Putusan Pengadilan Niaga Medan Nomor.01PAILIT2012PN.Niaga. Mdn 1. Kasus Posisi

A. Putusan Pengadilan Niaga Medan Nomor.01PAILIT2012PN.Niaga. Mdn 1. Kasus Posisi

Permohonan pailit dalam penelitian ini diajukan oleh Rohani, dkk 6 orang selaku mantan pekerjaburuh PT. Indah Pontjan yang diwakili kuasa hukumnya Sarma Hutajulu, S.H, dkk terhadap PT. Indah Pontjan yang beralamat di Desa Deli Muda Hilir, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara terhadap PT. Indah Pontjan. Permohonan pailit didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 9 Maret 2012 dengan Nomor Perkara:01PAILIT2012PN.Niaga. Mdn dengan latar belakang sebagai berikut: 1 Para pemohon pailit adalah mantan pekerjaburuh yang sudah tidak bekerja lagi pada termohon pailit sejak tanggal 23 Nopember 2006 karena pemutusan hubungan kerja PHK sepihak oleh termohon. Atas pemutusan hubungan kerja tersebut para pemohon mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 8 Januari 2008 dengan Nomor Register Perkara: 04G2008PHI Mdn. Oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Medan telah memutus perkara ini pada tanggal 19 Maret 2008 dengan amar putusan antara lain menyatakan hubungan kerja tergugat dengan para penggugat putus karena pemutusan hubungan Universitas Sumatera Utara kerja PHK dan menghukum tergugat untuk membayar hak-hak para penggugat, total sebesar Rp. 148.263.300,- seratus empat puluh delapan juta dua ratus enam puluh tiga ribu tiga ratus rupiah. 2 Terhadap putusan tersebut termohon pailit mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Majelis hakim pada Mahkamah Agung yang memeriksa dan mengadili perkara ini pada tanggal 24 Maret 2009 telah membacakan putusan Nomor 905 KPdt.Sus2008 antara PT. Indah Pontjan melawan Rohani, dkk dengan amar putusan menolak permohonan kasasi Pemohon Kasasi PT. Indah Pontjan. Namun Termohon Pailit tidak menerima putusan tersebut dan melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali PK ke Mahkamah Agung. Majelis hakim PK telah mengadili perkara ini dan telah membacakan putusan No.03 PKPdt.Sus2010 dengan amar putusannya menolak permohonan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali PT, Indah Pontjan. 3 Setelah adanya putusan PK atas kasus, para pemohon pailit menyurati dan mensomasi termohon untuk melaksanakan putusan peninjauan kembali MA Nomor 03 PKPdt.Sus2010 Jo Putusan Kasasi MA Nomor 905 KPdt.Sus2008 Jo Putusan pengadilan Hubungan Industrial Nomor: 04G2008PHI Mdn. Tetapi termohon pailit tidak melaksanakan isi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap in kracht van gewijsde. Kemudian para pemohon pailit mengajukan permohonan eksekusi atas Universitas Sumatera Utara putusan tersebut kepada ketua Pengadilan Negeri Medan tanggal 21 Oktober 2010. 4 Sehubungan dengan permohonan eksekusi tersebut, Pengadilan Negeri Medan telah mengajukan aanmaning terhadap termohon pailit, akan tetapi juga diabaikan oleh termohon pailit tanpa alasan yang jelas. Sehingga putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung Nomor 03 PKPdt.Sus2010 yang amarnya menghukum termohon pailit untuk membayar sejumlah uang yang belum juga dilaksanakan secara penuh dan sempurna, sehingga mengakibatkan ketidak pastian hukum dan kerugian bagi para pemohon pailit. Dasar hukum permohonan pailit oleh Rohani, dkk didasarkan pada Pasal 2 ayat 1 UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyebutkan: Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Rincian utang termohon pailit kepada para pemohon pailit sebagaimana tertuang dalam isi putusan PHI adalah sebagai berikut: 1. Utang berupa pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak Universitas Sumatera Utara a. Rohani, dengan masa kerja 20 tahun mendapat uang pesangon Rp. 13.280.292,-, uang perhargaan masa kerja Rp. 5.164.558,-, uang Penggantian Hak Rp. 2.766.727,5. Total keseluruhan Rp. 21.211.577,6,- b. Parinem, masa kerja 14 tahun, mendapat uang pesangon Rp. 13.280.292,-, uang perhargaan masa kerja Rp. 3.688.970,-, uang penggantian hak Rp. 2.545.389,-. Total keseluruhan Rp. 19.514.651,3,- c. Poniyah, masa kerja 19 tahun, mendapat uang pesangon Rp. 13.280.292,-, uang perhargaan masa kerja Rp. 5.164.558,-, uang penggantian hak Rp. 2.776.727,-. Total keseluruhan Rp. 21.211.577,5,- d. Sawinem, masa kerja 20 tahun, mendapat uang pesangon Rp. 13.280.292,-, uang perhargaan masa kerja Rp. 5.164.558, uang penggantian hak Rp. 2.776.727,-. Total keseluruhan Rp. 21.211.577,5,- e. Suriati, masa kerja 20 tahun, mendapat uang pesangon Rp. 13.280.292,-, uang perhargaan masa kerja Rp. 5.164.558, uang penggantian hak Rp. 2.776.727,-. Total keseluruhan Rp. 21.211.577,5,- 2. Utang berupa upah proses sebanyak 5 lima bulan terhadap Rohani, dkk sebesar Rp. 21.191.970,- Oleh karena itu keseluruhan utang termohon pailit debitor adalah 125.552.931,- seratus dua puluh lima juta lima ratus lima puluh dua ribu sembilan ratus tiga puluh satu rupiah. Selain utang dengan para pemohon pailit, termohon pailit juga mempunyai utang dengan kreditur lain Tukilah, dkk 10 orang kreditur. Universitas Sumatera Utara Selain utang termohon dengan para pemohon pailit, termohon pailit juga mempunyai utang dengan kreditor lain, yaitu: 1. Tukilah, beralamat di Dusun IV, Desa Sei Sijenggi, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 24.993.372,- 2. Tukini, beralamat di Dusun IV, Desa Sei Sijenggi, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 25.638.341,- 3. Sutrisno, beralamat di Dusun IV, Desa Sei Sijenggi, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 14.608.321,- 4. Jimen, beralamat di Dusun IV, Desa Sei Sijenggi, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 23.092.952,- 5. Supini, beralamat di Dusun IV, Desa Sei Sijenggi, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 25.638.341,- 6. Karini, beralamat di Dusun IV, Desa Sei Sijenggi, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 23.296.484,- 7. Sarni, beralamat di Dusun IV, Desa Sei Sijenggi, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 24.993.410,- 8. Tukirah, beralamat di Dusun IV, Desa Sei Sijenggi, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 22.448.021,- 9. Suriati, beralamat di Dusun IV, Desa Sei Sijenggi, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 24.993.410,- Universitas Sumatera Utara 10. Tukimah, beralamat di Dusun IV, Desa Sei Sijenggi, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 24.993.410,- 11. Legiem, beralamat di Dusun IV, Desa Sei Sijenggi, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 24.993.410,- Para pemohon pailit mendalilkan dalam permohonannya, bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Agung Nomor 03 PKPdt.Sus2010 tertanggal 16 Pebruari 2010 yang telah berkekuatan hukum tetap, berarti kedua belah pihak yang berperkara wajib melaksanakan isi putusan tersebut. Oleh karena isi putusan memuat agar tergugat i.c. Termohon pailit membayar sejumlah uang yang jumlahnya sebagaimana diuraikan diatas, maka termohon pailit harus segera membayar utangnya kepada para pemohon terhitung sejak majelis hakim agung membacakan putusan nomor 03PKPdt.Sus2010, yaitu tanggal 16 Pebruari 2010, dan sejak itu pula utang termohon telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Para pemohon pailit mendasarkan permohonannya pada Pasal 8 ayat 4 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyebutkan “permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 telah terpenuhi”. Menurut para pemohon pailit sesuai fakta hukum yang ada, permohonan kepailitan telah terbukti secara sederhana sumier dengan adanya putusan nomor Universitas Sumatera Utara 03PKPdt.Sus2010, yaitu tanggal 16 Pebruari 2010 antara Rohani, dkk para Pemohon pailit melawan PT. Indah Pontjant yang telah berkekuatan hukum tetap. Persyaratan untuk dinyatakan pailit dalam dalil permohonan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 37 tahun 2004 yaitu termohon pailit mempunyai kreditor lain selain para pemohon pailit. Ternyata pula termohon pailit mempunyai 1 satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, sehingga permohonan pailit secara yuridis formil telah mempunyai dasar-dasar dan alasan hukum yang kuat. Untuk melindungi kepentingan kreditor pada umumnya dan kepentingan para pemohon pada khususnya selama proses kepailitan berjalan, dengan mendasarkan ketentuan Pasal 10 ayat 1 dan 2 UU No. 37 tahun 2004. Para pemohon pailit memohon kepada Ketua Pengadilan Niaga Medan untuk menunjuk kurator sementara yaitu Efendi Tambunan, S.E, S.H, MM yang terdaftar di Asosiasi Kurator guna mengawasi pengelolaan usaha termohon pailit dan mengawasi pembayaran kepada kreditor atau kepada pihak ketiga lainnya serta mengawasi pengalihan dan penggunaan kekayaan debitor pailit. Para pemohon juga memohonkan jika permohonan pailit dikabulkan, memohon agar Efendi Tambunan ditetapkan sebagai kurator tetap, serta ditetapkan sebagai pengurus bila terjadi penundaan kewajiban pembayaran utang. Para pemohon juga memohon kepada Pengadilan Niaga Medan kiranya Ketua Pengadilan Negeri Medan menetapkan dan menunjuk seorang hakim pengawas. Universitas Sumatera Utara

2. Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan Niaga Medan

Bahwa hukum acara mengenai perkara permohonan tidak diatur tersendiri akan tetapi mengacu dan berpedoman kepada hukum acara dalam perkara gugatan, karena itu mengenai perbaikan ataupun penyempurnaan suatu surat permohonan dengan sendirinya juga berpedoman kepada perkara gugatan. Sebagaimana diketahui hukum acara perdata untuk luar Pulau Jawa dan Madura R.Bg tidak mengatur perihal merubah atau memperbaiki surat gugatan, namun demikian dengan mempedomani ketentuan pasal 127 Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering RV atau Reglemen hukum acara perdata yang juga merupakan sumber hukum acara perdata bila R.Bg tidak mengaturnya, perubahan atau perbaikan suatu surat permohonan gugatan diperbolehkan sepanjang tidak mengubah atau menambah pokok tuntutan termasuk peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar tuntutan. Permasalahan, perubahan dan perbaikan surat gugatan ini dipertegas dan diperjelas lagi oleh Mahkamah Agung RI yang mengeluarkan Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata huruf K halaman 58 Tentang Perubahan Gugatan Nomor 3 menyatakan bahwa perubahan gugatan dilarang : a. Apabila berdasarkan atas keadaanperistiwa hukum yang sama dituntut hal lain dimohonkan suatu pelaksanaan hal yang lain b. Penggugat mengemukakanmendalilkan keadaan fakta umum yang baru dalam gugatan yang dirubah. Universitas Sumatera Utara Bahwa pada saat para pemohon pailit memperbaiki permohonannya, pemeriksaan perkara ini belumlah dimulai dengan membacakan isi surat permohonan pernyataan pailit para pemohon pailit, dan pihak termohon pailit belum lagi diberi kesempatan untuk menjawab atau memberikan jawabannya. Sedangkan perbaikan mengenai perubahan itu sendiri menurut pendapat majelis hakim tidaklah merugikan kepentingan termohon pailit untuk membela dirinya. Bila diteliti dengan cermat perubahan yang dilakukan para pemohon pailit hanya bersifat salah ketik cretical error karena sekedar mempertegas jumlah pemohon pailit dari yang tertulis 6 enam orang yang diganti menjadi 5 lima orang sebagaimana jumlah pemohon yang tercantum dihalaman pertama mengenai nama dan identitas para pemohon serta perkalian dari jumlah total utangnya. Dengan demikan perbaikan permohonan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan hukum acara yang berlaku karena secara prinsip tidak merubah substansi atau pokok tuntutannya, maka perbaikan surat permohonan pernyataan pailit para pemohon pailit sebagaimana yang dipertimbangkan diatas dapat diterima. Bahwa oleh karena kedua eksepsi tersebut bukan merupakan eksepsi tentang kewenangan mengadili kompetensi dan sudah memasuki ruang lingkup pokok perkara yang memerlukan pemeriksaan dan pembuktian untuk memenuhi persyaratan yang telah ditentukan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU, maka dengan demikian eksepsi termohon pailit haruslah dinyatakan ditolak. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya mengenai surat kuasa khusus tertanggal 21 Pebruari 2012, dimana pemohon Rohani, dkk dalam perkara ini dikuasakan kepada Tim Pembela Keadilan Untuk Buruh TPKB yakni advokat Sarma Hutajulu, SH, dan Kiki Pranasari, SH, tetapi ternyata yang menandatangani permohonan tersebuat hanyalah Diapari Marpaung, SH, dan Kiki Pranasari, SH, ; Bahwa menurut pendapat Majelis Hakim karena surat kuasa khusus tersebut telah memenuhi ketentuan Pasal 7 Undang- Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka haruslah ditolak. Bahwa syarat untuk dapat dikabulkannya permohonan pailit yang diajukan oleh para pemohon pailit, ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menegaskan debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditor. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu kiranya dipahami mengenai apa yang dimaksud dengan kreditor, debitor dan utang. Menurut ketentuan Bab I Pasal 1 angka 2 UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang , yang dimaksud dengan “kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan”. Sedangkan debitor menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No.37 Tahun Universitas Sumatera Utara 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menjelaskan yang dimaksud dengan “debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan”. Sementara utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor Pasal 1 angka 6. Bahwa dari rumusan ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tersebut, maka diperoleh pengertian bahwa untuk dikabulkannya suatu permohonan pailit maka harus dipenuhi persyaratan: 1. Mempunyai 2 dua atau lebih kreditor 2. Debitor tidak membayar sedikitnya satu utangnya 3. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih Bahwa dari persyaratan yang ditentukan Pasal 2 ayat 1 UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka timbul pertanyaan apakah permohonan pernyataan pailit yang diajukan para pemohon telah memenuhi syarat-syarat diatas?. Universitas Sumatera Utara Bahwa berdasarkan bukti diajukan oleh para pemohon telah dapat dibuktikan, ternyata termohon pailit memiliki dua atau lebih kreditor yakni selain para pemohon pailit yang berjumlah 5 lima orang juga memiliki kreditor lainnya yakni: Tukini, Sutrisno, Jimin,Supini, Tukirah, Suriati, Tukimah dan Legiem. Dengan demikian majelis hakim berpendapat syarat pertama atas permohonan pailit telah dipenuhi. Setelah majelis hakim mencermati dengan seksama berdasarkan bukti P-2.1, termohon pailit memiliki utang kepada Rohani, Parinem, Poniyah, Sawinen, Suriati dan Tukilah para pemohon Pailit sebesar Rp. 125.552.931 seratus dua puluh lima juta lima ratus lima puluh dua sembilan ratus tiga puluh satu rupiah. Bahwa berdasarkan bukti P-6, P-7.1 dan P-8.1 ternyata Termohon pailit juga mempunyai utang kepada kreditor lainnya yakni: 1. Tukini, beralamat di Dusun IV, Desa Sei Sijenggi, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 25.638.341,- 2. Sutrisno, beralamat di Dusun IV, Desa Sei Sijenggi, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 14.608.321,- 3. Jimen, beralamat di Dusun IV, Desa Sei Sijenggi, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 23.092.952,- 4. Supini, beralamat di Dusun IV, Desa Sei Sijenggi, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 25.638.341,- Universitas Sumatera Utara 5. Karini, beralamat di Dusun IV, Desa Sei Sijenggi, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 23.296.484,- 6. Sarni, beralamat di Dusun IV, Desa Sei Sijenggi, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 24.993.410,- 7. Tukirah, beralamat di Dusun IV, Desa Sei Sijenggi, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 22.448.021,- 8. Suriati, beralamat di Dusun IV, Desa Sei Sijenggi, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 24.993.410,- 9. Tukimah, beralamat di Dusun IV, Desa Sei Sijenggi, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 24.993.410,- 10. Legiem, beralamat di Dusun IV, Desa Sei Sijenggi, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 24.993.410,- Berdasarkan hal tersebut, maka majelis hakim berpendapat syarat kedua atas permohonan pailit telah terpenuhi. Namun demikian apakah utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan dalam perkara No.04G2008PHI Mdn tanggal 19 Maret 2008 P-2.1 jo Putusan Mahkamah Agung No. 905 KPdt.Sus2008 tanggal 24 Maret 2009 P-2.2 jo Putusan Mahkamah Agung No. 03PKPdt.Sus2010 tanggal 16 Pebruari 2010 P-2.3 telah berkekuatan hukum tetap. Namun Termohon pailit sampai permohonan pernyataan Universitas Sumatera Utara pailit ini didaftarkan tidak mau membayar lunas 5 lima utang-utangnya kepada para pemohon pailit, yang masing-masing telah jatuh waktu dan dapat ditagih meskipun Ketua Pengadilan Negeri Medan telah melakukan peneguran terhadap Termohon pailit sebagaimana berita acara peneguran aanmaning Nomor: 04Eks201104G2008PHI tanggal 24 Pebruari 2011 P-5 agar memenuhi bunyi isi Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan dalam perkara No.04G2008PHI Mdn tanggal 19 Maret 2008 jo Putusan Mahkamah Agung No. 905 KPdt.Sus2008 tanggal 24 Maret 2009 jo Putusan Mahkamah Agung No. 03PKPdt.Sus2010 tanggal 16 Pebruari 2010 secara sukarela dalam tempo yang ditentukan selama-lamanya 8 delapan hari terhitung sejak dilakukan peneguran aanmaning terhadap termohon pailit. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka syarat ketiga inipun telah dapat dipenuhi. Berdasarkan rangkaian pertimbangan hukum tersebut, maka Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan berpendapat permohonan pernyataan pailit para pemohon pailit telah memenuhi persyaratan Pasal 2 ayat 1 UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang serta pembuktiannya secara sederhana sebagaimana ditentukan Pasal 8 ayat 4 undang-undang tersebut, oleh karenanya beralasan hukum untuk dikabulkan dan termohon pailit dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya. Universitas Sumatera Utara Dikabulkannya permohonan pernyataan pailit tersebut, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 15 UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan sebagai Hakim Pengawas. Bahwa guna kepentingan pengurus dan pemberesan atas boedel pailit, maka Hakim Niaga menunjuk Saudara Efendi Tambunan, SH, SE, MM, Kurator yang terdaftar dengan Nomor Registrasi 090353 berkantor di Jalan Saudara No.70A Medan sebagai Kurator Termohon Pailit dalam Kepailitan ini mengingat tidak ternyata terdapat benturan kepentingan dengan Para Pemohon Pailit maupun Termohon Pailit, sebagaimana Efendi Tambunan, SH, SE, MM menyatakannya dalam surat bertanggal 19 April 2012. Bahwa Pasal 299 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ditegaskan bahwa kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini maka hukum acara yang merupakan ranah Pengadilan Niaga yang merupakan pengadilan khusus, berbeda dengan perkara perdata umum yang lazim ditangani oleh Pengadilan Negeri. Bahwa dalam praktik perkara permohonan pernyataan pailit maupun dalam UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak diatur dan dikenal adanya lembaga gugatan rekonvensi; Tidak adanya Universitas Sumatera Utara gugat rekonvensi dalam perkara permohonan pernyataan pailit, selain karena bersifat kuasi gugatan juga hukum acaranya mempunyai karakteristik yang spesifik ; Berbedanya penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri dengan permohonan pernyataan pailit pada Pengadadilan Niaga dapat dilihat diantaranya dari ketentuan Pasal 8 ayat 4 UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 telah dipenuhi “, waktu penyelesaian yang hanya 60 enam puluh hari sejak didaftarkan dan upaya hukumnya hanya kasasi dan peninjauan kembali sebagai diatur Pasal 8 ayat 5 dan Pasal 11 ayat 1 UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ; Bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, maka gugatan rekonvensi Termohon Pailit haruslah dinyatakan tidak dapat diterima. Bahwa dengan dikabulkannya permohonan pernyataan pailit ini, maka Termohon Pailit dihukum untuk membayar biaya perkara ini ; Mengingat ketentuan Pasal 2 ayat 1, Pasal 8 ayat 4, Pasal 15, Pasal 65 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang beserta ketentuan lainnya yang bersangkutan permohonan ini ; Universitas Sumatera Utara

3. Putusan Hukum Pengadilan Niaga Medan

Majelis Hakim Pengadilan Niaga Medan dalam perkara ini telah menjatuhkan putusan, yang amar putusannya sebagai berikut: Dalam Eksepsi - Menolak Eksepsi Termohon Pailit Dalam Pokok Perkara a. Mengabulkan permohonan Para Pemohon Pailit untuk seluruhnya. b. Menyatakan Termohon Pailit yaitu PT.Indah Pontjan Pailit dengan segala akibatnya. c. Mengangkat Sdr. Suhartanto, SH, MH, sebagai Hakim Pengawas. d. Menunjuk dan mengangkat Sdr. Efendi Tambunan, SH, SE, MM, Kurator yang berkantor di Jalan Saudara No.70A Medan sebagai kurator dalam kepailitan ini. e. Menghukum Termohon Pailit untuk membayar biaya perkara.

