Peranan Komoditas Karet Terhadap Pembangunan Ekonomi Wilayah Di Kabupaten Mandailing Natal

(1)

PERANAN KOMODITAS KARET TERHADAP

PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH

DI KABUPATEN MANDAILING NATAL

TESIS

Oleh

ALI SAHBANA

087003002/PWD

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

PERANAN KOMODITAS KARET TERHADAP

PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH

DI KABUPATEN MANDAILING NATAL

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ALI SAHBANA

087003002/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas ridhoNyalah tesis yang berjudul “PERANAN KOMODITAS KARET TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH DI KABUPATEN MANDAILING NATAL”, ini dapat terselesaikan. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si.) pada Sekolah Pascasarjana Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Komisi Pembimbing: Bapak Prof. Ir. Zulkifli Nasution, MSc, Ph.D (Ketua), Bapak Kasyful Mahalli, SE M.Si (Anggota), dan Bapak Drs. HB. Tarmizi SU (Anggota).

Demikian juga saya sampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. MSc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Bachtiar Hassan Miraza dan Bapak Kasyful Mahalli, SE, M.Si.,

selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Ir. Rahmanta, MS, Bapak Ir. Agus Purwoko, MSi dan Drs. Rujiman,

MA., selaku Dosen Pembanding.

4. Kepada seluruh dosen dan pegawai di Program Studi Perencanaan

Pembangunan.

5. Ayahanda Sahaban Nasution dan Ibunda Nurhayani Nasution atas semua


(4)

6. Kepada seluruh staff pegawai dinas perkebunan Kabupaten Mandailing Natal, khususnya Abangda Muhammad Yasir, yang telah membantu penulis dalam penulisan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu dengan rendah hati penulis menerima saran dan kritik membangun dari semua pihak demi kesempurnaan tulisan ini.

Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini memberi arti dan manfaat.

Medan, Pebruari 2010

Penulis

ALI SAHBANA NIM. 087003002


(5)

RIWAYAT HIDUP

Ali Sahbana, dilahirkan pada tanggal 22 Desember 1984 di Hutasiantar, Kecamatan Panyabungan Kota Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara, sebagai anak Pertama dari empat bersaudara, dari Ayahanda Sahaban Nasution dan (alm) Ibunda Sangkot Lubis.

Pendidikan formal penulis, dimulai dari Pendidikan Dasar pada Sekolah Dasar Negeri 142574 selesai pada Tahun 1997, Sekolah Menengah Pertama pada MTS-MI Panyabungan selesai pada Tahun 2000, Sekolah Menengah Atas pada SMU I Panyabungan selesai pada Tahun 2003, Pendidikan S-1 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Sumatera Utara selesai pada Tahun 2007.

Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan S-2 pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) konsentrasi Perencanaan Pembangunan (PP) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.


(6)

ABSTRACT

Ali Sahbana, "Role of Rubber as a Commodity in the Regional Economic Development of Mandailing Natal District ", under the supervision of Prof Ir. Zulkifli Nasution, MSc, PhD (Chair), Kasyful Mahalli, SE, MSi (Member), and Drs. HB. Tarmizi, SU (Member).

Rubber is one of the plantation commodities in Indonesia. This commodity has been known and cultured for a relatively longer than the other plantation commodities. In the early period of rubber culturing, Indonesia used to be the first rubber producing country in the world before being replaced by Malaysia which began to culture rubber some time after Indonesia did. The Province of Sumatera Utara is known as one of the natural rubber exporters which exports the rubber produced in various districts. Mandailing Natal District is one of the rubber producing districts whose latex production kept increasing from 2004 to 2008.

The purposes of this study were to examine the influence of work capital, man power, and land area on rubber production and to analyze the role of rubber as a commodity in the regional economic development of Mandailing Natal District.

The research method used in this study was multiple linear regression method. The data for this study were primary data obtained from the rubber smallholders in Mandailing Natal District and secondary data obtained from related institutions.

The result of study showed that work capital, man power, and land area had an influence on rubber production in Mandailing Natal District. Rubber produced by the smallholders canpush output increase and input demand that it can play its role in increasing income, increasing job opportunity, and pushing the regional economic growth of Mandailing Natal District.

This study recommends that the District Government of Mandailing Natal 1) needs to make a policy to increase the response and ability the farmers (smallholders) in developing their rubber plantations through the provision of work capital and the regulation of rubber trade system that can benefit the farmers, 2)needs to improve the rubber processing technology to increase the efficiency that more output (latex) can be produced from the input (rubber) that the farmers have a bargaining power to obtain the biggest economic benefit and are able to compete, and 3) needs to do further research on rubber and its by-products through rubber industry.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1 Karet ... 9

2.2. Teori Produksi ... 11

2.3. Modal... 17

2.4. Tenaga Kerja... 18

2.5. Luas Lahan ... 22

2.6. Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan Ekonomi Rakyat... 25

2.7. Konsep Pembangunan Wilayah... 27

2.8. Pembangunan Ekonomi Wilayah ... 31

2.9. Penelitian Terdahulu... 32

2.10. Kerangka Pikir Penelitian ... 38

2.11. Hipotesis Penelitian ... 40

BAB III. METODE PENELITIAN... 41

3.1. Lokasi Penelitian... 41

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 41

3.3. Populasi dan Sampel ... 42

3.4. Metode Analisis Data ... 43

3.5. Definisi Variabel Operasional... 45

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 46

4.1. Deskripsi Wilayah Kabupaten Mandailing Natal ... 46

4.2. Deskripsi Sektor Pertanian Mandailing Natal... 48

4.3. Kinerja Pengembangan Komoditi Karet... 50


(8)

4.3.2. Luas Komoditi Karet... 52

4.4. Karakteristik Responden... 52

4.4.1. Umur ... 52

4.4.2. Tingkat Pendidikan ... 53

4.4.3. Pekerjaan ... 54

4.4.4. Lama Bermukim... 55

4.4.5. Lama Berkebun Karet ... 56

4.5. Sumber Modal ... 57

4.6. Modal... 58

4.7. Tenaga kerja ... 59

4.8. Produksi Karet ... 60

4.9. Luas Lahan ... 60

4.10. Faktor yang mempengaruhi Produksi Karet di Kabupaten Mandailing Natal ... 61

4.11. Peranan Komoditas Karet Terhadap Pembangunan Ekonomi Wilayah di Kabupaten Mandailing Natal ... 66

BABV. KESIMPULAN DAN SARAN... 75

5.1. Kesimpulan ... 75

5.2. Saran ... 75


(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1 Luas Penanaman TM dan TBM / Ha Perkebunan Karet Rakyat

Menurut Kabupaten di Sumatera Utara 2004-2008 ... 5

1.2. Perkembangan Produksi / Ton Perkebunan Karet Rakyat Menurut Kabupaten di Sumatera Utara 2004-2008 ... 6

2.1. Daftar Luas Areal dan Produksi Tanaman Perkebunan Karet Rakyat Kabupaten Madina Tahun 2008 ... 10

3.1 Jumlah Sampel ... 43

4.1. Penyerapan Tenaga Kerja Keluarga Dari Perkebunan Karet Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal tahun 2008 ... 49

4.2. Lokasi Sentra Produksi, Luas Baku Lahan, dan Kapasitas Produksi Komoditi Karet di Kabupaten Mandailing Natal tahun 2008 ... 51

4.3. Luas Komoditi Karet di Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2004 - 2008... 52

4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Umur ... 53

4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 54

4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 55

4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Bermukim ... 55

4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Berkebun Karet Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal ... 56

4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Modal Perkebunan Karet Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal ... 57

4.10. Distribusi Responden Berdasarkan Besarnya Modal Awal Perkebunan Karet Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal ... 58


(10)

Digunakan Perkebunan Karet Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal... 59 4.12. Distribusi Responden Berdasarkan Produksi Perkebunan Karet Rakyat

di Kabupaten Mandailing Natal ... 60 4.13. Distribusi Responden Berdasarkan Luas Lahan Perkebunan Karet

Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal... 61 4.14. Hasil Uji Statistik Pengaruh Modal, Tenaga Kerja dan Luas Lahan,


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian ... 82

2 Tabulasi Data ... 84

3 Hasil Uji Regresi ... 87

4 Dokumentasi Penelitian ... 88

5 Peta Kabupaten Mandailing Natal ... 91


(13)

ABSTRACT

Ali Sahbana, "Role of Rubber as a Commodity in the Regional Economic Development of Mandailing Natal District ", under the supervision of Prof Ir. Zulkifli Nasution, MSc, PhD (Chair), Kasyful Mahalli, SE, MSi (Member), and Drs. HB. Tarmizi, SU (Member).

Rubber is one of the plantation commodities in Indonesia. This commodity has been known and cultured for a relatively longer than the other plantation commodities. In the early period of rubber culturing, Indonesia used to be the first rubber producing country in the world before being replaced by Malaysia which began to culture rubber some time after Indonesia did. The Province of Sumatera Utara is known as one of the natural rubber exporters which exports the rubber produced in various districts. Mandailing Natal District is one of the rubber producing districts whose latex production kept increasing from 2004 to 2008.

The purposes of this study were to examine the influence of work capital, man power, and land area on rubber production and to analyze the role of rubber as a commodity in the regional economic development of Mandailing Natal District.

The research method used in this study was multiple linear regression method. The data for this study were primary data obtained from the rubber smallholders in Mandailing Natal District and secondary data obtained from related institutions.

The result of study showed that work capital, man power, and land area had an influence on rubber production in Mandailing Natal District. Rubber produced by the smallholders canpush output increase and input demand that it can play its role in increasing income, increasing job opportunity, and pushing the regional economic growth of Mandailing Natal District.

This study recommends that the District Government of Mandailing Natal 1) needs to make a policy to increase the response and ability the farmers (smallholders) in developing their rubber plantations through the provision of work capital and the regulation of rubber trade system that can benefit the farmers, 2)needs to improve the rubber processing technology to increase the efficiency that more output (latex) can be produced from the input (rubber) that the farmers have a bargaining power to obtain the biggest economic benefit and are able to compete, and 3) needs to do further research on rubber and its by-products through rubber industry.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Indonesia yang berada pada ekosistem tropis memiliki iklim tropis (wilayah dengan ketinggian di bawah 500 meter dari permukaan laut), iklim sub tropis (dataran

tinggi) dan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang terkaya di dunia. Dengan

kondisi yang demikian hampir semua produk hayati yang ada didunia dapat

dihasilkan di Indonesia. Indonesia memiliki keunggulan komparatif (comparative

advantage) pada produk-produk hayati (Saragih, 1999).

Karet merupakan salah satu komoditas perkebunan di Indonesia. Komoditas ini sudah dikenal dan dibudidayakan dalam kurun waktu yang relatif lebih lama daripada komoditas perkebunan lainnya. Sayangnya, posisi Indonesia yang pada awal pembudidayaan` karet merupakan penghasil karet utama dunia sudah digantikan oleh Malaysia, yang sebenarnya masih belum lama dalam hal membudidayakan karet (Siregar, 1995). Luas areal tanaman karet di Indonesia pada tahun 2006 adalah seluas 3,31 juta Ha dengan produksi nasional karet sebesar 2,27 juta Ton karet kering (KK) dengan produksi terbanyak berasal dari Sumatera (Deptan, 2006). Sumatera Utara adalah dikenal sebagai salah satu pengekspor karet alam. Karet alam ini berasal dari berbagai daerah di Sumatera Utara, salah satu diantaranya adalah Kabupaten Mandailing Natal.


