2.3 Landasan Teori
Dalam penelitian ini, untuk membedah masalah diapresiasikan secara ekletik digunakan pendekatan dan teori struktural secara bersamaan. Adapun teori yang
digunakan adalah pendekatan struktural dan teori semiotika.
2.3.1 Pendekatan Struktural
Teeuw 1988:135 berpendapat, “Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, dan semendetail serta semendalam
Mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang secara bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh “. Analisis struktural
bukanlah merupakan penjumlahan anasir-anasir itu, namun yang lebih penting lagi adalah justru sumbangan yang diberikan oleh gejala pada keseluruhan makna dalam
keterkaitan dan keterjalinannya antara fonemik, morfologi, sintaksis, semantik. Dengan kata lain tujuan analisis struktur justru ingin mengupas semendetail mungkin
keseluruhan makna dari anassir-anasir yang membangun struktur tersebut. Abraham dalam Teeuw, 1988:120 mengambil istilah lain dari analisis
struktural ini, yaitu pendekatan objektif; suatu pendekatan yang menekankan, bahwa karya sastra sebagai struktur yang bersifat otonom. Otonom dalam arti pendekatan ini
hanya berpusat pada karya sastra tanpa mempperhatikan penyair sebagai pencipta maupun pembaca sebagai penikmat sastra serta unsur-unsur intrinsik lainya seperti:
psikologi, sosiologi, sejarah, dan lain-lain. Dengan demikian konsep teori analisis
Universitas Sumatera Utara
struktural ini adalah bersifat close reading; pembacaan karya sasstra sebagai ciptaan bahasa.
Apa yang diuraikan di atas sangat berkaitan dengan pernyataan Hartoko 1982:36, “ ... kebanyakan penganut aliran struktural secara langsung atau tidak
langsung berkiblat pada strukturalisme dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh Desasure”. Strukturalis ala Desausure itu menekankan dua aspek yang sangat penting
dalam bahasa. Pertama adalah signifiant yang berarti aspek bentuk dalam lambang atau tanda. Sedangkan yang kedua adalah signifie yang berarti yang diartikan atau
petanda. Dengan menggabungkan kedua unsur ini tanda dan petanda maka kita dapat mengatakan sesuatu hal dalam kenyataan. Hubungan antara arti dan yang
diartikan umumnya dilakukan secara konvensional dan sewenang-wenang; jadi tidak menurut kodrat alam yang sudah ditetapkan. Umumnya pula konvensi itu berbeda
dari suatu tempat ke tempat lainya karena sudah dipengaruhi oleh lattar belakang sosial budaya serta geografis tertentu.
Konsep teori analisis struktural ini sangat berkaitan dengan istilah hermeneutik dalam sastra, yakni ilmu atau keahlian dalam menginterpretasikan
sebuah karua sastra dengan ungkapan bahasa yang lebih luas menurut maksudnya Teeuw: 1988:123. Interpretasi ini tidak dapat diandalkan kecuali telah dimulai
menginterpretasikan secara keseluruhan terhadap karya sasstra tersebut. Walaupun demikian interpretasi ini bersifat sementara bersamaan dengan menafsirkan anasir-
anasir karya itu sebaik mungkin. Setelah itu, pemahaman atau penafsiran ini menyanggupkan kita untuk memahami keseluruhan karya; sampai akhirnya kita
Universitas Sumatera Utara
mencapai tahap penafsiran puncak, yakni diperoleh intergrasi makna secara total dan makna bagian-bagian yang maksimal.
