Ridwan Halim, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab, Jakarta:Ghalia Indonesia,

hukum Purnadi Purbacaraka yang pada dasarnya merumuskan bahwa keadilan itu adalah keserasian antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum. 27 Sedangkan Soejono K.S mendefinisikan keadilan adalah keseimbangan batiniah dan lahiriah yang memberikan kemungkinan dan perlindungan atas kehadiran dan perkembangan kebenaran yang beriklim toleransi dan kebebasan. Selanjutnya, hukum tidak ada untuk diri dan keperluannya sendiri melainkan untuk manusia, khususnya kebahagiaan manusia. Hukum tidak memiliki tujuan dalam dirinya sendiri. Hukum adalah alat untuk menegakkan keadilan dan menciptakan kesejahteraan sosial. Tanpa keadilan sebagai tujuan ultimumnya, hukum akan terperosok menjadi alat pembenar kesewenang-wenangan mayoritas atau pihak penguasa terhadap minoritas atau pihak yang dikuasai. Itulah sebabnya maka fungsi utama dari hukum pada akhirnya menegakkan keadilan. 28 Kriteria hukum yang adil sebagaimana dikemukakan Gustav Radbruch yakni tentang persamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan, isi hukum antara “ada” das sein dan “harus” das sollen untuk mencapai apa yang disebut dengan kebenaran. 29 Berdasarkan berbagai uraian sebagaimana disebut diatas rumusan keadilan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah apabila setiap orang sebagai warga negara telah menerima apa yang menjadi haknya karena peraturan perundang- 27

A. Ridwan Halim, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab, Jakarta:Ghalia Indonesia,

2005, hal.176. 28 Ibid 29 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hal.162 Universitas Sumatera Utara undangan yang berlaku. Dalam penelitian ini adalah hak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan hak atas upah proses yang lahir karena suatu keputusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Dimana keputusan tersebut juga bermakna sebagai undang-undang. Peraturan mengenai kepailitan diharapkan dapat sebagai salah solusi mengatasi masalah utang piutang dan memberikan rasa keadilan, baik terhadap kreditor maupun terhadap debitor. Menurut W. Friedman, suatu undang-undang atau peraturan haruslah memberikan keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat perbedaan-perbedaan diantara pribadi-pribadi itu; kalau tidak ada kedudukan sosial, kemajuan dalam hidup dicapai bukan atas dasar reputasi melainkan karena kapasitas, kelas-kelas dalam masyarakat bukan faktor yang menentukan sosial saja. 30 Salah satu paradigma hukum kepailitan adalah adanya nilai keadilan sehingga hukum dapat memberikan tujuan yang sebenarnya yaitu memberikan manfaat, kegunaan dan kepentingan hukum. Satjipto Rahardjo menyatakan “Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti, bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat”. 31 Keadilan tidak semata-mata dilihat menyangkut prosedural tetapi menyangkut nilai-nilai substansional yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu keadilan harus dipandang sebagai aturan-aturan hukum substantif, dengan tidak hanya melihat 30 Muhammad Arifin, Teori dan Filsafat dalam Buku Telaah Kritis atas Teori-teori Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993, hal. 7. 31 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Hukum, Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 2002, hal. 60. Universitas Sumatera Utara kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantive pemohon atau penggugat. Keadilan disini tidak hanya melihat keadilan yang diatur dalam undang-undang tetapi dengan melihat substansi kasus yang terjadi meskipun tidak dituliskan dalam undang-undang. 32 Kerangka konsep atau konsepsional perlu dirumuskan dalam penelitian sebagai pegangan atau konsep yang digunakan dalam penelitian. Biasanya kerangka konsepsional dirumuskan sekaligus dengan definisi-definisi tertentu, yang dapat Penelitian ini akan menggunakan teori kepastian hukum dan teori keadilan sebagai pisau analisis. Hal itu didasarkan karena masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah suatu perhohonan pailit yang didasarkan atas perintah undang- undang yakni putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam putusan permohonan pailit Rohani, dkkmantan buruh PT. Indah Pontjan Perkara Nomor: 01Pailit2012PN Niaga Mdn Jo putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor:401 KPdt.Sus2012 Jo Putusan Mahkamah Agung No. 03PKPdt.Sus2010 Jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor.195 PKPdt. Sus2012, akan dicoba dianalisis apakah asas atau prinsip kepastian hukum dan keadilan substansional sudah termuat dalam putusan hakim yang mengadili perkara ini.

2. Landasan Konsepsional

32 Ikhsan Fatah Yasin, Keadilan Substantif Dalam Putusan MK, http:www.academia.edu4074304, diakses tanggal 24 Juni 2014, pukul 17.10 WIB Universitas Sumatera Utara dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data. 33 Konsep yang dipergunakan dalam penelitian adalah konsep yang terkait langsung dengan variable penelitian dan untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang digunakan, oleh karena itu di dalam penelitian ini dirumuskan konsep dengan mempergunakan model definisi operasional. 34 a. Pailit yaitu: Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin, dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah ‘faillite’ artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. 35 b. Kepailitan Menurut Subekti dan R.Tjitrosoedibio pailit adalah keadaan dimana seorang Debitor telah berhenti membayar utang-utangnya. 36 33 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal.137. 34 Fotocopy: Pedoman Penulisan Tesis Program Study Ilmu Hukum SPS USU, Medan: Universitas Sumatera Utara, hal.5. 35 Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, Jakarta: PT. Sofmedia, 2010, hal 23 36 Subekti dan R.Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta: Pradina Pramita, 1978, hal.89. Subekti dan R.Tjitrosoedibio, lebih menekankan pada “keadaan berhenti membayar” oleh Debitor. Walaupun misalnya harta debitor nilainya lebih besar daripada utang-utangnya tidak menjadi masalah, yang penting debitor dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya. Universitas Sumatera Utara Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas. 37 c. Perseroan Terbatas Perseroan terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memebuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksananya. 38 d. Tenaga Kerja Tenaga kerja atau pekerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barangjasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. 39 Pengertian tenaga kerja ini lebih luas dari pengertian pekerjaburuh karena pengertian tenaga kerjaburuh, yaitu tenaga kerja yang sedang terikat dalam suatu hubungan kerja dan tenaga kerja yang belum bekerja. 40 Sementara pengertian pekerjaburuh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 41 37 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 38 Pasal 1 Undang-undang No.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 39 Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 40 Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan 2003, Jakarta: Galia Indonesia 2004, hal 12-13. 41 Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Universitas Sumatera Utara e. Pemutusan Hubungan Kerja Pemutusan Hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerjaburuh dan pengusaha. 42 f. Kreditor Kreditor adalah pihak perorangan, organisasi, perusahaan atau pemerintah yang memiliki tagihan kepada pihak lain pihak kedua atas properti atau layanan jasa yang diberikannya biasanya dalam bentuk kontrak atau perjanjian dimana diperjanjikan bahwa pihak kedua tersebut akan mengembalikan properti yang nilainya sama atau jasa. Pihak kedua ini disebut sebagai peminjam atau yang berhutang. 43 g. Debitor Debitor adalah pihak yang berhutang ke pihak lain, biasanya dengan menerima sesuatu dari kreditur yang dijanjikan debitur untuk dibayar kembali pada masa yang akan datang. Pemberian pinjaman kadang memerlukan juga jaminan atau agunan dari pihak debitur. Jika seorang debitur gagal membayar pada tenggang waktu yang dijanjikan, suatu proses koleksi formal dapat dilakukan yang kadang mengizinkan penyitaan harta milik debitur untuk memaksa pembayaran. 44 42 Pasal 1 angka 25 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 43 Wikipedia bahasa Indonesia, Debitur, http:id.wikipedia.orgwiki , diakses tanggal 26 Pebruari 2013, Pukul 16:10 WIB 44 Ibid Universitas Sumatera Utara h. Kreditor Separatis Kreditor Separatis Scured Creditor adalah kreditor pemegang gadai, hipotik, jaminan fidusia, hak tanggungan, dan hak agunan atas kebendaan lainnya. 45 i. Kreditor Preferen Kreditor Preferen adalah kreditor yang didahulukan pembayarannya atas semua harta pailit berdasarkan sifat piutangnya. 46 j. Kreditor Konkuren Kreditor Konkuren atau Kreditor Bersaing Unsecured Creditor adalah semua Kreditor atau penagih berdasarkan piutang tanpa ikatan tertentu. 47