(15)

Kabupaten Mandailing Natal mempunyai luas daerah 662.070 ha atau 9,23 persen dari wilayah propinsi Sumatera Utara. Ditinjau dari potensi lahan, Kabupaten Mandailing Natal memiliki potensi yang sangat luas untuk pengembangan tanaman perkebunan yang terdiri dari tanah milik swasta maupun tanah rakyat. Luas areal tanaman perkebunan di Kabupaten Mandailing Natal 111.778,5 Ha yang terdiri dari Perkebunan Rakyat seluas 96.280,2 Ha dan Perkebunan swasta 15.498,3 Ha, sehingga pertambahan luas areal selama tahun anggaran 2008 adalah 3.432,77 atau 3,16 persen. Untuk itu luas tanaman perkebunan di kabupaten Mandailing Natal sebanyak 16,88 persen dari total luas perkebunan Kabupaten Mandailing Natal (Dinas Perkebunan Madina, 2009). Subsektor perkebunan merupakan subsektor pertanian yang secara tradisional merupakan salah satu penghasil devisa negara. Sebagian besar tanaman tersebut merupakan usaha perkebunan rakyat, sedangkan sisanya diusahakan oleh perkebunan besar baik milik pemerintah maupun milik swasta (Soetrisno L,1999).

Perkebunan dapat diartikan berdasarkan fungsi pengelolaan. Jenis tanaman dan produk yang dihasilkan. Berdasarkan fungsi, perkebunan diartikan sebagai usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan, devisa negara dan pemeliharaan Sumber Daya Alam. Berdasarkan pengelolaan dapat dibagi menjadi perkebunan rakyat, perkebunan besar milik negara atau swasta, perkebunan

perusahaan inti rakyat dan perkebunan unit pelaksanaan proyek


(16)

Produksi karet alam sangat penting dikembangkan karena memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan komoditas lainnya, yaitu : dapat tumbuh pada berbagai kondisi dan jenis lahan, serta masih mampu dipanen hasilnya meskipun pada tanah yang tidak subur, mampu membentuk ekologi hutan yang pada umumnya terdapat pada daerah lahan kering beriklim basah, sehingga karet cukup baik menanggulangi lahan kritis, dapat memberikan pendapatan harian bagi petani yang mengusahakannya, memiliki prospek harga yang cukup baik karena kebutuhan karet dunia semakin meningkat (Deptan, 2006).

Perkebunan rakyat dicirikan oleh produksi yang rendah, keadaan kebun yang kurang terawat, serta rendahnya pendapatan petani. Rendahnya produktivitas perkebunan karet rakyat juga disebabkan oleh terbatasnya modal yang dimiliki oleh petani, sehingga petani tidak mampu untuk menggunakan teknik-teknik budidaya yang sesuai dengan syarat-syarat tekhnis yang diperlukan. Dan rendahnya produksi tanaman karet juga disebabkan oleh usia pohon karet yang sudah sangat tua (Deptan, 2003).

Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan Indonesia masih memerlukan usaha ke arah peningkatan produksi. Salah satu faktor teknis yang perlu dipertimbangkan adalah rendahnya mutu penyadapan. Kenyataan ini tidak hanya terjadi pada areal pertanaman karet rakyat, tetapi juga di perkebunan-perkebunan besar milik pemerintah. Padahal sifat perlakuan teknis penyadapan karet berkaitan dengan tingkat produksi yang diharapkan, bahkan sangat menentukan umur ekonomi


(17)

pohon. Pada sisi lain, perkembangan sistem panen tanaman karet yang dilakukan melalui pelukaan kulit pohon sudah berkembang pesat.

Di Indonesia tampaknya usaha menetapkan penyadapan karet yang benar masih memerlukan waktu lagi, karena kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penyadapan tanaman karet kita belum sepenuhnya mengikuti pedoman baku. Kenyataan menunjukkan betapa banyak areal pertanaman karet yang mutu penyadapannya sangat memprihatinkan. Dengan demikian, selain produksinya rendah juga umur pohon layak sadap menjadi semakin singkat. Dengan kata lain, penyadapan tanaman karet di Indonesia merupakan prioritas utama agar pangsa pasar dan pelestarian produksi dapat diantisipasi (Siregar, 1995).

Perdagangan karet alam memiliki rantai tataniaga yang panjang. Begitu banyak pihak yang berperan dan ikut menentukan sejak lateks keluar dari kebun hingga diterima oleh konsumen (pabrik pengolahan). Kejadian-kejadian di dalam negeri produsen karet seperti sistem politik yang berubah bias ikut berpengaruh. Jumlah produksi dari beberapa Negara dan jumlah permintaan yang naik atau turun, perubahan kebijaksanaan stok Negara pembeli, situasi politik Internasional, kondisi industri yang menggunakan karet sebagai bahan baku, persaingan dengan karet sintetis, perkembangan situasi moneter internasional, dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan ikut berperan pula. Untuk melihat luas penanaman karet rakyat di Sumatera Utara tahun 2004-2008 dapat dilihat pada Tabel 1.1.berikut ini:


(18)

Tabel 1.1. Luas Penanaman TM dan TBM / Ha Perkebunan Karet Rakyat Menurut Kabupaten di Sumatera Utara 2004-2008

No. Kabupaten 2004 2005 2006 2007 2008

1 Deli Serdang 9.603.1 4.789 4.910 4.975 5.726 2 Langkat 25.353 41.859 41.330 41.370 41.503.00 3 Simalungun 120.37.5 121.45.5 12.245.5 12.337.5 12.469.5

4 Karo 65 65 68 70 70

5 Dairi 1.34.5 143 178 192 237.5

6 Taput 8.028 81.31.2 8.180.1 8.202.8 8.287 7 Tapteng 30.264 30.510 30.614 30.649 31.554 8 Nias 26.267 25.265 26.211 27.267 29.429 9 Nias Selatan 20.720 21.530 21.887 22.772 23.082 10 Tapsel 49.749 50.144 58.186.4 49.749 26.156.75 11 Labuhan Batu 81.849 67.568 67.576 68.184.9 67.790 12 Asahan 9.610 9.610 8.703 6.610 6.023.4

13 Madina 39.078.3 49.760 59.708 69.078.3 71.072.41

14 Tobasa 85,00 294,00 334,00 340.5 413 15 Humbahas 3.535 3.514.7 3.550.6 3.675.4 3.704.2 16 Pak-pak Barat 371 417.8 557.9 779.8 1.830.8

17 Samosir 0 0 0 0 0

18 Sergai 10.699 10.699 10.855 10.979 11.402.5

19 Batubara 178 198.7 321.5 350.9 454

20 Paluta 30.264 32.510 33.614 33.949 35.156 21 Padang Lawas 9.199 9.699 10.055 10.679 11.296.5

22 Labuhan Batu Selatan 0 0 0 0 0

23 Labuhan Batu Utara 0 0 0 0 0

Jumlah 367.004.4 378.558.9 398.751 402.211.1 346.154.56 Sumber : Dinas Perkebunan Sumatera Utara, 2009.

Dari Tabel 1.1. diatas luas penanaman karet di Kabupaten Madina dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 terus mengalami pertambahan di mana pertambahan luas lahan tertinggi pada tahun 2005 sebesar 27,33% dan terendah pada tahun 2008 sebesar 2,89% dan sampai dengan tahun 2008 luas lahan karet rakyat sebesar 71.072.41 Ha.


(19)

Untuk melihat produksi karet rakyat menurut kabupaten di Sumatera Utara dapat di lihat pada Tabel 1.2. berikut ini:

Tabel 1.2. Perkembangan Produksi / Ton Perkebunan Karet Rakyat Menurut Kabupaten di Sumatera Utara 2004-2008

No. Kabupaten 2004 2005 2006 2007 2008

1 Deli Serdang 5.890.11 3.974.56 4.172.45 5.890.11 3.974.56 2 Langkat 17.280 29.284 20.971 19.280 19284 3 Simalungun 10.831.35 10.886.58 10.739.98 11.831.35 15.318.65

4 Karo 61.75 63.5 61.75 81.75 93.5

5 Dairi 79.4 102.9 375 379.4 402.9

6 Taput 4.563.16 4.565.99 6700 7.563.16 4.565.99 7 Tapteng 14.243 16.524 14.786 16.243 16.524 8 Nias 14.581 12.072 15.049 11.581 10.072 9 Nias Selatan 1.406 2.309 2.159.32 2.406 2.309 10 Tapsel 16.230 19.085.42 24.328.39 19.230 12.085.42 11 Labuhan Batu 68.546 62.932 69.407 68.746 77.932 12 Asahan 52.73.2 5.273.2 4.938.86 5.273.2 47.79.2

13 Madina 26.693.6 32.768 33.768 34.693.6 35.886.68

14 Tobasa 398.37 785.9 398.37 401.37 785.9 15 Humbahas 2.056.9 21.61.14 2.067 2.156.9 2.161.14 16 Pak-pak Barat 207 302.4 333 247 302.4

17 Samosir 0 0 0 0 0

18 Sergai 7.574 8.354.28 0 7.874 6.354.28

19 Batubara 148 158.7 121.5 122.9 454

20 Paluta 4.100 4.112 5.232.2 4.555 5115

21 Padang Lawas 5.100 5.199 5.055 5.237.32 5.296.5

22 Labuhan Batu Selatan 0 0 0 0 0

23 Labuhan Batu Utara 0 0 0 0 0

Jumlah 205.262.84 220.914.57 220.663.82 223.793.06 223.697.12 Sumber : Dinas Perkebunan Sumatera Utara,2009.

Dari Tabel 1.2. diatas perkembangan produksi karet di Kabupaten Madina dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 terus mengalami peningkatan di mana kenaikan produksi tertinggi pada tahun 2005 sebesar 22,76% dan terendah pada tahun 2007 sebesar 2,74% dan pada tahun 2008 produksi karet rakyat sebesar 35.886.68 Kg.


(20)

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mendalami dan menganalisis pembangunan ekonomi wilayah di Kabupaten Mandailing Natal melalui sub sektor perkebunan dan menuangkannya dalam tesis yang berjudul

“Peranan Komoditas Karet Terhadap Pembangunan Ekonomi Wilayah Di Kabupaten Mandailing Natal”

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaruh modal, tenaga kerja dan luas lahan terhadap produksi

karet di Kabupaten Mandailing Natal.

2. Bagaimanakah peranan komoditas karet terhadap pengembangan wilayah di

Kabupaten Mandailing Natal.

1.3.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini dapat ditetapkan sebagai berikut :

1. Untuk mengkaji pengaruh modal, tenaga kerja dan luas lahan terhadap

produksi karet di kabupaten Mandailing Natal.

2. Untuk mengkaji peranan komoditas karet terhadap pengembangan wilayah di


(21)

20

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Sebagai bahan masukan bagi petani karet tentang pengaruh modal, tenaga

kerja dan luas lahan terhadap produksi karet di Kabupaten Mandailing Natal

2. Sebagai bahan informasi bagi pemerintah ataupun lembaga lainnya untuk

menentukan strategi usahatani dan tataniaga, dalam usaha meningkatkan produksi karet dan pendapatan petani.

3. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak-pihak lain yang

berhubungan dengan penelitian.

4. Sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan tentang pengaruh modal dan

tenaga kerja terhadap produksi karet di Kabupaten Mandailing Natal.

