Bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi PT. Indah Pontjan tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan No.01PAILIT2012PN.Niaga.Mdn. tanggal 23 April
2012 serta Mahkamah Agung mengadili sendiri. Bahwa oleh karena permohonan kasasi dikabulkan dan termohon kasasi
berada di pihak yang dikalahkan, maka ia harus membayar semua biaya perkara baik dalam tingkat Pengadilan Niaga maupun dalam tingkat kasasi.
Memperhatikan Pasal-Pasal dari Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang No.
37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang serta perundang-undangan lain yang bersangkutan.
3. Putusan Hukum Mahkamah Agung Kasasi
Putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam Permohonan Kepalitan ini adalah sebagai berikut:
a. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. Indah Pontjan
tersebut, Membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan No. 01Pailit20012PN.Niaga.Mdn. tanggal 23 April 2012.
Universitas Sumatera Utara
b. Mengadili Sendiri dengar amar menolak permohonan pailit untuk
seluruhnya. c.
Menghukum Termohon Kasasipara Pemohon Pailit untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi
ditetapkan sebesar RP. 5.000.000 lima juta rupiah.
4. Analisis Putusan
Suatu putusan yang baik sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan, terutama untuk memenuhi kebutuhan teoritis dan kebutuhan praktis. Memenuhi
kebutuhan teoritis mempunyai arti bahwa isinya harus dapat dipertanggung jawabkan dari sudut ilmu hukum dan lebih baik lagi kalau putusan hakim tersebut dapat
membentuk atau menemukan hukum baru. Sedangkan kebutuhan praktis maksudnya bahwa dengan putusan hakim itu diharapkan dapat menyelesaikan persoalansengketa
hukum yang ada dan sedapat mungkin dapat diterima pihak-pihak yang berperkara khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
112
Mengacu pada putusan kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor.401 KPdt.Sus2012, tidak terlihat analisis dan argumentasi hakim kasasi yang
mengadili melainkan hanya membuat satu kesimpulan dari alasan-alasan permohonan Putusan yang baik terutama terlihat dari pertimbangan hukumnya, karena
pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari putusan. Pertimbangan hukum berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari hakim yang
memeriksa perkara.
112
Djamanat Samosir, Op.Cit, hal. 273
Universitas Sumatera Utara
kasasi. Seharusnya hakim harus membuat analisis yang objektif dan rasional dan hukum apa yang diterapkan.
Ketidakjelasan pertimbangan hukum Mahkamah Agung Kasasi berupa argumentasi dan pendapat hukum membuat putusan ini menjadi kering. Hal ini
terlihat dalam pertimbangan hukum Judex Juris, yang menyatakan para pemohon kasasi adalah mantan pekerja PT. Indah Pontjan, yang menuntut hak-haknya akibat
PHK ke PHI dan meskipun telah ada putusan PHI yang mengabulkan gugatan mereka dalam perkara perselisihan tersebut, namun tidak berarti mereka secara
otomatis menjadi kreditor terhadap PT. Indah Ponjant sebagaimana diatur dalam Undang-undang Kepailitan.
Selanjutnya majelis hakim kasasi juga menyatakan dalam pertimbangannya pemohon kasasi juga adalah suatu perusahaan, mempunyai banyak tenaga kerja dan
termohon kasasi adalah sebagaian kecil dari tenaga kerja yang pernah bekerja pada pemohon kasasi. Pertimbangan hukum ini tidak jelas maksudnya, apakah majelis
hakim kasasi hendak menyatakan perlunya ditegakkan asas kelangsungan usaha sehingga Rohani, dkk tidak otomatis menjadi kreditor.
Seandainya maksud pertimbangan ini adalah bermaksud menyatakan perlunya asas kelangsungan usaha diterapkan dalam perkara ini, sehingga perusahaan debitor
PT. Indah Pontjan harus tetap dilangsungkan, seharusnya majelis hakim harus mempertimbangkan terlebih dahulu tentang latar belakang perkara ini dengan
menggunakan kacamata kepastian hukum dan keadilan sebagaimana tujuan hukum itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Disisi lain majelis hakim seharusnya tidak mengabaikan ketentuan Pasal 1 ayat 2 yang menyebutkan” kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena
perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan. Berdasarkan definisi ini para mantan pekerja Rohani,dkk adalah sebagai kreditor. Tidak
dilaksanakannya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap oleh termohon PK untuk membayar hak-hak para para pemohon PK jelaslah secara hukum
PT. Indah Pontjan memiliki kewajiban utang yang harus dibayar kepada para pemohon pailit.
