PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TAHUN 2014
Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat
dalam pemilihan umum. Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 3 pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat
pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang. Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua
dengan jumlah yang sama diperoleh oleh lebih dari 1 pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang
lebih luas secara berjenjang. Pemilihan umum ini diikuti oleh dua pasang calon Presiden dan Wakil
Presiden yaitu Prabowo Subianto, mantan Panglima Kostrad yang berpasangan dengan Hatta Rajasa, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian 2009-
2014, serta Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta yang berpasangan dengan Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2004-2009. Pada
tanggal 31 Mei 2014, Komisi Pemilihan Umum KPU menetapkan 2 pasang calon Presiden dan Wakil Presiden, serta melakukan pengundian nomor urut pada
1 Juni 2014. Berikut adalah kandidat resmi beserta nomor urutnya yang telah ditetapkan KPU.
1. Prabowo Subianto-Hatta Radjasa
GerindraGolkarPPPPKSPANDemokrat 2.
Joko widodo-Muhammad Jusuf Kalla PDI–PHanuraNasDemPKB
46
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menyebutkan bahwa, Calon Presiden dan calon
46
https:id.wikipedia.orgwikiPemilihan_umum_Presiden_Indonesia_2014, diakses pada tanggal 26 juli 2014 Pukul 15.00 Wib
54
Wakil Presiden diusulkan dalam 1 satu pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik. Sementara Pasal 9 undang-undang yang sama
mengamanatkan, Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling
sedikit 20 dua puluh persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 dua puluh lima persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum
pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
47
Sebagaimana diketahui, berdasarkan rekapitulasi KPU terhadap hasil Pileg 2014, tidak satu pun partai dapat memenuhi ambang batas minimal untuk
mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden presidential threshold. Karena semua partai peserta pemilu tidak dapat memenuhi ambang batas itu,
sangat jelas koalisi partai gabungan partai politik menurut Pasal 9 UU No. 422008 tak terhindarkan lagi. Secara teoretis, koalisi partai bukan hanya solusi
atas minimnya perolehan suara partai yang dapat mengajukan kandidat pada bursa calon pemilihan presiden, tetapi juga sebagai wilayah bagi penciptaan stabilitas
politik, terutama pemerintahan.
48
Sejak Indonesia menerapkan sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multipartai, sejak itu pula negeri ini masuk dalam Dengan semakin
sedikitnya kontestan pemilu dan berkurangnya kompetitor, partai yang bertarung seharusnya makin mudah meraup suara. Namun, selain tetap sulit terkonsentrasi
di kutub tertentu, suara pemilih tetap tersebar. Suara yang berhasil diraih pemenang pemilu dalam tiga pemilu terakhir masing-masing 33,73 persen
47
http:rumah pemilu.comlaporanreferensi Leo20Agustino, Pemilihan Umum Di Indonesia 2014 Prisma Vol.33, No.20 2014 Diakses Pada Tanggal 06 Juni 2015 Pukul 16.00 Wib
48
ibid
55
Pemilu 1999, 23,27 persen Pemilu 2004, dan 20,85 persen Pemilu 2009, bukan suara mayoritas mutlak.
49
Jika diasumsikan bahwa banyak partai tidak ingin bergabung dengan partai pemenang pemilu, maka pemerintah akan menjadi pemerintah yang minoritas
minority government. Kombinasi presidensialisme-multipartai membuat demokrasi cenderung tidak stabil, karena eksekutif dan legislatif dikuasai partai
yang berbeda. Hal tersebut menyulitkan pemerintah dan parlemen untuk mencapai konsensus, dan kerap menciptakan konflik berkepanjangan bahkan political
deadlock. Karena sebagian besar kursi parlemen dikuasai partai oposisi, setiap program kebijakan yang diajukan pemerintah bisa dihadang dan digoyang
parlemen, bahkan presiden terancam pemakzulan impeachment. Karena itu, solusi agar tidak terjadi political deadlock, partai politik pemenang pemilu harus
melakukan kolaborasi dalam bentuk koalisi.
50
Sebelum koalisi pencapresan 2014 terbentuk, setidaknya ada tiga partai politik menyodorkan nama yang akan dicalonkan sebagai presiden. Ketiga partai
itu adalah PDI-P yang menjagokan Joko Widodo, Partai Golkar memajukan Aburizal Bakrie, dan Partai Gerindra mengusung Prabowo Subianto. Namun, pada
masa kampanye Pileg muncul beberapa nama kandidat Presiden Indonesia periode 2014-2019. Mereka ialah Hatta Rajasa PAN, Wiranto Partai Hanura, Surya
Paloh Partai NasDem, Rhoma Irama dan Mahfud MD PKB, Anis Matta, Hidayat Nurwahid, dan Ahmad Heryawan PKS, Jusuf Kalla dan Akbar
Tandjung Partai Golkar, bahkan Abraham Samad Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Akan tetapi, semua itu hanyalah gimmick partai politik untuk meraup
49
ibid
50
ibid
56
sebanyak-banyaknya suara pemilih yang bersimpati kepada masing-masing tokoh yang mereka ajukan. Sebagai contoh, “memanfatkan” pengaruh Rhoma Irama dan
Mahfud MD, yang dicalonkan PKB sebagai kandidat presiden, sebagai pendulang suara vote getter. Hasilnya memang luar biasa, perolehan suara PKB berada
diatas 9 persen, namun petinggi partai ini menampik relatf tingginya suara itu karena hasil Rhoma Irama dan Mahfud MD.