5. Sebagai bahan pendukung untuk kegiatan penelitian yang sejenis atau


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karet

Karet alam merupakan salah satu komoditi pertanian yang penting, baik untuk lingkup internasional dan teristimewa bagi Indonesia. Di Indonesia karet merupakan salah satu hasil pertanian terkemuka karena banyak menunjang perekonomian negara. Hasil devisa yang diperoleh dari karet cukup besar bahkan Indonesia pernah menguasai produksi karet dunia dengan melibas negara-negara lain dan negara asal tanaman karet sendiri (Soetedjo R, 1979). Tanaman karet mulai dikenal di Indonesia sejak 1876. Henry A. Wickham memasukkan beberapa biji karet ke kebun percobaan pertanian di Bogor, dan kemudian disusul pemasukan bibit-bibit karet berikutnya tahun 1890, 1896, dan 1898. Walaupun demikian, memerlukan waktu yang cukup lama untuk membudidayakan tanaman ini

Mula-mula karet berkembang pesat di Malaysia dan Ceylon. Di Indonesia perkebunan besar karet baru di mulai di Sumatera pada tahun 1902 dan di Jawa 1906. sejak saat itulah perkebunan karet mengalami perluasan yang cepat walaupun terjadi pula masa suram. Disamping berkembangnya perkebunan besar yang diusahakan oleh para pengusaha perkebunan, berkembang pula perkebunan-perkebunan karet yang diusahakan oleh rakyat (petani karet) terutama di luar Jawa, yang masih banyak tanah ladang yang mudah di jadikan perkebunan-perkebunan besar karet dapat memperbaiki kembali perkebunannya. Pada tahun 1941, perkebunan karet rakyat di Indonesia berhasil mencapai jumlah produksi 350.000 ton dan


(23)

perkebunan besar mencapai produksi 300.000 ton. Dewasa ini, karet merupakan bahan baku yang mengahasilkan lebih dari 50.000 jenis barang. Dari produksi karet alam, 46 % digunakan untuk pembuatan ban dan selebihnya untuk karet busa, sepatu dan dan beribu-ribu jenis barang lainnya ( Setyamidjaja, D,. 1993 ).

Untuk melihat luas areal, produksi dari produktifitas perkebunan karet rakyat di Kabupaten Madina dapat dilihat pada Tabel 2.1. di bawah ini :

Tabel 2.1 Daftar Luas Areal dan Produksi Tanaman Perkebunan Karet Rakyat Kabupaten Madina Tahun 2008

Luas Areal (Ha) Produksi Produktifitas No Kecamatan

TBM TM TTM Jumlah (Ton) (Kg/Ha/thn)

1 Siabu 307 1082 739 2128 1001 0,92

2 Bukit Malintang 480 2206 82 2768 2052 0,930 3 Pyb. Utara 732 3337 466 4535 2970 0,890

4 Pyb. Kota 775 7865 328 8968 6607 0,840

5 Pyb. Timur 694 2890 1113 4697 1907 0,659

6 Pyb. Barat 302 1131 794 2227 961 0,849

7 Pyb. Selatan 322 1106 751 2179 951 0,859

8 Lembah Sorik Marapi 179 577 401 1157 387 0,670

9 Tambangan 598 2631 1712 4941 1763 0,670 10 Kotanopan 688 2355 1599 4642 1437 0,610 11 Uta Pungkut 72 276 179 527 127 0,460

12 Muarasipongi 88 323 212 623 152 0,470 13 Batang Natal 1309 5396 3580 10285 4101 0,760

14 Lingga Bayu 1380 3525 2605 7510 3208 0,910

15 Batahan 227 893 608 1728 723 0,809

16 Natal 176 480 351 1007 379 0,789

17 Muara BT. Gadis 1264 5116 3458 9838 4042 0,790

Jumlah 9593 41189 18978 69760 35886 12,885

Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Madina

Ket : TBM = Tanaman Belum Menghasilkan TM = Tanaman Menghasilkan TTM = Tanaman Tidak Menghasilkan

Tanaman karet, Hevea brasiliensis Muell. Agr, adalah anggota famili


(24)

banyak getah susu. Tanaman karet mengalami gugur daun sekali setahun pada musim kemarau, di Sumatera Utara terjadi pada bulan Februari-Maret. Setelah gugur daun, terbentuk bunga bila tanaman karet telah berumur 5-7 tahun, tergantung pada tinggi tempat di atas permukaan laut. Masa produktif tanaman karet adalah 25-30 tahun (Sianturi, 2001).

Tanaman karet adalah tanaman daerah tropis. Daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zone antara 15  LS dan 15  LU, curah hujan yang cocok tidak kurang dari 2000 mm. Optimal 2500-4000 mm/tahun. Tanaman karet tumbuh optimal di dataran rendah, yaitu pada ketinggian 200 m dpl sampai 600 m dpl dengan suhu 25-35  C (Setyamidjaja, D, 1993).

2.2. Teori Produksi

Biaya kesempatan adalah nilai sumber daya dalam penggunaan yang terbaik. Biaya kesempatan perlu dipertimbangkan dalam mengukur seluruh biaya produksi. Biaya eksplisit adalah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi yang berbentuk kas, sedangkan biaya implisit adalah biaya dikeluarkan dalam proses produksi dalam bentuk nonkas. Keuntungan ekonomi adalah penerimaan dikurangi semua biaya, tercakup di dalamnya pengembalian normal untuk manajemen dan modal. Biaya marjinal adalah perubahan biaya total yang berkaitan dengan perubahan satu unit

output. Sedangkan, biaya inkremental dapat diartikan sebagai tambahan biaya total dari penerapan keputusan manajerial (P.Sofa, 2008 )


(25)

Fungsi biaya rata-rata atau unit-1 kadang-kadang lebih berguna dari fungsi biaya total dalam pengambilan keputusan suatu usaha di sektor pertanian. Fungsi biaya rata-rata dapat diperoleh dengan membagi fungsi biaya total yang relevan dengan output. Biaya marjinal adalah perubahan biaya total yang berkaitan dengan perubahan output (output). Fungsi biaya marjinal berpotongan dengan fungsi biaya total rata-rata dan fungsi biaya variabel rata-rata di titik minimum ke dua fungsi tersebut.

Fungsi biaya rata-rata jangka panjang akan:

(a) Menurun, apabila skala pengembalian dalam produksi adalah meningkat, (b) Konstan, apabila skala pengembalian dalam produksi adalah konstan, dan (c) Meningkat, apabila skala pengembalian dalam produksi adalah menurun.

Fungsi biaya rata-rata jangka panjang adalah merupakan kurva amplop dari sejumlah kurva biaya rata-rata jangka pendek. Pada tingkat output yang hasilnya di spesifikasi tingkat keuntungan ekonomi diperoleh dengan membagi keuntungan ditambah biaya tetap total dengan kontribusi keuntungan.

Analisis titik impas adalah spesial pada kasus analisis keuntungan di mana keuntungan diharuskan sama dengan nol. Suatu usaha dapat dikatakan tinggi tingkat pengungkitannya apabila biaya tetap adalah relatif lebih besar (tinggi) dari pada biaya variabel. Pada umumnya, penggunaan analisis pengungkitan operasi menyatakan secara tidak langsung tingginya tingkat risiko keuntungan sepanjang waktu. Dalam arti kata, peningkatan nilai pengungkitan operasi menyatakan lebih bervariasinya keuntungan sepanjang waktu, oleh karena itu tinggi tingkat risikonya (Wildan, 2008).


(26)

Menurut Kay (dalam Prayitno, 1986), faktor produksi tenaga kerja terdiri dari dua unsur yaitu jumlah dan kualitas. Jumlah tenaga kerja yang diperlukan dapat dipenuhi dari tenaga kerja keluarga yang tersedia maupun dari luar keluarga. Sedangkan kualitas yang mencirikan produktivitas tenaga kerja tergantung dari keterampilan, kondisi fisik, pengalaman dan latihan.

Dalam kasus petani miskin, rendahnya produktivitas tenaga kerja erat kaitannya dengan kualitas manusianya itu sendiri. Tingkat pendidikan yang rendah, kekurangan gizi, dan keterbatasan-keterbatasan yang lain merupakan penyebab rendahnya produktivitas tenaga kerja, lambatnya adopsi teknologi baru, kurangnya kreatifitas dan rasionalisasi berusaha.

Dalam pengertian ekonomi, modal adalah barang atau uang yang bersama-sama faktor produksi tanah dan tenaga kerja menghasilkan barang-barang baru yaitu hasil pertanian. Modal usahatani terdiri dari modal tetap dan modal kerja untuk pembelian input variabel yang digunakan dalam proses produksi. Selain tanah, modal merupakan faktor produksi yang langka bagi petani miskin. Oleh karena itu, rumah tangga golongan ini diduga hanya mampu mengerjakan jenis-jenis pekerjaan yang mengandalkan tenaga dan atau sedikit modal.

Petani adalah pemimpin atau manager dalam usahataninya yang mengatur organisasi produksi secara keseluruhan. Ia memutuskan berapa banyak pupuk yang dibeli dan digunakan, berapa kali tanah dibajak dan diratakan, berapa kali rumput disiangi, bahkan dia juga memutuskan apakah akan dipakai tenaga kerja dari luar


(27)

disamping tenaga kerja dari keluarga sendiri. Berkaitan dengan itu, maka tingkat keterampilan petani mempunyai peranan yang sangat penting. Keterampilan manajemen dari petani dapat diukur dari tingkat pendidikan atau latihan yang pernah diperoleh.

Keempat faktor produksi tersebut diatas saling berkaitan satu sama lain dalam mempengaruhi produksi dan pendapatan petani. Untuk menganalisis pengaruh faktor produksi tersebut terhadap produksi dan pendapatan petani miskin dapat digunakan fungsi produksi.

Fungsi produksi adalah suatu fungsi atau persamaan yang menunjukkan hubungan antara tingkat output dan tingkat/kombinasi penggunaan input-input. Analisis dan estimasi hubungan tersebut dikenal sebagai Analisis Fungsi Produksi.

Analisis Fungsi produksi yang paling umum digunakan dalam bidang pertanian dan lebih dikenal dibandingkan dengan fungsi lainnya. adalah fungsi produksi Cobb-Douglas. Keunggulan fungsi ini adalah pangkat dari fungsi atau koefisien βi (i = 1,2 …n) merupakan elastisitas produksi (Ep) yang dapat digunakan secara langsung dan penjumlahan dari koefisien tersebut dapat menduga bentuk skala usaha (return to scale) atau tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi. Dengan skala usaha akan dapat diketahui apakah kegiatan suatu usaha tani yang diteliti dapat mengikuti kaidah increasing, constant atau decreasing return to scale.

Untuk menduga skala usaha atau tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi dapat digunakan elastisitas produksi. Elastisitas produksi didefinisikan sebagai perubahan produk dibagi dengan persentase perubahan masukan. Hasil


(28)

pendugaan parameter dengan menggunakan model Cobb-Douglas adalah merupakan elastisitas produksi.

Dalam analisis fungsi produksi, hubungan output dan input biasanya ditunjukkan dalam bentuk hubungan fungsi sebagai berikut :

Q = f (X1, X2, X3, … Xn)

i Keterangan:

Q = tingkat output/produksi (dependent variable)

X1, X2, X3, … Xn = Faktor produksi atau input (independent variable).

