Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia yang berada pada ekosistem tropis memiliki iklim tropis wilayah dengan ketinggian di bawah 500 meter dari permukaan laut, iklim sub tropis dataran tinggi dan keanekaragaman hayati biodiversity yang terkaya di dunia. Dengan kondisi yang demikian hampir semua produk hayati yang ada didunia dapat dihasilkan di Indonesia. Indonesia memiliki keunggulan komparatif comparative advantage pada produk-produk hayati Saragih, 1999. Karet merupakan salah satu komoditas perkebunan di Indonesia. Komoditas ini sudah dikenal dan dibudidayakan dalam kurun waktu yang relatif lebih lama daripada komoditas perkebunan lainnya. Sayangnya, posisi Indonesia yang pada awal pembudidayaan` karet merupakan penghasil karet utama dunia sudah digantikan oleh Malaysia, yang sebenarnya masih belum lama dalam hal membudidayakan karet Siregar, 1995. Luas areal tanaman karet di Indonesia pada tahun 2006 adalah seluas 3,31 juta Ha dengan produksi nasional karet sebesar 2,27 juta Ton karet kering KK dengan produksi terbanyak berasal dari Sumatera Deptan, 2006. Sumatera Utara adalah dikenal sebagai salah satu pengekspor karet alam. Karet alam ini berasal dari berbagai daerah di Sumatera Utara, salah satu diantaranya adalah Kabupaten Mandailing Natal. Universitas Sumatera Utara Kabupaten Mandailing Natal mempunyai luas daerah 662.070 ha atau 9,23 persen dari wilayah propinsi Sumatera Utara. Ditinjau dari potensi lahan, Kabupaten Mandailing Natal memiliki potensi yang sangat luas untuk pengembangan tanaman perkebunan yang terdiri dari tanah milik swasta maupun tanah rakyat. Luas areal tanaman perkebunan di Kabupaten Mandailing Natal 111.778,5 Ha yang terdiri dari Perkebunan Rakyat seluas 96.280,2 Ha dan Perkebunan swasta 15.498,3 Ha, sehingga pertambahan luas areal selama tahun anggaran 2008 adalah 3.432,77 atau 3,16 persen. Untuk itu luas tanaman perkebunan di kabupaten Mandailing Natal sebanyak 16,88 persen dari total luas perkebunan Kabupaten Mandailing Natal Dinas Perkebunan Madina, 2009. Subsektor perkebunan merupakan subsektor pertanian yang secara tradisional merupakan salah satu penghasil devisa negara. Sebagian besar tanaman tersebut merupakan usaha perkebunan rakyat, sedangkan sisanya diusahakan oleh perkebunan besar baik milik pemerintah maupun milik swasta Soetrisno L,1999. Perkebunan dapat diartikan berdasarkan fungsi pengelolaan. Jenis tanaman dan produk yang dihasilkan. Berdasarkan fungsi, perkebunan diartikan sebagai usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan, devisa negara dan pemeliharaan Sumber Daya Alam. Berdasarkan pengelolaan dapat dibagi menjadi perkebunan rakyat, perkebunan besar milik negara atau swasta, perkebunan perusahaan inti rakyat dan perkebunan unit pelaksanaan proyek Syamsulbahri,1996. Universitas Sumatera Utara Produksi karet alam sangat penting dikembangkan karena memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan komoditas lainnya, yaitu : dapat tumbuh pada berbagai kondisi dan jenis lahan, serta masih mampu dipanen hasilnya meskipun pada tanah yang tidak subur, mampu membentuk ekologi hutan yang pada umumnya terdapat pada daerah lahan kering