Proses bagian ini biasanya bagi pembaca awam berlaku secara implisit dan tidk sadar; hanya penafsiran secara akademis yang profesionalah yang berhasil
memahami sebuah karya sastra. Sebaliknya jika seseorang tidak berhasil mencapai interpretasi intergral dan total maka, hanya ada dua kemungkinan; karya itu gagal
atau pembaca bukanlah seorang pembaca yang baik. Konsep Aristoteles mengenai karya sastra yang otonom tidak pernah
menghilang dari dunia sastra Barat bahkan tetap dipertahankan cukup setia oleh npenulis maupun pembaca sebagai konvensi dasar sastra. Konvensi ini dianggap
wajar, alamiah, dan universal. Namun begitu, apa yang dianggap umum pada suatu zaman bisa saja berubah untuk waktu yang akan datang.
Konsep Aristoteles yang terkenal dengan otonomi sastranya mengalami pergeseran, yakni dari struktur karya yang objektif bergeser ke pendekatan ekspresif
yang melibatkan pembaca. Kemudian bergeser lagi ke arah karya sastra dipahami untuk melihat aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas lagi; terutama agama, sejarah,
atau aspek kemasyarakatn lainya. Perubahana ini terkenal dengan pendekatan diakronik ke penmdekatan sinkronik. Karya sastra tadinya dianggap sibagai sarana
untuk mencapai pengetahuan lain, kini sastra dianggap sebagai bidang kebudayaan yang otonom. Konsep ini dimulai oleh Ferdinand de Sausure dalam Teeuw,
1988:126 yang cukup radikal membawa perubahan pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik.
Universitas Sumatera Utara
Sifat utama bahasa sebagai sistem tanda ialah sifat rasionalnya; berarti keseluruhan relasi atau oposisi anatara unsur-unsurnya harus dipahami terlebih
dahulu, kemudian secara efektif dapat ditelusuri perubahannya dalam sejarah. Konsep inilah awal mula aliran atau mazhab ilmu bahasa yang disebut teori strukturalis yang
selama berpuluh-puluh tahun menjadi dominan dalam ilmu bahasa di Eropah; seperti di Paris, Genewa, Praha, Amsterdam, maupun di Amerika Serikat.
Aliran sruktural ini dirintis oleh kaum formalis Rusia ini yang ingin membebaskan karya sastra dari kungkunga ilmu-ilmu lain: psikologi, sejarah,
ataupun kebudayaan. Kaum formalis menganggaap bahwa syair atau puisi secara umum adalah pemakaian bahasa yang mengarah kepada tenda-tanda bukan mengarah
kepada kenyataan. Dengan kata lain konsep pemahaman formalis ini adalah memahami karya sastra menggunakan prosede atau sarana yang secara distingkif
dimanfaatkan oleh penyair. Sarana yang dimaksud tentu bunyi bahasa rima, matra, irama, aliterasi, asonansi. Kemudian, bidang morfologi, sintaksis, dan semantik.
Dengan begitu karya sastra dengan perangkat unsur-unsurnya adalah sebagai sistem tanda yang lepas dari fungsi reprensial atau mikmetiknya.
Dalam perjalannannya aliran strukturalis ini mengalami ketegangan. Ketegangan itu muncul antara otonomi sastra yang struktur dan pendekatan ekpresif
dari pembaca sebagai penikmat sastra yang memiliki latar budayanya masing masing. Namun dengan ketegangan itu justru pendekatan strukturalis menjadi berkembang ke
arah yang lebih baik dalam dunia sastra. Ketegangan itu akhirnya menimbulkan kesepakatan di kalangan para ahli sastra mengenai teori struktural. Kesepakatan itu
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan bahwa pendekatan struktural terhadap karya sastra sungguh tidak dapat dimutlakkan. Pendekatan ini harus harus ditempatkan dalam keseluruhan model
semiotik sastra; pembaca, penulis, kenyataan, serta sejarah sastra. Semua itu memberikan peranan dalam menginterpretasikan sastra secara menyeluruh. Namun
begitu, analisis struktur dalam rangka semiotik tetap dipentingkan dan sangat perlu, sebab analisis struktur adalah sarana atau jembatan ke arah proses pembaca
memahami karya sastra Teeuw, 1988: 145
2.3.2 Teori Semiotika