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. 48 Sedangkan cara penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. 49 45 Samsudin M. Sinaga Op.cit, hal.16 46 Ibid,hal.17 47 Ibid,hal.17 48 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal.106. 49 Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji,Op.Cit, hal.1. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala Universitas Sumatera Utara hukum tertentu dengan cara menganalisisnya. 50 Penelitian tentang “Permohonan Pailit Perseroan Terbatas Oleh Tenaga Kerja Studi Putusan Pengadilan Niaga Nomor: 01Pailit2012PN.Niaga.Mdn Jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor .401 KPdt.Sus2012 Jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor.195 PKPdt. Sus2012 antara Rohani,dkk melawan PT. Indah Pontjan” adalah penelitian hukum normatif, yaitu berfokus pada jenis penelitian hukum yang meneliti kaedah atau norma, berlaku tidaknya kaedah atau norma tersebut serta untuk mengetahui apa yang seyogyanya dilakukan. Sebagai sebuah penelitian hukum normatif, titik berat penelitian adalah pada penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder. Namun untuk memperkaya dan melengkapi serta mendukung data yang diperoleh dari kepustakaan, juga dilakukan analisis putusan, apakah hukumnya bagi suatu perkara in-concreto. Seperti halnya pada penelitian untuk menemukan asas-asas hukum doctrinal, penelitian hukum untuk menemukan hukum in concreto bagi suatu perkara tertentu, juga mensyararatkan adanya inventarisasi hukum positif in-abstracto. Dengan demikian metode penelitian adalah upaya untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu yang dipilih.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

51 Dalam penelitian ini norma hukum in-abstracto dipergunakan sebagai premise mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dengan perkara legal facts digunakan 50 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek ,Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hal.6. 51 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hal.125. Universitas Sumatera Utara sebagai premise minor. Melalui proses silogisme akan diperoleh kesimpulan conclusion hukum positif in-concreto yang dijadikan sebagai bahan analisis. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, untuk menggambarkan secara lengkap, menyeluruh dan mendalam aturan hukum yang relevan dengan penelitian ini serta menganalisis secara cermat permohonan pailit perseroan terbatas oleh tenaga kerja yang diputus hubungan kerja analisis permohonan pailit PT. Indah Pontjant.

2. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu: a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari: 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2 Het Herziene Indonesicsh Reglement HIRRechtsreglement Butengewesten RBG. 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan. 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseoan Terbatas. 6 Undang-Undang 37 Tahun 2004 Tentang Kepailiatan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 7 Putusan Pengadilan Niaga Medan Nomor:01 Pailit2012 PN Niaga Mdn. 8 Putusan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Medan Nomor:04G2008PHI PHI Mdn. Universitas Sumatera Utara 9 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 905 KPdt.Sus2008 10 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 03 PKPdt.Sus2010 11 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 401 KPdt.sus2012 b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan Hukum yang menjelaskan bahan hukum primer, terdiri dari :Berbagai literatur tentang kepailitan, literatur tentang ketenagakerjaanperburuhan, berbagai bahan yang berasal dari makalah, Jurnal, Majalah, Surat kabar, dan Website Internet yang berkaitan dengan masalah hukum kepailitan serta hasil Penelitian yang berkaitan dengan hukum kepailitan. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder antara lain: Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Hukum dan Ensiklopedia.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka dan studi dokumen, yaitu mempelajari semua bahan hukum yang berkaitan seperti perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, buku-buku, makalah, jurnal, surat kabar, website internet, hasil penelitian dan kamus-kamus yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian. 4. Analisis Data Bahan Hukum Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga ditemukan tema dan dapat Universitas Sumatera Utara dirumuskan hipotesis kerja, seperti disarankan oleh data. 52 Penggunaan metode analisis kualitatif didasarkan pada berbagi pertimbangan yakni pertama, analisis didasarkan pada paradigma hubungan yang dinamis antara teori, konsep dan data yakni permohonan pailit buruh yang didasarkan atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap namun tidak terlaksana, yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. Kedua, data yang dianalisis berupa putusan akan dianalisis dalam penelitian adalah bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang Data bahan hukum yang telah diperoleh dari penelitian kepustakaan dianalisis dengan metode kualitatif berdasarkan logika berpikir deduktif. Deduktif artinya melakukan menggunakan teori sebagai alat, ukuran dan bahkan instrument untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam permohonn pailit tenaga kerja terhadap perseroan terbatas. Kegiatan ini diharapkan akan dapat dimudahkan dalam menganalisa permasalahan yang diajukan, menafsirkan dan kemudian menarik kesimpulan. Analisis kualitatif dilakukan terhadap paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep, dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. Hal ini dilakukan sehubungan data yang dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda satu dengan yang lainnya. 52 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993, hal. 280 Universitas Sumatera Utara integral holistic yang menuntut tersedianya informasi yang mendalam indepth information. 53 Dalam penelitian ini, data yang telah terkumpul dianalisis secara kualitatif untuk memberikan gambaran deskripsi dengan kata-kata atas temuan. Analisis data kualitatif ini dilakukan dengan mengadakan pengamatan data yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap data tersebut dengan berbagai ketentuan perundang- undangan, asas-asas hukum dan tujuan hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Data juga disusun secara sistematis agar mudah dipahami. Dalam penelitian normatif ini dilakukan interprestasi dan konstruksi hukum dengan menarik kesimpulan denggunakan cara deduktif menjawab permasalahan dan tujuan penelitian yang diteliti. 53 Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal: Studi kesiapan Indonesia dalam Perjanjian Investasi Multilateral, Medan: Sekolah pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2005, hal.29. Universitas Sumatera Utara BAB II KONSEP UTANG DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN BERKEKUATAN HUKUM TETAP BERUPA PENGHUKUMAN UNTUK MEMBAYAR UANG PESANGON, UANG PENGHARGAAN MASA KERJA, UANG PENGGANTIAN HAK DAN UPAH PROSES OLEH PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