Dari fungsi produksi tersebut dapat dirobah kedalam beberapa bentuk atau model matematik. Dalam fungsi produksi pertanian pada umumnya hubungan antara output dan input menunjukkan hubungan yang non linier. Salah satu bentuk fungsi produksi sederhana yang sering digunakan dalam analisis fungsi produksi pertanian adalah bentuk fungsi produksi eksponensial yang biasa ditulis :

Q = b0. X1b1. X2b2…. Xnbn.

Q = produksi

X1, X2, … Xn = Faktor produksi

b1, b2, … bn = Koefisien elastisitas produksi

Menurut Hayami-Ruttan (dalam Prayitno, 1986), fungsi eksponensial dapat dirobah menjadi fungsi produksi linier “ double log “ dengan transformasi logaritma sebagai berikut :


(29)

Keistimewaan bentuk fungsi produksi ini karena mudah interpretasinya yaitu koefisien dari fungsi produksi sekaligus menunjukkan elastisitas produksi dari faktor produksi yang bersangkutan, dan koefisien itu juga dapat menunjukkan seberapa besar hubungan antara tiap faktor produksi terhadap produksi.

Besarnya koefisien elastisitas produksi menunjukkan apakah petani berproduksi pada tahap yang rasional atau tidak rasional dilihat dari efisiensi tehnis. Menurut Mubyarto (1979), tahap produksi rasional apabila elastisitas produksi antara 0 < Ep < 1. Apabila elastisitas produksi lebih besar dari satu, maka masih ada kesempatan bagi petani untuk mengatur kembali kombinasi dan penggunaan faktor produksi sedemikian rupa sehingga dengan jumlah faktor produksi yang sama dapat menghasilkan produksi total yang lebih besar. Dalam keadaan demikian, produksi disebut belum efisien sehingga tidak rasional. Sebaliknya apabila elastisitas produksi lebih kecil dari nol, maka produksi total sudah mulai menurun dan produksi marjinal sudah negatif. Keadaan ini disebut tidak rasional karena penambahan penggunaan faktor produksi justru mengakibatkan produksi total menurun.

Adanya ketiga tahap produksi tersebut, menurut Kay adalah karena adanya sifat dari fungsi produksi yang dianggap tunduk pada suatu hukum yang disebut “

The Law of Diminishing Return “. Hukum ini mengatakan bahwa bila satu macam input ditambah penggunaannya sedangkan input lain tetap, maka tambahan output yang dihasilkan dari setiap tambahan satu unit input yang ditambahkan mulai menaik, tetapi kemudian seterusnya menurun bila input terus ditambah. Tambahan output


(30)

yang dihasilkan dari penambahan satu unit variabel tersebut disebut Marginal Physical Product (MPP) dari input tersebut.

2.3. Modal

Dalam pengertian ekonomi modal adalah barang atau uang yang bersama-sama faktor produksi tanah dan tenaga kerja menghasilkan barang-barang baru. Karena modal menghasilkan barang-barang baru atau merupakan alat untuk memupuk pendapatan maka akan menciptakan dorongan dan minat untuk menyisihkan kekayaannya maupun hasil produksi dengan maksud yang produktif dan tidak untuk maksud keperluan yang konsumtif.

Dalam pengertian sehari-hari modal diartikan sebagai tabungan masyarakat yang setiap saat dapat digunakan untuk membeli saham perusahaan atau obligasi pemerintah ataupun untuk untuk dipinjamkan kepada orang lain. Modal dinyatakan nilainya dalam bentuk uang yang merupakan sebagai alat pengukur nilai dari modal tersebut.

Menurut Suryana (2000), akumulasi modal merupakan keharusan bagi kegiatan/pembangunan ekonomi suatu negara terlebih bagi negara-negara berkembang, karena pembangunan itu sendiri memerlukan modal. Meskipun demikian dapat disadari bahwa modal bukanlah satu-satunya yang penting dalam menggerakkan pembangunan, karena ada beberapa faktor lainnya seperti skill, enterpreuner, sistem pemerintahan yang efisien, kesanggupan untuk menciptakan dan menggunakan teknologi, dan corak sikap masyarakat.


(31)

Modal diharapkan dapat diciptakan untuk menahan diri dalam bentuk konsumsi, dengan tujuan pendapatannya akan dapat lebih besar lagi di masa yang akan datang. Pengembangan pembangunan ekonomi akan terlaksana bila pembentukan modal berjalan baik. Oleh sebab itu pembangunan yang berhasil akan tetap berusaha meningkatkan modalnya.

2.4. Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan resources, tepatnya human resources atau sumber

daya manusia yang berperan dalam kegiatan pembangunan masyarakat. Peranan

tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi sangat besar terhadap perkembangan ekonomi, demikian pula pada sektor industri yang banyak berorientasi kepada sektor padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja.

Menurut Suryana (2000), bahwa penduduk dapat berperan sebagai sumber tenaga kerja, tenaga ahli, pimpinan perusahaan, dan tenaga usahawan yang diperlukan untuk memimpin dan menciptakan kegiatan pembangunan ekonomi. Dengan demikian penduduk bukan merupakan salah satu faktor produksi saja, tetapi juga yang paling penting merupakan sumber daya yang menciptakan dan mengembangkan teknologi serta yang mengorganisir penggunaan berbagai faktor produksi.

Selanjutnya Simanjuntak (1998) menyatakan bahwa tenaga kerja dan bukan

tenaga kerja dibedakan hanya oleh batas umur. Tiap-tiap negara memberikan batasan umur berbeda. Misalnya, India menggunakan batasan umur 14 sampai 60 tahun. Jadi tenaga kerja adalah penduduk yang berumur antara 14 sampai 60 tahun. Sedangkan


(32)

orang yang berumur dibawah 14 tahun atau diatas 60 tahun digolongkan sebagai bukan tenaga kerja.

Menurut Sukirno (2000), bahwa golongan penduduk yang tergolong sebagai angkatan kerja adalah penduduk yang berumur di antara 15-64 tahun, kecuali: (i) ibu rumah tangga yang lebih suka menjaga keluarganya daripada bekerja, (ii) penduduk muda dalam lingkungan umur tersebut yang masih meneruskan pelajarannya di sekolah atau universitas, (iii) orang yang belum mencapai umur 65 tetapi sudah pensiun dan tidak mau bekerja lagi, (iv) pengangguran sukarela-yaitu golongan penduduk dalam lingkungan umur tersebut yang tidak secara aktif mencari pekerjaan.

Selanjutnya Dumairy (1997), mengatakan tenaga kerja dipilah ke dalam dua kelompok yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Yang termasuk angkatan kerja ialah tenaga kerja atau penduduk dalam usia kerja yang bekerja, atau mempunyai pekerjaan namun untuk sementara sedang tidak bekerja dan mencari pekerjaan. Sedangkan yang termasuk bukan angkatan kerja adalah tenaga kerja atau penduduk dalam usia kerja yang tidak bekerja, tidak mempunyai pekerjaan dan sedang tidak mencari pekerjaan, yakni orang-orang yang kegiatannya bersekolah (pelajar dan mahasiswa), mengurus rumah tangga, serta menerima pendapatan tetapi bukan merupakan imbalan langsung atas jasa kerjanya

Pengertian tenaga kerja dalam (www.nakertrans.go.id) adalah: Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (UU Pokok Ketenagakerjaan No, 14 Tahun 1969). Dalam hubungan ini maka pembinaan


(33)

tenaga kerja merupakan peningkatan kemampuan efektivitas tenaga kerja untuk melakukan pekerjaan.

Pengertian bekerja menurut indikator ketenagakerjaan adalah: “Jika telah melakukan kegiatan ekonomi dengan maksud memperoleh pendapatan atau keuntungan paling sedikit satu jam secara tidak terputus selama satu minggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha atau kegiatan ekonomi”.

Menurut BPS (2001) membagi tenaga kerja (employed) atas 3 (tiga) macam,

yaitu:

a) Tenaga kerja penuh (full employed), adalah tenaga kerja yang mempunyai jumlah jam kerja ≥ 35 jam dalam seminggu dengan hasil kerja tertentu sesuai dengan uraian tugas.

b) Tenaga kerja tidak penuh atau setengah pengangguran (under employed), adalah tenaga kerja dengan jam kerja < 35 jam dalam seminggu.

c) Tenaga kerja yang belum bekerja atau sementara tidak bekerja (unemployed),

adalah tenaga kerja dengan jam kerja ≤ 1 jam per minggu.

Simanjuntak (1998) menyatakan Tenaga kerja atau manpower terdiri dari

angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja atau labor force terdiri dan: (1) golongan yang bekerja, (2) golongan yang menganggur atau mencari pekerjaan. Kelompok bukan angkatan kerja terdiri dari: (1) golongan bersekolah, (2) golongan yang mengurus rumah tangga, dan (3) golongan lain-lain atau penerima pendapatan. Ketiga golongan dalam kelompok bukan angkatan kerja sewaktu-waktu dapat


(34)

menawarkan jasanya untuk bekerja. Oleh sebab itu kelompok ini sering juga dinamakan potential labor force.

Transformasi dari bukan angkatan kerja ke angkatan kerja (terutama bagi tenaga kerja wanita) sangat ditentukan oleh banyak faktor, antara lain:

a) Tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin besar

keinginannya untuk masuk dalam pasar kerja.

b) Tingkat sosial yang lebih tinggi, mempunyai perasaan rendah diri apabila tidak bekerja.

c) Kondisi ekonomi rumah tangga yang mengharuskan wanita bekerja.

d) Semakin panjang usia harapan hidup.

e) Adanya fasilitas atau kemudahan-kemudahan lain yang tersedia menyebabkan

waktu yang dibutuhkan untuk mengurus rumah tangga berkurang sehingga peluang untuk bekerja diluar rumah sangat besar.

f) Banyak terbuka lapangan kerja baru.

Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja di Indonesia adalah penduduk yang telah berusia 15 tahun ke atas yang ikut berpartisipasi dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan masyarakat.

2.5. Luas Lahan

Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting dalam usaha tani, karena luas lahan yang diusahai berpengaruh terhadap hasil produksi.


(35)

Hakim (1986), mengatakan bahwa pengertian lahan (land) tidak sama dengan tanah (soil). Lahan (land) mencakup pengertian yang lebih luas yaitu meliputi seluruh kondisi lingkungan seperti iklim, sumber air, tanah, tofografi, dan sebagainya. Sedangkan tanah (soil) merupakan benda alam yang mempunyai sifat fisik, kimia dan biologi tertentu, berdimensi tiga dan merupakan bagian dari lapisan bumi terluar. Jadi lahan dapat mencakup berbagai jenis tanah.

Menurut Rayes (2007), dalam kaitan sumberdaya alam dikenal istilah tanah dan lahan yang pengertiannya sering rancu. Dikatakan bahwa pengertian lahan lebih luas dari tanah, dimana sumberdaya lahan merupakan suatu lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, topografi, tanah, hidrologi dan vegetasi dimana pada batas-batas tertetu mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan. Dengan demikian dalam pengertian lahan tanah termasuk di dalamnya.

Nuhung (2006), menyebutkan lahan sebagai faktor produksi utama dan merupakan barometer untuk mengukur kemajuan petani selaku pelaku utama pembangunan pertanian.