Dengan demikian tanpa bermaksud untuk berpikir positivistiv legalistic, dan mengesampingkan asas kelangsungan usaha, permohonan pailit ini telah tepat
diajukan sebagai solusi atas piutang buruh yang tidak dibayar PT. Indah Pontjan yang dalam faktanya tidak punya itikat baik untuk membayar utangnnya, sehingga jalan
terakhir harus dengan menempuh upaya kepailitan. Pertimbangan hukum dan putusan majelis hakim kasasi dalam perkara ini
mencederai rasa keadilan masyarakat. Majelis hakim kasasi tidak adil dalam memeriksa karena syarat dengan prosedur, formalitas, kaku dalam memberikan
putusan. Cara pandang hakim terhadap hukum sangat kaku dan normatif prosedural dalam melakukan konkritisasi hukum.
113
Salah satu yang menjadi pertimbangan hukum majelis hakim kasasi sehingga menolak permohonan pailit yang diajukan pekerjaburuh Rohani, dkk adalah
113
Zain Al Muchtar, Antara Keadilan Substantif dan Keadilan Prosedural, http:sergie- zainovsky.blogspot.com201210, diakses tanggal 9 Mei 2014 Pukul 11:40 WIB.
Universitas Sumatera Utara
eksekusi putusan PHI belum selesai kemudian Rohani dkk mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga. Pertimbangan ini dapat dipahami secara prosedural.
Namun untuk menyatakan pertimbangan hukum ini telah tepat dan benar dari sisi kepastian hukum dan keadilan kiranya perlu dianalisis lebih mendalam lagi.
Pasal 57 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, telah merumuskan secara tegas bahwa hukum
acara yang berlaku di PHI adalah hukum acara perdata, kecuali beberapa hal yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial. Namun karena pengadilan hubungan industrial merupakan peradilan khusus dalam kasus perdata, beberapa hal dalam hukum acara perdata dirasakan
kurang tepat digunakan dalam kasus PHI. Seperti halnya untuk pelaksanan putusan kalau mengikuti hukum acara perdata maka pelaksanaan putusan tersebut akan sangat
lambat dan mungkin saja putusan itu tidak dapat dilaksanakan dan hanya punya kekuatan diatas kertas saja.
Salah satu yang merupakan kelemahan dari Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dimana undang-undang ini tidak mengatur secara
khusus upaya hukum apa yang dilakukan terhadap putusan PHI yang sudah inkracht. Dalam situasi demikian dalam praktek para hakim merujuk pada hukum acara perdata
yang berlaku, yaitu permohonan eksekusi yang diatur dalam Pasal 195 sampai Pasal 208 HIR.
Ketentuan Pasal 196 HIR207 RBg mengatur tentang pelaksanaan putusan yang diakibatkan dari tindakan tergugat yang enggan secara suka rela melaksanakan
Universitas Sumatera Utara
isi putusan untuk membayar sejumlah uang, sehingga pihak penggugat sebagai pihak yang dimenangkan mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepada Ketua
Pengadilan Negeri agar putusan dapat dijalankan. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 197 ayat 1 HIR208 RBg, setelah aanmaning dilakukan oleh pengadilan yang
mengeksekusi, langkah selanjutnya yang dilakukan oleh pengadilan melalui permohonan pemohon adalah melaksanakan sita eksekutorial terhadap barang-barang
bergerak milik pihak yang dikalahkan. Dalam perkara yang dianalisis ini, jika permohonan eksekusi sudah dilakukan
dan pengusaha tetap tak mau membayarkan pesangon karena tidak adanya kemauan dan kepatuhan secara sukarela untuk menjalankan putusan, maka pekerja bisa
memohonkan sita eksekutorial atas barang-barang milik pengusaha. Permohonan sita eksekutorial itu tetap diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Setelah semua
barang-barang disita, kemudian akan dilelang dimana hasilnya akan digunakan untuk membayarkan kewajiban pengusaha kepada pekerja dan juga biaya-biaya yang timbul
sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 200 ayat 1 HIR Pasal 215 RBg
dimana intinya menyatakan bahwa penjualan oleh orang yang melakukan penyitaan atau orang yang ditetapkan secara khusus oleh Ketua Pengadilan Negeri, yaitu
apabila penjualan itu berhubungan dengan eksekusi putusan yang isinya membayar sejumlah uang diluar biaya perkara.