A. Perselisihan Hubungan Industrial Berupa Pemutusan Hubungan Kerja

Dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial selanjutnya disingkat PHI menjadi semakin meningkat dan kompleks. Berbagai ketentuan yang ada sebelumnya, seperti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 yang mengatur penyelesaian PHI dan Pemutusan Hubungan Kerja PHK, dipandang belum dapat mewujudkan penyelesaian PHI secara tepat, cepat, adil dan murah. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tidak dapat lagi mengakomodasi perkembangan yang terjadi, karena hak-hak pekerja perseorangan belum terakomodasi untuk menjadi pihak dalam PHI, karena hanya mengatur perselisihan hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif, sedangkan dalam penyelesaian Universitas Sumatera Utara perselisihan hubungan industrial PPHI, pekerja secara perseorangan belum terakomodasi. 54 Demikian juga halnya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964, ternyata tidak efektif lagi untuk mencegah serta menanggulangi kasus PHK. Hal ini disebabkan karena hubungan kerja merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja. Dalam hal salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut, sulit bagi para pihak untuk mempertahankan hubungan yang harmonis. Oleh karena itu perlu dicari jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk penyelesaiannya. 55 Kompleksnya hubungan industrial sering menimbulkan perselisihan antara pekerjaburuh dengan pengusaha. Dapat dikatakan, perselisihan hubungan industrial akan senantiasa terjadi selama masih ada buruh dan pengusaha. Semua upaya yang dilakukan hanyalah untuk meminimalisir persoalan yang timbul dan yang akan timbul berikut dampaknya. Untuk itulah diperlukan hukum perburuhan yang menyeluruh, konstruktif dan berkeadilan. 56 Apabila terjadi perselisihan atau konflik, setiap orang dilarang oleh hukum untuk melakukan tindakan sendiri-sendiri atau dikenal dengan asas main hakim sendiri eigenrichting. Yang dimaksud dengan main hakim sendiri itu adalah jika hak seseorang telah dilanggar oleh seseorang yang lain, maka seorang yang haknya 54 Mohd.Syaufii Syamsuddin, Norma Perlindungan Dalam Hubungan Industrial, Jakarta: Sarana Bakti Persada, 2004, hal. 290. 55 Ibid 56 Sehat Damanik , Op. Cit, hal.20. Universitas Sumatera Utara dilanggar tersebut tidak diperkenankan untuk memaksa orang lain tersebut memenuhi haknya, walaupun dia memang betul-betul mempunyai hak tersebut, apalagi tidak berhak. Tindakan paksa dengan ancaman oleh perseorangan terhadap kreditornya supaya utang dilunaskan adalah diluar hukum. 57 Menurut ketentuan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerjaburuh atau serikat pekerjaserikat buruh, karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerjaserikat buruh dalam suatu perusahaan. 58 Adanya berbagai jenis perselisihan dalam PHI, kiranya perlu dikemukakan pihak-pihak yang berselisih terlebih dahulu. Satu perselisihan tentunya ada pihak- pihak yang berselisih. Pihak-pihak yang berselisih inilah yang kemudian dapat Melihat definisi PHI dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial terlihat secara jelas bahwa ruang lingkup PHI diperluas. Dalam ketentuan ini perselisihan dapat terjadi mengenai hak, atau mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-undangan, atau dapat pula mengenai PHK. 57 S.M. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Jakarta:Pradnya Paramita,1976, hal. 12 58 Pasal 8 ayat 1, Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Universitas Sumatera Utara menjadi pihak yang dapat berperkara pada lembaga-lembaga penyelesaian jika terjadi perselisihan atau sengketa. Pihak-pihak yang bersengketa dalam PHI adalah pekerjaburuh secara perseorangan maupun organisasi serikat pekerjaserikat buruh dengan pengusaha atau organisasi pengusaha. Pihak yang berperkara dapat juga terjadi antara serikat pekerjaserikat buruh dengan serikat pekerja serikat buruh lain dalam satu perusahaan. Dari berbagai jenis PHI sebagaimana disebut Pasal 1 butir 1, dalam penelitian ini akan diurai lebih rinci mengenai PHI berupa pemutusan hubungan kerja. Demikian juga pihak yang bersengketa difokuskan terhadap perselisihan perselisihan antara pihak pekerja buruh dengan pengusaha. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 25 UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pemutusan Hubungan Kerja selanjutnya disingkat PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja buruh dengan pengusaha. 59 Sedangkan perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. 60 59 Pasal 1 angka 25, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 60 Pasal 1 angka 4, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Dari definisi ini dapatlah dikatakan perselisihan PHK timbul setelah adanya PHK yang dilakukan oleh salah satu pihak, yang mana ada salah satu pihak yang tidak menyetujui atau keberatan atas adanya PHK tersebut. Universitas Sumatera Utara Dalam perselisihan PHK ruang lingkupnya menyangkut PHK yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun negara, usaha sosial dan usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Perselisihan PHK umumnya adalah mengenai sah atau tidaknya alasan PHK dan besaran kompensasi atas PHK. Jenis perselisihan PHK ini adalah jenis perselisihan yang paling banyak terjadi dalam praktek ketenagakerjaan yang mengundang banyak masalah, karena permasalahan PHK bagi pekerjaburuh adalah pengakhiran pendapatan yang ia peroleh dan keluarga, yang kadang-kadang itulah pendapatan satu-satunya keluarga. Oleh karena itu tidak mengherankan jika dalam aturan ketenagakerjaan perlindungan yang paling banyak dan lengkap adalah mengenai PHK. Hal ini dapat dipahami, karena bagi pekerja PHK adalah hal yang paling memberatkan. Oleh karena itu pekerja harus dilindungi terhadap terjadinya PHK. Perlindungan itu berupa pencegahan PHK, pembinaan, macam-macam PHK dan kompensasi terhadap akibat terjadinya PHK. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah mengatur tata cara PHK serta dasar-dasar yang dapat dijadikan sebagai alasan PHK Universitas Sumatera Utara termasuk larangan bagi pengusaha untuk melakukan PHK. Pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan: 61 a. Pekerjaburuh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 dua belas bulan secara terus menerus b. Pekerja buruh berhalangan menjalankan pekerjaanya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. c. Pekerjaburuh menjalankan ibadah yang diperintahkan oleh agamanya d. Pekerjaburuh menikah e. Pekerjaburuh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya. f. Pekerja buruh mempunyai pertalian darah danatau ikatan perkawinan dengan pekerja buruh lainnya didalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama g. Pekerja buruh mendirikan, menjadi anggotapengurus serikat buruh, pekerja buruh melakukan kegiatan serikat diluar jam kerja atau didalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha atau ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama h. Pekerjaburuh mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan kejahatan i. Karena perbedaan paham agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan j. Pekerja buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja atau sakit karena hubungan kerja yang jangka penyembuhannya belum dipastikan. PHK yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud diatas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerjaburuh yang bersangkutan. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan permohonan PHK dapat dilakukan pengusaha maupun pekerjaburuh. Pengusaha dapat melakukan PHK dengan beberapa alasan seperti: pekerjaburuh memasuki usia 61 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Universitas Sumatera Utara pensiun, pekerja melakukan kesalahan, pekerja meninggal dunia, pekerja tersangkut pidana dan karena penutupan perusahaan. Sedangkan alasan pekerjaburuh mengajukan PHK terhadap pengusaha apabila pengusaha melakukan kesalahan berat terhadap pekerja. Kesalahan berat menurut Pasal 169 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu: penganiayaan pengusaha terhadap pekerja, tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut, membujuk pekerja melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, memberi pekerjaan yang membahayakan jiwa, dan memerintahkan pekerja melakukan pekerjaan diluar yang diperjanjikan. 62 Sebagaimana disebut diatas, umumnya perselisihan PHK terjadi akibat pertentangan pendapat terhadap dua hal, yaitu sah atau tidaknya tindakan PHK atau besarnya jumlah pesangon. Apabila PHK dilakukan dengan alasan yang jelas dan kuat, maka beban pengusaha untuk membayar uang pesangon akan semakin rendah dan bahkan tidak ada. Sebaliknya apabila PHK tersebut dilakukan secara sewenang- wenang, maka beban tersebut akan semakin besar karena undang-undang memberi hak kepada pekerjaburuh untuk meminta pesangon yang tinggi. 63 62 Ibid 63 Sehat Damanik, Hukum Acara Perburuhan, Op.Cit Universitas Sumatera Utara

