Terjadinya perekatan bahan pada proses peletisasi melalui mekanisme: mechanical interlocking, difusi, dan adsorpsi. Kinlock 1987 dalam Behnke 2001
menjelaskan mechanical interlocking terbentuk ketika bahan perekat mengenai permukaan bahan kasar, mengeras dan kemudian mengikat masing-masing bahan
menjadi satu. Teori difusi didasarkan oleh difusi polimer pada lapisan antarmuka pada permukaan bahan. Difusi terjadi ketika bahan dipanaskan kemudian menyebar
melewati lapisan antarmuka diantara dua bahan. Peristiwa ini dapat terjadi hanya ketika suhu polimer di bawah suhu transisi gelas dari polimer tersebut. Adsorpsi
terjadi oleh adanya gaya interatomik maupun inter molekuler antara permukaan bahan perekat dan bahan pakan. Gaya yang berperan adalah gaya ionik, kovalen,
interaksi ikatan hidrogen dipol dan gaya Van der Waal.
B. Rheologi Bahan Pakan
Rheologi dan fungsi bahan pakan sangat tergantung oleh struktur fisik kristal, amorph dan komposisi kimianya. Bahan pakan dipanaskan melewati orde
pertama maupun kedua ataupun kombinasi keduanya dari suhu transisi gelasnya. Transisi orde pertama merupakan orde untuk melelehkan kristal, sedangkan orde
kedua merupakan orde untuk relaksasi polimer. Bahan yang berbentuk kristal misalnya gula, hanya melewati orde transisi pertama saja. Bahan yang berbentuk
semi kristal misalnya pati melewati transisi orde kedua dahulu baru kemudian ke transisi orde pertama. Sedangkan bahan yang berbentuk amorph misalnya selulosa
ataupun lignin hanya melewati transisi orde kedua saja. Suhu yang menunjukkan
daerah amorph polimer mulai menunjukkan relaksasi ataupun menjadi labil disebut sebagai suhu transisi gelas. Suhu transisi gelas dari beberapa bahan telah dilaporkan
oleh para peneliti yaitu: pati oleh Zelesnak Hoseney 1986, wheat gluten oleh Slade 1984; Hoseney 1986, gluten jagung oleh Lawton 1982 dalam Behnke
2001. Suhu transisi gelas suatu bahan berbanding terbalik dengan kadar airnya. Jika
kadar air pada suatu bahan meningkat maka suhu transisi gelasnya menurun. Ramuan bahan pakan mempunyai suhu transisi gelas lebih rendah dari suhu normalnya
dihubungkan dengan kondisi proses 70-90˚C ketika kadar air bahan antara 15 dan 18. Hal ini menunjukkan bahwa bahan pakan mulai mengalir selama proses
conditioning maupun pelleting. Jumlah dan lokasi bahan pakan yang mengalir tergantung kepada suhu dan lokasi air di permukaan ataupun di dalam partikel.
Jumlah pati yang tergelatinisasi maupun yang rusak telah diteliti dan hasilnya menunujukkan tidak ada pengaruh terhadap kualitas pelet Stevens 1987 dan Lopez
1993 dalam Behnke 2001. Pati yang rusak lebih banyak ditemukan di luar permukaan pelet pada perlakuan temperature lebih rendah. Walaupun begitu
ditemukan juga pati yang rusak menurun ketika perlakuan temperature meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa kerusakan pati lebih disebabkan oleh gesekan
mekanis antara permukaan die dengan pati dan bukan karena tingginya perlakuan hydrothermal saja.
Woods 1987 mempelajari peranan pati dan protein dalam proses peletisasi. Penambahan kedelai dalam bentuk serpihan flake kasar akan lebih meningkatkan
kualitas pelet dibandingkan dengan jika ditambahkan dalam bentuk tepung terdenaturasi. Pada penambahan pati dalam keadaan pregelatinisasi akan
meningkatkan kualitas pelet dibandingkan dengan jika ditambahkan dalam bentuk normalnya. Wood menyimpulkan bahwa protein berpengaruh lebih besar terhadap
kualitas pelet dari pada pati. Penemuan ini telah diperkuat oleh Briggs et al, 1999. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat gelatinisasi pati kemungkinan tidak
sepenting dengan lokasi terjadinya gelatinisasi. Gelatinisasi pati yang terjadi pada permukaan bahan pakan merupakan titik kritis pembentukan ikatan intra partikel
yang berperan penting pada pembentukan kekuatan, durabilitas pelet. Gelatinisasi pati yang terjadi pada antarmuka partikel dirangkai dengan plastisisasi protein akan
menghasilkan difusi polimer antara granula pati dan molekul protein yang akan menghasilkan perekatan partikel.
C. Pengaruh Formulasi Pakan