51
Konfigurasi nama-nama calon presiden diatas berubah seiring dengan perhitungan final KPU pada 9 Mei 2014. Menariknya, kendati suara pemilih
tersebar di beberapa partai politik, PDI-P, Partai Golkar, dan Partai Gerindra tetap “ngotot” memajukan kandidat masing-masing dalam bursa pemilihan calon
presiden 9 Juli 2014. Ketiga partai kemudian melakukan lobi secara intensif untuk menggenapi syarat 20 persen kursi parlemen atau 25 persen suara sah nasional.
Sementara itu, sembilan partai politik Partai NasDem, PKB, PKS, PD, PAN, PPP, Partai Hanura, PBB, dan PKPI mengurungkan niat memajukan kandidat
masing-masing dalam kompetisi pemilihan Presiden. Satu minggu setelah Pileg, muncul gagasan membentuk “Poros Islam di antara partai-partai Islam. Tujuan
koalisi itu jelas, mengajukan nama lain di luar calon yang diajukan PDI-P, Partai Golkar, dan Partai Gerindra. Jika semua partai Islam PKB, PKS, PPP, PBB dan
PAN berkoalisi, gabungan suara mereka berjumlah 31,81 persen, dan lebih dari cukup untuk memajukan nama kandidat presiden. Namun, muncul persoalan
ketika Ketua Umum PPP Suryadharma Ali menyatakan hendak menjalin koalisi dengan Partai Gerindra. Langkah Suryadharma Ali yang mendahului elite partai
Islam lainnya itu mengakibatkan koalisi Poros Islam gagal terbentuk.
52
51
ibid
52
ibid
57
Setelah Poros Islam gagal terbentuk, elite politik mencoba membangun koalisi yang lebih realistis dalam menghadapi Pilpres 9 Juli 2014. Beberapa tokoh
PDI-P, Partai Golkar, dan Partai NasDem melakukan lobi secara intensif, yang akhirnya mengerucut pada dua nama calon, yakni Joko Widodo dari PDI-P dan
Prabowo Subianto dari Partai Gerindra. Konfigurasi tersebut merupakan dampak langsung dari konstruksi beberapa lembaga survei yang memprediksi bahwa
hanya dua kandidat itu yang memiliki “daya magis” dalam Pilpres 2014. Meskipun Partai Golkar telah “menyodorkan” Aburizal Bakrie sebagai calon
presiden sejak rapat pimpinan nasional partai pada 2012, nama Ketua Umum Partai Golkar ini tenggelam dibalik bayang-bayang dua kandidat dari PDI-P dan
Partai Gerindra. Beberapa lembaga survei juga menunjukkan bahwa elektabilitas Aburizal Bakrie tidak pernah meningkat, bahkan cenderung stagnan.
53
Pada 18 Mei 2014, PDI-P dan Partai Gerindra telah memiliki sejumlah nama partai yang bersedia menjalin kolaborasi konstruktif dengan mereka. Partai-
partai yang kemudian berkoalisi dengan PDI-P adalah Partai NasDem 35 kursi di DPR-RI atau setara dengan 6,3, PKB 47 kursi atau 8,4 dan Partai Hanura
16 kursi atau 2,9. Sementara Prabowo didukung PAN 49 kursi atau 8,8, PKS 40 kursi atau 7,1, dan PPP 39 kursi atau 7. Jika diakumulasi, koalisi
yang dibangun PDI-P menguasai 207 kursi di parlemen atau setara dengan 37 persen, sementara koalisi Partai Gerindra menguasai 201 kursi atau 35,9 persen.
Artinya, kedua koalisi tersebut telah memenuhi syarat minimal UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden untuk mengajukan
kandidat mereka dalam Pilpres 2014. Partai Golkar dan Partai Demokrat belum
53
ibid
58
menentukan sikap. Beredar spekulasi bahwa akan muncul poros ketiga, yakni koalisi Partai Golkar dan Partai Demokrat total kursi mereka di parlemen
sebanyak 152 atau setara 27,1 persen. Namun, spekulasi tersebut terbantah setelah Partai Golkar menyatakan bergabung dengan koalisi Partai Gerindra,
PAN, PKS, dan PPP serta PBB partai nonparlemen yang menamakan diri “Koalisi Merah Putih.”