B. Hak-hak Normatif Tenaga KerjaBuruh Akibat Pemutusan Hubungan Kerja

Pengertian hak normatif tidak ada secara eksplisit dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebut istiah hak normatif dapat ditemukan dalam Pasal 145 yang berbunyi “ Dalam hal pekerjaburuh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerjaburuh berhak mendapatkan upah”. 64 Istilah hak normatif lazim digunakan dalam praktek dan pembicaraan di bidang ketenagakerjaan khususnya bidang hubungan kerjahubungan industrial. Secara umum pengertian hak normatif pekerja adalah semua hak pekerja yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, danatau perjanjian kerja bersama. Komponen hak normatif pekerja sudah terjawab dalam definisi tersebut. Suatu kesejahteraan tunjangan yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan misalnya: tunjangan cuti, besaran tunjangan hari raya adalah 2 bulan upah, program pensiun pekerja apabila sudah dinyatakan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, danatau Perjanjian Kerja Bersama menjadi hak normatif pekerja. 65 64 Pasal 145 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 65 Bambang Suprianto, Hak Normatif Karyawan, Apa Saja, http:www.portalhr.com, diakses tanggal 16 April 2014, Pukul 16:05 WIB Universitas Sumatera Utara Pelanggaran terhadap hak normatif, dalam praktek ketenagakerjaan, menimbulkan perselisihan hubungan industrial. Berbagai macam perselisihan hubungan industrial, umumnya perselisilihan hubungan industrial sering mengarah kepada perselisihan pemutusan hubungan kerja PHK yakni perselisihan yang timbul akibat tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak . Perselisihan PHK terjadi karena salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja secara sepihak. Misalnya pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan pekerjaburuh karena melakukan berbagai tindakan pelanggaran tetapi si pekerja buruh menolak diputus hubungan kerjanya. 66 Demikian juga sebaliknya, jika pekerja buruh memutuskan hubungan kerja karena pengusaha tidak melaksanakan kewajibannya kepada pekerja buruh seperti cuti, tunjangan-tunjangan akan tetapi pengusaha tidak mau memutuskan hubungan kerja. Disi lain Perselisihan PHK ini juga dapat perbedaan mengenai jumlah pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja antara pekerja buruh dengan pengusaha. 67 PHK pada dasarnya merupakan masalah yang kompleks karena mempunyai dampak pada pengangguran, kriminalitas, kesempatan kerja. Seiring dengan laju perkembangan industri serta meningkatnya jumlah angkatan kerja yang bekerja, 66 Gindo Nadapdap, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Medan: Kelompok Pelita Sejahtera, 2006 hal. 9 67 Ibid Universitas Sumatera Utara permasalahan pemutusan hubungan kerja merupakan permasalahan yang menyangkut kehidupan manusia. 68 PHK bagi pekerja merupakan awal penderitaan bagi pekerja dan keluarganya. Sedangkan bagi perusahaan PHK juga merupakan kerugian karena harus melepas pekerja yang telah dididik dan telah mengetahui cara-cara kerja di perusahaannya.Terjadinya PHK dengan demikian bukan hanya menimbulkan kesulitan bagi pekerja tetapi juga akan menimbulkan kesulitan bagi perusahaan. Untuk itu pemerintah perlu ikut campur tangan dalam mengatasi masalah PHK. 69 1. PHK oleh pengusaha. Alasan PHK disini digolongkan dalam tiga golongan yaitu : Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dikenal ada empat jenis PHK, yakni : a. alasan yang berhubungan atau yang melekat pada pribadi pekerja b. alasan yang berhubungan dengan tingkah laku pekerja, dan c. alasan-alasan yang berkenaan dengan jalannya perusahaan artinya demi kelangsungan jalannya perusahaan. 2. Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja PHK oleh seorang pekerja, yang akan mengakhiri hubungan kerja harus mengemukakan alasan-alasannya kepada pengusaha. Alasan mendesak adalah 68 Agus Salam, Pemutusan Hubungan Kerja dan Penyelesaiannya http:ejournal.umm.ac.idindex.phplegalityarticleview291303, diakses tanggal 16 April 2014, Pukul16:30 69 Ibid Universitas Sumatera Utara suatu keadaan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan pekerja tersebut tidak sanggup untuk meneruskan hubungan kerja misalnya mengenai upah. 3. Hubungan kerja putus demi hukum. Selain diputuskan oleh pengusaha atau oleh pekerja hubungan kerja dapat putus atau berakhir demi hukum, artinya hubungan kerja tersebut harus putus dengan sendirinya. 4. PHK oleh pengadilan. PHK oleh pengadilan perdata biasa atas permintaan yang bersangkutan pekerjapengusaha berdasarkan alasan penting. Alasan penting adalah di samping alasan mendesak juga karena perubahan keadaan dimana pekerjaan yang dilakukan sedemikian rupa sifatnya, sehingga adalah layak untuk memutuskan hubungan kerja. Dalam penelitian ini peneliti akan memfokuskan pembahasannya pada hak- hak normatif tenaga kerjaburuh apabila terjadi pemutusan hubungan kerja. Menurut ketentuan Pasal 156 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan: ” Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”. Ayat 2 menyebutkan: Penghitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 paling sedikit sebagai berikut: a. Masa kerja kurang dari 1 satu tahun, 1satu bulan upah; Universitas Sumatera Utara b. Masa kerja 1 satu tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 dua tahun, 2 dua bulan upah; c. Masa kerja 2 dua tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tiga tahun, 3 tiga bulan upah; d. Masa kerja 3 tiga tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 empat tahun, 4 empat bulan upah; e. Masa kerja 4 empat tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 lima tahun, 5 lima bulan upah; f. Masa kerja 5 lima tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 enam tahun, 6 enam bulan upah; g. Masa kerja 6 enam tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tujuh tahun, 7 tujuh bulan upah; h. Masa kerja 7 tujuh tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 delapan tahun, 8 delapan bulan upah; i. Masa kerja 8 delapan tahun atau lebih, 9 sembilan bulan upah; Ayat 3 menyebutkan: Penghitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditetapkan sebagai berikut: a. Masa kerja 3 tiga tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 enam tahun, 2 dua bulan upah; b. Masa kerja 6 enam tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 sembilan tahun, 3 tiga bulan upah; c. Masa kerja 9 sembilan tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 dua belas tahun, 4 empat bulan upah; d. Masa kerja 12 dua belas tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 lima tahun, 5 lima bulan upah; e. Masa kerja 15 lima belas tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 delapan tahun, 6 enam bulan upah; f. Masa kerja 18 delapan belas tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 dua puluh satu tahun, 7 tujuh bulan upah; g. Masa kerja 21 dua puluh satu tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 dua puluh empat tahun, 8 delapan bulan upah; h. Masa kerja 24 dua puluh empat tahun atau lebih, 10 sepuluh bulan upah; Ayat 4 menyebutkan: Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 meliputi: Universitas Sumatera Utara a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur. b. Biaya atau ongkos pulang pekerja buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerjaburuh diterima. c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15 lima belas persen dari uang pesangon danatau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat. d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Dari ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini dengan demikian dapat simpulkan bahwa jika terjadi pemutusan hubungan kerja, khususnya pemutusan hubungan kerja sepihak oleh pihak pengusaha, maka pihak pengusaha wajib membayarkan hak-hak normatif pekerja buruh berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak. Ketentuan pengaturan mengenai upah proses diatur dalam Pasal 155 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 70 70 Upah Proses adalah: upah yang diperoleh selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan. Dimana ketentuan ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya yakni Kepmenaker No. 150 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan . Pasal 155 ayat 2 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur sebagai berikut: “Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial Universitas Sumatera Utara belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerjaburuh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.” 