4. Analisis Putusan

Konsep dasar kepailitan sebagaimana diatur dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang menyebutkan: Universitas Sumatera Utara ”segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan”. 108 UU Nomor 13 tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan dalam penjelasan Pasal 95 ayat 4 menyebutkan: Pengertian kalimat”….menjadi tanggungan untuk segala perikatannya” bukan hanya berarti perikatan antara seorang debitur dengan seorang kreditor saja, tetapi juga mencakup perikatan-perikatan sidebitor dengan kreditor-kreditor lainnya, baik perikatan yang terjadi karena perjanjian maupun perikatan yang terjadi karena Undang-Undang. Sebagai konsekuensi dan pelaksanaan Pasal 1131 KUH Perdata selanjutnya mengatur bahwa seluruh kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutang kepadanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing- masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata, hak untuk didahulukan diantara para kreditur timbul karena hak istimewa, gadai, hipotik. Tentang piutang-piutang yang di istimewakan atas semua benda beregrak dan tak bergerak, menurut Pasal 1149 angka 4 termasuk diantarannya upah para buruh berserta jumlah uang kenaikan upah. 108 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara “dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerjaburuh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”. Peraturan kepailitan mengatur syarat dan putusan pailit sebagaimana dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan: “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, bailk atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.” Pasal 2 ayat 1 yang menjadi dasar hukum dalam mengajukan pailit terhadap sebuah perusahan sebagaimana dalam kasus yang dianalisi ini, jelas terlihat bahwa kepailitan tidak mengatur besar kecilnya Utang. Kepailitan di Indonesia tidak mempermasalahkan kalau asset suatu perusahaannya lebih besar daripada utangnya. Sebagai perbandingan berbagai putusan pailit dari Pengadilan Niaga saat ini banyak perusahaan dinyatakan pailit karena hanya memiliki sedikit utang seperti perusahaan Telkomsel. Pada dasarnya kepailitan dapat diajukan oleh semua jenis kreditur. Tidak ada batasan mengenai kualifikasi kreditur yang dapat mengajukannya. Sepanjang kreditur Universitas Sumatera Utara tersebut dapat membuktikan fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa ada lebih dari satu utang, dan salah satunya telah jatuh tempo, maka secara formil, hakim wajib menyatakan debitur pailit 109 Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana sebagaimana disebut dalam penjelasan Pasal 8 ayat 4 UU No. 34 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ” adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Perbedaan besarnya jumlah utang yang didalilkan oleh pemohon dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit”. . Dasar dari putusan majelis hakim, adalah terpenuhinya syarat-syarat pailit yang diatur dalam Pasal 2 ayat 1, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 110 109 Victor Santoso Tandiasa, Judicial Reviuw “ Syarat Pailit” Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 Kepailitan dan PKPU . Penjelasan Pasal 8 ayat 4 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatas dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian sederhana adalah pembuktian mengenai keberadaan dari satu utang debitor yang dimohonkan kepailitan yang telah http:forumkajianhukumdankonstitusi.blogspot.com201305resume-judicial-review-syarat- pailit.html, Diakses tanggal 24 Juni 2014, Pukul 18.15 WIB 110 Penjelasan Pasal 8 ayat 4 UU. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Universitas Sumatera Utara jatuh tempo dan keberadaan dari dua atau lebih kreditor yang dimohonkan kepailitan. 111 Demikian juga tentang syarat tidak membayar lunas sedikitnya satu utang. majelis hakim telah mengurai secara rinci dalam pertimbangannya bahwa PT. Indah Pontjan tidak membayar utangnya dengan cara menolak membayar utang yang lahir Berbagai uraian diatas, jika mengacu pada putusan yang dianalisis ini, utusan Pengadilan Niaga Medan Nomor: 01PAILIT2012PN.Niaga. Mdn telah tepat dengan mempertimbangkan dan melihat persyaratan permohonan pailit sebagaimana Pasal 2 ayat 1 UU KPKPU menyebutkan bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Dalam permohonan pailit ini PT. Indah Pontjan mempunyai utang yang lahir karena putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, selain kepada Rohani, dkk juga kepada Tukini, dkk 10 orang. Syarat mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditor dikenal sebagai concursus creditorium, telah diuraikan majelis hakim secara jelas dan rinci demikian juga alasan-alasan dan dasar putusan. Dimana telah terpenuhi 2 orang kreditor, dalam hal ini kreditor Rohani, dkk dan 10 orang kreditor lainnya yakni Tukini, dkk, berdasarkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. 111 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Mengenai Perkara Kepailitan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hal.11. Universitas Sumatera Utara karena putusan Pengadilan Negeri Medan baik terhadap Tukini, dkk maupun terhadap pemohon pailit Rohani, dkk. Lebih lanjut hakim pengadilan niaga mempertimbangkan dengan jelas dan rinci utang PT. Indah Pontjan tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih sejak putusan dalam perkara PHI berkekuatan hukum tetap dan tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan Termohon pailitPT. Indah Pontjan atas putusan tersebut. Pertimbangan hakim pengadilan niaga juga telah mengakomodir pengertian utang dalam arti luas berupa hak-hak normatif tenaga kerjaburuh yang lahir dari suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Pembuktian sederhana tentang adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih majelis hakim telah mendasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat 1 UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang menyatakan bahwa debitor dapat dinyatakan pailit apabila telah terbukti bahwa debitor tersebut mempunyai paling tidak satu kreditor yang tagihannya telah jatuh tempo dan dapat ditagih, juga mempunyai minimal satu kreditor lainnya.

B. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor.401 KPdt.Sus2012

1. Alasan Pengajuan Kasasi

Termohon PailitPemohon kasasi dalam Memori Kasasinya sangat keberatan dengan ditolaknya eksepsi Termohon PailitPemohon Kasasi dan tidak mempertimbangkan secara utuh seluruh eksepsi yang diajukan baik tentang Universitas Sumatera Utara permohonan kabur, tentang surat kuasa khusus maupun tentang permohonan pailit yang prematur. Eksepsi tentang permohonan pailit yang prematur tersebut oleh majelis hakim sama sekali tidak disentuh dalam pertimbangan putusannya. Padahal dalam jawaban Termohon PailitPemohon Kasasi telah disebutkan terang dan jelas bahwa dengan dalil atas dasar putusan Pengadilan Hubungan Industrial dengan Nomor Register 04G2008 tanggal 8 Januari 2008 Jo Putusan Mahkamah Agung No. 905.KPdt.Sus2008 tanggal 24 Maret 2009 Jo Putusan Mahkamah Agung No.03PKPdt.Sus2010 tanggal 16 Pebruari 2010, yang eksekusinya belum dilaksanakan Pengadilan Hubungan Industrial Medan. Tidaklah patut Pemohon Pailit Termohon Kasasi mengajukan permohonan pailit, melainkan seharusnya melakukan eksekusi, melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan guna memenuhi kewajiban dari Termohon PailitPemohon Kasasi. Menurut Termohon PailitPemohon Kasasi, karena eksekusi Pengadilan Hubungan Industrial belum dilaksanakan maka Pengadilan Hubungan Industrial seharusnya menerima eksepsi Termohon PailitPemohon Kasasi dengan menyatakan Pengadilan Niaga Medan tidak berwenang mengadili permohonan pailit ini, oleh karena permohonan pailit yang didasarkan atas putusan pengadilan bukan oleh perjanjian atau undang-undang haruslah diselesaikan dengan lembaga eksekusi yang dimiliki Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan. Dengan diputuskannya perkara permohonan pailit oleh Pengadilan Niaga dalam perkara ini maka Pengadilan Niaga telah memotong kewenangan yang ada Universitas Sumatera Utara pada Pengadilan Hubungan Industrial yang sebenarnya berwenang menuntaskan masalah pokok antara Pemohon PalitTermohon Kasasi dengan Termohon PailitPemohon Kasasi. Dengan demikian permohonan pailit terlalu prematur karena prosedur pelaksanaan eksekusi sebagaimana disyaratkan undang-undang belum dilaksanakan secara sempurna. Judex Factie telah melanggar hukum, karena telah menyatakan Termohon PailitPemohon Kasasi pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang seharusnya dilaksanakan lembaga eksekusi yang merupakan wewenang Ketua Pengadilan Negeri. Permohonan pailit yang diajukan Pemohon PailitTermohon Kasasi yang mendasarkan tentang pemenuhan atau pelaksanan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap mengenai perkara Perselisihan Hubungan Industrial yakni putusan Pengadilan Hubungan Industrial dengan Nomor Register 04G2008 tanggal 8 Januari 2008 Jo Putusan Mahkamah Agung No. 905.KPdt.Sus2008 tanggal 24 Maret 2009 Jo Putusan Mahkamah Agung No.03PKPdt.Sus2010 tanggal 16 Pebruari 2010. Menurut hukum acara perdata HIRRBG pemenuhan amar putusan pengadilan tentang pembayaran sejumlah uang yang dalam perkara yang termasuk dalam ruang lingkup perdata yang tidak dilaksanakan dengan sukarela oleh pihak yang dinyatakan dalam putusan tersebut, pemenuhannya dilaksanakan melalui lembaga eksekusi yang merupakan wewenang Ketua Pengadilan Negeri yng Universitas Sumatera Utara merupakan pengadilan tingkat pertama yang memeriksa dan memutus perkara yang bersangkutan. Perkara yang termaktub dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial dengan Nomor Register 04G2008 tanggal 8 Januari 2008 Jo Putusan Mahkamah Agung No. 905.KPdt.Sus2008 tanggal 24 Maret 2009 Jo Putusan Mahkamah Agung No.03PKPdt.Sus2010 tanggal 16 Pebruari 2010 tersebut adalah termasuk dalam ruang lingkup perkara perdata. Dengan demikian untuk pemenuhan amar putusannya melalui lembaga eksekusi yang merupakan wewenang dari Ketua pengadilan Negeri Medan. Permohonan pailit yang diajukan Termohon KasasiPemohon Pailit sebagaimana alasan Judex Factie yang mendasarkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial dengan Nomor Register 04G2008 tanggal 8 Januari 2008 Jo Putusan Mahkamah Agung No. 905.KPdt.Sus2008 tanggal 24 Maret 2009 Jo Putusan Mahkamah Agung No.03PKPdt.Sus2010 tanggal 16 Pebruari 2010. Judex Factie tingkat pertama dalam perkara ini telah melanggar hukum yang berlaku, yaitu mengambil alih lembaga eksekusi yang merupakan wewenang ketua Pengadilan Negeri Medan. Oleh karena Judex Factie tingkat pertama dalam perkara ini telah melanggar hukum yaitu telah mengambil alih lembaga eksekusi yang merupakan wewenang dari Ketua Pengadilan Negeri Medan, maka putusan Pengadilan Niaga Medan No.01Pailit2012PN.Niaga Mdn tertanggal 23 April 2012 tersebut, beralasan menurut hukum untuk dibatalkan ditingkat pemeriksaan Kasasi. Universitas Sumatera Utara Judex Factie tingkat pertama, telah salah menerapkan hukum dalam perkara ini, karena telah menafsirkan pihak yang dimenangkan dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang termasuk dalam ruang lingkup perdata, sebagai kreditor yang timbul karena Undang-Undang yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 butir 6 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sesuai dengan permohonan pailit yang diajukan Pemohon PailitTermohon Kasasi dalam perkara ini, bahwa dasar permohonan pailit yang diajukan Pemohon PailitTermohon Kasasi adalah tentang pemenuhan atau pelaksanaan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap mengenai perkara Perselisihan Hubungan Industrial antara Pemohon PailitTermohon Kasasi melawan Termohon PailitPemohon Kasasi. Judex Factie tingkat pertama dalam perkara ini tidak memenuhi kewajibannya yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu tidak menyebut landasan sebagai dasar Judex Factie tingkat pertama untuk menyatakan pihak yang disebutkan dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial sebagai debitor atau sebagai kreditor yang timbul karena Undang-Undang yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 butir 6 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Universitas Sumatera Utara Oleh karena alasan pertimbangan Judex Factie dalam perkara ini tanpa ada landasannya, maka Judex Factie tingkat pertama dalam perkara ini tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Judex Factie tidak memenuhi kewajibannya yang sifatnya imperatif maka beralasan menurut hukum putusannya dibatalkan pada tingkat kasasi. Oleh karena itu Termohon PailitPemohon Kasasi menolak untuk menjalankan putusan Pengadilan Hubungan Industrial dengan Nomor Register 04G2008 tanggal 8 Januari 2008 Jo Putusan Mahkamah Agung No. 905.KPdt.Sus2008 tanggal 24 Maret 2009 Jo Putusan Mahkamah Agung No.03PKPdt.Sus2010 tanggal 16 Pebruari 2010. Dimana bukan Pemohon Kasasi yang seharusnya dibebankan melaksanakan putusan tersebut melainkan koperasi PT. Indah Pontjan. Pemohon KasasiTermohon Pailit sangat menyesalkan Majelis Hakim tidak mempertimbangkan secara benar dalil-dalil rekonvensi yang diajukan Pemohon KasasiTermohon Pailit dalam putusannya yang merupakan hal yang penting bagi Pemohon KasasiTermohon Pailit untuk membela hak-haknya. Alasan Judex Factie yang menyatakan UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak mengatur tentang rekonvensi akan tetapi undang- undang tersebut mengakui dan menjelaskan bahwa hukum acara perdata dijadikan pedoman dalam mengadili perkara pailit. Oleh karena itu seharusnya Judex Factie wajib mempertimbangkan dan memuat diterima atau ditolaknya dalam diktum putusan. Universitas Sumatera Utara

2. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung Kasasi

Majelis hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam pertimbangan hukumnya atas alasan-alasan permohonan kasasi Pemohon KasasiTermohon pailit mempertimbangkan antara lain: a. Bahwa perkara a aquo adalah tentang perselisihan perburuhan yaitu belum dilaksanakannya putusan PHI, yang dimenangkan oleh para pekerja PT. Indah Pontjan Termohon Kasasi. b. Bahwa seharusnya termohon kasasi para pekerja setelah putusan PHI tersebut berkekuatan hukum tetap dan pihak perusahaan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, dapat meminta pelaksanaan putusan tersebut dengan cara eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut Pasal 57 UU No. 2 Tahun 2004 Jo pasal 197 HIR. c. Bahwa termohon kasasi Pekerja PT. Indah Pontjan sudah memohon eksekusi ke Pengadilan Negeri, tapi proses eksekusi tersebut belum selesai, namun termohon kasasi sudah mengajukan perkara kepailitan, dengan demikian termohon kasasi belumlah melakukan prosedur pelaksanaan putusan sebagaimana ditentukan Undang-undang. d. Bahwa para termohon kasasi, dalam perkara a quo adalah para mantan pekerja pada PT. Indah Pontjan, yang menuntut hak-haknya akibat pemutusan hubungan kerja ke Pengadilan Hubungan Industrial dan meskipun telah ada putusan PHI yang mengabulkan gugatan mereka dalam perkara perselisihan tersebut, namun tidak berarti mereka secara otomatis menjadi kreditur terhadap Perusahaan PT. Indah Ponjant sebagaimana diatur dalam Undang-undang Kepailitan. e. Bahwa pemohon kasasi juga adalah suatu perusahaan, dengan begitu mempunyai banyak tenaga kerja dan para termohon kasasi adalah sebagian kecil dari tenaga kerja yang pernah bekerja pada perusahaan pemohon kasasi yang telah memenangkan gugatan PHI atas perkara aquo, seharusnya Termohon Kasasi menempuh prosedur pelaksanaan putusan secara eksekusi namun perkara ini tidak dapat dibuktikan secara sederhana. f. Bahwa berdasarkan uraian diatas maka ketentuan pasal 2 ayat 1 dan pasal 8 ayat 4 UU No.37 tahun 2004 tidak terpenuhi. Universitas Sumatera Utara Bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. Indah Pontjan tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan No.01PAILIT2012PN.Niaga.Mdn. tanggal 23 April 2012 serta Mahkamah Agung mengadili sendiri. Bahwa oleh karena permohonan kasasi dikabulkan dan termohon kasasi berada di pihak yang dikalahkan, maka ia harus membayar semua biaya perkara baik dalam tingkat Pengadilan Niaga maupun dalam tingkat kasasi. Memperhatikan Pasal-Pasal dari Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang serta perundang-undangan lain yang bersangkutan.

3. Putusan Hukum Mahkamah Agung Kasasi

Putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam Permohonan Kepalitan ini adalah sebagai berikut: a. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. Indah Pontjan tersebut, Membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan No. 01Pailit20012PN.Niaga.Mdn. tanggal 23 April 2012. Universitas Sumatera Utara b. Mengadili Sendiri dengar amar menolak permohonan pailit untuk seluruhnya. c. Menghukum Termohon Kasasipara Pemohon Pailit untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar RP. 5.000.000 lima juta rupiah.

