Berdasarkan ada tidaknya molasses sebagai pengikat, pelet dibedakan menjadi dua yaitu pelet keras dan pelet lunak. Pelet keras adalah pelet yang tidak
menggunakan pengikat berupa molasses ataupun kalau ada jumlahnya tidak lebih dari 10. Sedangkan pelet lunak menggunakan molasses sebagai pengikat
jumlahnya berkisar antara 30-40. Selain itu, bentonit, kalsium oksida dan kalsium karbonat dapat juga digunakan sebagai pengikat pada pelet lunak Pathak, 1997.
2.3.1. Proses Produksi Pelet
Umumnya proses pengolahan pelet terdiri dari 3 tahap, yaitu 1 pengolahan pendahuluan meliputi pencacahan, pengeringan dan penghancuran menjadi tepung,
2 Pembuatan pelet meliputi pencetakan, pendinginan dan pengeringan, 3 Perlakuan akhir meliputi sortasi, pengepakan dan penggudangan Tjokroadikoesoemo dalam
Krisnan dan Ginting, 2009. Secara ringkas tahapan pembuatan pelet sebenarnya hanya meliputi beberapa proses penting yaitu pencampuran mixing, pengaliran uap
conditioning, pencetakan extruding dan pendinginan cooling. Bagi industri atau pabrik pakan unggas non ruminansia dan pakan ikan aqua feed, hal tersebut
umum dilakukan mengingat dukungan peralatan dan mesin yang modern pada skala usaha industri. Namun berbeda halnya dengan industri pakan ruminansia yang
umumnya masih menggunakan mesin sederhana pada skala usaha menengah atau kecil. Sebagian besar pabrik pakan ruminansia, mesin pelet yang digunakan masih
bersifat sederhana tanpa dilengkapi conditioner, akibatnya pelet yang dihasilkan
banyak yang pecah atau kualitas pelet menjadi terkoreksi Krisnan dan Ginting, 2009.
Berdasarkan karakteristik bahan bakunya, pembuatan pakan pelet dari biomassa kelapa sawit memerlukan penambahan tahapan proses yaitu:
a. Penambahan bahan pengikat binder Binder merupakan salah satu faktor terpenting dalam proses pelleting. Fungsi
dari bahan pengikat dalam pelleting adalah untuk meningkatkan kekompakan bahan yang hendak dibuat pelet. Pemilihan dan penggunaan jumlah bahan pengikat dalam
pembuatan pelet perlu diperhatikan. Jika terlalu sedikit digunakan, pelet yang dihasilkan tidak sempurna atau mudah pecah. Sebaliknya, jika terlalu banyak
digunakan maka pori-pori bahan pelet akan tertutup. Bahan pakan yang berbasis biomassa mengandung kadar pati yang rendah.
Kondisi tersebut menyebabkan minimnya proses gelatinisasi pada saat pengkondisian bahan baku. Pati yang mengalami gelatinisasi sifat fisik dan kimianya
berubah menjadi pasta dan lengket. Sifat tersebut dimanfaatkan sebagai bahan pengikat komponen pakan lainnya sehingga menjadi kompak dan tidak mudah pecah.
Kondisi tersebut tidak dialami oleh bahan pakan yang berbasis biomassa. Karena minimnya kandungan pati maka proses gelatinisasi tidak maksimal sehingga
komponen pakan menjadi tidak terikat satu sama lain secara sempurna. Oleh karena itu pada produksi pakan yang bahan bakunya berbasis biomassa diperlukan tambahan
bahan pengikat. Bahan pengikat yang biasa dipakai untuk membuat pelet menurut Pathak 1997 adalah molasses, bentonit, kalsium oksida dan kalsium karbonat.
Menurut Mardiana 2011 bahan pengikat yang umum digunakan berupa: gula dan polimer, polimer alam: starch amilum dan gum acacia, tragacanth, gelatin, dan
polimer sintetik: metil selulosa, etil selulosa, dan hidroksi propil selulosa. Dari bahan-bahan di atas, amilum merupakan salah jenis perekat alami yang
umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Amilum C
6
H
10
O
5
n, merupakan cadangan makanan utama bagi tumbuhan dan dua per tiga bagian dari kalori
karbohidrat yang dibutuhkan oleh kebanyakan manusia. Ketersediaannya yang banyak di pasaran meliputi gandum, jagung, beras, kentang, dan lain-lainnya,
kemudahan dalam penggunaannya, serta daya rekatnya yang telah terbukti sebagai perekat pada pelet pakan ternak, amplop, perangko, dan lain sebagainya membuat
penggunaan amilum kian diminati. Akan tetapi, amilum juga memiliki kekurangan berupa sifat alir dan kompresibilitasnya yang kurang baik sehingga dibuat amilum
pregelatinasi Bolhuis dan Chouhan, 1996 dalam Mardiana 2011. Amilum pregelatinasi merupakan pati amilum yang dibuat menjadi pati
pregelatinasi dengan cara memanaskan suspensi pati hingga suhu gelatinasi kemudian didinginkan. Pada umumnya amilum yang normal memiliki dua tipe
polimer D-glucopyranose, yakni amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan polimer dari unit α-D-glucopyranosyl yang sebagian besar terdiri atas rantai lurus.