Rayes (2007) permasalahan utama yang berhubungan dengan usaha pertanian adalah tersedianya luas lahan yang relatif tetap. Sementara dengan meningkatnya kebutuhan manusia akan pangan yang diproduksi dari lahan tersebut, menyebabkan meningkatnya tekanan terhadap lahan. Lahan merupakan faktor produksi yang tidak dapat digantikan dengan media lain. Berdasarkan hal tersebut, sangatlah penting mengetahui tingkat kesesuaian dan faktor-faktor pembatasnya untuk penggunaan lahan tersebut.


(36)

Suparmoko (1997), berpendapat bahwa manusia umumnya mulai mengolah tanah dari yang paling subur terlebih dahulu, kemudian kalau tanah yang paling subur itu sudah langka adanya, maka manusia beralih ke tanah yang tingkat kesuburannya lebih rendah yang produktivitas lahannya semakin merosot. Sebagian besar petani mengusahakan lahan pertanian dengan luas lahan yang sempit sehingga tidak mampu mengangkat kesejahteraan petani, sementara masih banyak lahan marginal yang dapat diolah ataupun diusahai.

Danarti (1999), bahwa dalam situasi krisis ekonomi berkepanjangan yang terjadi akhir-akhir ini, lahan tidur ibarat tambang emas yang dincar banyak orang. Dari lahan tersebut dapat dihasilkan komoditas pertanian yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan peluang pasar cukup baik.

Menurut Direktorat Jendral Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian (2008), bahwa banyak terdapat lahan-lahan pertanian terlantar atau lahan yang sementara belum diusahakan secara optimal yang apabila diberikan sentuhan teknologi maka lahan dimaksud dapat menghasilkan produksi yang optimal pula. Upaya dimaksud disebut sebagai lahan optimasi lahan.

Kegiatan optimasi lahan merupakan usaha meningkatkan pemanfaatan sumberdaya lahan menjadi lahan usaha tani baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perternakan melalui upaya perbaikan dan peningkatan daya dukung lahan sehingga dapat menjadi lahan usaha tani yang lebih produktif. Kegiatan optimasi lahan diarahkan untuk memenuhi kriteria lahan usaha tani dari aspek tehnis


(37)

tentang lahan, perbaikan fisik dan kimia tanah bahkan kepada peningkatan infrastruktur usaha tani yang diperlukan.

Hakim (2002), mengemukakan bahwa sumberdaya lahan yang semakin langka mendorong perilaku persaingan masyarakat ekonomi ke arah yang semakin tidak sehat dan cenderung merusak. Konsentrasi penguasaan sumberdaya lahan pada pihak-pihak tertentu semakin memperbesar porsi masyarakat yang terperdayakan karena kehilangan akses terhadap sumberdaya dasarnya.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam konteks agribisnis, aspek pokok yang akan ditelaah terutama adalah menyangkut pemilikan/penguasaan lahan serta pola penggunaan lahan. Perlu dilihat sejauh mana aspek-aspek ini menentukan kinerja sistem, dan selanjutnya ditentukan langkah-langkah kebijaksanaan yang bagaimana yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan kondisi riil pola pemilikan/ penguasaan serta pengguna lahan yang ada sehingga kinerja sistem semakin meningkat.

Rahmawaty (2002), mengatakan bahwa upaya pemanfaatan lahan dalam rangka pembangunan pertanian khususnya pertanian tanaman pangan tidak hanya terbatas pada upaya peningkatan produksi dengan menggunakan lahan subur, tetapi juga diarahkan pada pamanfaatan lahan marginal dan harus mempertimbangkan keberlanjutan yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan.

Menurut Rossiter (1994), penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan potensinya akan mengakibatkan produktivitas menurun, degradasi kualitas lahan dan tidak berkelanjutan. Guna menghindari hal tersebut, maka diperlukan adanya evaluasi lahan


(38)

untuk mendukung perencanaan pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Pemanfaatan sumberdaya lahan perlu disesuaikan dengan kondisi agroekologinya, agar usaha pertanian tersebut dapat berkesinambungan.

Menurut Barlowe (1986), faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor institusi (kelembagaan). Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar dan transportasi. Faktor institusi dicirikan oleh hukum pertanahan, keadaan politik, keadaan sosial dan secara administrasi dapat dilaksanakan.

2.6. Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

Menurut Sumodiningrat (1997), pemberdayaan merupakan upaya untuk membangun potensi dengan mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

Selanjutnya Mas"oed (1993), mendefinisikan pemberdayaan rakyat sebagai upaya memberi daya atau kekuatan kepada rakyat. Pemberdayaan ekonomi rakyat harus dipandang sebagai sebuah pemacu untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Pemberdayaan tersebut dilakukan dengan 3 jalur.

1. Menciptakan suasana atau lklim yang memungkinkan potensi rakyat dapat

berkembang.


(39)

3. Pemberdayaan bermakna pula melindungi, artinya dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi semakin lemah.

Pemberdayaan ekonomi rakyat harus disertai dengan menciptakan peluang-peluang bagi masyarakat lapisan bawah yang ada untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Dengan demikian daerah mampu mengatasi keterbelakangan masyarakatnya dan memperkuat posisi daya saing mereka dalam bidang ekonomi. Secara sederhana, pembangunan daerah dapat diartikan sebagai upaya sistematis untuk meningkatkan kualitas hidup seluruh anggota masyarakat suatu daerah ke arah yang lebih baik secara terus menerus. Dalam upaya itu, kebijakan umumnya terfokus pada pengembangan aspek-aspek ekonomi dari kehidupan manusia, sehingga pembangunan daerah seringkali disebut juga sebagai pembangunan ekonomi daerah.

Pembangunan ekonomi masyarakat dipahami sebagai perubahan struktur dan upaya peningkatan kemampuan masyarakat, penguasaan teknologi, dan pembentukan

modal (capital accumulation). Perubahan tersebut merupakan kunci dari

pengembangan ekonomi masyarakat yang tumbuh berkembang.

Peningkatan kualitas hidup seluruh anggota masyarakat suatu daerah bukan merupakan tanggungjawab aparat daerah saja. Dalam pemberdayaan pembangunan

ekonomi masyarakat, pemerintah tidak dapat bekerja sendiri. Pemerintah harus

proaktif, secara terus menerus melakukan tindakan-tindakan pemberdayaan ekonomi masyarakat didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (potensi sumberdaya manusia, potensi sumber daya alam, kelembagaan dan sarana/prasarana lainnya) untuk kesejahteraan semua warganya. Orientasi ini diarahkan kepada


(40)

pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat.

Menurut Sumodiningrat (1997), setiap anggota masyarakat disyaratkan

berperan serta dalam proses pembangunan (full employment), mempunyai

kemampuan yang sama (equal productivity) dan bertindak rasional (efficient).

Selanjutnya menurut Tjiptoherijanto (1999), bahwa kelompok usaha produktif hanya akan tumbuh dan berkembang jika ada: a) Potensi penduduk yang berbakat dan memiliki kemampuan berusaha atau berwiraswasta, b) Rangsangan untuk melakukan inovasi, dan c) Iklim yang memungkinkan realisasi potensi kewirausahaan atau kewiraswastaan.

2.7. Konsep Pembangunan Wilayah

Peningkatan produksi memang merupakan salah satu ciri produk dalam proses pembangunan, selain segi peningkatan produksi secara kuantitatif, proses pembangunan mencakup perubahan komposisi produksi, perubahan pada pola pengguflaan (alokasi), sumberdaya produksi (productive resources) diantara sektor-sektor kegiatan ekonomi, perubahan pada pola pembagian (distribusi), kekayaan dan pendapatan diberbagai golongan pelaku ekonomi, perubahan pada kerangka

kelembagaan (institusional framework) dalam kehidupan masyarakat secara


(41)

Wilayah sebagai suatu kesatuan geografis memiliki potensi bagi dijalankannya suatu aktifitas pembangunan dan pengembangan wilayah. Dan wilayah

(region) juga merupakan suatu unit geografi yang membentuk suatu kesatuan. Pengertian unit geografi adalah ruang sehingga bukan merupakan aspek fisik tanah saja, tetapi lebih dan itu meliputi aspek-aspek lain seperti, ekonomi, biologi, sosial dan budaya (Wibowo dan Soetriono, 2004).

Pembangunan ekonomi selalu ditujukan untuk mempertinggi kesejahteraan dalam arti yang seluas-luasnya. Kegiatan pembangunan ekonomi selalu dipandang sebagian dan keseluruhan usaha pembangunan yang dijalankan oleh suatu masyarakat. Pembangunan ekonomi meliputi suatu usaha masyarakat untuk mengembangkan kegiatan ekonomi, mempertinggi tingkat pendapatan masyarakatnya dan keseluruhan usaha-usaha pembangunan juga meliputi pembangunan social, politik dan kebudayaan.

Dengan demikian pengertian pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Todaro, 2000). Dengan demikian pembangunan ekonomi mempunyai 3 sifat penting yaitu:

1. Suatu proses yang berarti merupakan perubahan yang terjadi terus menerus.

2. Usaha-usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita.

3. Kenaikan pendapatan perkapita itu harus terus berlangsung dalam jangka panjang. Suatu perekonomian baru dapat dikatakan berkembang apabila pendapatan perkapita rnenunjukkan kecenderungan jangka panjang meningkat. mi tidak berarti


(42)

bahwa pendapatan perkapita harus mengalami kenaikan terus menerus Menurut Todaro (2000) kekacauan politik dan kemunduran sektor ekspor, misalnya dapat mengakibatkan kemunduran suatu perekonomian dalam tingkat kegiatan ekonominya.

Pembangunan wilayah pada kondisi demikian, memerlukan adanya penanggulangan yang terkoordinasi. Cara pemecahannya yaitu melalui upaya penggalian dan pembangunan potensi-potensi yang secara terkoordinasi atau terpadu. Hal inilah yang menyebabkan perlu adanya konsep pembangunan yang bersifat regional.

Menurut Tarigan (2003) setelah otonomi daerah, masing-masing daerah sudah lebih bebas dalam menetapkan sektor atau komoditi yang diprioritaskan pengembangannya. Kemampuan pemerintah daerah untuk sector yang memiliki keunggulan memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan dapat mendorong sektor-sektor lain untuk berkembang, sehingga perekonomian daerah dapat berkembang dan stabil.

Pertumbuhan ekonomi biasanya diulas dalam bentuk total barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh warga atau masyarakat pada suatu wilayah, sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat wilayahnya, dan bahkan dapat mengekspor barang dan jasa tersebut. Ini menunjukkan semakin baiknya pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Dalam pengertian ekonomi regional, ekspor adalah menjual produk maupun lasa ke luar wilayah, baik keluar wilayah dalam Negara itu maupun ke luar negeri. Tenaga kerja yang berdomisili di wilayah kita, tetapi bekerja dan memperoleh


(43)

uang dan wilayah lain, termasuk dalam penghasilan ekspor. Kegiatan ekspor adalah semua kegiatan baik penghasil produk maupun penyedia jasa yang mendatangkan uang dan dan luar wilayah (Tarigan,2003).

Pertumbuhan ekonomi yang baik dan terarah secara berkelanjutan akan mampu meningkatkan kemampuan wilayah tertentu untuk berkembang, dimana perkembangan wilayah tersebut salah satu pilar utamanya adalah perkembangan

ekonomi wilayah. Pengembangan wilayah (regional development) merupakan upaya

untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah.

Pengembangan wilayah sangat diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya dan geografis yang sangat berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Pada dasarnya pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan kondisi, potensi dan permasalahan wilayah bersangkutan (Riyadi, 2002).