beriklim basah, sehingga karet cukup baik menanggulangi lahan kritis, dapat memberikan pendapatan harian bagi petani yang mengusahakannya, memiliki prospek harga yang cukup baik karena kebutuhan karet dunia semakin meningkat Deptan, 2006. Perkebunan rakyat dicirikan oleh produksi yang rendah, keadaan kebun yang kurang terawat, serta rendahnya pendapatan petani. Rendahnya produktivitas perkebunan karet rakyat juga disebabkan oleh terbatasnya modal yang dimiliki oleh petani, sehingga petani tidak mampu untuk menggunakan teknik-teknik budidaya yang sesuai dengan syarat-syarat tekhnis yang diperlukan. Dan rendahnya produksi tanaman karet juga disebabkan oleh usia pohon karet yang sudah sangat tua Deptan, 2003. Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan Indonesia masih memerlukan usaha ke arah peningkatan produksi. Salah satu faktor teknis yang perlu dipertimbangkan adalah rendahnya mutu penyadapan. Kenyataan ini tidak hanya terjadi pada areal pertanaman karet rakyat, tetapi juga di perkebunan-perkebunan besar milik pemerintah. Padahal sifat perlakuan teknis penyadapan karet berkaitan dengan tingkat produksi yang diharapkan, bahkan sangat menentukan umur ekonomi Universitas Sumatera Utara pohon. Pada sisi lain, perkembangan sistem panen tanaman karet yang dilakukan melalui pelukaan kulit pohon sudah berkembang pesat. Di Indonesia tampaknya usaha menetapkan penyadapan karet yang benar masih memerlukan waktu lagi, karena kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penyadapan tanaman karet kita belum sepenuhnya mengikuti pedoman baku. Kenyataan menunjukkan betapa banyak areal pertanaman karet yang mutu penyadapannya sangat memprihatinkan. Dengan demikian, selain produksinya rendah juga umur pohon layak sadap menjadi semakin singkat. Dengan kata lain, penyadapan tanaman karet di Indonesia merupakan prioritas utama agar pangsa pasar dan pelestarian produksi dapat diantisipasi Siregar, 1995. Perdagangan karet alam memiliki rantai tataniaga yang panjang. Begitu banyak pihak yang berperan dan ikut menentukan sejak lateks keluar dari kebun hingga diterima oleh konsumen pabrik pengolahan. Kejadian-kejadian di dalam negeri produsen karet seperti sistem politik yang berubah bias ikut berpengaruh. Jumlah produksi dari beberapa Negara dan jumlah permintaan yang naik atau turun, perubahan kebijaksanaan stok Negara pembeli, situasi politik Internasional, kondisi industri yang menggunakan karet sebagai bahan baku, persaingan dengan karet sintetis, perkembangan situasi moneter internasional, dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan ikut berperan pula. Untuk melihat luas penanaman karet rakyat di Sumatera Utara tahun 2004-2008 dapat dilihat pada Tabel 1.1.berikut ini: Universitas Sumatera Utara Tabel 1.1. Luas Penanaman TM dan TBM Ha Perkebunan Karet Rakyat Menurut Kabupaten di Sumatera Utara 2004-2008 No. Kabupaten 2004 2005 2006 2007 2008 1 Deli Serdang 9.603.1 4.789 4.910 4.975 5.726 2 Langkat 25.353 41.859 41.330 41.370 41.503.00 3 Simalungun 120.37.5 121.45.5 12.245.5 12.337.5 12.469.5 4 Karo 65 65 68 70 70 5 Dairi 1.34.5 143 178 192 237.5 6 Taput 8.028 81.31.2 8.180.1 8.202.8 8.287 7 Tapteng 30.264 