Amilosa ini bersifat tidak larut dalam air dingin, mengembang pada suhu tinggi, dan kurang lekat. Adapun amilopektin merupakan polimer berantai cabang dari unit α-D-
glucopyranosyl. Rasio dari amilosa-amilopektin inilah nantinya yang akan
mempengaruhi sifat dari pati itu sendiri. Tabel 2.5 menunjukkan kandungan amilosa
dan amilopektin pada beberapa sumber pati. Tabel 2.5. Karakteristik beberapa jenis pati
Jenis Pati Bentuk Granula
Ukuran Granula µm
Rasio AmilosaAmilopektin
Suhu Gelatinasi
˚
C Sagu
Elips agak terpotong
20 - 60 2773
60 – 72
Beras Poligonal
3 - 8 1783
61 – 78
Jagung Poligonal
5 - 25 2674
62 – 74
Kentang Bundar
15 - 100 2476
56 – 69
Tapioka Oval
5 - 35 1783
52 – 64
Gandum Elips
2 - 35 2575
52 – 64
Ubi Jalar Poligonal 16 - 25
1882 58
– 74
Sumber: Knight 1969 dalam Mardiana 2011
Granula amilum yang tidak rusak memiliki sifat yang sukar larut dalam air dingin, tetapi mampu menyerap air dengan sedikit pengembangan yang reversible.
Sedangkan pada air panas, granula dapat mengembang secara irreversible sehingga membentuk gelatin. Hal ini disebabkan pada temperatur tertentu temperatur
gelatinasi, energi kinetik molekul lebih kuat dibandingkan ikatan hidrogen pada granul sehingga menyebabkan ruang dalam granul pecah dan mengembang. Granula
pati yang mengembang tersebut cenderung saling berkaitan membentuk gel Meyer, 1961 dalam Mardiana 2011. Rentang suhu yang disajikan pada Tabel 2.5.
merupakan temperatur awal dimana granula-granula mulai mengembang hingga akhirnya 100 tergelatinasi.
Bahan-bahan yang sering digunakan sebagai perekat pelet antara lain: a.1. Tepung gaplek
Tepung gaplek merupakan hasil olahan ubi kayu yang diperoleh dari menumbuk atau menggiling gaplek sehingga diperoleh tepung dengan ukuran
maksimum 100 mesh. Di masa lalu, umbi ubi kayu diekspor ke Eropa untuk bahan baku wiski kelas rendahan. Selain itu, ubi kayu juga diproses menjadi produk tapioka
olahan, seperti paarl, seeds, vlokken, dan shifting. Amerika Serikat AS, mengolah tepung tapioka untuk berbagai keperluan, antara lain industri kayu, tekstil, sampai
industri bahan perekat. Saat ini ubi kayu banyak diekspor ke AS dan Eropa dalam bentuk tapioka. Negara-negara tersebut, memanfaatkan ubikayu sebagai bahan baku
industri pembuatan tepung tapioka dan tepung gaplek serta bahan pembuatan alkohol, etanol, dan gasohol. Tepung tapioka juga digunakan dalam industri lem,
industri kimia, dan tekstil Khudori, 2003. Gaplek sangat populer di daerah Jawa yang kekurangan air sebagai bahan
makanan pokok. Berdasarkan bentuknya gaplek dapat dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu gaplek gelondong, gaplek chips irisan tipis, gaplek pelet, gaplek tepung, dan
gaplek kubus. Pada umumnya gaplek gelondong dan pelet digunakan sebagai bahan baku pakan ternak, sedangkan gaplek dalam bentuk tepung digunakan sebagai bahan
makanan. Gaplek dalam bentuk chips digunakan sebagai bahan industri pati dan dekstrin Oramahi dalam Supriyadi, 2007. Per 100 gr tepung gaplek terkandung
kalori 363 kalori; karbohidrat 88,2 gr; protein 1,10 gr; lemak 0,5 gr; air 9,1; kalsium 84 gr dan fosfor 125 gr Anonim, 1981.
