a. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
b. Salah satu pihak mendapat hukuman selama 5 tahun atau lebih berat setelah
perkawinannya berlangsung c.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau
penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban suami istri. d.
Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk rukun lagi dalam rumah tangga.
7
Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan dua alasan lagi yang termuat dalam Pasal 116 Poin g dan h sebagai berikut :
a. Suami melanggar taklik talak
b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam
rumah tangga Adapun sighat taklik yang diucapkan suami setelah aqad nikah kepada
istri adalah : Sewaktu-waktu saya :
1. Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut
2. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
7
Asro Satroatmojo, Hukum Perkawinan di Indonesia,, Jakarta: Bulan Bintang, 1981, hal. 122-123.
3. Atau saya menyakiti badanjasmani istri saya
4. Atau saya membiarkan tidak memperdulikan istri saya enam bulan lamanya.
Kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada pengadilan agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan
tersebut, dan isteri saya membayar uang sebesar Rp. 10.000,00 sepuluh ribu rupiah sebagai
’iwadh pengganti kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.
Kemudian pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang ’iwadh itu dan kemudian menyerahkan kepada Badan Kesejahteraan Masjid
BKM pusat untuk keperluan ibadah sosial. Dalam proses pernikahan biasanya mempelai wanita ditanya apakah
mohon mempelai laki-laki mengucapkan taklik talak atau tidak, demikian halnya dengan mempelai laki-laki. Dan hampir dapat dipastikan keduanya setuju agar
taklik talak dibacakan dan mempelai laki-laki membacakan sendiri taklik talak di hadapan istri.
Secara singkat taklik talak adalah suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang
telah diperjanjikan lebih dulu.
8
Meski bukan merupakan syarat namun Departemen Agama menganjurkan kepada pejabat daerah agar dalam pernikahan
itu dibacakan taklik talak Maklumat Kementrian Agama No. 3 Tahun 1953.
8
Soemiyati, Hukum
Perkawinan Islam
dan Undang-undang
Perkawinan, Yogyakarta:Liberti, 2004, hal. 115
Sighat taklik dirumuskan sedemikian rupa untuk melindungi istri dari sikap kesewenang-wenangan suami, jika istri tidak rela atas perlakuan suami maka istri
dapat mengajukan gugatan perceraian berdasarkan terwujudnya syarat taklik talak yang disebutkan dalam sighat taklik.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut apakah disfungsi pola relasi dalam keluarga termasuk dalam kategori taklik
talak atau bukan, yang kemudian akan diajukan sebagai skripsi untuk mencapai gelar sarjana hukum islam berjudul
“Cerai Gugat Akibat Disfungsi Pola Relasi Da
lam Keluarga Analisis Putusan No 81Pdt.G2007PA.Srg”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk memperjelas arah pembahasan skripsi ini penulis membatasi masalah dalam pokok bahasan analisis putusan nomor 81pdt.G2007PA.
Serang , yaitu ―Cerai Gugat Akibat Disfunsi Pola Relasi dalam keluarga di
Pengadilan Agama Serang. 2.
Perumusan Masalah Untuk memperjelas masalah pembahasan ini, maka dirumuskan
masalahnya sebagai berikut. Didalam ilmu fiqih dan undang-undang yang berkewajiban memberi nafkah terhadap keluarga adalah suami akan tetapi pada
kenyataan dilapangan yang akan penulis teliti ini yang memberi nafkah keluarga adala istri.
Rumusan tersebut dijabarkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan berikut: 1.
Bagaimana hukum Islam menjelaskan hak dan kewajiban suami isteri? 2.
Apakah Disfungsi Pola Relasi dalam Keluarga dapat memicu terjadinya konflik dalam rumah tangga?
3. Apakah Putusan Pengadilan Agama Serang No. 81 Pdt.G 2007 sesuai
dengan hukum yang berlaku? Rincian di atas merupakan kerangka pertanyaan yang hendak diteliti dan
dicarikan jawabannya, sehingga penelitian ini didasarkan dalam kerangka pencarian jawaban tersebut dilakukan dalam proses identifikasi terhadap fakta-
fakta dan realita yang sedang berlaku maupun yang pernah berlaku.
C. Tujuan Penelitian dan Manfaaat Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah diatas maka penelitian ini bertujuan sebagaia berikut:
1. Untuk mengetahui perspektif hukum islam dan tinjauan perundang-undangan
dalam menjelaskan hukum yang berlau 2.
Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara cerai gugat di Pengadilan Agama
3. Untuk mengetahui putusan Pengadilan Agama Serang No.81Pdt.G2007
tentang Disfungsi Pola Relasi dalam Keluarga dapat dibenarkan menurut hukum yang berlaku.
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut:
1. Dalam lembaga pustaka, hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai
bahan ilmiah dalam memperkaya studi analisa yurisprudensi. 2.
Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang lebih utama tentang Cerai Gugat Akibat Disfungsi Pola Relasi Keluarga dalam Analisa Putusan
No.81Pdt.G2007PA.Srg. 3.
Dapat mengetahui prosedur persidangan dalam hukum acara Pengadilan Agama Serang.
4. Sebagai pengetahuan hukum secara teori dan praktek di Pengadilan Agama
terutama masalah perceraian akibat Disfungsi Pola Relasi dalam Keluarga.
D. Review Studi Terdahulu
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berusaha semaksimal mungkin mengendalikan dan menekan angka perceraian kepada titik paling rendah.
Perceraian yang dilakukan tanpa kendali dan sewenang-wenang akan mengakibatkan kehancuran bukan hanya bagi pasangan suami istri tapi juga kepada anak-anak yang
mestinya di asuh dan dipelihara dengan baik. Kegagalan rumah tangga bukan saja membahayakan rumah tangga itu sendiri tapi juga kehidupan masyarakat. Hampir
separuh kenakalan remaja yang terjadi di beberapa negara diakibatkan oleh keluarga yang berantakan.
Undang-undang merumuskan bahwa perceraian harus dilakukan di depan pengadilan, perceraian yang dilakukan di luar pengadilan dianggap tidak sah dan
tidak mempunyai landasan hukum, dengan demikian tidak diakui kebenarannya. Undang-undang
Perkawinan tidak
melarang perceraian
hanya dipersulit
pelaksanaannya. Artinya tetap dimungkinkan terjadi perceraian jika seandainya benar-benar tidak dapat dihindarkan dan perceraian harus dilaksanakan secara baik
dihadapan sidang pengadilan. Penggunaan hak cerai dengan sewenang-wenang dengan dalih bahwa
perceraian adalah hak suami adalah pemikiran yang keliru, karena istripun dapat menggugat suami untuk bercerai apabila ada hal yang menurut keyakinannya rumah
tangga yang sudah dibina itu tidak dapat diteruskan. Cerai gugat adalah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan
oleh seorang isteri agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus. Dalam agama Islam dapat berupa gugatan karena suami melanggar taklik talak, gugatan karena
Syiqaq, Fasakh dan gugatan karena alasan-alasan sebagaimana tersebut dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksaan undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan. yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah.
Dalam hukum Islam, perceraian yang diputuskan oleh Hakim karena pelanggaran
taklik talak adalah sah. Kendati secara yuridis Pasal 19 PP No 9 Tahun 1975 telah cukup
memadai dan telah memenuhi jiwa Undang-undang yang menganut asas mempersukar
terjadinya perceraian, namun dalam KHI Pasal 116 selain alasan di atas ditambahkan lagi