54
Tabel 3.1 Hasil Perolehan Suara Pemilu Legislatif Tahun 2014
Koalisi Partai
Partai Politik Perolehan
Suara Resmi Kursi
Parlemen 1
Gerindra PAN
PPP PKS
Golkar 14.760.371
9.481.621 8.157.488
8.480.204 18.432.312
73 49
39 40
91
2 PDI P
NasDem PKB
Hanura 23.681.471
8.402.812 11.298.957
6.579.498 109
35 47
16
Jalan berliku menuju koalisi partai berakhir pada 19 Mei 2014, satu hari sebelum pandaftaran calon presiden dan wakil presiden di KPU ditutup. Dengan
demikian, hanya ada dua gabungan partai dalam menghadapi kontestasi Pilpres 2014. Koalisi pertama terdiri dari Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, Partai Golkar,
dan PBB memiliki 292 kursi di DPR RI 52 serta meraup 48,93 persen suara
54
ibid
59
sah nasional 61.137.746 suara. Koalisi ini mengusung Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sementara
koalisi kedua terdiri dari PDI-P, Partai NasDem, PKB, Partai Hanura, dan PKPI yang menjagokan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pasangan calon presiden
dan wakil Presiden. Koalisi ini menguasai 207 kursi DPR RI 37 dengan dukungan suara sah nasional 39,97 persen 49.962.738 suara. Hanya Partai
Demokrat saja yang sampai tenggang akhir pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden bersikap netral, meski perolehan suara mereka mencapai 11
persen 61 kursi di parlemen.
55
Konfigurasi “Koalisi Merah Putih” mirip gabungan partai politik yang dibangun Partai Demokrat pada periode 2009-2014. Ketika itu, koalisi yang
dibangun Partai Demokrat mencakup PAN, PKS, PPP, Partai Golkar, dan PKB. Sementara Koalisi Merah Putih yang diprakarsai Partai Gerindra pada 2014 juga
didukung PAN, PKS, PPP, dan Partai Golkar, minus PKB yang memilih berkoalisi dengan PDI-P. Hal yang cukup menarik, selaku calon presiden dari
PDI-P, Joko Widodo mengingatkan bahwa sejak awal tidak berminat dengan koalisi yang dibangun berdasarkan kesepakatan bagi-bagi kursi kabinet—seperti
yang terjadi pada era sebelumnya. Dia menghendaki koalisi yang dibangun lebih berdasarkan kesamaan platform. Sebaliknya dengan Koalisi Merah Putih. Partai
Golkar, partai peraih suara terbesar kedua setelah PDI-P, dijanjikan mendapat 8 kursi Menteri ditambah satu kursi “Menteri Utama”, PKS dan PAN 3-5 kursi
Menteri, dan 2-3 kursi Menteri untuk PPP.
56
55
ibid
56
ibid
60
Dua koalisi yang bersaing dalam Pilpres 2014 head to head juga bersaing memperebutkan “tiket dukungan” dari para pendulang suara vote
getter. Koalisi Merah Putih tampak lebih lugas dalam menyambangi beberapa vote getter yang akhirnya bergabung dengan koalisi ini, di antaranya Mahfud MD
mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan pernah diajukan PKB sebagai calon presiden yang ditunjuk sebagai ketua tim sukses Koalisi Merah Putih, Rhoma
Irama artis karismatik dan juga pernah diajukan PKB sebagai calon presiden, Ahmad Dani artispemusik, dan lain-lain. Tokoh lain yang dianggap memiliki
banyak pendukung ialah Ali Masykur Musa anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang juga menjabat Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama. Sikap
berbeda ditunjukkan sastrawan Goenawan Mohamad yang mundur dari PAN setelah partai yang didirikannya bersama beberapa kawan di awal Reformasi itu
menyatakan resmi mendukung Prabowo Subianto, calon presiden dari Partai Gerindra
57
Kampanye hitam dan kampanye negatif merebak beberapa hari sebelum pencoblosan pada 9 Juli 2014. Isu yang diangkat dalam kampanye gelap itu
umumnya berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan Sara, serta hak asasi manusia HAM. Kampanye hitam terkait Sara banyak diarahkan ke
pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Joko Widodo dituding non-Muslim Kristen, keturunan Tionghoa, dan penghamba ajaran komunis.
58
Kampanye gelap tidak hanya menerpa Joko Widodo, tetapi juga Prabowo Subianto, terutama soal kasus penculikan aktivis dan kerusuhan Mei 1998. Untuk
menghadapi tudingan tersebut, tim pemenangan Prabowo-Hatta merangkul
57
ibid
58
ibid
61
beberapa tokoh, salah seorang di antaranya Marzuki Darusman bekas Ketua Komnas HAM periode 1998-2003 dan Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta
Kerusuhan TGPF Mei 1998. Marzuki menegaskan, “Walaupun Prabowo diduga memainkan peranan yang signifikan, rekomendasi tim kami TGPF tidak
menyatakan Prabowo bersalah”. Pernyataan tersebut secara tidak langsung mementahkan kampanye gelap yang dilontarkan lawan-lawan Prabowo; bersih
dan tak terlibat dalam kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
59