4. Analisis Putusan

Suatu putusan yang baik sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan, terutama untuk memenuhi kebutuhan teoritis dan kebutuhan praktis. Memenuhi kebutuhan teoritis mempunyai arti bahwa isinya harus dapat dipertanggung jawabkan dari sudut ilmu hukum dan lebih baik lagi kalau putusan hakim tersebut dapat membentuk atau menemukan hukum baru. Sedangkan kebutuhan praktis maksudnya bahwa dengan putusan hakim itu diharapkan dapat menyelesaikan persoalansengketa hukum yang ada dan sedapat mungkin dapat diterima pihak-pihak yang berperkara khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. 112 Mengacu pada putusan kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor.401 KPdt.Sus2012, tidak terlihat analisis dan argumentasi hakim kasasi yang mengadili melainkan hanya membuat satu kesimpulan dari alasan-alasan permohonan Putusan yang baik terutama terlihat dari pertimbangan hukumnya, karena pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari putusan. Pertimbangan hukum berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari hakim yang memeriksa perkara. 112 Djamanat Samosir, Op.Cit, hal. 273 Universitas Sumatera Utara kasasi. Seharusnya hakim harus membuat analisis yang objektif dan rasional dan hukum apa yang diterapkan. Ketidakjelasan pertimbangan hukum Mahkamah Agung Kasasi berupa argumentasi dan pendapat hukum membuat putusan ini menjadi kering. Hal ini terlihat dalam pertimbangan hukum Judex Juris, yang menyatakan para pemohon kasasi adalah mantan pekerja PT. Indah Pontjan, yang menuntut hak-haknya akibat PHK ke PHI dan meskipun telah ada putusan PHI yang mengabulkan gugatan mereka dalam perkara perselisihan tersebut, namun tidak berarti mereka secara otomatis menjadi kreditor terhadap PT. Indah Ponjant sebagaimana diatur dalam Undang-undang Kepailitan. Selanjutnya majelis hakim kasasi juga menyatakan dalam pertimbangannya pemohon kasasi juga adalah suatu perusahaan, mempunyai banyak tenaga kerja dan termohon kasasi adalah sebagaian kecil dari tenaga kerja yang pernah bekerja pada pemohon kasasi. Pertimbangan hukum ini tidak jelas maksudnya, apakah majelis hakim kasasi hendak menyatakan perlunya ditegakkan asas kelangsungan usaha sehingga Rohani, dkk tidak otomatis menjadi kreditor. Seandainya maksud pertimbangan ini adalah bermaksud menyatakan perlunya asas kelangsungan usaha diterapkan dalam perkara ini, sehingga perusahaan debitor PT. Indah Pontjan harus tetap dilangsungkan, seharusnya majelis hakim harus mempertimbangkan terlebih dahulu tentang latar belakang perkara ini dengan menggunakan kacamata kepastian hukum dan keadilan sebagaimana tujuan hukum itu sendiri. Universitas Sumatera Utara Disisi lain majelis hakim seharusnya tidak mengabaikan ketentuan Pasal 1 ayat 2 yang menyebutkan” kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan. Berdasarkan definisi ini para mantan pekerja Rohani,dkk adalah sebagai kreditor. Tidak dilaksanakannya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap oleh termohon PK untuk membayar hak-hak para para pemohon PK jelaslah secara hukum PT. Indah Pontjan memiliki kewajiban utang yang harus dibayar kepada para pemohon pailit. Dengan demikian tanpa bermaksud untuk berpikir positivistiv legalistic, dan mengesampingkan asas kelangsungan usaha, permohonan pailit ini telah tepat diajukan sebagai solusi atas piutang buruh yang tidak dibayar PT. Indah Pontjan yang dalam faktanya tidak punya itikat baik untuk membayar utangnnya, sehingga jalan terakhir harus dengan menempuh upaya kepailitan. Pertimbangan hukum dan putusan majelis hakim kasasi dalam perkara ini mencederai rasa keadilan masyarakat. Majelis hakim kasasi tidak adil dalam memeriksa karena syarat dengan prosedur, formalitas, kaku dalam memberikan putusan. Cara pandang hakim terhadap hukum sangat kaku dan normatif prosedural dalam melakukan konkritisasi hukum. 113 Salah satu yang menjadi pertimbangan hukum majelis hakim kasasi sehingga menolak permohonan pailit yang diajukan pekerjaburuh Rohani, dkk adalah 113 Zain Al Muchtar, Antara Keadilan Substantif dan Keadilan Prosedural, http:sergie- zainovsky.blogspot.com201210, diakses tanggal 9 Mei 2014 Pukul 11:40 WIB. Universitas Sumatera Utara eksekusi putusan PHI belum selesai kemudian Rohani dkk mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga. Pertimbangan ini dapat dipahami secara prosedural. Namun untuk menyatakan pertimbangan hukum ini telah tepat dan benar dari sisi kepastian hukum dan keadilan kiranya perlu dianalisis lebih mendalam lagi. Pasal 57 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, telah merumuskan secara tegas bahwa hukum acara yang berlaku di PHI adalah hukum acara perdata, kecuali beberapa hal yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Namun karena pengadilan hubungan industrial merupakan peradilan khusus dalam kasus perdata, beberapa hal dalam hukum acara perdata dirasakan kurang tepat digunakan dalam kasus PHI. Seperti halnya untuk pelaksanan putusan kalau mengikuti hukum acara perdata maka pelaksanaan putusan tersebut akan sangat lambat dan mungkin saja putusan itu tidak dapat dilaksanakan dan hanya punya kekuatan diatas kertas saja. Salah satu yang merupakan kelemahan dari Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dimana undang-undang ini tidak mengatur secara khusus upaya hukum apa yang dilakukan terhadap putusan PHI yang sudah inkracht. Dalam situasi demikian dalam praktek para hakim merujuk pada hukum acara perdata yang berlaku, yaitu permohonan eksekusi yang diatur dalam Pasal 195 sampai Pasal 208 HIR. Ketentuan Pasal 196 HIR207 RBg mengatur tentang pelaksanaan putusan yang diakibatkan dari tindakan tergugat yang enggan secara suka rela melaksanakan Universitas Sumatera Utara isi putusan untuk membayar sejumlah uang, sehingga pihak penggugat sebagai pihak yang dimenangkan mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri agar putusan dapat dijalankan. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 197 ayat 1 HIR208 RBg, setelah aanmaning dilakukan oleh pengadilan yang mengeksekusi, langkah selanjutnya yang dilakukan oleh pengadilan melalui permohonan pemohon adalah melaksanakan sita eksekutorial terhadap barang-barang bergerak milik pihak yang dikalahkan. Dalam perkara yang dianalisis ini, jika permohonan eksekusi sudah dilakukan dan pengusaha tetap tak mau membayarkan pesangon karena tidak adanya kemauan dan kepatuhan secara sukarela untuk menjalankan putusan, maka pekerja bisa memohonkan sita eksekutorial atas barang-barang milik pengusaha. Permohonan sita eksekutorial itu tetap diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Setelah semua barang-barang disita, kemudian akan dilelang dimana hasilnya akan digunakan untuk membayarkan kewajiban pengusaha kepada pekerja dan juga biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 200 ayat 1 HIR Pasal 215 RBg dimana intinya menyatakan bahwa penjualan oleh orang yang melakukan penyitaan atau orang yang ditetapkan secara khusus oleh Ketua Pengadilan Negeri, yaitu apabila penjualan itu berhubungan dengan eksekusi putusan yang isinya membayar sejumlah uang diluar biaya perkara. Dalam perkara yang dianalisis ini, pemohon pailit sudah pernah mengajukan permohonan eksekusi pada tanggal 21 Oktober 2010, dan atas permohonan eksekusi Universitas Sumatera Utara tersebut Pengadilan Negeri Medan telah membuat Berita Acara Peneguran aanmaning tanggal 24 Pebruari 2011. Namun eksekusi tersebut belum atau tidak dijalankan oleh Pengadilan Negeri Medan hingga permohonan pailit ini kemudian didaftarkan pada tanggal 9 Maret 2012 di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan. Dalam rentang tenggang waktu yang lamanya demikian, para buruh tidak memperoleh kepastian hukum atas putusan PHI yang sudah berkekuatan hukum tetap, apakah tepat kalau Mahkamah Agung tingkat Kasasi menolak permohonan pailit para pemohon dengan alasan pelaksanaan eksekusi belum selesai?. Setelah menelusuri berbagai literatur dan menghubungkannya dengan nilai kepastian hukum dan keadilan secara substantif. Keputusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi tidak didasarkan pada nilai keadilan substantif. Selain mengajukan permohonan eksekusi dan sita eksekusi menurut prosedural hukum acara perdata, mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga Medan agar hak-hak normatif berupa pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan upah proses yang sudah ditetapkan berdasarkan putusan PHI yang sudah inkracht dapat diterima menurut logika hukum. Salah satu alasan utama adalah, ketika permohonoan eksekusi sudah diajukan pekerja Rohani, dkk dan Pengusaha PT. Indah Pontjan tidak mau melaksanakan, maka utang si pengusaha menjadi dapat ditagih. Merujuk pada UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kreditur dapat menggugat pailit seorang debitur. Syaratnya, ada satu utang yang sudah jatuh Universitas Sumatera Utara tempo dan dapat dibayar, debitur memiliki dua kreditur atau lebih, dan pembuktiannya sederhana. Mengenai syarat untuk dapat dinyatakan pailit, Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Dalam permohonan pailit ini PT. Indah Pontjan mempunyai utang yang lahir karena putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, selain kepada Rohani, dkk juga kepada Tukini, dkk 10 orang. Memperhatikan ketentuan di atas, syarat mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditor dikenal sebagai concursus creditorium, jika ditarik kedalam kasus ini, dapat diketahui bahwa syarat untuk dapat dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan telah terpenuhi yakni 2 orang kreditor, dalam hal ini kreditor Rohani dkk dan 10 orang kreditor lainnya yakni Tukini, dkk. Hakim yang mengadili permohonan pailit ini, seharusnya dapat memahami syarat bahwa debitor harus mempunyai minimal dua kreditor, sebagai salah satu filosofi lahirnya hukum kepailitan yang sudah terpenuhi dalam perkara ini. Syarat ini hanya dapat dikecualikan apabila debitor PT. Indah Pontjan hanya memiliki satu orang kreditor, maka eksistensinya dari UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang kehilangan rasio Universitas Sumatera Utara d’etre-nya. Perhonan pailit tak perlu dilakukan cukup dengan mendesak dan dan menindaklanjuti permohonan eksekusi yang belum terlaksana. Tentang syarat tidak membayar lunas sedikitnya satu utang. Menurut Prajoto, Pengertian tidak membayar harus diartikan : 114 a. Menolak untuk membayar ; b. Cidera janji wan prestasi ; c. Keadaan tidak membayar tidak sama dengan keadaan bahwa kekayaan debitor tidak cukup untuk melunasi seluruh hutangnya ; d. Tidak diharuskan bahwa debitor tidak memiliki kemampuan untuk membayar onvermogen dan memikul seluruh hutangnya ; e. Istilah “tidak membayar” harus diartikan sebagai naar de letter, yaitu debitor pada saat diajukan permohonan pernyataan pailit telah sama sekali berhenti membayar hutangnya. Syarat, debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang, sebagaimana diuraikan diatas, dalam perkara ini telah terpenuhi dimana PT.Indah Pontjan selaku termohon pailit tidak ada melunasi utangnya yang lahir karena putusan Pengadilan Negeri Medan baik terhadap Tukini, dkk maupun terhadap pemohon pailit Rohani, dkk. Persyaratan lain yakni utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Melihat dari asal usul utang PT. Indah Pontjan baik terhadap pemohon pailit Rohani, dkk maupun terhadap Tukini, dkk, utang tersebut telah jatuh waktu sejak putusan dalam perkara PHI berkekuatan hukum tetap dan tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan Termohon pailitPT. Indah Pontjan atas putusan tersebut. 114 Prajoto, RUU Kepailitan Ditinjau dari Aspek Perbankan dalam Sunarmi, Hukum Kepailitan, Edisi 2, Jakarta:PT Sodmedia, 2010 , hal. 32 Universitas Sumatera Utara Bertolak dari fakta-fakta ini, putusan Mahkamah Agung kasasi dalam perkara ini hanya melihat kasus ini dalam keadilan prosedural semata-mata, yakni hukum acara perdata. Mahkamah Agung tidak menggali keadilan substantif. Seharusnya hakim dalam perkara ini mampu menjadi living interpreator yang cermat menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak semata-mata terbelenggu oleh kekakuan normatif prosedural yang ada dalam dalam hukum acara perdata. Dalam perkara ini seharusnya hakim memiliki keberanian mengambil keputusan sebagaimana hakim pengadilan niaga yang memandang kasus ini diajukan karena pemohon tidak kunjung mendapat kepastian hukum dan keadilan sehingga pemohon tenaga kerja mengajukan permohonan pailit. Keputusan menolak perhonan pailit para pemohon dalam perkara ini, hakim kasasi hanya melihat keadilan dalam proses hukum. Hakim hanya melihat keadilan prosedural terkait kepatutan, dan transparansi dari proses pembuatan putusan, hanya melihat konsep hak-hak dan membebani kesalahan-kesalahan akibat prosedur yang tidak selesai. Keadilan Substantif didalam Black’s Law Dictionary 7 th Edition dimaknai sebagai: “Justice Fairly Administered According to Rules of Substantive law, Regarrdless of Ani Procedural Errors Not Affecting the Litigant’s substantive Rights”. Artinya keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak terpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Universitas Sumatera Utara Mengacu pada putusan yang dianalisis dapat saja dipahami secara formal prosedural alasan hakim kasasi dalam pertimbangannya mengatakan menolak permohonan pailit karena ada suatu proses eksekusi yang belum selesai, namun secara materil pekerjaburuh mengajukan permohoan pailit karena didasarkan pada Pasal 2 ayat 1 UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyebutkan, “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. Dimana para Pemohon Pailit terdiri dari 6 enam orang, sudah sangat nyata membuktikan Termohon pailit Debitor mempunyai lebih dari 1 satu Kreditor, tepatnya mempunyai 5 lima orang Kreditor. Seharusnya hakim dapat mengabaikan masalah prosedural yang belum selesai dalam tahap eksekusi dan memberi rasa keadilan dengan berpedoman kepada utang yang sudah jatuh tempo dan dapat dibayar, debitur memiliki dua kreditur atau lebih sebagaimana diatur dalam Undang-Undang kepailitan. Harus dipahami prosedur eksekusi sebagaimana dimuat dalam hukum acara perdata hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan hukum yakni kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Namun jika semata-mata hal itu diterapkan dalam perkara ini sebagaimana dalam putusan Mahkamah Agung dalam kasasi justru putusan tersebut tidak mencerminkan kepastian hukum dan keadilan terutama keadilan substantif. Universitas Sumatera Utara Satu hal prinsip hukum dalam putusan Mahkamah Agung yang sangat terlanggar dan hakim tidak dapat memaknainya adalah “bukan manusia untuk hukum, melainkan hukum untuk manusia”. Putusan Mahkamah Agung ini telah memunculkan suatu sikap yang membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap norma-norma hukum, kehilangan kepercayaan terhadap penegakan hukum yang pada akhirnya dapat meningkatkan tindakan main hakim sendiri eigenrichting. Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan rechtgerechtigheid, kemanfaatan rechtsutiliteit, dan kepastian hukum rechtszekerheid. 115 Salah satu paradigma hukum kepailitan adalah adanya nilai keadilan sehingga hukum dapat memberikan tujuan yang sebenarnya yaitu memberikan manfaat, kegunaan dan kepentingan hukum. Satjipto Rahardjo menyatakan “Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti, bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat”. 116 Dikaitkan dalam anailis kasus dalam penelitian ini, pemberlakuan prinsip keadilan dalam hukum kepailitan adalah, apabila debitor mempunyai paling sedikit dua kreditor dan tidak membayar lunas salah satu utangnya yang sudah jatuh waktu tidak melakukan pembayaran diharapkan tidak lari dari tanggung jawab untuk melaksanakan pembayaran terhadap kreditor dengan cara penjualan seluruh aset 115 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis adan Sosiologis, Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk, 2002, hal. 85. 116 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Hukum, Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 2002, hal. 60. Universitas Sumatera Utara debitor dan hasilnya akan dibagi kepada kreditor secara adil dan merata serta berimbang. Kaitannya dalam kasus ini, buruh yang telah mengalami suatu kondisi yang tidak adil unfair prejudice selaku kreditor. Seharusnya hakim pada tingkat Mahkamah Agung melalui hukum kepailitan dapat mengembalikan keadaan sehingga keadilan yang telah hilang the lost justice kembali dapat ditemukan oleh pihak yang telah dirugikan, atau terjadi keadilan korektif menurut klasifikasi Aristoteles.

C. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor.195 PKPdt. Sus2012

1. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali

Para Pemohon Peninjauan Kembali keberatan atas pertimbangan hukum Judex Juris yang menyatakan perkara a quo adalah tentang perselisihan perburuhan yaitu belum dilaksanakannya putusan Perselisihan Hubungan Industrial. Perkara a quo adalah perkara kepailitan dimana ada yang berpiutang kreditor yaitu Para Pemohon Peninjauan Kembali dan ada yang berutangdebitor Termohon Peninjauan KembaliPT. Indah Pontjant, dimana utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih, tidak dibayar atau dilunasi. Bahwa perkara perselisihan perburuhan telah final, telah mempunyai kekuatan hukum tetap, bahkan telah ada putusan peninjauan kembali. Sehinga tidak adalagi perkara perburuhan. Tetapi setelah adanya putusan tersebut munncullah hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Dalam hal ini para pemohon PK ditetapkan mempunyai hak tagih yang berpiutangkreditor dan Termohon PK mempunyai Universitas Sumatera Utara kewajibanutang sebagai debitor untuk membayar tagihan sesuai putusan PHI No.041 G2008PHI-Mdn, tanggal 8 Januari 2008. Pemenuhan pembayaran atas piutang tersebut ditempuh melalui mekanisme kepailitan adalah sah secara hukum, tidak bertentang dengan Undang-Undang. Tentang pertimbangan hukum Judex Juris yang menyatakan seharusnya Termohon Kasasi para pekerja setelah putusan PHI tersebut berkekuatan hukum tetap dan pihak perusahaan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, dapat meminta pelaksanaan putusan tersebut dengan cara eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut Pasal 57 UU No. 2 Tahun 2004 Jo pasal 197 HIR. Pertimbangan hukum Judex Juris tersebut adalah sangat keliru dan tidak berdasar secara hukum karena tidak ada undang-undang yang mengatur “urutan-urutan” untuk pemenuhan suatu piutang harus melalui penetapan eksekusi terlebih dahulu, dan tidak dapat melalui mekanisme kepailitan. Kata “seharusnya” adalah bersifat imperatif, dengan demikian harus merujuk kepada suatu norma, suatu aturan perundang-undangan. Namun Judex Juris tidak menunjukkan undang-undang mana untuk menyatakan untuk menyatakan seharusnya dalam pertimbangan tersebut. Dengan demikian pertimbangan hukum Judex Juris tersebut tidak berdasar secara hukum dan harus ditolak. Tentang pertimbangan hukum ini setelah kata “seharusnya” Judex Juris melanjutkan dengan menyatakan kata ”dapat” meminta pelaksanaan putusan… dan seterusnya”. Kata dapat menunjukkan kepada “Hak”. Hak tersebut boleh dipakai atau tidak dipakai, tergantung pada para pemohon PK, yang punya hak. Universitas Sumatera Utara Sebagaimana dikemukakan dalam permohonan terdahulu pada dasarnya telah dilakukan aanmaning terhadap Termohon PK untuk melakukan pembayaran sesuai dengan putusan PHI tersebut, namun Termohon PK selalu mempunyai itikat buruk bad faith dan tidak pernah dengan rela membayar hak-hak mantan pekerja tersebut ic. Para Pemohon PK walaupun telah mempuyai kekuatan hukum tetap. Putusan PHI menetapkan sejumlah uang yang menjadi hak Para Pemohon PK sebesar Rp.148.263.300,00 Putusan No. 04G2008PHI-Mdn tanggal 8 Januari 2008 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tanggal 16 Pebruari 2010 berdasarkan putusan Mahkamah Agung No. 905.KPdt.Sus2010. Penetapan tentang sita jaminan conservatoir beslaag dalam putusan PHI tersebut tidak ada, sehingga putusan PHI No. 04G2008PHI-Mdn, tersebut bersifat Non-Executable tidak dapat di eksekusi. Untuk dikabulkannya suatu permohonan sita jaminan sita eksekusi harus terlebih dahulu telah ada permohonan sita jaminan dalam gugatan dan objek eksekusi sudah pasti, menyebutkan rinci identitas yang melekat pada barang seperti jenis atau bentuk barang, letak dan batas-batas tanah, nama pemilik, nomor rekening. Permintaan sita yang tidak menyebut secara jelas identitasnya, dianggap merupakan permintaan yang kabur objeknya sehingga tidak mungkin diletakkan sita Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, halaman 286, 291. Para Termohon PK memahami putusan PHI tersebut non-executable, sehingga dengan itikat buruk tidak mau memenuhi putusan PHI itu. Sehubungan dengan itu jika Judex Juris mempunyai pendapat bukum yang sama dengan Termohon PK, hal Universitas Sumatera Utara yang harus ditempuh terlebih dahulu adalah penetapan eksekusi terhadap perkara yang tidak dapat dieksekusi,berarti Yudex Juris telah melukai rasa keadilan masyarakat dengan berlaku tidak adil terhadap perkara a quo. Putusan Kasasi ini akan menjadi Yurisprudensi, menjadi preseden buruk dikemudian hari, dimana para buruh dan pekerja yang menuntut haknya tidak akan pernah dapat dipenuhi walaupun telah ada putusan PHI, karena para pengusaha yang menganiaya buruh selama ini memang akan mencari celah hukum dimana mereka tak perlu memnuhi tuntutan hukum yang walaupun telah berkekuatan hukum tetap. Jika ada niat baik dan Termohon PK PT. Indah Pontjan memenuhi hak-hak buruh ic. Para Pemohon PK, dan jika Termohon PK adalah perusahaan yang taat hukum, maka ketika ada aanmaning Termohon PK seharusnya dengan sukarela telah membayar hak-hak buruh ic. Pemohon PK, karena memang Termohon PK sangat mengetahui dirinya tidak dapat dipaksa memenuhi suatu putusan yang bersifat non- executable. Jadi jawaban Termohon PK dengan mengatakan harus lembaga eksekusi terlebih dahulu dilaksanakan untuk menuntut pemenuhan atas putusan PHI tersebut adalah jawaban yang penuh kelicikan, sebagaimana mereka selama ini mempermainkan hak-hak buruh, anak bangsa masyarakat pribumi indonesia. Tentang Pertimbangan hukum Judex Juris yang menyatakan termohon kasasi Pekerja PT. Indah Pontjan sudah memohon eksekusi ke Pengadilan Negeri, tapi proses eksekusi tersebut belum selesai, namun termohon kasasi sudah mengajukan perkara kepailitan, dengan demikian termohon kasasi belumlah melakukan prosedur pelaksanaan putusan sebagaimana ditentukan Undang-undang. Pertimbangan Judex Universitas Sumatera Utara Juris tersebut sangat keliru dan tidak berdasar atas hukum. Judex Juris berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk dipenuhinya putusan pengadilan harus melalui permohonan sita jaminan sita eksekusi melalui ketua pengadilan. Permohonan pailit adalah juga bermaksud untuk melakukan sita jaminansita eksekusi sita umum terhadap pihak yang tidak mau dengan sukarela melakukan prestasi-prestasinya termasuk atas suatu putusan pengadilan. Pasal 29 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berbunyi ” suatu tuntutan hukum dipengadilan yang diajukan terhadap debitor sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dan harta pailit dan perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit terhadap debitor”. Pasal 29 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatas menegaskan putusan kepailitan dapat dijadikan sebagai satu wadah pemenuhan kewajiban atas perkara-perkara terhadap debitor tidak terkecuali para mantan pekerjaburuh ic. Para Pemohon PK yang telah diputuskan mempuyai hak tagih dalam perkara PHI. Justru mekanisme kepailitan adalah pilihan yang benar dan adil agar putusan PHI yang non executable dapat dipenuhi oleh para pihak dalam suatu perkara yang tidak taat hukum dan juga tidak beritikad baik. Dalam perkara kepailitan debitorTermohon PK yang berniat baik dapat mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang agar terhindar dari putusan pailit, atau jika pun putusan pailit telah ditetapkandiputus maka debitor Universitas Sumatera Utara pailitTermohon PK, jika mempunyai niat baik, dapat mengajukan perdamaian sebelum verifikasi pencocokan utang. Kedua mekanisme tersebutlah yang harus dijalankan oleh debitorTermohon PK, bukan memaksa-maksa agar ditempuh penetapan eksekusi terlebih dahulu, apalagi terhadap putusan yang bersifat non-executable. Pada tahap aanmaning yang telah dilakukan, pihak yang dipanggil bila taat hukum harus melakukan pembayaran, tanpa alasan apapun. UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan adil memasukkan pasal-pasal PKPU dan perdamaian untuk menampung keinginan para debitor yang berniat baik, sehingga putusan kepailitan dapat ditunda sesuai dengan keinginan debitor tersebut. Tentang putusan Judex Juris para termohon kasasi, dalam perkara a quo adalah para mantan pekerja pada PT. Indah Pontjan, yang menuntut hak-haknya akibat pemutusan hubungan kerja ke Pengadilan Hubungan Industrial dan meskipun telah ada putusan PHI yang mengabulkan gugatan mereka dalam perkara perselisihan tersebut, namun tidak berarti mereka secara otomatis menjadi kreditur terhadap Perusahaan PT. Indah Ponjant sebagaimana diatur dalam Undang-undang Kepailitan. Pertimbangan hukum Judex Juris tersebut diatas tidak berdasar secara hukum. Judex Juris tidak bisa memberikan uraian hukum tentang kreditor yang dimaksud oleh UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Judex Juris hanya menyatakan namun tidak berarti mereka secara Universitas Sumatera Utara otomatis menjadi kreditur terhadap Perusahaan PT. Indah Ponjant sebagaimana diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Tanpa memberikan argumentasi dasar hukum tentang kreditor sesuai undang-undang kepailitan. Pertimbangan hukum tersebut sangatlah lemah, keliru, salah, tidak berdasar atas hukum. Kreditor didefinisikan dalam Pasal 1 ayat 2 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebagai berikut: ” kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan”. Dengan definisi kreditor tersebut diatas apakah para mantan pekerja Para Pemohon Penijauan Kembali memenuhi unsur digolongkan sebagai kreditor?. Judex Juris menyatakan dalam pertimbangannya bahwa para Termohon Kasasi adalah mantan Pekerja PT. Indah Pontjan. Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 ayat 4 dan 6 sebagai berikut: Ayat 4 “Hubungan Kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. Ayat 6 “upah adalah hak pekerjaburuh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerjaburuh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan danatau jasa yang telah atau akan dilakukan”. Universitas Sumatera Utara Para pemohon PK adalah mantan pekerjaburuh PT. Indah Pontjan dimana hubungan pemberi kerja dan tenaga kerja diatur oleh perjanjian berdasarkan undang- undang. Hak tenaga kerja berupa upah, yang merupakan dasar dalam perhitungan pesangon, penghargaan masa kerja, penggantian hak hak atas PHK, diatur sesuai undang-undang. Hak atas PHK berupa sejumlah uang yang tidak dibayar pemberi kerja PT. Indah Pontjan kepada para buruh dapat ditagih dimuka pengadilan. Penagihan tersebut telah dilaksanakan dalam perkara PHI Nomor 04G2008PHI-Mdn. Dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, bunyi putusannya adalah menghukum tergugat Termohon PK untuk membayar hak-hak para Penggugat Para Pemmohon PK sebesar Rp. 148.263.300,00. Dengan putusan tersebut jelaslah secara hukum PT. Indah Pontjan memiliki kewajiban utang yang harus dibayar kepada para pemohon pailit Para Pemohon PK. PT. Indah Pontjan sebagai si berhutang dan para pekerja si berpiutang. Bahwa hak atas PHK tersebut adalah merupakan utang pemberi kerja PT. Indah PontjanTermohon PK atas pekejaan yang telah dilakukan tenaga kerja Para pemohon PK. Dengan uraian tersebut diatas jelas dan berdasar secara hukum, para mantan pekerja para pemohon PK adalah kreditor terhadap PT. Indah Pontjan Termohon PK. Jika Judex Juris berpendapat pada mantan buruh Pemohon PK tersebut bukan kreditor, jadi sebagai apa pantasnya disebut mereka yang mempunyai piutang terhadap Para pemohon PK. Si berpiutang apakah tidak sama dengan kreditor Pasal Universitas Sumatera Utara 1235,1234,1239 KUHPerdata atau adakah sebutan lain terhadap si berpiutang selain penyebutan kreditor. Hal tersebut juga dipertegas dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan ”yang dimaksud dengan kreditor dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren, kreditor sparatis maupun kreditor preferen”. Pemohon Peninjauan Kembali dalam hal ini adalah kreditor konkuren Pasal 1131, 1132 KUHPerdata, yang memiliki hak yang sama dengan kreditor lain dalam mengajukan permohonan pailit. Tentang pemohon kasasi juga adalah suatu perusahaan, dengan begitu mempunyai banyak tenaga kerja dan para termohon kasasi adalah sebagian kecil dari tenaga kerja yang pernah bekerja pada perusahaan pemohon kasasi yang telah memenangkan gugatan PHI atas perkara a quo, seharusnya Termohon Kasasi menempuh prosedur pelaksanaan putusan secara eksekusi namun perkara ini tidak dapat dibuktikan secara sederhana. Para mantan pekerja Pemohon PK memang hanya sebagian dari sejumlah tenaga kerja Termohon PK, namun jumlah tenaga kerja yang melakukan permohonan pailit bukanlah merupakan suatu syarat yang ditetapkan dalam undang-undang kepailitan. Tentang sebagaian atau seluruh tenaga kerja untuk melakukan permohonan kepailitan tidak diatur oleh undang-undang, yang diatur adalah 2 dua atau lebih kreditor, jadi tidak ada kaitannya dengan jumlah tenaga kerja dalam perusahaan. Universitas Sumatera Utara Judex Juris salah dan keliru dalam mengambil kesimpulan sesuai dengan pertimbangan hukum diatas. Terjadi kesalahan nalar dalam mengambil kesimpulan. Kesalahan nalar yang disebut non sequitur tidak bisa diikuti kesalahan nalar seperti ini terjadi karena suatu kesimpulan tidak diturunkan dalam premis-premisnya Goris Keraf: Argumentasi dan Narasi, halaman 87. Pertimbangan hukum Judex Juris tersebut diatas mempunyai premis dan kesimpulan sebagai berikut: Premis Minor: Pemohon Kasasi juga adalah suatu perusahaan, dengan begitu mempunyai banyak tenaga kerja dan para pemohon Kasasi adalah sebagaian kecil dari tenaga kerja yang pernah bekerja pada perusahaan Pemohon Kasasi yang telah memenangkan gugatan PHI atas perkara a quo. Premis Mayor:Seharusnya termohon Kasasi menempuh pelaksanaan putusan secara eksekusi Kesimpulan : perkara ini tidak dapat dibuktikan secara sederhana. Kesimpulan yang ditarik tidak berdasarkan premis-premisnya, sehingga tidak absah. Tidak ada hubungan kesimpulan dengan pernyataan sebelumnya premisnya. Kesimpulan dipaksakan hanya demi seolah-olah tidak atau belum memenuhi syarat kepailitan. Penarikan proses kesimpulan yang tidak absah tidak sahih, oleh karena itu tidak berdasar secara hukum, dan harus ditolak. Tentang pertimbangan Judex Juris ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 ayat 4 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Universitas Sumatera Utara Pembayaran Utang tidak terpenuhi, pertimbangan tersebut tidak berdasar secara hukum. Tidak ada uraian-uraian diatas yang tidak mendukung tidak terpenuhinya Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 ayat 4 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berbunyi ”Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. Judex Juris tidak pernah menerangkan unsur-unsur mana dalam pasal ini yang tidak terpenuhi dalam pengajuan permohonan pailit dalam perkara a quo. Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal ini adalah tentang debitor, tentang 2 kreditor, tentang utang, tentang jatuh waktu dan tentang dapat ditagih. Tidak terpenuhinya unsur-unsur ini tidak pernah diuraikan oleh Judex Juris dalam pertimbangan hukumnya tidak atau kurang pertimbangan sehingga tidak berdasar atas hukum. Pasal 8 ayat 4 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang “ Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalampasal 2 ayat 1 terpenuhi. Dalam bagian penjelasan pasal ini dinyatakan, yang dimaksud dengan fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah: a. adanya fakta dua atau lebih kreditor dan Universitas Sumatera Utara b. adanya fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar Bahwa yang mengajukan permohonan pailit ada 5 kreditor dalam perkara a quo, selain itu masih ada 11 orang kreditor tambahan adanya kreditor lain, dan utang yang jatuh waktu dan tidak dibayar. Dengan demikian adanya fakta dua atau lebih kreditor telah terpenuhi. Sesuai putusan pengadilan dalam perkara No. 04G2008PHI-Mdn, tanggal 8 Januari 2008 menghukum PT. Indah Pontjan Termohon PK untuk membayar hak- hak Para Penggugat Pemohon PK sebesar Rp. 148.263.300,00 dan setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap pada tanggal 24 Maret 2009, putusan Mahkamah Agung No. 905 KPdt.Sus2008, maka kewajiban atau utang PT. Indah Pontjan tersebut telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Dengan demikian adanya utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar telah terpenuhi. Pertimbangan Judex Juris yang menyatakan tidak terpenuhi Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 ayat 4 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah berdasarkan pertimbangan yang kurang atau tidak cukup. Suatu putusan dengan tidak atau kurang cukup memberikan pertimbangan harus dibatalkan. Judex Juris tidak ada sedikitpun menyinggung dimana kesalahan pertimbangan Judex Factie Pengadilan Niaga Medan. Judex Factie telah menguraikan pertimbangan hukumnya dalam bingkai undang-undang kepailitan, dan telah benar serta berlaku adil. Namun untuk membatalkan putusan Judex Factie Universitas Sumatera Utara tersebut Judex Juris tidak pernah membahas pertimbangan hukum Judex Factie dan menunjukkan kelemahan-kelemahannya atau menunjukkan kesalahan penerapan hukum, sehingga putusan yang dibuat Judex Juris tidak sinkron dengan pertimbangan-pertimbangan hukumnya, oleh karena itu harus dibatalkan.

2. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung Peninjauan Kembali

Hakim pada tingkat PK telah memberikan pertimbangan hukumnya dalam permohonan kepailitan ini antara lain: Bahwa alasan-alasan Permohonan PK yang disampaikan tidak dapat dibenarkan, oleh karena tidak terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata dari hakim dalam Judex Juris, dengan pertimbangan sebagai berikut: a. Bahwa dikabulkannya permohonan pailit adalah merupakan ultimun remidium dalam penyelesaian suatu sengketa utang piutang. b. Bahwa faktanya Permohonan Pailit telah menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan melalui PHI, dan telah dikabulkan. c. Bahwa setelah berhasil, lalu dalam proses eksekusinya menempuh “jalur hukum lain” yaitu mengajukan melalui proses kepailitan, sementara proses eksekusi dalam perkara PHI belum final, hal ini akan memberikan dampak yang tidak baik sebagi Permohonan Pailit yang beritikad baik; d. Bahwa pertimbangan Judex Juris telah tepat sesuai hukum yang berkeadilan dan kepatutan serta kemanfaatan, dengan dasar pembuktian perkara menjadi tidak sederhana sehingga ketentuan Pasal ayat 4 UU No. 37 Tahun 2004 Universitas Sumatera Utara Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utangtidak terpenuhi. e. Bahwa berhubung dengan itu, dalam putusan judex juris, sehingga bukan merupakan alasan peninjauan kembali; Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata putusan Mahkamah Agung Nomor 401 KPdt.Sus2012 tanggal 27 Juni 2012 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum danatau undang-undang, sehingga permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali Rohani dan kawan-kawan tersebut harus ditolak: Bahwa oleh karena permohonan peninjauan kembali dari para Pemohon Peninjauan Kembali ditolak, para Pemohon Peninjauan Kembali harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat peninjauan kembali ini. Memperhatikan Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009, serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan. Universitas Sumatera Utara