Demikian halnya Hartshorne dalam Fadillah (2001) memformulasikan

wilayah sebagai suatu area dengan lokasi spesifik dan dalam beberapa aspek tertentu berbeda dengan area lain. Unit area ini adalah merupakan obyek yang konkrit dengan kerakteristik yang unik.

Demikian halnya pengembangan wilayah tersebut harus menselaraskan penggunaan potensi daerah secara baik dan benar, hal mi sesuai dengan pendapat Miraza (2000) bahwa pengembangan wilayah adalah pemanfaatan potensi wilayah,

baik potensi alam maupun potensi buatan, harus dilaksanakan secara fully dan


(44)

kesejahteraan masyarakat secara maksimal. Dalam hal ni perlunya dititik beratkan adanya pelaksanaan secara eficiency yang artinya pengembangan dan pembangunan tersebut harus diarahkan secara tepat guna untuk kepentingan bersama.

Tujuan utama dan pengembangan wilayah adalah menyerasikan berbagai kegiatan pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan sumberdaya yang ada di dalamnya dapat optimal mendukung kegiatan kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan wilayah yang diharapkan (Riyadi, 2002).

2.8. Pembangunan Ekonomi Wilayah

Setiap daerah mempunyai corak pertumbuhan ekonomi yang berbeda dengan daerah lain. Oleh sebab itu perencanaan pembangunan ekonomi suatu daerah pertama-tama perlu mengenali karakter ekonomi, sosial dan fisik daerah itu sendiri, termasuk interaksinya dengan daerah lain. Dengan demikian tidak ada strategi pembangunan ekonomi daerah yang dapat berlaku untuk semua daerah. Namun di pihak lain, dalam menyusun strategi pembangunan ekonomi daerah, baik jangka pendek maupun jangka panjang, pemahaman mengenai teori pertumbuhan ekonomi wilayah, yang dirangkum dari kajian terhadap pola-pola pertumbuhan ekonomi dari berbagai wilayah, merupakan satu faktor yang cukup menentukan kualitas rencana pembangunan ekonomi daerah (Darwanto, 2008).

Keinginan kuat dari pemerintah daerah untuk membuat strategi pengembangan ekonomi daerah dapat membuat masyarakat ikut serta membentuk


(45)

bangun ekonomi daerah yang dicita-citakan. Dengan pembangunan ekonomi daerah yang terencana, pembayar pajak dan penanam modal juga dapat tergerak untuk mengupayakan peningkatan ekonomi. Kebijakan pertanian yang mantap, misalnya, akan membuat pengusaha dapat melihat ada peluang untuk peningkatan produksi pertanian dan perluasan ekspor. Dengan peningkatan efisiensi pola kerja pemerintahan dalam pembangunan, sebagai bagian dari perencanaan pembangunan, pengusaha dapat mengantisipasi bahwa pajak dan retribusi tidak naik, sehingga tersedia lebih banyak modal bagi pembangunan ekonomi daerah pada tahun depan.

Pembangunan ekonomi daerah perlu memberikan solusi jangka pendek dan jangka panjang terhadap isu-isu ekonomi daerah yang dihadapi, dan perlu mengkoreksi kebijakan yang keliru. Pembangunan ekonomi daerah merupakan bagian dari pembangunan daerah secara menyeluruh. Dua prinsip dasar pengembangan ekonomi wilayah yang perlu diperhatikan adalah:

1. Mengenali ekonomi wilayah

2. Merumuskan manajemen pembangunan daerah yang pro-bisnis.

(Darwanto, 2008)

2.9. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang telah dilakukan terhadap tanaman karet, menunjukkan bahwa perkembangan produksi tanaman karet masih sangat layak untuk dikembangkan, sehingga produksi karet di Indonesia dapat ditingkatkan kembali, beberapa penelitian karet yang telah dilakukan adalah:


(46)

Hutagalung, (1993) melakukan peneletin terdahulu berjudul ”Beberapa Masalah Tata Produksi Dan Pemasaran Karet Rakyat di Kecamatan Padang Sidempuan Kabupaten Tapanuli Selatan “. Menunjukkan bahwa penambahan luas tanah garapan dan penggunaan input biaya produksi dalam usaha petani karet masih dapat menaikkan produksi dan pendapatan petani. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa pendapatan petani karet masih dapat ditingkatkan lagi dengan pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya yang mereka miliki baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Perlunya pemerintah mengadakan perbaikan sistem pemasaran berupa mempersingkat saluran tata niaga yaitu dengan memanfaatkan lembaga koperasi, kebijakan perpajakan, ekspor, dan lain-lain. Kurangnya peremajaan petani terhadap karet yang sudah tua, akhirnya pendapatan petani merosot.

Sitepu (2007) melakukan peneletin terdahulu berjudul ”Analisis Produksi

Karet Alam (Havea Brasiliensis) Kaitannya Dengan Pengembangan Wilayah”. Karet

merupakan komoditi yang memiliki pasar yang cukup besar, baik dalam negeri maupun luar negeri. Produksi Indonesia banyak ditunjang oleh adanya perkebunan karet rakyat akan memiliki arti yang penting sekali didalam upaya peningkatan pendapatan kesejahteraan petani serta upaya peningkatan devisa serta prekonomian Indonesia pada umumnya. Berkaitan dengan pengembangan budidaya tanaman karet diwilayah Sumatera Utara, penlitian ini di fokuskan pada pengaruh permintaan pasar, harga karet, dan tenaga kerja terhadap luas lahan dan produksi karet.

Subjek penelitian ini adalah keseluruhan perkebunan karet di Sumatera Utara. Penelitian ini difokuskan pada pengaruh permintaan pasar, harga karet serta terhadap


(47)

luas lahan dan produksi karet. Objek Penelitian ini adalah luas lahan dan produksi karet Sumatera Utara sebagai indikator pengembangan perkebunan karet di Sumatera Utara. Pengujian hipotesa penelitian menggunakan metode analisis statistik dengan regresi ganda. Memperhatikan pengaruh pasar terhadap pengembangan wilayah di Sumatera Utara, maka disarankan a) Perlu dibuat beberapa kebijakan oleh pemerintah Propinsi Sumatera Utara maupun pengelola perdagangan karet alam untuk meningkatkan perkebunan karet, melalui pemberian modal usaha serta pengaturan sistem perdagangan karet alam yang memberikan keuntungan bagi petani, b) Perlu diupayakan kebijakan yang menyangkut pengembangan industri produk turunan karet alam.

Rahmanto (2004) melakukan penelitian dengan judul ” Dampak Liberalisasi Perdagangan Global dan Perubahan Kondisi Ekonomi-Politik Domestik Terhadap Dinamika Perdagangan Luar Negeri Kelompok Komoditas Berbasis Pertanian di Indonesia”. Pengaruh periode krisis ekonomi (1997-2002) terhadap kelompok komoditas hasil perkebunan seperti karet yang tadinya mengalami kondisi defisit cenderung bersifat positif atau berdampak mengurangi defisit, kecuali untuk kelompok komoditas gula masih berpengaruh meningkatkan defisit, meskipun tidak nyata secara statistik. Kondisi yang demikian diperkirakan disebabkan oleh penurunan volume impor yang cukup signifikan sebagai akibat schock depresiasi rupiah terhadap Dollar Amerika yang tajam dan berfluktuasi, sedangkan pengaruh periode krisis ekonomi terhadap kelompok komoditas yang tadinya mengalami kondisi surplus bervariasi dan sebagian besar tidak nyata secara statistik kecuali


(48)

untuk kelompok komoditas karet dan hasil olahannya berpengaruh sangat nyata menurunkan surplus, sedangkan untuk kelompok komoditas lemak dan minyak nabati/hewani serta buah dan kacang-kacangan yang dapat dimakan berpengaruh nyata meningkatkan surplus.

Sadikin, dkk (2005) melakukan penelitian dengan judul ”Dampak Pembangunan Perkebunan Karet Rakyat Terhadap Kehidupan Petani di Riau”. Proses pembangunan wilayah (daerah) di Provinsi Riau sering menghadapi banyak masalah yang cukup komplek. Selain luasnya wilayah dan banyak Pulau, permasalahan muncul karenan disebabkan oleh adanya keragaman aksesibilitas antar daerah, teknologi, sumberdaya manusia dan tingkat perkembangan pembangunan. Keadaan seperti ini lebih kentara di daerah pedesaan. Di mana sebagian besar masyarakat Riau yang tinggal di pedesaan adalah sebagai petani karet-rakyat yang umumnya tingkat kesejahteraan mereka masih dalam kondisi yang memprihatinkan.

Sejauh ini strategi dan langkah kebijakan Pemerintah untuk membangun dan mengembangkan perkebunan karet-rakyat telah dilaksanakan, seperti (a) Pembentukan pusat-pusat pengolahan karet di beberapa daerah sentra produksi dengan tujuan menampung dan mengolah lateks dari hasil perkebunan rakyat dan untuk memperbaiki mutu olahannya, (b) Melakukan pembinaan perkebunan rakyat dengan membentuk unit pelaksana proyek (UPP) yang lebih populer di Propinsi Riau dikenal dengan proyek SRDP. Meskipun program ini berfungsi sebagai pembinaan petani-karet secara menyeluruh dari masalah budidaya sampai ke persoalan pemasaran. Tapi dalam perjalanannya masih belum memberi banyak dampak dan


(49)

manfaat kepada petani kebun, terlebih lagi bagi masyarakat miskin lain di pedesaan. Penyebabnya adalah; strategi pembangunan perkebunan lebih condong/berorientasi kepada peningkatan produksi untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan memperbesar devisa negara. Sementara, aspek persoalan sosial kemasyarakatan seperti lembaga-lembaga lokal dan berbagai relasi produksi di tingkat lokal yang terkait langsung dengan upaya meningkatkan tarap kehidupan masyarakat di pedesaan terkesan diabaikan.

Dirjen Perkebunan (2007) melihat perkembangan baik dari segi konsumsi maupun produksi karet dunia, dalam tahun-tahun mendatang dipastikan masih akan terus meningkat. Indonesia merupakan penghasil karet sekaligus sebagai salah satu basis manufaktur karet dunia. Tersedianya lahan yang luas memberikan peluang untuk menghasilkan karet alami yang lebih besar lagi dengan menambah areal perkebunan karet. Tetapi lebih utama dari itu, produksi karet alam bisa ditingkatkan dengan meningkatkan teknologi pengolahan karet untuk meningkatkan efisiensi, dengan demikian output (latex) yang dihasilkan dari input (getah) bisa lebih banyak dan menghasilkan material sisa yang semakin sedikit. Meskipun pasar karet alam lebih sedikit dibanding dengan pasar karet sintetik, namun produksi maupun konsumsi karet alam masih cukup besar. Salah satu kelebihan dari karet alam antara lain dilihat dari segi kestabilan harganya yang tidak terpengaruh secara langsung oleh harga minyak dunia. Tidak demikian halnya dengan harga karet sintetik yang terkena dampak langsung oleh kenaikan harga minyak dunia yang terjadi belakangan ini.