71 Pada masa penyelesaian perselisihan PHK melalui lembaga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah P4D dan Panitia Penyelesaian Perselisihan perburuhan Pusat P4P, anggota panitia dalam lembaga itu seragam menerapkan upah proses PHK selama 6 enam bulan. Namun dalam praktik peradilan, hakim Perselisihan Hubungan Industrial tidak memiliki sikap yang sama mengadili batas upah proses. Sikap pertama, memutus upah proses paling lama enam bulan. Argumennya merujuk pada Pasal 191 UU No. 13 Tahun 2003. Dalam prakteknya pekerjaburuh yang terbelit kasus sengketa perselisihan PHK dan memilih menyelesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial PHI selalu mengajukan tuntutan upah proses. Pekerjaburuh yang menyadari hakikat Pasal 155 ayat 2 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan lazimnya menyusun tuntutan upah proses dengan redaksi “menghukum tergugat pengusaha membayar upah proses sejak PHK dilakukan sampai putusan berkekuatan hukum tetap dilaksanakan. 72 71 Undang-undang No. 13 tahun 2003, Op. Cit 72 Juanda Pangaribuan, Putusan MK dan Ragam Tafsir Tentang Upah Proses PHK http:www.hukumonline.com,diakses tanggal 25 April 2014 pukul 14:15 WIB. Kelompok ini menjelaskan, UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak pernah mencabut Kepmenaker No 150 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Universitas Sumatera Utara Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan. Sikap kedua menegaskan, ketentuan upah proses di dalam Kepmenaker No 150 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan tidak lagi berlaku. Alasannya, UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan memiliki kedudukan lebih tinggi dari Kepmenaker. Selain itu, Pasal 155 ayat 2 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan telah mengatur upah proses PHK tanpa batas waktu. Dalam kaitan upah proses, praktik peradilan memperlihatkan tiga macam putusan PHI. Pertama, putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah proses selama 6 enam bulan. Putusan menghukum 6 enam bulan upah proses berkiblat pada Kepmenaker No 150 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan. Kedua, putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah proses lebih dari enam bulan. Putusan hakim menghukum lebih dari enam bulan tetapi tidak sampai berkekuatan hukum tetap merupakan putusan yang berkiblat pada rasa keadilan hakim. Ketiga, putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah Universitas Sumatera Utara proses sampai perkara berkekuatan hukum tetap. Aliran ini, murni berkiblat pada Pasal 155 ayat 2 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 73 Penyelesaian perselisihan hubungan industrial, telah diatur secara limitatif. Dimana menurut pasal dalam prakteknya Pasal 103 UU No 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, majelis hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat- lambatnya 50 lima puluh hari kerja terhitung sejak sidang pertama. 74 Penyelesaian perselisihan berupa PHK umumnya berasal dari inisiatif para pekerjaburuh dengan jalan mengajukan gugatan. Namun gugatan tersebut umumnya tidaklah seketika diajukan sejak terjadinya PHK. Dalam praktek pengajuan gugatan dilakukan setelah beberapa bulan pemutusan hubungan kerja itu terjadi. Pengajuan penyelesaian perselisihan PHK yang pada umumnya datang dari inisiatif pekerja Menjadi masalah bagi pencari keadilan, tenggang waktu penyelesain perselisihan perburuhan ini, saat kasus berpreoses pada di tingkat kasasi. Dimana dalam UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tidak mengatur secara baku tahapan waktu, berkaitan dengan proses kasasi dan pengiriman putusan kasasi sampai ke PHI tingkat pertama. Sehingga proses penyelesaian perselisihan industrial juga pada prakteknya tidak dapat dilakukan secara cepat. 73 Ibid 74 Pasal 103Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Perselisihan Hubungan Industrial. Universitas Sumatera Utara buruh sebenarnya merupakan bentuk investasi masalah bagi pihak pengusaha. Hal ini berkaitan dengan upah proses dimana semakin lama suatu kasus memperoleh putusan maka upah proses juga semakin besar. Misalnya hakim memutus kasus PHK pada bulan ke delapan sejak didaftar maka upah proses yang akan dibayar juga selama delapan bulan. Berkaitan dengan upah proses ini, Ugah Gandar, Eko Wahyu selaku Presiden dan Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Pertamina Bersatu, dan Rommel Antonius Ginting selaku mantan pekerja PT Total Indonesia mengajukan uji materi judicial review ke Mahkamah Konstitusi selanjutnya disebut MK. Tiga karyawan itu menguji Pasal 155 ayat 2 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Permohonan itu teregistrasi dengan No 37PUU-IX2011 sebagaimana diputus tanggal 19 September 2011. Di dalam permohonan judicial review para pemohon meminta MK memberi tafsir terhadap Pasal 155 ayat 2 UU No. 13 Tahun 2003 khusus mengenai frasa “belum ditetapkan” agar dinyatakan sebagai berkekuatan hukum tetap. 75 Frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279, adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai belum berkekuatan hukum tetap; Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mengabulkan permohonan ini dan pada pokoknya menyatakan: 75 Putusan Mahkamah Konstitusi No 37PUU-IX2011 Universitas Sumatera Utara Adanya berbagai macam aliran tentang upah proses sebagaimana diuraikan diatas dihubungkan dengan putusan MK ini, secara faktual, Kepmenaker No 150 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan, bukan aturan pelaksana dari Pasal 155 ayat 2 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dengan demikian, Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Kerugian di perusahaan tidak lagi sebagai hukum positif sehingga putusan MK itu memberi kepastian bahwa Kepmenaker No 150 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Kerugian di perusahaan bukan landasan Yuridis yang benar untuk menyatakan upah proses PHK paling lama enam bulan. Mengacu putusan MK ini, upah proses PHI tingkat pertama saat memutus perkara harus menghitung upah proses sampai pada putusan itu diucapkan. Selanjutnya, bila perselisihan diajukan kasasi, hakim kasasi menghitung upah proses sampai putusan kasasi diucapkan. Dengan demikian, hakim dapat menghukum pengusaha membayar upah proses sampai putusan kasasi diucapkan. 76 76 Juanda Pangaribuan, Putusan MK dan Ragam Tafsir Tentang Upah Proses PHK http:www.hukumonline.com,diakses tanggal 25 April 2014 pukul 14:15 WIB., Op.Cit Universitas Sumatera Utara