3. Putusan Hukum Mahkamah Agung Peninjauan Kembali

Bahwa Mahkamah Agung dalam Peninjauan Kembali mengadili dengan amar sebagai berikut : a. Menolak permohonan peninjauan kembali dari para Pemohon Penijauan Kembali: 1. Rohani, 2. Parinem, 3. Poniyah, 4. Sawinem, 5. Suriati tersebut; b. Menghukum para Pemohon Peninjauan Kembalipara Pemohon Pailit untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjuan kembali yang ditetapkan sebesar Rp. 10.000.000.00 sepuluh juta rupiah. 4. Analisis Putusan Pertimbangan hukum Mahkamah Agung PK menyatakan permohonan pailit adalah merupakan ultimum remedium dalam penyelesaian sengketa utang piutang. Dengan kata lain pertimbangan hukum ini mempunyai arti kepailitan merupakan upaya terakhir ketika debitor benar-benar tidak dapat membayar utangnya. Mengacu pada kasus yang dianalisis ini adalah justru tidak tepat kalau Mahkamah Agung menolak permohonan para pemohon pailit dengan alasan permohonan pailit sebelumnya telah menempuh jalur hukum dengan cara mengajukan gugatan PHI, dan gugatan tersebut telah dikabulkan berupa pesangon, penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan upah proses. Kemudian PHI memerintahkan agar pihak pengusaha termohon pailit untuk membayarkan hak-hak Universitas Sumatera Utara dari pekerjaburuh, namun putusan tersebut tidak terlaksana meskipun telah berjalan selama 2 tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap. Seharusnya hakim agung Peninjauan Kembali dapat mempertimbangkan fakta ini secara cermat. Faktanya para pekerja tidak mendapat kepastian hukum dan keadilan atas kasus yang dialaminya meskipun telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sehingga para pekerjaburuh mengajukan upaya kepailitan untuk dapat memperoleh piutangnya yang timbul dari putusan pengadilan. Pengajuan permohonan pailit dalam kasus ini merupakan merupakan jalan akhir ultimum remedium yang dapat dilakukan oleh buruh dan hal itu tidak berlebihan adanya karena putusan PHI telah inkracht dan para pemohon pailit telah menyurati dan menegur termohon pailit pada tanggal 21 Oktober 2010, selanjutnya Pengadilan Negeri Medan telah membuat teguran kepada PT. Indah Ponjant agar melaksanakan putusan, akan tetapi tidak dilaksanakan sehingga para buruh Rohani,dkk mengajukan permohonan pailit tahun 2012. Dengan demikian ultimum remedium dalam kasus ini justru telah terbukti sebagai jalan terakhir untuk memperoleh pembayaran atas piutang. Meskipun termohon kasasi merupakan perusahaan solvent namun demi keadilan dan kepastian hukum bagi para pekerja atas hak-haknya, layak dan pantas kalau Mahkamah Agung pada tingkat Peninjauan Kembali menerima permohoan pailit para pekerja. Satu hal yang terpenting dalam kepailitan Indonesia syarat kepailitan cukup dengan telah terpenuhinya unsur adanya lebih dari satu kreditur, utang tersebut telah jatuh tempo atau dapat ditagih, dan tidak membayar lunas paling tidak satu utang. Universitas Sumatera Utara Hak pekerjaburuh atas upah yang belum dibayar oleh perusahaan, jika dikaitkan dengan Pasal 1 angka 2 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan, kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan. 117 Terlepas dari PT. Indah Pontjan yang dalam posisinya merupakan perusahaan yang masih solvent seharusnya hakim agung pada tingkat kasasi maupun peninjauan kembali seharusnya harus menarik dan mempertimbangkan secara hukum ketentuan Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata yang menyebutkan utang-piutang yang di istimewakan. Disisi lain hakim agung seharusnya dapat melihat dalam UU No. 37 Hak-hak normatif tenaga kerjaburuh yang lahir dari suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana dalam penelitian ini adalah utang karena berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang utang itu diartikan bukan dalam arti sempit. Utang tidak diartikan sebagai kewajiban untuk membayar utang yang timbul karena perjanjian utang piutang saja, akan tetapi dalam arti luas, yaitu merupakan setiap kewajiban debitor yang berupa kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada kreditor, baik kewajiban itu timbul karena perjanjian utang-piutang maupun timbul karena ketentuan undang-undang, dan timbul karena putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. 117 Bintang Ady, Permohonan Kepailitan Terhadap Perusahaan yang Diajukan PekerjaBuruh yang Upahnya Belum Dibayar Ditinjau Dari Hukum Positif http:fh.unpad.ac.idrepo20130 1 , Diakses tanggal 9 Mei 2014, Pukul 16:29 WIB. Universitas Sumatera Utara Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pekerjaburuh tidak terlindungi apabila terjadi kepailitan terhadap perusahaan dimana posisi pekerjaburuh bersifat pasif. Mencermati pertimbangan hukum hakim agung dalam kasus yang dianalisis ini, sepertinya hakim agung perhatiannya luput dari ketentuan Pasal 29 UU No. 372004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang pada pokoknya menyatakan tuntutan hukum kreditur atas utang debitur gugur demi hukum bila ada putusan pailit terhadap debitur. Mengacu kepada ketentuan ini, secara jelas dapat dikatakan walaupun seandainya hakim agung menerima permohonan pailit Rohani, dkk tidaklah dapat dikatakan serta merta melanggar ketentuan hukum acara perdata karena seandainya permohonan tersebut dikabulkan dengan sendirinya permohonan eksekusi yang pernah diajukan termohon meskipun belum terlaksana. Berdasarkan ketentuan ini adalah suatu pertimbangan yang tidak kuat dasar hukumnya kalau hakim agung menolak permohonan pailit Rohani, dkk, karena proses eksekusi belum selesai dilakukan. Dalam permohonan kepailitan yang diajukan oleh Rohani, dkk bahwa hak-hak normatif yang pembayarannya tidak dilakukan oleh termohon pailit PT.Indah Pontjan meskipun telah dimohonkan eksekusi berdasarkan pengertian utang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 UU No.37 tahun 2004 adalah merupakan utang. Utang tersebut lahir dari putusan Mahkamah Agung No. 03PKPdt.Sus2010 tanggal 16 Pebruari 2010. Universitas Sumatera Utara Hal inilah yang luput dari pertimbangan hukum Mahkamah Agung PK. Majelis hakim PK tidak memberikan solusi hukum atas ketidak pastian hukum atas hak-hak tenaga kerjaburuh Rohani, dkk yang diakibatkan oleh tafsir yang selalu pada persoalan prosedural yakni hukum acara dan tidak berusaha untuk menggali nilai-nilai materil dalam kepailitan khususnya tentang pengertian utang dalam arti yang luas termasuk yang timbul dari putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana dasar pengajuan pailit Rohani, dkk. Majelis hakim PK seharusnya bersifat progresif, berani membuat terobosan hukum untuk memberi kepastian hukum terhadap para tenaga kerjaburuh yang memperjuangkan haknya karena tak kunjung memperoleh kepastian hukum dan keadilan dengan membuat putusan sendiri yang lebih responsif. Sehubungan dengan itu tidak berlebihan kalau dikatakan hakim agung pada tingkat PK telah menjadikan prosedur sebagaimana dalam hukum acara perdata sebagai tujuan tegaknya hukum bukan mencari tujuan hukum yang sesungguhnya yakni untuk kepastian, kemanfaatan dan keadilan substantif bagi masyarakat pencari keadilan. Perihal pembuktian sederhana UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa proses persidangan permohonan kepailitan sebagai sebuah mekanisme untuk menyelesaikan masalah utang piutang dilakukan secara adil, terbuka, cepat dan efektif. Untuk melaksanakan mekanisme penyelesaian yang ditawarkan undang-undang maka proses acara pemeriksaan yang digunakan lebih cepat karena adanya pembatasan waktu proses Universitas Sumatera Utara pemeriksaan kepailitan dan dengan sistem pembuktian yang digunakan adalah pembuktian secara sederhana. Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah mengatur proses pembuktian sederhana untuk pengabulan suatu permohonan pernyataan pailit, yaitu: Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. 118 “Yang dimaksud dengan “fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana” adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dari fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi Begitu juga dengan ketentuan Pasal 8 ayat 4 UU KPKPU menyebutkan bahwa: “Permohonan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 telah terpenuhi.”. Selanjutnya dalam penjelasan dijelaskan maksud dari “terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana” bahwa: 118 UU No. 37 Tahun 2004, Op.Cit Universitas Sumatera Utara dijatuhkannya putusan pernyataan pailit” Pembuktian secara sederhana lazim disebut dengan pembuktian sumir. 119 Keberadaan Pasal 8 ayat 4 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bertujuan mewajibkan hakim untuk tidak menolak permohonan pernyataan pailit apabila dalam perkara itu dapat dibuktikan secara sederhana fakta dan keadaannya, yaitu fakta dan keadaan yang merupakan syarat-syarat kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Asas pembuktian sederhana terpenuhi apabila dalam suatu permohonan pernyataan pailit terdapat fakta atau keadaan yang secara terbukti secara sederhana bahwa prasyarat pernyataan pailit dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat terpenuhi. Jadi dapat disimpulkan, untuk memutus suatu permohonan pernyataan pailit tidak hanya harus memenuhi prasyarat pernyataan pailit dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, akan tetapi harus pula terpenuhi asas pembuktian sederhana dalam Pasal 8 ayat 4 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 120 119 Andi Muhammad Asrun, A. Prasetyyantoko,dkk, Analisa Yuridis dan Empiris Peradilan Niaga, Jakarta: Pusat Informasi dan Pengkajian Hukum Ekonomi,2001, hal.43 120 Sutan Remy Sjahdeni, Op.Cit, hal. 149 Akan tetapi bukanlah berarti bahwa apabila ternyata dalam perkara yang diajukan permohonan pernyataan pailitnya itu tidak dapat dibuktikan Universitas Sumatera Utara secara sederhana fakta dan keadaannya, maka majelis Hakim Pengadilan Niaga atau Majelis Hakim Kasasi wajib menolak untuk memeriksa perkara itu sebagai perkara kepailitan karena perkara yang demikian itu merupakan kewenangan pengadilan negeri dalam hal ini pengadilan perdata biasa. Oleh karena itu baik Majelis Hakim Pengadilan Niaga maupun Majelis Hakim Kasasi wajib tetap memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit itu, sedangkan fakta dan keadaan yang tidak dapat dibuktikan secara sederhana tetap menjadi tanggung jawabnya dan bukan karena kenyataan yang demikian itu majelis hakim kepailitan harus terlebih dahulu mempersilahkan para pihak untuk meminta putusan Pengadilan Negeri yang dalam hal ini adalah pengadilan perdata biasa terkait dengan fakta dan keadaan pokok perkaranya. 121 Permohonan pernyatan pailit yang diajukan oleh kreditor, pembuktian sederhana dilakukan untuk menagih utang debitor dilakukan secara sederhana juga. Namun dalam praktik pengadilan antara pengadilan niaga dan Mahkamah Agung sering terjadi perbedaan penafsiran dan inkonsistensi dari para hakim yang mengadili baik dalam tingkat Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi dan PK. Apa yang telah diputus pengadilan Niaga tentang perihal pembuktian sederhana, belum tentu hakim pada Mahkamah Agung Tingkat Kasasi dan PK dapat menerima putusan tersebut. Tidak jarang majelis hakim Mahkamah Agung justru mengatakan tidak terbukti secara sederhana. 121 Ibid, hal. 150 Universitas Sumatera Utara Terjadinya perbedaan tafsir hakim dalam penerapan asas pembuktian sederhana dalam praktik pengadilan khususnya dalam kasus ini dengan mengacu pertimbangan hukum hakim pada tingkat Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung disebabkan adanya perbedaan cara pandang mengartikan utang, pengertian jatuh tempo dan pengertian kreditor. Dalam pembuktian sederhana terdapat 3 tiga hal yang harus dibuktikan yaitu: 1. Kebenaran adanya dua kreditor atau lebih yang mempunyai hubungan hukum dengan debitor , 2. Kebenaran adanya minimal salah salah satu utang yang belum dibayar lunas, serta 3. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Ketiga syarat tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, satu syarat saja tidak terpenuhi maka pemeriksaan dengan pembuktian secara sederhana tidak dapat dilaksanakan. Berbagai penjelasan sebagaimana diuraikan diatas dihubungkan dengan 3 tiga syarat pembuktian sederhana dalam kasus yang sedang dianalisis ini, menurut penulis untuk membuktikan adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih Pengadilan Niaga mendasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang menyatakan bahwa debitor dapat dinyatakan pailit apabila telah terbukti bahwa debitor tersebut mempunyai paling tidak satu kreditor yang tagihannya telah jatuh tempo dan dapat Universitas Sumatera Utara ditagih, juga mempunyai minimal satu kreditor lainnya. Dari definisi mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, maka apabila kita melihat posisi kasus pada para pihak yang bersengketa, maka pengajuan permohonan pailit yang diajukan Pemohon Pailit Kreditor. Dalam hal ini adalah tenaga kerja buruh Rohani, dkk adalah sudah terpenuhi syarat-syaratnya. Pengajuan permohonan pailit yang diajukan pemohon pailit Rohani, dkk dapat diketahui bahwa termohon pailit memiliki dua kreditor atau lebih Cansursus Creditorum, yaitu diantaranya : 1. Rohani dan kawan-kawan 2. Tukilah dan kawan-kawan Dari adanya beberapa kreditur, jelas terdapat semua utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih yaitu utang pihak Termohon pailit terhadap Pemohon Pailit yang jatuh tempo sejak putusan perkara hubungan industrial berkekuatan hukum tetap yakni Putusan Mahkamah Agung No. 03PKPdt.Sus2010 tanggal 16 Pebruari 2010 yakni sebesar Rp. 125.552.931,- seratus dua puluh lima juta lima ratus lima puluh dua ribu Sembilan ratus tiga puluh satu rupiah demikian juga utang kepada Tukilah,sebesar Rp. 24.993.372,-, Tukini, sebesar Rp. 25.638.341,-Sutrisno, sebesar Rp. 14.608.321,-, Jimen, sebesar Rp. 23.092.952,-, Supini, ai sebesar Rp. 25.638.341,-, Karini, sebesar Rp. 23.296.484,-, Sarni, sebesar Rp. 24.993.410,-, Tukirah, sebesar Rp. 22.448.021,-, Suriati, sebesar Rp. 24.993.410,-, Tukimah, sebesar Rp. 24.993.410,-, Legiem, sebesar Rp. 24.993.410,-. Dengan demikian syarat Universitas Sumatera Utara terhadap pengajuan Permohonan Pailit inipun juga terpenuhi dikarenakan syarat pemohon pailit diajukan oleh Rohani, dkk yang berkedudukan sebagai kreditor dari Termohon Pailit. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen yang terkait

Analisis Permohonan Pailit Terhadap Perseroan Terbatas oleh Tenaga Kerja ( Studi Putusan Pengadilan Niaga Nomor. 01/Pailit/2012/PN.Niaga.Mdn Jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor.401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor.195 P

16 158 185

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Analisis Hukum Terhadap Permohonan Pailit Atas Developer Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Apartemen ( Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 331 K/PDT. SUS/2012 Tanggal 12 Juni 2012)

3 233 164

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Analisis Utang Pada Beberapa Putusan Perkara Kepailitan Pada Pengadilan Niaga Dan Mahkamah Agung

0 23 56

Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung Dalam Tindak Pidana Pemerkosaan (Putusan Mahkamah Agung Nomor 840 K/Pid.Sus/2009)

0 6 12

Pengujian Peraturan Kebijakan (Beleidsregel) Di Mahkamah Agung (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/Hum/2009)

6 109 108

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Permohonan Pailit Terhadap Perseroan Terbatas oleh Tenaga Kerja ( Studi Putusan Pengadilan Niaga Nomor. 01/Pailit/2012/PN.Niaga.Mdn Jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor.401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Peninja

0 2 34

Analisis Permohonan Pailit Terhadap Perseroan Terbatas oleh Tenaga Kerja ( Studi Putusan Pengadilan Niaga Nomor. 01/Pailit/2012/PN.Niaga.Mdn Jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor.401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor.195 P

0 1 15

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah

1 1 40