Dalam perkara yang dianalisis ini, pemohon pailit sudah pernah mengajukan permohonan eksekusi pada tanggal 21 Oktober 2010, dan atas permohonan eksekusi
Universitas Sumatera Utara
tersebut Pengadilan Negeri Medan telah membuat Berita Acara Peneguran aanmaning tanggal 24 Pebruari 2011. Namun eksekusi tersebut belum atau tidak
dijalankan oleh Pengadilan Negeri Medan hingga permohonan pailit ini kemudian didaftarkan pada tanggal 9 Maret 2012 di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Medan. Dalam rentang tenggang waktu yang lamanya demikian, para buruh tidak memperoleh kepastian hukum atas putusan PHI yang sudah berkekuatan hukum tetap,
apakah tepat kalau Mahkamah Agung tingkat Kasasi menolak permohonan pailit para pemohon dengan alasan pelaksanaan eksekusi belum selesai?. Setelah menelusuri
berbagai literatur dan menghubungkannya dengan nilai kepastian hukum dan keadilan secara substantif. Keputusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi tidak
didasarkan pada nilai keadilan substantif. Selain mengajukan permohonan eksekusi dan sita eksekusi menurut
prosedural hukum acara perdata, mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga Medan agar hak-hak normatif berupa pesangon, uang penghargaan masa kerja,
uang penggantian hak dan upah proses yang sudah ditetapkan berdasarkan putusan PHI yang sudah inkracht dapat diterima menurut logika hukum.
Salah satu alasan utama adalah, ketika permohonoan eksekusi sudah diajukan pekerja Rohani, dkk dan Pengusaha PT. Indah Pontjan tidak mau melaksanakan,
maka utang si pengusaha menjadi dapat ditagih. Merujuk pada UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kreditur
dapat menggugat pailit seorang debitur. Syaratnya, ada satu utang yang sudah jatuh
Universitas Sumatera Utara
tempo dan dapat dibayar, debitur memiliki dua kreditur atau lebih, dan pembuktiannya sederhana.
Mengenai syarat untuk dapat dinyatakan pailit, Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
menyebutkan bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Dalam permohonan pailit ini
PT. Indah Pontjan mempunyai utang yang lahir karena putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, selain kepada Rohani, dkk juga kepada Tukini, dkk
10 orang. Memperhatikan ketentuan di atas, syarat mengenai keharusan adanya dua atau
lebih kreditor dikenal sebagai concursus creditorium, jika ditarik kedalam kasus ini, dapat diketahui bahwa syarat untuk dapat dinyatakan pailit melalui putusan
pengadilan telah terpenuhi yakni 2 orang kreditor, dalam hal ini kreditor Rohani dkk dan 10 orang kreditor lainnya yakni Tukini, dkk. Hakim yang mengadili permohonan
pailit ini, seharusnya dapat memahami syarat bahwa debitor harus mempunyai minimal dua kreditor, sebagai salah satu filosofi lahirnya hukum kepailitan yang
sudah terpenuhi dalam perkara ini. Syarat ini hanya dapat dikecualikan apabila debitor PT. Indah Pontjan hanya
memiliki satu orang kreditor, maka eksistensinya dari UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang kehilangan rasio
Universitas Sumatera Utara
d’etre-nya. Perhonan pailit tak perlu dilakukan cukup dengan mendesak dan dan menindaklanjuti permohonan eksekusi yang belum terlaksana.
Tentang syarat tidak membayar lunas sedikitnya satu utang. Menurut Prajoto, Pengertian tidak membayar harus diartikan :
114
a. Menolak untuk membayar ;
b. Cidera janji wan prestasi ;
c. Keadaan tidak membayar tidak sama dengan keadaan bahwa kekayaan
debitor tidak cukup untuk melunasi seluruh hutangnya ; d.
Tidak diharuskan bahwa debitor tidak memiliki kemampuan untuk membayar onvermogen dan memikul seluruh hutangnya ;
e. Istilah “tidak membayar” harus diartikan sebagai naar de letter, yaitu
debitor pada saat diajukan permohonan pernyataan pailit telah sama sekali berhenti membayar hutangnya.
Syarat, debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang, sebagaimana diuraikan diatas, dalam perkara ini telah terpenuhi dimana PT.Indah Pontjan selaku
termohon pailit tidak ada melunasi utangnya yang lahir karena putusan Pengadilan Negeri Medan baik terhadap Tukini, dkk maupun terhadap pemohon pailit Rohani,
dkk. Persyaratan lain yakni utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Melihat dari
asal usul utang PT. Indah Pontjan baik terhadap pemohon pailit Rohani, dkk maupun terhadap Tukini, dkk, utang tersebut telah jatuh waktu sejak putusan dalam
perkara PHI berkekuatan hukum tetap dan tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan Termohon pailitPT. Indah Pontjan atas putusan tersebut.
114
Prajoto, RUU Kepailitan Ditinjau dari Aspek Perbankan dalam Sunarmi, Hukum Kepailitan, Edisi 2, Jakarta:PT Sodmedia, 2010 , hal. 32
Universitas Sumatera Utara
Bertolak dari fakta-fakta ini, putusan Mahkamah Agung kasasi dalam perkara ini hanya melihat kasus ini dalam keadilan prosedural semata-mata, yakni hukum
acara perdata. Mahkamah Agung tidak menggali keadilan substantif. Seharusnya hakim dalam perkara ini mampu menjadi living interpreator yang cermat menangkap
semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak semata-mata terbelenggu oleh kekakuan normatif prosedural yang ada dalam dalam hukum acara perdata.