C. Pengertian Utang Dalam Kepailitan

Utang di era modern ini sepertinya telah menjadi hal biasa. Berbagai transaksi ditawarkan dengan cara kredit, mulai dari kendaraan, peralatan elektronik, perumahan, hingga barang-barang kebutuhan sehari-hari. Para pelaku bisnis pun tidak terlepas dari utang. Untuk membesarkan perusahaannya, berutang atau atau meminjam modal ke perbankan atau orang lain menjadi pilihan para pelaku bisnis. Utang sebagai isu sentral dalam kepailitan. Alasan diadakannya proses pailit tidak lain karena adanya utang yang sudah jatuh waktunya untuk ditagih. Utang merupakan persyaratan utama bagi debitor untuk dapat dinyatakan pailit. Dengan kepailitan, apabila debitor tidak dapat membayar utangnya, maka akan dilakukan sita umum terhadap seluruh harta kekayaan debitor untuk kepentingan pelunasan utang kepada para kreditornya. Hukum nasional Indonesia, khususnya dalam hukum perdata, tidak mengenal istilah utang secara definitif. Istilah utang tidak ada dirumuskan dalam satu pasal pengertian, sehingga untuk mendefinisikan istilah tersebut dikembangkan dalam berbagai doktrin. Istilah utang lahir bersamaan dengan istilah pitutang sebagai lawannya, seperti juga hak dan kewajiban yang berlawanan jika ditinjau dari arah kedua sisinya. 77 77 Dadang Sukandar, Hukum Kepailitan,http: www.legalakses.com, Diakses tanggal 22 April 2014, Pukul 11:58 WIB Universitas Sumatera Utara Dalam sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang selanjutnya disebut KUHPerdata, pengetahuan mengenai aspek utang piutang merupakan bagian dari pengetahuan tentang hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata. Menurut Pasal 1233 KUHPerdata menyebutkan “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan maupun undang-undang”. Undang-undang tidak memberikan pengertian perikatan, menurut ilmu pengetahuan hukum perdata, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu. 78 Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Dalam hubungan hukum tersebut, setiap pihak memiliki hak dan kewajiban timbal balik. Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditor atau si berpiutang, sedangkan yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitor atau si berutang. Perhubungan antara dua orang atau dua pihak ini, adalah perhubungan hukum, yang berarti hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum atau undang-undang. 79 Prestasi sebagaimana dimaksud diatas adalah apa yang menjadi hak kreditor dan apa yang wajib dipenuhi oleh debitor yang merupakan obyek dari suatu perikatan. Objek perikatan berarti prestasi dari perikatan yang harus dipenuhi 78 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti,2001, hal.1. 79 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa,2001 hal.1. Universitas Sumatera Utara berdasarkan perikatan itu. Demikian pula hal yang sama berlaku bagi prestasi yang berupa “ untuk berbuat sesuatu” dan “ untuk tidak berbuat sesuatu”. Ketentuan pasal 1233 KUHperdata sebagaimana disebut diatas dapat disimpulkan, timbulnya suatu perikatan dapat terjadi karena dikehendaki orang-orang dengan cara membuat perjanjian diantara mereka dan dapat pula terjadi tanpa dikehendaki oleh mereka melainkan undang-undang yang menentukan demikian adanya. Dalam persetujuan yang disebut perjanjian para pihak yang terlibat memang menghendaki adanya suatu perikatan. Bahkan perikatan tersebut alat untuk memperoleh seperangkat hak dan kewajiban hukum. Jadi dalam perjanjian para pihak menegaskan lewat persetujuannya, bahwa ia mengakui hak-hak dan kewajibannya yang tertuang dalam perikatan. 80 Pasal 1352 KUHPerdata mengatur bahwa perikataan yang lahir dari undang- undang dapat timbul dari “ undang-undang saja” atau dari ”undang-undang sebagai akibat perbuatan orang. Selanjutnya, perikatan yang lahir karena undang-undang Dalam hukum perdata, disamping perjanjian, alat untuk menimbulkan hak dan kewajiban lainnya adalah undang-undang. Dalam hal ini para pihak terikat bukan karena adanya persetujuan, melainkan karena hukumnya telah menentukan demikian. Misalnya dalam Undang-undang Perseroan Terbatas yang menentukan bahwa hanya direktur yang dapat mewakili perbuatan hukum suatu perusahaan. 80 Ibid Universitas Sumatera Utara sebagai akibat perbuatan orang dibedakan menjadi akibat perbuatan orang” yang tidak melawan hukum” dan” yang melawan hukum. KUHPerdata, secara khusus mengatur utang piutang dapat dilihat dalam Bab XIII Buku Ke III tentang perjanjian pinjam meminjam Verbruiklening yang oleh Pasal 1754 diberikan pengertian sebagai: “Persetujuan dengan mana pihak satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat pihak pihak yang memakai akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”. Bagi pinjam meminjam atau utang piutang yang terjadi karena peminjaman uang, besarnya jumlah utang hanyalah terdiri atas jumlah uang yang disebutkan dalam persetujuan. Jika, sebelum saat pelunasan, terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga atau perubahan nilai mata uang, pengembalian jumlah utang harus dilakukan dalam nilai mata uang yang berlaku pada saat itu. Ketentuan ini hanya akan tidak berlaku apabila mengenai suatu peminjaman jumlah mata uang tertentu, kedua belah pihak dengan tegas telah bersepakat, bahwa akan dikembalikan jumlah mata uang yang sama. Dalam hal ini, pihak yang menerima peminjaman diwajibkan mengembalikan jumlah mata uang yang tepat dari macam yang sama, tidak kurang dan tidak lebih Pasal 1756 dan 1757 KUHPerdata. Universitas Sumatera Utara Perjanjian pinjam meminjam uang merupakan perjanjian atau utang piutang yang bersifat riil, artinya perjanjian itu baru mempunyai kekuatan mengikat apabila telah dilakukan penyerahan uang oleh orang yang meminjam kreditor. Tentang hal ini Soerjopratikno mengatakan: Hal itu ternyata dari definisi undang-undang yang mengatakan “afgeeft” dan yang berarti “melepaskan” atau “menyerahkan”. Selanjutnya hal itu ternyata dari, sistemnya, pada mana pihak yang menyerahkan kreditor tidak dibebani kewajiban apa-apa dan karena itu dari situ terlihat bahwa undang-undang berpangkal dari pikiran bahwa kewajiban pokok dari kreditor telah terjadi, dengan pelepasannya atau penyerahannya tadi. 81 81 Hartono Soerjopratikno, Hutang Pihutang, Perjanjian-perjanjian Pembayaran dan Jaminan Hypotik, Yogyakarta: Mustika Wikasana, 1994 hal.1. Utang sebagai kata kunci dari kepailitan, oleh karena itu utang perlu didefinisikan secara jelas agar tidak menimbulkan kontroversi. Hal mana kontroversi tentang pengertian utang sering terjadi dalam pertimbangan dan putusan hakim sebelum dikeluarkannya UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan: ”utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan dikemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan debitor”. Universitas Sumatera Utara Meskipun Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 telah memberikan pengertian utang secara definif, dalam praktek peradilan sebagaimana dalam kasus yang dianalisis dalam penelitian ini, hakim dalam memeriksa dan memutus perkara kepailitan masih mempunyai pemahaman yang berbeda-beda tentang pengertian sebagaimana terjadi sebelumnya Praktek peradilan Indonesia, tentang permohonan pailit telah diwarnai dengan perdebatan mengenai pengertian utang. Perdebatan ini terjadi ditingkat Pengadilan Niaga demikian juga di Mahkamah Agung. Hal ini terlihat dari putusan yang tidak seragam mengenai penafsiran pengertian utang dalam kepailitan. Beberapa kasus permohonan pailit yang mempersoalkan utang antara lain, adalah putusan nomor 07Pailit1998PN.NiagaJkt.Pst tertanggal 12 Oktober 1998 antara Drs. Husein Sani dan Johar Subekti para pemohon melawan PT.Modern Land Reality Ltd termohon. Dimana dalam putusan ini dikatakan uang pembayaran angsuran satuan rumah susun merupakan utang karena termohon sebagai pengembang tidak menepati janji. 82 Namun dalam putusan Kasasi, putusan Pengadilan Niaga ini dibatalkan dengan putusan No. 03 KN1998. Dalam putusan Mahkamah Agung ini, Majelis hakim tidak sependapat dengan putusan judex factie yang menurutnya telah mengartikan utang secara luas. Menurut majelis hakim kasasi pengertian utang secara luas ini bertentangan dengan pengertian utang sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 82 Putusan Nomor 07Pailit1998PN.NiagaJkt.Pst, Tertanggal 12 Oktober 1998 Universitas Sumatera Utara 1 UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan penjelasannya yaitu utang yang tidak dibayar oleh debitor sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah utang pokok dan bunganya. Terhadap putusan kasasi ini telah diajukan Peninjauan Kembali selanjutnya disenut PK, dan majelis hakim PK lewat putusan No.06 PKN1999, memutuskan menolak permohonan PK dengan alasan keberatan pemohon PK tidak dapat dibenarkan karena tidak ada kesalahan berat dalam penerapan hukum yang dilakukan oleh majelis hakim kasasi. Kasus kepailitan lainnya yang masih berkaitan dengan perdebatan pengertian utang adalah kasus PT. Jawa Barat Indah selaku pengembang atau developer tidak dapat menyerahkan satu unit rumah pada waktu jatuh waktunya dan tidak mau mengganti kerugian kepada Sumeini Omar Sanjaya dan Widiastuti. Akibat PT. Jawa Barat Indah tidak tidak mau menyerahkan satu unit rumah dan tidak mengganti kerugian pada Sumeini dan Widiastuti mengajukan permohonan pailit terhadap PT. Jawa Barat Indah. Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, kemudian membuat putusan atas kasus ini dalam Putusan Nomor 27Pailit1998PN.NiagaJkt.Pst, tertanggal 12 Oktober 1998 dengan mengabulkan permohonan Sumeini Omar Sanjaya dan Widiastuti yang memutuskan bahwa harga rumah yang telah dibayar para pemohon merupakan utang, karena termohon tidak menyerahkan rumah. Terhadap putusan tersebut termohon pailit debitor yakni PT. Jawa Barat Indah mengajukan upaya hukum Kasasi. Majelis Hakim Kasasi dalam putusannya Universitas Sumatera Utara Putusan Nomor 04 KN1999 tertanggal 3 Maret 1999, dalam perkara PT. Jawa Barat Indah sebagai Pemohon Kasasi melawan Sumeni Omar Sanjaya dan Widiastuti selaku termohon kasasi. Dalam perkara ini hakim Mahkamah Agung memberikan pengertian “utang adalah suatu hak yang dapat dinilai dengan sejumlah uang tertentu yang timbul karena perjanjian atau undang-undang, termasuk tidak hanya kewajiban debitor untuk membayar, akan tetapi juga hak dari kreditor menerima dan mengusahakan pembayaran”. Lebih lanjut majelis hakim kasasi mengatakan, meskipun perjanjian yang terjadi antara termohon kasasi dengan pemohon kasasi berupa perjanjian jual beli antara konsumen dengan produsen tetap berlaku asas perjanjian pada umumnya. Perjanjian timbul karena adanya tindakan atau perbuatan hukum para pihak yang mengadakan perjanjian. Disatu pihak memperoleh hak, dan pihak lain, mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi. Pihak yang berhak atas suatu prestasi berkedudukan sebagai kreditor, sedangkan pihak lain yang wajib memnuhi prestasi berkedudukan sebagai debitor. Terhadap putusan kasasi yang membenarkan putusan Pengadilan Niaga, majelis hakim Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung sebagaimana dalam putusannya No.05PKN1999 mengatakan majelis hakim Pengadilan Niaga maupun majelis hakim Kasasi telah melakukan beberapa kesalahan berat dalam pendapat hukum dalam memeriksa kasus. Untuk mengulas tentang pengertian utang yang berbeda-beda dalam praktek kepailitan, disini dikemukakan kasus yang lain yakni Helena Melindo Sujotomo Universitas Sumatera Utara melawan PT.Intercon Enterprises. Perkara ini menyangkut hubungan hukum jual beli tanah antara Helena Melindo Sujotomo sebagai penjual dan PT. Intercon Interprises sebagai pembeli. Dalam perkara tersebut uang muka telah dibayar oleh pembeli tetapi ternyata tanah tersebut tidak diserahkan oleh penjual. Oleh karena tanah tidak diserahkan oleh penjual , penjual kemudian membuat surat penyataan yang isinya menyatakan kalau tanah tidak diserahkan dalam tenggang waktu 90 hari, maka penjual akan menyerahkan kembali seluruh uang muka ditambah ganti rugi. Ternyata tanah tidak diserahkan sampai batas waktu 90 hari lewat. Sehubungan dengan tidak diserahkannya tanah oleh penjual dan penjual juga tidak menyerahkan uang muka yang telah dibayar oleh pembeli ditambah ganti rugi sebagaimana surat pernyataan tersebut, sehingga PT Intercon Interprises telah mengajukan pailit terhadap Helena Melindo Sujotomo. Pengadilan Niaga telah mengabulkan permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Intercon Interprises terhadap Helena Melindo Sujotomo. Pengadilan Niaga dalam pertimbangan hukumnya menyatakan hubungan hukum antara pemohon dan termohon adalah hubungan perikatan yang terletak dalam lapangan hukum harta benda yaitu satu pihak berhak atas sesuatu kreditor serta mempunyai subjek dan objek tertentu, dimana pihak yang mempunyai kewajiban tidak melaksanakan kewajibannya akan menimbulkan apa yang disebut utang, yaitu sesuatu yang dituangkan oleh seseorang kepada orang lain baik berupa uang, barang maupun jasa. Terhadap putusan ini, PT. Intercon Enterprises kemudian mengajukan permohonan Kasasi. Majelis hakim kasasi menerima permohonan kasasi pemohon Universitas Sumatera Utara dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga dan berpendapat, bahwa karena hubungan hukum yang terjadi antara pemohon kasasi dengan termohon kasasi adalah hubungan jual beli bukan hubungan hutang piutang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat1 UU No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan. Disi lain majelis Hakim kasasi berpendapat, apa yang dilakukan termohon kasasi PT. Intercon Interprises adalah wan prestasi dan wan prestasi bukanlah merupakan kompetensi majelis hakim pengadilan niaga. Termohon KasasiPemohon Pailit kemudian mengajukan PK. Sehubungan dengan permohonan PK tersebut, majelis hakim PK membenarkan alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon PK. Majelis Hakim PK dalam putusannya Nomor.13PKN1999 tertanggal 2 Agustus 1999 mengatakan utang yaitu segala bentuk kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu baik yang timbul karena perikatan maupun undang-undang. Selain mengemukakan beberapa putusan mengenai pengertian utang, disini juga dikutip beberapa pendapat para sarjana tentang pengertian utang. Menurut Sutan Remy Sjahdeini mengatakan: Pengertian utang dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan tidak seyoyanya diberi dalam arti sempit, yaitu tidak seharusnya hanya diberi arti berupa kewajiban membayar utang yang timbul karena perjanjian utang piutang saja, tetapi merupakan setiap kewajiban debitor yang berupa kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada kreditor, baik kewajiban itu timbul karena perjanjian apapun juga tidak terbatas hanya kewajiban utang piutang saja, maupun timbul karena ketentuan undang- undang, dan timbul karena putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. 83 83 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening, Universitas Sumatera Utara Kemudian Syamsudin Manan Sinaga mengemukakan: Utang adalah suatu kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dengan sejumlah uang, baik yang sudah ada maupun yang aka nada dikemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang, yang wajib dibayar oleh debitor kepada kreditor, dan jika tidak dibayar, kreditor berhak mendapatkan pembayaran dari kekayaan debitor”. 84 Kontroversi rumusan tentang pengertian utang berakhir setelah diundangkan UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, tertanggal 18 Oktober 2004 yang dalam ketentuan umumnya telah menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan utang. Adanya definisi ini sangat penting karena merupakan salah satu syarat yang wajib dipenuhi dan dibuktikan. Rumusan utang yang dimuat dalam UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada hakikatnya sama dengan definisi utang sebagaimana dimuat dalam putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 62 Pilit1998PN.NiagaJkt.Pst tertanggal 4 Oktober 1999. 85 Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan Adapun definisi utang dalam putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 62 Pailit1998PN.NiagaJkt.Pst tertanggal 4 Oktober 1999 mengatakan: Jakarta: Grafiti, 2002 hal.110. 84 Syamsudin Manan Sinaga, Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Problematikanya, Seminar Hukum Perbankan yang dilaksanakan PT. Bank Rakyat Indonesia, Jakarta, 23 Oktober 2001, hal.5. 85 Syamsudin M. Sinaga, Op. Cit, hal.14 Universitas Sumatera Utara bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.” 86 Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan debitor”. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 6 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa: 87 86 Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 62 Pilit1998PN.NiagaJkt.Pst tertanggal 4 Oktober 1999 87 Undang-undang No. 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op.Cit Dari beberapa pengertian utang sebagaimana diatas dapatlah disimpulkan bahwa pengertian utang dalam kepailitan menganut pengertian utang dalam arti yang luas khususnya setelah dikeluarkannya Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menganut pengertian utang adalah utang dalam arti yang luas. Pengertian tafsir utang secara luas disini karena utang diartikan bukan hanya setiap kewajiban apapun juga dari debitor kepada kreditor karena adanya perikatan diantara mereka, tetapi hanya sepanjang kewajiban itu berupa kewajiban untuk membayar sejumlah uang, baik kewajiban itu timbul karena perjanjian ataupun karena ditentukan oleh undang-undang, atau karena berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Universitas Sumatera Utara Dengan demikian Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bukan semata-mata kewajiban “untuk berbuat sesuatu” atau “ untuk tidak berbuat sesuatu” itu yang merupakan utang sebagaimana diatur dalam KUHPerdata melainkan kewajiban membayar yang ditetapkan oleh undang-undang atau ditetapkan oleh putusan hakim itulah yang diartikan sebagai utang.

