Pembatasan dan Perumusan Masalah
Undang-undang merumuskan bahwa perceraian harus dilakukan di depan pengadilan, perceraian yang dilakukan di luar pengadilan dianggap tidak sah dan
tidak mempunyai landasan hukum, dengan demikian tidak diakui kebenarannya. Undang-undang
Perkawinan tidak
melarang perceraian
hanya dipersulit
pelaksanaannya. Artinya tetap dimungkinkan terjadi perceraian jika seandainya benar-benar tidak dapat dihindarkan dan perceraian harus dilaksanakan secara baik
dihadapan sidang pengadilan. Penggunaan hak cerai dengan sewenang-wenang dengan dalih bahwa
perceraian adalah hak suami adalah pemikiran yang keliru, karena istripun dapat menggugat suami untuk bercerai apabila ada hal yang menurut keyakinannya rumah
tangga yang sudah dibina itu tidak dapat diteruskan. Cerai gugat adalah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan
oleh seorang isteri agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus. Dalam agama Islam dapat berupa gugatan karena suami melanggar taklik talak, gugatan karena
Syiqaq, Fasakh dan gugatan karena alasan-alasan sebagaimana tersebut dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksaan undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan. yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah.
Dalam hukum Islam, perceraian yang diputuskan oleh Hakim karena pelanggaran
taklik talak adalah sah. Kendati secara yuridis Pasal 19 PP No 9 Tahun 1975 telah cukup
memadai dan telah memenuhi jiwa Undang-undang yang menganut asas mempersukar
terjadinya perceraian, namun dalam KHI Pasal 116 selain alasan di atas ditambahkan lagi
alasan yakni suami melanggar taklik talak atau murtad yang menyebabkan ketidak
rukunan dalam rumah tangga.
Skripsi-skripsi lain yang membahas tentang cerai gugat diantaranya, Muhammad Roiz Rizwan, dengan judul Kesadaran Hukum Wanita Indonesia dalam Hal Perkawinan,
menjelaskan tentang hak-hak wanita dalam berumah tangga terutama tentang pengajuan gugatan cerai kepada suami ketika terjadi pelanggaran taklik talak oleh suami.
Saiful Bahri, dengan judul Cerai Gugat Akibat Suami di Penjara, menjelaskan tentang cerai gugat yang disebabkan terhentinya nafkah yang menjadi tanggung jawab
suami karena sebab terpenjara. Serta Halimatus Saadah, dengan judul Cerai Gugat karena Penganiyaan Suami,
dan Zaenudin dengan judul Cerai Gugat Isteri Hamil, yang masing-masing menjelaskan tentang pelanggaran taklik talak No 5, yaitu kekerasan rumah tangga yang dilakukan oleh
suami kepada isterinya. Dari keterangan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut
tentang cerai gugat serta prosedur pengambilan putusan majlis hakim pengadilan agama Serang pada kasus Cerai Gugat Akibat Disfungsi Pola Relasi Dalam Keluarga.