Dalam perkara ini seharusnya hakim memiliki keberanian mengambil keputusan sebagaimana hakim pengadilan niaga yang memandang kasus ini diajukan
karena pemohon tidak kunjung mendapat kepastian hukum dan keadilan sehingga pemohon tenaga kerja mengajukan permohonan pailit.
Keputusan menolak perhonan pailit para pemohon dalam perkara ini, hakim kasasi hanya melihat keadilan dalam proses hukum. Hakim hanya melihat keadilan
prosedural terkait kepatutan, dan transparansi dari proses pembuatan putusan, hanya melihat konsep hak-hak dan membebani kesalahan-kesalahan akibat prosedur yang
tidak selesai. Keadilan Substantif didalam Black’s Law Dictionary 7 th Edition dimaknai
sebagai: “Justice Fairly Administered According to Rules of Substantive law, Regarrdless of Ani Procedural Errors Not Affecting the Litigant’s substantive
Rights”. Artinya keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak
terpengaruh pada hak-hak substantif penggugat.
Universitas Sumatera Utara
Mengacu pada putusan yang dianalisis dapat saja dipahami secara formal prosedural alasan hakim kasasi dalam pertimbangannya mengatakan menolak
permohonan pailit karena ada suatu proses eksekusi yang belum selesai, namun secara materil pekerjaburuh mengajukan permohoan pailit karena didasarkan pada
Pasal 2 ayat 1 UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyebutkan, “Debitor yang mempunyai dua
atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. Dimana para Pemohon Pailit terdiri dari 6 enam orang, sudah sangat nyata
membuktikan Termohon pailit Debitor mempunyai lebih dari 1 satu Kreditor, tepatnya mempunyai 5 lima orang Kreditor.
Seharusnya hakim dapat mengabaikan masalah prosedural yang belum selesai dalam tahap eksekusi dan memberi rasa keadilan dengan berpedoman kepada utang
yang sudah jatuh tempo dan dapat dibayar, debitur memiliki dua kreditur atau lebih sebagaimana diatur dalam Undang-Undang kepailitan.
Harus dipahami prosedur eksekusi sebagaimana dimuat dalam hukum acara perdata hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan hukum yakni kepastian
hukum, kemanfaatan dan keadilan. Namun jika semata-mata hal itu diterapkan dalam perkara ini sebagaimana dalam putusan Mahkamah Agung dalam kasasi justru
putusan tersebut tidak mencerminkan kepastian hukum dan keadilan terutama keadilan substantif.
Universitas Sumatera Utara
Satu hal prinsip hukum dalam putusan Mahkamah Agung yang sangat terlanggar dan hakim tidak dapat memaknainya adalah “bukan manusia untuk hukum,
melainkan hukum untuk manusia”. Putusan Mahkamah Agung ini telah memunculkan suatu sikap yang membuat masyarakat kehilangan kepercayaan
terhadap norma-norma hukum, kehilangan kepercayaan terhadap penegakan hukum yang pada akhirnya dapat meningkatkan tindakan main hakim sendiri eigenrichting.
Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan rechtgerechtigheid, kemanfaatan rechtsutiliteit, dan kepastian hukum
rechtszekerheid.
115
Salah satu paradigma hukum kepailitan adalah adanya nilai keadilan sehingga hukum dapat memberikan tujuan yang sebenarnya yaitu memberikan manfaat,
kegunaan dan kepentingan hukum. Satjipto Rahardjo menyatakan “Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti, bahwa kehadirannya adalah untuk
melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat”.
116
Dikaitkan dalam anailis kasus dalam penelitian ini, pemberlakuan prinsip keadilan dalam hukum kepailitan adalah, apabila debitor mempunyai paling sedikit
dua kreditor dan tidak membayar lunas salah satu utangnya yang sudah jatuh waktu tidak melakukan pembayaran diharapkan tidak lari dari tanggung jawab untuk
melaksanakan pembayaran terhadap kreditor dengan cara penjualan seluruh aset
115
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis adan Sosiologis, Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk, 2002, hal. 85.
116
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Hukum, Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 2002, hal. 60.
Universitas Sumatera Utara
debitor dan hasilnya akan dibagi kepada kreditor secara adil dan merata serta berimbang.
Kaitannya dalam kasus ini, buruh yang telah mengalami suatu kondisi yang tidak adil unfair prejudice selaku kreditor. Seharusnya hakim pada tingkat
Mahkamah Agung melalui hukum kepailitan dapat mengembalikan keadaan sehingga keadilan yang telah hilang the lost justice kembali dapat ditemukan oleh pihak yang
telah dirugikan, atau terjadi keadilan korektif menurut klasifikasi Aristoteles.
C. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor.195 PKPdt. Sus2012
1. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali
Para Pemohon Peninjauan Kembali keberatan atas pertimbangan hukum Judex Juris yang menyatakan perkara a quo adalah tentang perselisihan perburuhan yaitu
belum dilaksanakannya putusan Perselisihan Hubungan Industrial. Perkara a quo adalah perkara kepailitan dimana ada yang berpiutang kreditor yaitu Para Pemohon
Peninjauan Kembali dan ada yang berutangdebitor Termohon Peninjauan KembaliPT. Indah Pontjant, dimana utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat
ditagih, tidak dibayar atau dilunasi. Bahwa perkara perselisihan perburuhan telah final, telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, bahkan telah ada putusan peninjauan kembali. Sehinga tidak adalagi perkara perburuhan. Tetapi setelah adanya putusan tersebut munncullah hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi. Dalam hal ini para pemohon PK ditetapkan mempunyai hak tagih yang berpiutangkreditor dan Termohon PK mempunyai
Universitas Sumatera Utara
kewajibanutang sebagai debitor untuk membayar tagihan sesuai putusan PHI No.041 G2008PHI-Mdn, tanggal 8 Januari 2008.
Pemenuhan pembayaran atas piutang tersebut ditempuh melalui mekanisme kepailitan adalah sah secara hukum, tidak bertentang dengan Undang-Undang.
Tentang pertimbangan hukum Judex Juris yang menyatakan seharusnya Termohon Kasasi para pekerja setelah putusan PHI tersebut berkekuatan hukum
tetap dan pihak perusahaan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, dapat meminta pelaksanaan putusan tersebut dengan cara eksekusi kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut Pasal 57 UU No. 2 Tahun 2004 Jo pasal 197 HIR. Pertimbangan hukum Judex Juris tersebut adalah sangat keliru dan
tidak berdasar secara hukum karena tidak ada undang-undang yang mengatur “urutan-urutan” untuk pemenuhan suatu piutang harus melalui penetapan eksekusi
terlebih dahulu, dan tidak dapat melalui mekanisme kepailitan. Kata “seharusnya” adalah bersifat imperatif, dengan demikian harus merujuk
kepada suatu norma, suatu aturan perundang-undangan. Namun Judex Juris tidak menunjukkan undang-undang mana untuk menyatakan untuk menyatakan seharusnya
dalam pertimbangan tersebut. Dengan demikian pertimbangan hukum Judex Juris tersebut tidak berdasar secara hukum dan harus ditolak.
Tentang pertimbangan hukum ini setelah kata “seharusnya” Judex Juris melanjutkan dengan menyatakan kata ”dapat” meminta pelaksanaan putusan… dan
seterusnya”. Kata dapat menunjukkan kepada “Hak”. Hak tersebut boleh dipakai atau tidak dipakai, tergantung pada para pemohon PK, yang punya hak.
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana dikemukakan dalam permohonan terdahulu pada dasarnya telah dilakukan aanmaning terhadap Termohon PK untuk melakukan pembayaran sesuai
dengan putusan PHI tersebut, namun Termohon PK selalu mempunyai itikat buruk bad faith dan tidak pernah dengan rela membayar hak-hak mantan pekerja tersebut
ic. Para Pemohon PK walaupun telah mempuyai kekuatan hukum tetap. Putusan PHI menetapkan sejumlah uang yang menjadi hak Para Pemohon PK
sebesar Rp.148.263.300,00 Putusan No. 04G2008PHI-Mdn tanggal 8 Januari 2008 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tanggal 16 Pebruari 2010
berdasarkan putusan Mahkamah Agung No. 905.KPdt.Sus2010. Penetapan tentang sita jaminan conservatoir beslaag dalam putusan PHI
tersebut tidak ada, sehingga putusan PHI No. 04G2008PHI-Mdn, tersebut bersifat Non-Executable tidak dapat di eksekusi.
Untuk dikabulkannya suatu permohonan sita jaminan sita eksekusi harus terlebih dahulu telah ada permohonan sita jaminan dalam gugatan dan objek eksekusi
sudah pasti, menyebutkan rinci identitas yang melekat pada barang seperti jenis atau bentuk barang, letak dan batas-batas tanah, nama pemilik, nomor rekening.
