Lengkung, Teorema Phytagoras, dan Garis Singgung Lingkaran memperoleh hasil yang tidak memuaskan. Banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar
siswa akantetapi dari pemaparan sebagian besar guru dapat ditarik kesimpulan bahwa guru-guru menggunakan model pembelajaran yang terpusat pada
penyampaian informasi dengan memindahkan pengetahuannya kepada murid yaitu dengan diawali membahas PR, menyampaikan tujuan materi pelajaran,
dan memotivasi siswa, inti pelajaran menyampaikan materi dengan ceramah, tanya-jawab, dan latihan individu, sedangkan penutup dengan tugas atau
Pekerjaan Rumah. Salah satu faktor penyebab kualitas pendidikan matematika di
Indonesia rendah, antara lain pandangan yang keliru terhadap peran guru-guru. Pada umumnya guru banyak mendominasi jalannya proses pembelajaran
matematika di sekolah, selain itu murid hanya bersifat pasif dalam proses
commit to user pembelajaran.
Belajar akan lebih bermakna jika anak “mengalami” sendiri apa yang dipelajarinya, bukan “mengetahui”nya. Pembelajaran yang berorientasi target
penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi “mengingat” jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan jangka
panjang. Pada umumnya, konsep matematika merupakan relasi hubungan antara materi satu dengan materi yang lain. Pengetahuan yang dimiliki siswa
merupakan pengalaman yang dijalaninya selama proses belajar. Sehingga guru harus optimal dalam proses pembelajaran serta dapat memberikan informasi
atau pengalaman dengan konsep yang betul. Kontruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan akan tersusun atau
terbangun didalam
pikiran siswa
sendiri ketika
berupaya untuk
mengorganisasikan pengalaman barunya berdasarkan kerangka kognitif yang sudah ada didalam pikiran siswa, seperti dinyatakan Prince dan Felder 2006:
3-4: “An alternative model, constructivism, holds that whether or not
there is an objective reality different constructivist theories take opposing views on that issue, individuals actively construct and
reconstruct their own reality in an effort to make sense of their experience. New information is filtered through mental structures
schemata that incorporate the student’s prior knowledge, beliefs, preconceptions and misconceptions, prejudices, and fears”.
Sejalan dengan hal tersebut di atas Liu Chen 2010: 63
menyatakan: ”Constructivism is a theory about how we learn and thinking process,
rather than about how student can memorize and recite a quantity of
commit to user information…Therefore, constructivism means that learning involves
constructing, creating, inventing, and developing one’s own knowledge and meaning”.
Dengan demikian pengetahuan tidak dapat dipindahkan dengan begitu saja dari otak seorang guru ke otak siswanya. Setiap siswa harus membangun
pengetahuan itu di dalam otaknya sendiri-sendiri. Terdapat dua pandangan yang berbeda dalam konstruktivisme, yaitu
cognitive constructivism dan social constructivism. Piaget dalam Powell Kalina 2009:242 menjelaskan bahwa fokus utama dari cognitive
constructivism yaitu pengetahuan dipelajari dari individu siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri dari pengalaman yang dimilikinya
sebagai salah satu contoh model pembelajarannya antara lain discovery learning, berlawanan dengan hal tersebut Lev Vygotsky dalam Powell
Kalina 2009:243 menjelaskan bahwa fokus utama dari social constructivism yaitu pengetahuan dibangun dan diperoleh dari proses interaksi sosial sebagai
salah satu contoh model pembelajarannya yaitu cooperative learning. Hal ini sejalan apa yang dikemukakan Marpaung 2005: 4-5 bahwa Piaget lebih
menekankan aktivitas individu daripada aktivitas sosial. Sedangkan Vygotsky mengkritik pandangan Piaget bahwa belajar adalah aktivitas sosial.
Kontruktivisme seperti yang dinyatakan di atas bahwa pengetahuan akan tersusun atau terbangun didalam pikiran siswa sendiri ketika berupaya
untuk mengorganisasikan pengalaman barunya berdasarkan kerangka kognitif yang sudah ada didalam pikiran siswa, siswa diberi kebebasan dalam mencoba
commit to user trial and error, berimajinasi, berintuisi, dan berkolaborasi untuk
memperoleh pengetahuan, dari sinilah kreativitas dibutuhkan untuk membantu siswa dalam proses tersebut.
Kesulitan dalam mengerjakan soal-soal matematika merupakan sesuatu yang banyak dijumpai dalam pembelajaran matematika terlebih dengan soal
yang bervariasi. Suatu saat siswa dihadapkan pada sebuah masalah yang menuntut kreativitas berpikir dalam menyelesaikan soal tetapi siswa tersebut
tidak mampu menyelesaikan karena hanya berkutat pada satu jalan keluar. Hal ini menunjukkan kreativitas dalam menyelesaikan soal sangat penting untuk
mencari alternatif jawaban dari permasalahan yang muncul. Sehingga guru selain memberikan pengetahuan atau pengalaman dengan konsep yang betul
tetapi juga harus dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Kreativitas merupakan kemampuan individu untuk mempergunakan
imaginasi dan berbagai kemungkinan yang diperoleh dari interaksi dengan ide atau gagasan, orang lain dan lingkungan untuk membuat koneksi dan hasil
yang baru serta bermakna Depdiknas, 2008:4. Hal ini sejalan dengan Bruner Suherman, 2003:43 bahwa belajar merupakan suatu proses aktif yang
memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal yang baru diluar informasi yang diberikan kepada dirinya. Ausubel menambahkan bahwa belajar akan
bermakna jika peserta didik mencoba menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sebelumnya Suherman, 2003:32.
Pembelajaran aktif mengharuskan siswa dipandang sebagai subyek
commit to user bukan obyek sehingga murid aktif, guru aktif. Disamping itu, siswa ikut
berpartisipasi, mencoba dan melakukan sendiri apa yang sedang dipelajari. Dalam pembelajaran aktif, fungsi guru adalah menciptakan suatu kondisi
belajar yang memungkinkan siswa berkembang secara optimal dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan dan mengaitkan antar konsep
berdasarkan pengalaman yang telah didapat. Pembelajaran aktif juga mengharuskan siswa berpikir kreatif sehingga pembelajaran dapat secara
lancar diterapkan.
B. Identifikasi Masalah