D. Hak-hak Normatif Tenaga KerjaBuruh Sebagai Utang Dalam Arti Luas

Pengertian utang dalam arti luas bukan saja hanya kewajiban debitor untuk membayar sejumlah uang yang timbul dari perjanjian utang piutang saja, tetapi juga kewajiban debitor untuk membayar sejumlah uang yang timbul dari perjanjian atau undang-undang. Kartini Muljadi, dalam tulisannya yang berjudul “ Pengertian dan Prinsip- Prinsip Kepailitan” menulis bahwa istilah utang harus merujuk pada hukum perikatan dalam hukum perdata. Dalam tulisannya itu, Kartini Muljadi mengaitkan pengertian utang itu dengan Pasal 1233 dan 1234 KUHPerdata. Dari uraiannya disimpulkan utang sama dengan pengertian kewajiban. Kewajiban dimaksud adalah kewajiban karena suatu perikatan, yang menurut Pasal 1233 KUHPerdata dilahirkan baik karena persetujuan maupun karena undang-undang. 88 88 Rudhy.A.Lontoh, Denny Kailimang Benny Ponto, Penyelesaian Utang-piutang: Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran, Bandung: Alumni,2001 Hal. 78 Selanjutnya Kartini Muljadi menghubungkan perikatan yang dimaksud dalam Pasal 1233 itu dihubungkan dengan ketentuan 1234 KUHPerdata yang menentukan bahwa tiap-tiap perikatan Universitas Sumatera Utara menimbulkan kewajiban untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian Kartini berpendapat bahwa pengertian utang yang dimaksud dalam Undang-undang kepailitan adalah setiap kewajiban debitor kepada setiap kreditornya baik kewajiban itu untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Oleh karena itu dia menganut pengertian utang secara luas Mengacu pada pendapat ini, jika dihubungkan dengan kasus permohonan pailit buruh yang diajukan Rohani,dkk dalam permohonan Pailit Tenaga Kerja terhadap PT. Indah Pontjan, maka putusan pengadilan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap namun tidak terlaksana berupa hak-hak normatif buruh pasca pemutusan hubungan kerja yang terdiri dari uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan upah proses yang tidak dibayarkan oleh PT. Indah Pontjan selaku termohon dapat dikualifikasikan sebagai utang dalam arti luas. Oleh karena itu dapatlah dikatakan menyangkut kewajiban membayar utang bukan hanya karena perjanjian utang-piutang saja tetapi merupakan setiap kewajiban debitor yang berupa membayar sejumlah uang kepada kreditor baik yang timbul karena perjanjian maupun yang timbul karena undang-undang dan timbul karena putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Dilihat dari presfektif kreditor, kewajiban membayar debitor berupa pembayaran hak-hak normatif pekerja buruh dalam hal ini PT. Indah Pontjan dan disi lain buruh merupakan orang yang berhak untuk memperoleh sejumlah uang Universitas Sumatera Utara sebagaimana disebut dalam putusan. Utang debitor dalam hal ini telah ada ketika putusan tersebut berkekuatan hukum tetap. Pengadilan hubungan industrial dalam hal ini, telah menetapkan kewajiban membayar debitor tersebut dan sebaliknya hak dari kreditor yakni berupa pembayaran uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan upah proses. Beranjak dari hal tersebut maka kewajiban debitor berupa pembayaran hak- hak normatif pekerja buruh dalam hal ini berupa pembayaran uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan upah proses adalah untuk berbuat sesuatu berupa kewajiban membayar uang. Dengan demikian hak-hak normatif merupakan salah satu bentuk utang dalam arti luas berupa kewajiban debitor kepada kreditor yang timbul karena ketentuan undang-undang berupa keputusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Hak- hak normatif buruh yang yang dikualifikasikan sebagai utang dalam arti luas ini juga telah memenuhi kewajiban yang dapat dinyatakan dalam jumlah uang karena putusan PHI tersebut juga telah menentukan besarnya jumlah uang yang menjadi kewajiban debitor kepada para pemohon pailit sebesar Rp.125.552.931,- seratus dua puluh lima juta lima ratus lima puluh dua ribu sembilan ratus tiga puluh satu rupiah. Dari penjelasan ini jika dikaitkan dengan permohonan pailit tenaga kerja buruh Rohani,dkk terhadap PT. Indah Pontjan, buruh yang mengajukan permohonan pailit memenuhi kriteria sebagai kreditor. Dimana menurut Pasal 1 angga 2 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Universitas Sumatera Utara Pembayaran Utang yang dimaksud dengan “kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan”. Sebagai konsekuensi dari ketentuan ini, harta-harta debitor dalam hal ini PT. Indah Pontjan, baik yang ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi jaminan pembayaran utangnya kepada para kreditor buruh, jika dimohonkan pailit. Permohonan pailit yang dimohonkan kreditor sebagaimana disebut diatas dari sisi kedudukan buruh sebagai kreditor telah memenuhi kualifikasi. Namun dalam penelitian ini perlu diurai lebih jauh kedudukan buruh sebagai kreditor dalam pengajuan pailit. Berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, maka hak buruh dalam kepailitan adalah hak atau piutang yang di istimewakan. Lebih lanjut dalam penjelasan ayat 4 ini bahwa yang dimaksudkan didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja buruh harus dibayar terlebih dahulu dari pada utang lainnya. Ketentuan Pasal 95 ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini dikaitkan dengan penjelasannya, terlihat ada kerancuan. Dimana dalam Pasal 95 ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa upah dan hak-hak lainnya dari pekerja buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya, sementara dalam penjelasannya utang yang didahulukan pembayarannya hanyalah upah pekerjaburuh. Dengan demikian hak-hak lainnya bukanlah utang yang didahulukan pembayarannya. Universitas Sumatera Utara Menurut ketentuan Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan “Sejak tanggal pernyataan pailit diucapkan, upah yang yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit. Upah yang dimaksud dalam pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini adalah upah akibat pengakhiran hubungan kerja baik yang dilakukan oleh buruh itu sendiri maupun oleh kurator”. Perihal tentang upah ini didasarkan pada ketentuan Pasal 39 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyebutkan : Pekerja yang bekerja pada debitor dapat memutus hubungan kerja dan sebaliknya kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan pengertian hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45 empat puluh lima hari sebelumnya. Sehubungan dengan hal tersebut dalam hubungannya dengan penelitian ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 165 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam hal pengusaha melakukan PHK terhadap pekerja buruh karena perusahaan pailit maka pekerja buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 satu kali ketentuan Pasal 156 ayat 2, uang penghargaan masa kerja sebesar 1 satu kali ketentuan Pasal 156 ayat 3 dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 4. Universitas Sumatera Utara Namun demikian didasarkan pada penjelasan dari Pasal 95 ayat 4 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sebagaimana dikemukakan diatas, hak-hak pekerjaburuh akibat dari pemutusan hubungan kerja dengan alasan perusahaan pailit, kecuali upah hak-hak lainnya bukanlah hak yang didahulukan pembayarannya. Dengan kata lain kedudukan pekerja buruh menjadi kreditor konkuren. Pembahasan selanjutnya, bagaimana kalau perusahaan tersebut tidak dalam kondisi pailit, namun dipailitkan oleh buruh karena tidak melakukan kewajibannya berdasarkan putusan pengadilan?. Mengacu pada ketentuan sebagaimana disebut diatas kiranya dapat diambil alih ketentuan Pasal 95 ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tersebut bahwa hak-hak buruh akibat PHK yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap meskipun bukan karena perusahaan pailit tetap menjadi utang namun kedudukan para pekerjaburuh bukan sebagai kreditor yang didahulukan melainkan sebagai kreditor konkuren. Namun demikian dalam penelitian ini disampaikan untuk menguatkan kedudukan buruh dalam perkara kepailitan yang diajukan kepada pihak perusahaan sebagai debitor perlu kiranya meningkatkan kedudukan terhadap hak-hak buruh tersebut. Hal ini untuk menghindari agar segala hak-hak pekerjaburuh tidak semata- mata menunggu belas kasihan kreditor lain yakni kreditor yang di istimewakan. Karena jika kedudukan buruh masih tetap sebatas kreditor konkuren dalam perkara kepailitan tidak ada jaminan bahwa hak-hak buruh dalam perkara pailit akan terpenuhi. Universitas Sumatera Utara Untuk itu diperlukan suatu kebijakan ataupun aturan yang memberikan kepastian, khususnya kepastian bagi pekerja buruh untuk mendapatkan hak-haknya bilamana pekerja buruh akan diputus hubungan kerjanya dengan alasan-alasan tertentu seperti perusahaan pailit atau perusahan dipailitkan. Dari berbagai uraian diatas dapatlah dikatakan bahwa hak-hak normatif buruh merupakan utang dalam arti luas yang lahir karena undang-undang maupun karena putusan hakim. Akan tetapi tentang kedudukan pekerja buruh masih terdapat perbedaan pandangan dimana menurut Pasal 95 ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan merupakan utang yang didahulukan pembayarannya sementara dalam penjelasannya disebut hak-hak yang timbul dari pemutusannya hubungan kerja bukan utang yang didahulukan pembayarannya, sehingga kedudukan buruh menjadi kreditor konkuren atau kreditor bersaing. Universitas Sumatera Utara

BAB III PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL YANG BERKEKUATAN

Dokumen yang terkait

Analisis Permohonan Pailit Terhadap Perseroan Terbatas oleh Tenaga Kerja ( Studi Putusan Pengadilan Niaga Nomor. 01/Pailit/2012/PN.Niaga.Mdn Jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor.401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor.195 P

16 158 185

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Analisis Hukum Terhadap Permohonan Pailit Atas Developer Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Apartemen ( Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 331 K/PDT. SUS/2012 Tanggal 12 Juni 2012)

3 233 164

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Analisis Utang Pada Beberapa Putusan Perkara Kepailitan Pada Pengadilan Niaga Dan Mahkamah Agung

0 23 56

Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung Dalam Tindak Pidana Pemerkosaan (Putusan Mahkamah Agung Nomor 840 K/Pid.Sus/2009)

0 6 12

Pengujian Peraturan Kebijakan (Beleidsregel) Di Mahkamah Agung (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/Hum/2009)

6 109 108

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Permohonan Pailit Terhadap Perseroan Terbatas oleh Tenaga Kerja ( Studi Putusan Pengadilan Niaga Nomor. 01/Pailit/2012/PN.Niaga.Mdn Jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor.401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Peninja

0 2 34

Analisis Permohonan Pailit Terhadap Perseroan Terbatas oleh Tenaga Kerja ( Studi Putusan Pengadilan Niaga Nomor. 01/Pailit/2012/PN.Niaga.Mdn Jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor.401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor.195 P

0 1 15

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah

1 1 40