Permintaan sita yang tidak menyebut secara jelas identitasnya, dianggap merupakan permintaan yang kabur objeknya sehingga tidak mungkin diletakkan sita Yahya
Harahap, Hukum Acara Perdata, halaman 286, 291. Para Termohon PK memahami putusan PHI tersebut non-executable, sehingga
dengan itikat buruk tidak mau memenuhi putusan PHI itu. Sehubungan dengan itu jika Judex Juris mempunyai pendapat bukum yang sama dengan Termohon PK, hal
Universitas Sumatera Utara
yang harus ditempuh terlebih dahulu adalah penetapan eksekusi terhadap perkara yang tidak dapat dieksekusi,berarti Yudex Juris telah melukai rasa keadilan
masyarakat dengan berlaku tidak adil terhadap perkara a quo. Putusan Kasasi ini akan menjadi Yurisprudensi, menjadi preseden buruk dikemudian hari, dimana para buruh
dan pekerja yang menuntut haknya tidak akan pernah dapat dipenuhi walaupun telah ada putusan PHI, karena para pengusaha yang menganiaya buruh selama ini memang
akan mencari celah hukum dimana mereka tak perlu memnuhi tuntutan hukum yang walaupun telah berkekuatan hukum tetap.
Jika ada niat baik dan Termohon PK PT. Indah Pontjan memenuhi hak-hak buruh ic. Para Pemohon PK, dan jika Termohon PK adalah perusahaan yang taat
hukum, maka ketika ada aanmaning Termohon PK seharusnya dengan sukarela telah membayar hak-hak buruh ic. Pemohon PK, karena memang Termohon PK sangat
mengetahui dirinya tidak dapat dipaksa memenuhi suatu putusan yang bersifat non- executable. Jadi jawaban Termohon PK dengan mengatakan harus lembaga eksekusi
terlebih dahulu dilaksanakan untuk menuntut pemenuhan atas putusan PHI tersebut adalah jawaban yang penuh kelicikan, sebagaimana mereka selama ini
mempermainkan hak-hak buruh, anak bangsa masyarakat pribumi indonesia. Tentang Pertimbangan hukum Judex Juris yang menyatakan termohon kasasi
Pekerja PT. Indah Pontjan sudah memohon eksekusi ke Pengadilan Negeri, tapi proses eksekusi tersebut belum selesai, namun termohon kasasi sudah mengajukan
perkara kepailitan, dengan demikian termohon kasasi belumlah melakukan prosedur pelaksanaan putusan sebagaimana ditentukan Undang-undang. Pertimbangan Judex
Universitas Sumatera Utara
Juris tersebut sangat keliru dan tidak berdasar atas hukum. Judex Juris berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk dipenuhinya putusan pengadilan harus melalui
permohonan sita jaminan sita eksekusi melalui ketua pengadilan. Permohonan pailit adalah juga bermaksud untuk melakukan sita jaminansita
eksekusi sita umum terhadap pihak yang tidak mau dengan sukarela melakukan prestasi-prestasinya termasuk atas suatu putusan pengadilan. Pasal 29 UU No. 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berbunyi ” suatu tuntutan hukum dipengadilan yang diajukan terhadap debitor sejauh
bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dan harta pailit dan perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit
terhadap debitor”. Pasal 29 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang diatas menegaskan putusan kepailitan dapat dijadikan sebagai satu wadah pemenuhan kewajiban atas perkara-perkara terhadap debitor tidak
terkecuali para mantan pekerjaburuh ic. Para Pemohon PK yang telah diputuskan mempuyai hak tagih dalam perkara PHI. Justru mekanisme kepailitan adalah pilihan
yang benar dan adil agar putusan PHI yang non executable dapat dipenuhi oleh para pihak dalam suatu perkara yang tidak taat hukum dan juga tidak beritikad baik.
Dalam perkara kepailitan debitorTermohon PK yang berniat baik dapat mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang agar terhindar dari putusan
pailit, atau jika pun putusan pailit telah ditetapkandiputus maka debitor
Universitas Sumatera Utara
pailitTermohon PK, jika mempunyai niat baik, dapat mengajukan perdamaian sebelum verifikasi pencocokan utang.
Kedua mekanisme tersebutlah yang harus dijalankan oleh debitorTermohon PK, bukan memaksa-maksa agar ditempuh penetapan eksekusi terlebih dahulu,
apalagi terhadap putusan yang bersifat non-executable. Pada tahap aanmaning yang telah dilakukan, pihak yang dipanggil bila taat hukum harus melakukan pembayaran,
tanpa alasan apapun. UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dengan adil memasukkan pasal-pasal PKPU dan perdamaian untuk menampung keinginan para debitor yang berniat baik, sehingga putusan
kepailitan dapat ditunda sesuai dengan keinginan debitor tersebut. Tentang putusan Judex Juris para termohon kasasi, dalam perkara a quo
adalah para mantan pekerja pada PT. Indah Pontjan, yang menuntut hak-haknya akibat pemutusan hubungan kerja ke Pengadilan Hubungan Industrial dan meskipun
telah ada putusan PHI yang mengabulkan gugatan mereka dalam perkara perselisihan tersebut, namun tidak berarti mereka secara otomatis menjadi kreditur terhadap
Perusahaan PT. Indah Ponjant sebagaimana diatur dalam Undang-undang Kepailitan.