30.510 30.614 30.649 31.554 8 Nias 26.267 25.265 26.211 27.267 29.429 9 Nias Selatan 20.720 21.530 21.887 22.772 23.082 10 Tapsel 49.749 50.144 58.186.4 49.749 26.156.75 11 Labuhan Batu 81.849 67.568 67.576 68.184.9 67.790 12 Asahan 9.610 9.610 8.703 6.610 6.023.4 13 Madina 39.078.3 49.760 59.708 69.078.3 71.072.41 14 Tobasa 85,00 294,00 334,00 340.5 413 15 Humbahas 3.535 3.514.7 3.550.6 3.675.4 3.704.2 16 Pak-pak Barat 371 417.8 557.9 779.8 1.830.8 17 Samosir 18 Sergai 10.699 10.699 10.855 10.979 11.402.5 19 Batubara 178 198.7 321.5 350.9 454 20 Paluta 30.264 32.510 33.614 33.949 35.156 21 Padang Lawas 9.199 9.699 10.055 10.679 11.296.5 22 Labuhan Batu Selatan 23 Labuhan Batu Utara Jumlah 367.004.4 378.558.9 398.751 402.211.1 346.154.56 Sumber : Dinas Perkebunan Sumatera Utara, 2009. Dari Tabel 1.1. diatas luas penanaman karet di Kabupaten Madina dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 terus mengalami pertambahan di mana pertambahan luas lahan tertinggi pada tahun 2005 sebesar 27,33 dan terendah pada tahun 2008 sebesar 2,89 dan sampai dengan tahun 2008 luas lahan karet rakyat sebesar 71.072.41 Ha. Universitas Sumatera Utara Untuk melihat produksi karet rakyat menurut kabupaten di Sumatera Utara dapat di lihat pada Tabel 1.2. berikut ini: Tabel 1.2. Perkembangan Produksi Ton Perkebunan Karet Rakyat Menurut Kabupaten di Sumatera Utara 2004-2008 No. Kabupaten 2004 2005 2006 2007 2008 1 Deli Serdang 5.890.11 3.974.56 4.172.45 5.890.11 3.974.56 2 Langkat 17.280 29.284 20.971 19.280 19284 3 Simalungun 10.831.35 10.886.58 10.739.98 11.831.35 15.318.65 4 Karo 61.75 63.5 61.75 81.75 93.5 5 Dairi 79.4 102.9 375 379.4 402.9 6 Taput 4.563.16 4.565.99 6700 7.563.16 4.565.99 7 Tapteng 14.243 16.524 14.786 16.243 16.524 8 Nias 14.581 12.072 15.049 11.581 10.072 9 Nias Selatan 1.406 2.309 2.159.32 2.406 2.309 10 Tapsel 16.230 19.085.42 24.328.39 19.230 12.085.42 11 Labuhan Batu 68.546 62.932 69.407 68.746 77.932 12 Asahan 52.73.2 5.273.2 4.938.86 5.273.2 47.79.2 13 Madina 26.693.6 32.768 33.768 34.693.6 35.886.68 14 Tobasa 398.37 785.9 398.37 401.37 785.9 15 Humbahas 2.056.9 21.61.14 2.067 2.156.9 2.161.14 16 Pak-pak Barat 207 302.4 333 247 302.4 17 Samosir 18 Sergai 7.574 8.354.28 7.874 6.354.28 19 Batubara 148 158.7 121.5 122.9 454 20 Paluta 4.100 4.112 5.232.2 4.555 5115 21 Padang Lawas 5.100 5.199 5.055 5.237.32 5.296.5 22 Labuhan Batu Selatan 23 Labuhan Batu Utara Jumlah 205.262.84 220.914.57 220.663.82 223.793.06 223.697.12 Sumber : Dinas Perkebunan Sumatera Utara,2009. Dari Tabel 1.2. diatas perkembangan produksi karet di Kabupaten Madina dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 terus mengalami peningkatan di mana kenaikan produksi tertinggi pada tahun 2005 sebesar 22,76 dan terendah pada tahun 2007 sebesar 2,74 dan pada tahun 2008 produksi karet rakyat sebesar 35.886.68 Kg. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mendalami dan menganalisis pembangunan ekonomi wilayah di Kabupaten Mandailing Natal melalui sub sektor perkebunan dan menuangkannya dalam tesis yang berjudul “Peranan Komoditas Karet Terhadap Pembangunan Ekonomi Wilayah Di Kabupaten Mandailing Natal”

1.2. Perumusan Masalah