Syamsu 2007 melakukan penelitian pembuatan pakan pelet untuk itik dengan perlakuan pemberian bahan perekat berupa tepung tapioka dan tepung gaplek
dan lama waktu penyimpanan pengaruhnya terhadap sifat fisik pakan. Penambahan 5 tepung gaplek menghasilkan sifat fisik terbaik yaitu sudut tumpukan 33.31˚ dan
daya ambang 6.15 mdetik. Sedangkan penambahan 5 tepung tapioka dalam ransum pelet menghasilkan sifat fisik terbaik yaitu kerapatan tumpukan sebesar 549
kgm
3
dan kerapatan pemadatan tumpukan sebesar 746 kgm
3
. Sara 2003, menyatakan bahwa dengan penambahan 6 tepung gaplek sebagai bahan perekat
pada ransum bentuk pelet menghasilkan sifat fisik yang terbaik. a.2. Tepung terigu industri
Tepung terigu industri diperoleh dari pengolahan biji gandum. Kualitasnya di bawah tepung terigu untuk pangan. Sifat gandum banyak ditentukan oleh protein
yang dikandungnya. Jenis protein yang terdapat pada gandum adalah albumin larut dalam air, globulin larut dalam garam netral, gliadin larut dalam etanol 70, dan
glutenin tidak larut dalam alkohol tetapi larut dalam basa atau asam encer. Kandungan protein dapat berbeda-beda tergantung jenis dan tempat gandum tersebut
tumbuh. Selain protein, gandum juga mengandung karbohidrat. Karbohidrat yang terdapat dalam gandum sebagian besar adalah pati, dan pati merupakan senyawa
yang tidak larut dalam air Makfoel, 1982. Pada industri pakan, tepung terigu industri lazim disebut dengan tepung
industri. Pemanfaatan utamanya adalah untuk bahan pakan karena kandungan nutrisinya maupun kemampuannya sebagai perekat. Komponen terbanyak dalam
tepung terigu adalah pati dengan kandungan amilosa 20 – 26 dan amilopektin 70-
75. Sedangkan suhu gelatinisasinya sekitar 56 –62˚C. Yang harus dipertimbangkan
dalam tepung terigu adalah terutama kadar proteinnya karena berkaitan erat dengan kadar glutein. Bila dicampur dengan air, partikel-partikel glutein terhidrasi dan bila
dikocok atau diaduk terjadi kecenderungan memanjang atau membentuk serabut- serabut Winarno, 1991.
Utomo dkk, 2013 melakukan penelitian pembuatan briket bioarang dari limbah furnitur enceng gondok dengan perekat tepung tapioka dan tepung terigu.
Briket dengan perekat tepung terigu mempunyai nilai kalor yang lebih tinggi dari briket yang perekatnya tepung tapioka.
b. Penambahan air panas Penambahan air panas merupakan modifikasi proses conditioning untuk
produksi pelet skala kecil. Pada umumnya proses peletisasi skala kecil menggunakan mesin yang tidak dilengkapi dengan instrument injeksi uap. Uap dipakai sebagai
media conditioning untuk menaikan suhu dan kadar air, dimana keduanya berperan pada proses gelatinisasi pati.
Zalizar dkk, 2012 melakukan penelitian pembuatan pelet pakan kambing dengan perlakuan penambahan air sebanyak 16 dan 14 dari berat bahan pakan.
Perlakuan yang diberi air sebanyak 16, warna peletnya kehitaman, bentuknya tidak kompak mudah hancur, konsistensinya kurang padat dan palatabilitas kambing
terhadap pakan tersebut rendah. Sedangkan yang diberi air 14 warnanya cerah,
bentuknya kompak tidak mudah hancur, konsistensi padat dan palatablitas kambing terhadap pakan tersebut tinggi.
Retnani dkk, 2010 melakukan penelitian uji sifat fisik ransum ayam broiler
bentuk pelet yang ditambahkan perekat onggokampas ubi kayu 0,2,4,6 melalui proses penyemprotan air 0, 5, 10, 15, 20. Hasilnya pelet dengan penambahan
perekat onggok sebanyak 4 dengan penyemprotan air 5 dapat dikatakan mempunyai sifat fisik yang baik dilihat dari kadar air, berat jenis, aktivitas air, kadar
kehalusan, ketahanan benturan, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, dan sudut tumpukan.
2.3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Pelet A. Adhesi pelet