Pertimbangan hukum Judex Juris tersebut diatas tidak berdasar secara hukum. Judex Juris tidak bisa memberikan uraian hukum tentang kreditor yang dimaksud
oleh UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Judex Juris hanya menyatakan namun tidak berarti mereka secara
Universitas Sumatera Utara
otomatis menjadi kreditur terhadap Perusahaan PT. Indah Ponjant sebagaimana diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Tanpa memberikan argumentasi dasar hukum tentang kreditor sesuai undang-undang kepailitan. Pertimbangan hukum tersebut sangatlah lemah,
keliru, salah, tidak berdasar atas hukum. Kreditor didefinisikan dalam Pasal 1 ayat 2 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebagai berikut: ” kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang
dapat ditagih dimuka pengadilan”. Dengan definisi kreditor tersebut diatas apakah para mantan pekerja Para Pemohon Penijauan Kembali memenuhi unsur
digolongkan sebagai kreditor?. Judex Juris menyatakan dalam pertimbangannya bahwa para Termohon
Kasasi adalah mantan Pekerja PT. Indah Pontjan. Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 ayat 4 dan 6 sebagai berikut:
Ayat 4 “Hubungan Kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. Ayat 6 “upah adalah hak
pekerjaburuh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerjaburuh yang ditetapkan dan dibayarkan
menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan danatau jasa yang
telah atau akan dilakukan”.
Universitas Sumatera Utara
Para pemohon PK adalah mantan pekerjaburuh PT. Indah Pontjan dimana hubungan pemberi kerja dan tenaga kerja diatur oleh perjanjian berdasarkan undang-
undang. Hak tenaga kerja berupa upah, yang merupakan dasar dalam perhitungan pesangon, penghargaan masa kerja, penggantian hak hak atas PHK, diatur sesuai
undang-undang. Hak atas PHK berupa sejumlah uang yang tidak dibayar pemberi kerja PT. Indah Pontjan kepada para buruh dapat ditagih dimuka pengadilan.
Penagihan tersebut telah dilaksanakan dalam perkara PHI Nomor 04G2008PHI-Mdn. Dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, bunyi putusannya
adalah menghukum tergugat Termohon PK untuk membayar hak-hak para Penggugat Para Pemmohon PK sebesar Rp. 148.263.300,00. Dengan putusan
tersebut jelaslah secara hukum PT. Indah Pontjan memiliki kewajiban utang yang harus dibayar kepada para pemohon pailit Para Pemohon PK. PT. Indah Pontjan
sebagai si berhutang dan para pekerja si berpiutang. Bahwa hak atas PHK tersebut adalah merupakan utang pemberi kerja PT.
Indah PontjanTermohon PK atas pekejaan yang telah dilakukan tenaga kerja Para pemohon PK. Dengan uraian tersebut diatas jelas dan berdasar secara hukum, para
mantan pekerja para pemohon PK adalah kreditor terhadap PT. Indah Pontjan Termohon PK.
Jika Judex Juris berpendapat pada mantan buruh Pemohon PK tersebut bukan kreditor, jadi sebagai apa pantasnya disebut mereka yang mempunyai piutang
terhadap Para pemohon PK. Si berpiutang apakah tidak sama dengan kreditor Pasal
Universitas Sumatera Utara
1235,1234,1239 KUHPerdata atau adakah sebutan lain terhadap si berpiutang selain penyebutan kreditor.
Hal tersebut juga dipertegas dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
menyebutkan ”yang dimaksud dengan kreditor dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren, kreditor sparatis maupun kreditor preferen”. Pemohon Peninjauan Kembali
dalam hal ini adalah kreditor konkuren Pasal 1131, 1132 KUHPerdata, yang memiliki hak yang sama dengan kreditor lain dalam mengajukan permohonan pailit.
Tentang pemohon kasasi juga adalah suatu perusahaan, dengan begitu mempunyai banyak tenaga kerja dan para termohon kasasi adalah sebagian kecil dari
tenaga kerja yang pernah bekerja pada perusahaan pemohon kasasi yang telah memenangkan gugatan PHI atas perkara a quo, seharusnya Termohon Kasasi
menempuh prosedur pelaksanaan putusan secara eksekusi namun perkara ini tidak dapat dibuktikan secara sederhana.
Para mantan pekerja Pemohon PK memang hanya sebagian dari sejumlah tenaga kerja Termohon PK, namun jumlah tenaga kerja yang melakukan permohonan
pailit bukanlah merupakan suatu syarat yang ditetapkan dalam undang-undang kepailitan. Tentang sebagaian atau seluruh tenaga kerja untuk melakukan
permohonan kepailitan tidak diatur oleh undang-undang, yang diatur adalah 2 dua atau lebih kreditor, jadi tidak ada kaitannya dengan jumlah tenaga kerja dalam
perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
Judex Juris salah dan keliru dalam mengambil kesimpulan sesuai dengan pertimbangan hukum diatas. Terjadi kesalahan nalar dalam mengambil kesimpulan.