(50)

Parhusip (2008) potensi pasar karet alam dalam jangka panjang masih cukup baik yang disebabkan kebutuhan karet merupakan kebutuhan dasar dalam keperluan sehari-hari dan beberapa negara berkembang mengalami pertumbuhan industrialisasi yang cukup tinggi seperti Cina, India dan Brasil. Pergerakan harga karet dunia juga menunjukkan tren positif dan Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar karet diharapkan dapat bekerjasama dengan produsen lain untuk dapat menjaga posisi harga yang tetap menguntungkan. Kerjasama tersebut dapat dilakukan dengan strategi mengurangi frekwensi sadapan karet atau mengatur perluasan/peremajaan lahan agar lebih optimal dapat mengatur pasokan ke pasar internasional. Pengembangan karet alam diharapkan dapat dioptimalisasi melalui kedua line usaha baik on farm maupun

off farm. Permasalahan produktivitas lahan merupakan permasalahan utama dalam pengembangan on farm termasuk kualitas bahan baku olahan yang masih rendah. Kondisi tersebut diharapkan dapat dijembatani dengan pola plasma antara perkebunan rakyat dengan perkebunan besar dalam peningkatan hasil dan harga. Pola plasma tersebut diharapkan juga dapat menjembatani perbankan dalam pemberian fasilitas kredit terkait dengan kemampuan manajemen dan jaminan yang selama ini masih menjadi kendala utama dalam meningkatkan kemampuan permodalan perkebunan. Menghadapi tantangan pelemahan pertumbuhan ekonomi dunia akibat krisis keuangan global, Indonesia sebagai salah satu produsen utama karet alam diharapkan dapat mengoptimalkan kondisi pasar karet jangka panjang melalui peningkatan produktivitas lahan dan kebijakan yang mendukung seluruh aspek komoditas karet baik sektor on farm maupun off farm.


(51)

Damanik (2000) melakukan penelitian dengan judul penelitian ” Analisis Dampak Pengembangan Komoditas Perkebunan Terhadap Perekonomian Wilayah di Propinsi Sumatera Utara ” (1). Komoditas perkebunan di propinsi Sumatera Utara merupakan komoditas ekspor. Oleh karena pemasukan devisa negara melalui ekspor, adalah hal yang sangat penting untuk membantu pemerintah dalam mengurangi defisit neraca pembayaran. Komoditas perkebunan tetap perlu dikembangkan terutama pada wilayah yang relatif mempunyai tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dibanding wilayah lainnya, sehingga dengan cara demikian selain ada pemasukan devisa untuk negara juga dapat dijadikan instrument dalam mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah di propinsi Sumatera Utara. (2). Komoditas perkebunan dalam menciptakan nilai tambah (pendapatan) dan kesempatan kerja lebih rendah dibandingkan sektor pertanian. (3). Komoditas pertanian yang berorientasi pada pasar domestik seperti padi, ternak, kelapa dan sayuran serta buah-buahan pada umumnya mempunyai kemampuan dalam menciptakan nilai tambah dan kesempatan kerja yang tinggi.

2.10. Kerangka Pikir Penelitian

Pembangunan suatu wilayah hendaknya Iebih memperhatikan potensi yang ada di wilayahnya. Pembangunan yang berbasis kemampuan dan potensi wiayah itu sendiri pada gilirannya akan semakin memperkokoh ekonomi wilayah itu sendiri. Demikian hanya Kabupaten Mandailing Natal yang sejak lama dikenal sebagal daerah penghasil karet, dimana produksi karet tersebut sangat tergantung dengan


(52)

besarnya modal dan tenaga kerja yang dibutuhkan, kedua faktor produksi ini akan mempengarui besar kecilnya produksi, sehingga produksi karet tersebut secara nyata menjadi sektor ekonomi basis yang meningkatkan pendapatan masyarakat.

Peningkatan pendapatan masyarakat tersebut secara horizontal akan mempengaruhi tingkat kegiatan ekonomi, yang artinya kegiatan ekonomi akan semakin berkembang yang membawa implikasi semakin besarnya jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan, keadaan ini secara nyata akan mempengaruhi pengembangan wilayah.

Kerangka berpikir tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Modal

Tenaga Kerja

Tanaman Karet

Produksi Karet

Pengembangan Wilayah Luas Lahan


(53)

40

2.11. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian diatas serta perumusan permasalahannya yang ada, maka dapat diambil hipotesisnya yakni:

1. Modal, tenaga kerja dan luas lahan berpengaruh positif dan signifikan terhadap produksi karet di Kabupaten Mandailing Natal.

2. Komoditas Karet sangat berperan terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Mandailing Natal dengan jarak tempuh dari Kota Medan kira-kira 10-12 jam melalui darat. Wilayah ini memiliki udara yang sejuk dengan kondisi tanah yang subur untuk pertanian. Pertimbangan pemilihan lokasi adalah karena Kabupaten Mandailing Natal telah sejak lama memiliki pertanian karet dengan kualitas yang baik. Kecamatan yang dipilih menjadi lokasi penelitian yaitu Kecamatan Panyabungan Kota, Kecamatan Panyabungan Timur, dan Kecamatan Panyabungan Selatan. Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah pada tahun 2009

Kecamatan Panyabungan Kota, Kecamatan Panyabungan Timur, dan Kecamatan Panyabungan Selatan Kabupaten Mandailing Natal, sebagai daerah penelitian dengan pertimbangan bahwa Kecamatan - kecamtan tersebut merupakan salah satu sentra produksi tanaman karet, dan petani sampel terpusat di daerah tersebut dan daerah ini mudah dijangkau oleh peneliti sehingga mudah melakukan penelitian.

3.2. Jenis dan Sumber Data

1. Data primer berupa data langsung yang kumpulkan melalui wawancara


(55)

2. Data sekunder yang berhubungan dengan penelitian ini diperoleh dan kantor Dinas Pertanian Kabupaten Mandailing Natal, Badan Pusat Statistik Kabupaten Mandailing Natal, Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Utara dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini meliputi seluruh petani karet yang bermukim pada lokasi penelitian, yaitu Kecamatan Panyabungan Kota, Kecamatan Panyabungan Timur, dan Kecamatan Panyabungan Selatan Kabupaten Mandailing Natal.

Jumlah seluruh populasi pada ke tiga kecamatan adalah sebanyak 112.792 orang, meliputi Kecamatan Panyabungan Kota sebayak 68.447 orang, Kecamatan Panyabungan Selatan 15.235 orang, dan Kecamatan Panyabungan Timur 29.110 orang. Dengan menggunakan Persamaan Taro Yamane diperoleh sampel sebagai berikut:

n =

1 2 

Nd N

………(1) Keterangan:

n = Sampel N = Populasi


(56)

Seteleh digunakan rumus di tas maka diperoleh sampel sebesar 99,89 orang atau dibulatkan menjadi 100 orang.

Pengambilan sampl ini telah memenuhi dengan yang disarankan oleh Roscoe dalam Sugiono (2003), dalam penelitian sosial, ukuran sampel yang layak digunakan antara 30 hingga 500 responden. Sampel diambil secara sengaja dengan tujuan tertentu (purposive sampling) sebanyak 100 orang.

Sebanyak 50 orang sampel di ambil dari Kecamatan Panyabungan Kota, dan 25 orang di ambil dari Kecamatan Panyabungan Timur, serta 25 orang lagi diambil dari Kecamatan Panyabungan Selatan.

Tabel 3.1. Jumlah Sampel

No Kecamatan Sampel

1 Kecamatan Panyabungan Kota 50

2 Kecamatan Panyabungan Timur 25

3 Kecamatan Panyabungan Selatan 25

Jumlah 100 Sumber: data diolah

3.4. Metode Analisis Data

Untuk menjawab permasalahan/hipotesis pertama bagaimana pengaruh modal, tenaga kerja dan luas lahan terhadap produksi karet di Kabupaten Mandailing Natal digunakan persamaan fungsi Cobb-Douglas.

Fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, dimana variabel yang satu disebut variabel dependen, yang


(57)

dijelaskan (Y) dan yang lain disebut sebagai variabel independen, yang menjelaskan (X).

Y = β0 + βIX1 + β2X2 + β3X3 + µ

dengan Y adalah hasil produksi (Ton)

X1 adalah modal (kapital) (rupiah) X2 adalah tenaga kerja (labor) (orang)

X3 adalah luas lahan (ha)

Selanjutnya persamaan tersebut ditransformasikan menjadi bentuk logaritma dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut (Soekartawi, 1994).

log Y = log bo + b1 log X1 + b2 log X2 + b3 log X3 + µ

Dimana Y adalah produksi (ton)

X1 adalah modal (rupiah) X2 adalah tenaga kerja (orang) X3 adalah luas lahan (ha)

β 1- β3 adalah koefisien regresi

µ adalah error (galat)

Untuk pembuktian hipotesis, perlu dilakukan test statistik meliputi F- test dan R2 (koefisien determinasi). Untuk uji koefisien regresi secara serentak dilakukan uji F dengan rumus sebagai berikut:

F= R2I k

(I-R2) I (n-k-I)

dengan F = ketaksamaan nilai koefisiean determinasi R2 = koefisien variabel bebas


(58)

45

k = banyaknya variabel bebas n = ukuran sampel

3.5. Definisi Variabel Operasional

1. Produksi karet adalah total produksi karet dalam bentuk lateks cair yang

diperoleh responden (Ton/hektar/bulan).

2. Modal adalah seluruh modal yang dibutuhkan dalam bertanam karet meliputi,

penyiapan lahan, bibit, tenaga kerja, pupuk (Rupiah).

3. Tenaga kerja adalah jumlah seluruh pekerja yang terserap oleh kegiatan

bertanam karet (HOK/hektar/bulan).

4. Luas Lahan adalah areal yang digunakan untuk bertanam karet, baik lahan milik


(59)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Wilayah Kabupaten Mandailing Natal

Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Mandailing Natal dengan Ibukota Panyabungan yang berjarak sekitar 300 km dan Kota Medan dengan jarak tempuh 10-12 jam melalui jalan darat. Luas wilayah 662.070 Ha atau sekitar 9,24 % dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Mandailing Natal berada pada protokol lintas Barat, sehingga memberikan kemudahan dalam aksesibilitas perekonomian.

Keadaan alam Kabupaten Mandailing Natal sebagian besar terdiri dan dataran tinggi dan berbukit-bukit yang terletak antara 00 derajat 10 menit – 10 derajat 50 menit lintang utara dan 98 derajat 50 menit – 100 derajat 10 menit bujur timur. Secara geografis Mandailing Natal berbatasan dengan Tapanuli Selatan disebelah Utara, propinsi Sumatera Barat disebelah timur dan disebelah selatan, serta Samudera Indonesia disebelah barat.

Secara administratif kabupaten Mandailing Natal terdiri dari 17 Kecamatan dan 375 desa/kelurahan yang di tetapkan oleh Pemerintah RI dengan dengan Undang Undang No. 12 Tahun 1998 (Mandailing Natal dalam angka tahun tahun 2006), kemudian pada tahun 2007 dimekarkan menjadi 22 kecamatan 355 desa dan 33 kelurahan (Bappeda Mandailing Natal, 2009). Dengan ibukota kabupaten adalah Panyabungan, jumlah penduduk kabupaten Mandailing Natal pada tahun 2005


(60)

tercatat sebanyak 393.170 (laki-laki sebanyak 193.284 jiwa dan perempuan sebanyak 199.886 jiwa).

Laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan adalah sebesar 5,85 % pada tahun 2008. PDRB Mandailing Natal pada tahun 2008 disumbangkan oleh sektor pertanian sebesar 49,57 % berdasarkan harga konstan, kemudian perdagangan, hotel dan restoran sebesar 17,70 %, jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan sebesar 12,12 %, sedangkan yang terkecil adalah sektor listrik, gas dan air minum sebesar 0, 19 %. Sementara pertumbuhan penduduk pada tahun 2008 adalah sebesar 1,68 %.

Dari luas kabupaten Mandailing Natal sebesar 662.070 Ha, luas lahan sawah 4.438 ha, pekarangan dan bangunan 1.815 ha, tegalan/kebun 16.104 ha, ladang/huma 6.245 ha, padang penggembalaan 2.036 ha, rawa tidak di tanami 59.962, tambak/kolam/tebat 516 ha, hutan rakyat 121.987 ha, hutan negara 359.133 ha, perkebunan 49.862 ha dan lain-lain 33.590 ha.

Topografi Kabupaten Mandailing Natal di bedakan atas tiga bagian yaitu :

a) Dataran rendah merupakan daerah pesisir dengan kemiringan 0 derajat -2

derajat dengan luas daerahnya sekitar 160.500 ha (24,244%).

b) Dataran landai dengan kemiringan 2 derajat -15 derajat dengan luas daerahnya sekitar 36.385 (5,45%).

c) Dataran tinggi dengan kemiringan 15 derajat-40 derajat dataran tinggi ini di bedakan lagi atas dua jenis yaitu: 1. daerah perbukitan dengan luas 112,00 ha (16,91%) dengan kemiringan 15 derajat – 20 derajat dan 2. daerah


(61)

pegunungan dengan luas 353,185 ha (53,34%) dengan kemiringan 20 derajat – 40 derajat.

Musim hujan yang berpengaruh biasanya pada bulan Januari, April, Mei, September, Nopember dan Desember setiap tahunnya. Angin laut berhembus kencang dan arah barat menuju timur sewaktu menjelang musim dingin yang mengakibatkan terjadinya musim hujan. Angin barat berhembus dengan kecepatan sedang dan arah timur menuju arah barat sewaktu menjelang musim kering.

Di Kabupaten Mandailing Natal terdapat sungai-sungai yang jumlahnya cukup banyak dan dipergunakan untuk irigasi tehnis maupun 1/2 tehnis, dimana sebagian besar sudah dimanfaatkan menjadi pengairan persawahan, perikanan dan kebutuhan air minum.

Adapun sungai terbesar dan terpanjang Mandailing Natal adalah Batang Gadis terbentang di Kecamatan Panyabungan Selatan dan Kecamatan Panyabungan Utara sampai Kecamatan Hutabargot; Aek Mata terbentang di Kecamatan Panyabungan Timur dan Panyabungan Kota serta bermuara di sungai Batang Gadis; Aek Pohon terbentang di Kecamatan Panyabungan Panyabungan Timur dan bermuara di Batang Gadis.

4.2. Deskripsi Sektor Pertanian Mandailing Natal

Dari segi penyerapan tenaga kerja, komoditi karet di kabupaten Mandailing Natal yang tersebar di 17 kecamatan dapat menyerap paling banyak petani yaitu


(62)

sebanyak 7.999 KK. Jumlah KK setiap kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal yang dapat di serap pada kebun karet di sajikan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Penyerapan Tenaga Kerja Keluarga dari Perkebunan Karet Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2008

No Kecamatan Total

(Ha)

Jumlah KK

1 Siabu 2.198 628

2 Bukit Malintang 2.798 799

3 Panyabungan Utara 4.685 469

4 Panyabungan Kota 8.983 890

5 Panyabungan Timur 4.727 472

6 Panyabungan Barat 2.277 277

7 Panyabungan Selatan 2.204 220

8 Lembah Sorik Merapi 1.162 116

9 Tambangan 4.983 498

10 Kotanopan 4.662 466

11 Ulu Pungkut 527 52

12 Muarasipongi 633 63

13 Batang Natal 10.330 1.033

14 Lingga Bayu 7.533 753

15 Batahan 1.758 175

16 Natal 1.012 101

17 Muara Batang Gadis 9.873 987

Jumlah 70.355 7.999


(63)

4.3. Kinerja Pengembangan Komoditi Karet

Kondisi pasar karet di Kabupaten Mandailing telah mampu menarik minat masyarakat untuk memilih karet sebagai pilihan untuk dibudidayakan. Namun terlihat dari realitas harga ditingkat petani dengan kisaran harga Rp 6.000-8.000 per kg sesungguhnya sudah dapat meningkatkan pendapatan perkebunan karet. Rentangan harga untuk rantai pasar I (pertama) sampai ke pabrik masih panjang, sehingga masih terdapat kesenjangan harga yang signifikan antara harga di tingkat petani dengan harga pabrik crumb rubber.

Sebagai contoh harga karet dalam bentuk lump pada minggu kedua bulan Oktober 2008 ditingkat Medan Rp 13.800,- (kadar air 100 %). Akan tetapi harga di tingkat petani inipun sudah dapat mensejahterakan perkebunan karet di Mandailing Natal. Pengembangan tanaman karet di Kabupaten Mandailing Natal merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama petani karet. Hasil pengembangan komditas karet di kabupaten Mandailing Natal pada kurun waktu 5 tahun dilihat dari beberapa parameter, antara lain: lokasi sentra produksi dan luas komoditi karet.

4.3.1. Lokasi Sentra Produksi

Sentra lokasi produksi karet di Kabupaten Mandailing Natal tersebar di 12 Kecamatan (dari 17 Kecamatan) yaitu Kecamatan Siabu, Bukit Malintang, Panyabungan Utara, Panyabungan Kota, Panyabungan Timur, Panyabungan Barat, Panyabungan Selatan, Tambangan, Kotanopan, Batang Natal, dan Muara Batang Gadis, Luas areal baku lahan dan kapasitas sentra produksi komoditi karet pada tahun


(64)

2008. Produksi komoditas karet rakyat pada 12 kecamatan sebagai lokasi sentra produksi di Kabupaten Mandaling Natal mencapai 32.448,57 ton per tahun dengan luas lahan tanaman karet menghasilkan sebesar 65.193 Ha, kapasitas produksi tertinggi terdapat di kecamatan Panyabungan Kota sebesar 6.749,40 ton yang di susul Kecamatan Batang Natal sebesar 4.294,76 ton dengan luas lahan 65.193 Ha dapat di lihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Lokasi Sentra Produksi, Luas Baku Lahan, dan Kapasitas Produksi Komoditi Karet di Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2008

No Kecamatan

Luas Baku Lahan

(Ha)

Kapasitas Produksi (Ton)

1 Siabu 2.687,00 1.074,85

2 Bukit Malintang 3.287,95 2.130,63

3 Panyabungan Utara 5.174,33 3.112,33

4 Panyabungan Kota 9.392,13 6.749,40

5 Panyabungan Timur 5.216,90 2.006,40

6 Panyabungan Barat 2.766,08 1.020,85

7 Panyabungan Selatan 2.693,03 1.007,06

8 Tambangan 5.480,36 1.888,15

9 Kotanopan 5.171,08 1.515,85

10 Batang Natal 10.819,50 4.294,76

11 Lingga Bayu 8.022,00 3.417,05

12 Muara Batang Gadis 10.362,05 4.231,24

Total 71.072,41 35.886.68

Sumber : Data Statistik Perkebungan Kabupaten Mandailing Natal, Dinas Perkebunan Kabupaten Mandailing Natal, Tahun 2009


(1)

41 1.5 64120000 29 1.6 42 1 18300000 20 1 43 1.3 53750000 31 1.5 44 1.05 21850000 26 1 45 1.1 20250000 28 1 46 1.5 46500000 27 1 47 1.4 59800000 28 1.2 48 1.5 63100000 26 1.4 49 1 21550000 21 1 50 1.22 55800000 33 1.4 51 1.6 69750000 26 1.5 52 1 23150000 19 1 53 1.6 51150000 27 1.1 54 1.5 55450000 28 1.3 55 1 31850000 22 1 56 1.05 22550000 28 1 57 1.5 56500000 28 1 58 1 69750000 17 1.5 59 1 23250000 21 1 60 1.5 81700000 27 1.8 61 2 55100000 33 1.4 62 1.9 93600000 36 2 63 1.22 48500000 28 1 64 1.4 79050000 27 1.7 65 1.8 93000000 31 2 66 1.35 23250000 24 1 67 1.6 74400000 28 1.6 68 1.8 69750000 27 1.5 69 1.5 55800000 28 1.2 70 1 22550000 23 1 71 1.01 42500000 28 1 72 1 22900000 21 1 73 2 62250000 25 1.5 74 1 55100000 28 1.4 75 1.12 32650000 23 1 76 1 23250000 27 1 77 1.4 36500000 28 1 78 1.75 90600000 32 2 79 1.35 69750000 26 1.5 80 1.65 83700000 28 1.8 81 1.4 59750000 27 1.5 82 1 23250000 21 1 83 1.8 68000000 32 2 84 1.35 61100000 29 1.4


(2)

86

85 1.8 60750000 28 1.5 86 1.33 45800000 32 1.2 87 1 22550000 20 1 88 1.4 59750000 28 1.5 89 1.87 88350000 34 1.9 90 1.5 84400000 25 1.6 91 1 21250000 28 1 92 1.8 89050000 31 1.7 93 1.9 83000000 28 2 94 1.15 36500000 28 1 95 1 22550000 19 1 96 1 27900000 17 1 97 1.5 64210000 28 1.4 98 1.45 50800000 25 1.2 99 1 20250000 18 1 100 1.5 64100000 27 1.4


(3)

Lampiran 3. Hasil Uji Regresi

Regression

Variables Entered/Removedb

Luas, Tenaga Kerja, Modala . Enter Model 1 Variables Entered Variables Removed Method

All requested variables entered. a.

Dependent Variable: Produksi b.

Model Summary

.862a .744 .736 .0489

Model 1

R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate Predictors: (Constant), Luas, Tenaga Kerja, Modal a.

ANOVAb

.666 3 .222 92.933 .000a

.229 96 .002

.895 99 Regression Residual Total Model 1 Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Predictors: (Constant), Luas, Tenaga Kerja, Modal a.

Dependent Variable: Produksi b.

Coefficientsa

-1.575 .316 -4.986 .000

.163 .043 .367 3.800 .000

.294 .066 .268 4.478 .000

.330 .089 .358 3.726 .000

(Constant) Modal Tenaga Kerja Luas Model 1

B Std. Error

Unstandardized Coefficients Beta Standardi zed Coefficien ts t Sig.

Dependent Variable: Produksi a.


(4)

Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian

Gambar 1.1. Pembersihan lahan di Desa Tano Bato Kecamatan Panyabungan

Selatan.

Gambar 1.2. Pengajiran dilakukan setelah pembakaran lahan di Desa Tano Bato

Kecamatan Panyabungan Selatan.


(5)

Gambar 1.3. Pembuangan tunas cabang yakni di Kelurahan Kotasiantar

Kecamatan Panyabungan Kota.

Gambar 1.4. Pemeliharaan karet baris umur 3-5 thn, di Desa Padang Laru

Kecamatan Panyabungan Timur.


(6)

Gambar 1.5.

Pemeliharaan pada baris penanaman pada umur kurang dari 1

tahun di Desa Parmompang Kecamatan Panyabungan Timur

Gambar 1.6. Pembentukan cabang dengan cara pemenggalan di Kelurahan

Kotasiantar Kecamatan Panyabungan Kota.