Kesalahan nalar yang disebut non sequitur tidak bisa diikuti kesalahan nalar seperti ini terjadi karena suatu kesimpulan tidak diturunkan dalam premis-premisnya Goris
Keraf: Argumentasi dan Narasi, halaman 87. Pertimbangan hukum Judex Juris tersebut diatas mempunyai premis dan
kesimpulan sebagai berikut: Premis Minor: Pemohon Kasasi juga adalah suatu perusahaan, dengan begitu
mempunyai banyak tenaga kerja dan para pemohon Kasasi adalah sebagaian kecil dari tenaga kerja yang pernah bekerja
pada perusahaan Pemohon Kasasi yang telah memenangkan gugatan PHI atas perkara a quo.
Premis Mayor:Seharusnya termohon Kasasi menempuh pelaksanaan putusan secara eksekusi
Kesimpulan : perkara ini tidak dapat dibuktikan secara sederhana.
Kesimpulan yang ditarik tidak berdasarkan premis-premisnya, sehingga tidak absah. Tidak ada hubungan kesimpulan dengan pernyataan sebelumnya premisnya.
Kesimpulan dipaksakan hanya demi seolah-olah tidak atau belum memenuhi syarat kepailitan. Penarikan proses kesimpulan yang tidak absah tidak sahih, oleh karena
itu tidak berdasar secara hukum, dan harus ditolak. Tentang pertimbangan Judex Juris ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 ayat
4 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Universitas Sumatera Utara
Pembayaran Utang tidak terpenuhi, pertimbangan tersebut tidak berdasar secara hukum. Tidak ada uraian-uraian diatas yang tidak mendukung tidak terpenuhinya
Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 ayat 4 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berbunyi ”Debitor yang mempunyai dua atau lebih
kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya
sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. Judex Juris tidak pernah menerangkan unsur-unsur mana dalam pasal ini
yang tidak terpenuhi dalam pengajuan permohonan pailit dalam perkara a quo. Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal ini adalah tentang debitor, tentang 2 kreditor,
tentang utang, tentang jatuh waktu dan tentang dapat ditagih. Tidak terpenuhinya unsur-unsur ini tidak pernah diuraikan oleh Judex Juris dalam pertimbangan
hukumnya tidak atau kurang pertimbangan sehingga tidak berdasar atas hukum. Pasal 8 ayat 4 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang “ Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan
untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalampasal 2 ayat 1 terpenuhi. Dalam bagian penjelasan pasal ini dinyatakan, yang dimaksud dengan fakta
atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah: a.
adanya fakta dua atau lebih kreditor dan
Universitas Sumatera Utara
b. adanya fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar
Bahwa yang mengajukan permohonan pailit ada 5 kreditor dalam perkara a quo, selain itu masih ada 11 orang kreditor tambahan adanya kreditor lain, dan utang
yang jatuh waktu dan tidak dibayar. Dengan demikian adanya fakta dua atau lebih kreditor telah terpenuhi.
Sesuai putusan pengadilan dalam perkara No. 04G2008PHI-Mdn, tanggal 8 Januari 2008 menghukum PT. Indah Pontjan Termohon PK untuk membayar hak-
hak Para Penggugat Pemohon PK sebesar Rp. 148.263.300,00 dan setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap pada tanggal 24 Maret 2009, putusan
Mahkamah Agung No. 905 KPdt.Sus2008, maka kewajiban atau utang PT. Indah Pontjan tersebut telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Dengan demikian adanya utang
yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar telah terpenuhi. Pertimbangan Judex Juris yang menyatakan tidak terpenuhi Pasal 2 ayat 1
dan Pasal 8 ayat 4 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah berdasarkan pertimbangan yang kurang atau
tidak cukup. Suatu putusan dengan tidak atau kurang cukup memberikan pertimbangan harus dibatalkan.
Judex Juris tidak ada sedikitpun menyinggung dimana kesalahan pertimbangan Judex Factie Pengadilan Niaga Medan. Judex Factie telah
menguraikan pertimbangan hukumnya dalam bingkai undang-undang kepailitan, dan telah benar serta berlaku adil. Namun untuk membatalkan putusan Judex Factie
Universitas Sumatera Utara
tersebut Judex Juris tidak pernah membahas pertimbangan hukum Judex Factie dan menunjukkan kelemahan-kelemahannya atau menunjukkan kesalahan penerapan
hukum, sehingga putusan yang dibuat Judex Juris tidak sinkron dengan pertimbangan-pertimbangan hukumnya, oleh karena itu harus dibatalkan.
2. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung Peninjauan Kembali