Perceraian menurut UU Perkawinan No 1 Tahun 1974

a. Adanya kerelaan dan persetujuan dari kedua belah pihak Sepakat ahli-ahli fikih bahwa khulu’ dapat dilakukan berdasarkan kerelaan dan persetujuan dari suami isteri, asalkan kerelaan dan persetujuan tersebut tidak merugikan pihak lain. Apabila suami tidak mengabulkan permintaan khulu’ cerai gugat dari isterinya, sedangkan pihak isteri masih merasa dirugikan haknya sebagai seorang isteri, maka ia dapat mengajukan gugatan cerai kepada pengadilan. Hakim hendaknya memberi keputusan perceraian antara suami isteri tersebut selama ada alat-alat bukti yang bisa dijadikan dasar- dasar gugatan oleh pihak isteri. 38 b. Isteri yang dikhulu’ Sepakat para ahli fikih bahwa isteri yang dapat dikhulu’ ialah isteri yang mukallaf dan telah terikat dengan akad nikah yang sah dengan suaminya. Adapun isteri-isteri yang tidak atau belum mukallaf, yang berhak mengadakan atau mengajukan permintaan khulu’ kepada pihak suami adalah walinya. c. Iwadl Iwadl pengganti merupakan ciri has dari khulu’. Selama iwadl belum diberikan oleh pihak isteri kepada pihak suaminya, maka selama itu pula tergantungnya perceraian. Akan tetapi setelah iwadl diserahkan dari pihak isteri kepada pihak suami barulah terjadi perceraian. Dan mengenai jumlah iwadl dilakukan atas persetujuan suami isteri tersebut. 38 Muhtar, hal 170 d. Waktu menjatuhkan khulu’ Sepakat para ahli fiqih bahwa khulu’ boleh dijatuhkan pada masa haidh, pada masa nifas, pada masa suci yang belum dicampurinya dan sebagainya, atau dengan kata lain, khulu’ dapat dilakukan kapan saja. 39

C. Akibat Perceraian

Perkawinan dalam Islam adalah ibadah dan Mitsaqan Ghalidha perjanjian suci. Oleh karena itu, apabila perkawinan putus atau terjadi perceraian, tidak begitu saja selesai urusannya, akan tetapi ada akibat hukum yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai. Dalam Kompilasi Hukum Islam, disebutkan akibatkan putusnya Perkawinan, dari segi timbulnya masa iddah: 1. Karena talak ialah timbulnya masa iddah dan selamanya masa iddah, isteri boleh dirujuk. 2. Kompilasi Hukum Islam pasal 153 1: Bagi seorang isteri yang putusnya perkawinannya berlaku masa iddah, kecuali qobla al-dukhul dan perkawinanya putus bukan kematian suami. 3. Kompilasi Hukum Islam pasal 155: Waktu iddah bagi wanita yang putus perkawinanya karena khulu’, fasakh dan lian berlaku iddah talak. 40 Dalam hal nafkah, Kompilasi Hukum Islam pasal 149 menyebutkan: 39 Ibid, hal 172 40 A. Rahman I. Doi, Penjelasan lengkap Hukum- Hukum Allah syari’ah, Jakarta: RajaGrafindo Persada 2002, Cet, Ke-1, h.225. 1. Memberikan Mut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al-dukhul. 2. Memberi nafkah, maskah dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyyuz dan dalam keadaan tidak hamil. 3. Melunasi mahar yang masih berhitung seluruhnya, dan separuh apabila qabla al-dukhul 4. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. 41 Jika perceraian tersebut karena Khulu’, maka seperti yang tertera di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 161, akan mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk. Dan apabila karena lian maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedangkan suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah KHI Pasal 162. Adapun dalam hal pemeliharaan anak akibat putusnya sebuah perkawinan karena perceraian yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 156 adalah: 1 Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhnah dari ibunya kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukanya digantikan oleh: a. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu 41 Kompilasi Hukum Islam. Tim Redaksi Nuansa Aulia,Bandung: Nuansa Aulia. 2008, cet. h,46. b. Ayah c. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah d. Saudara perempuandari anak yang bersangkutan e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah 2 Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya. 3 Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi maka atas permitaan kerabat yang bersangkutan Peradilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula. 4 Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuanya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri 21 tahun. 5 Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhnah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusanya berdasarkan huruf a, b, c, d. 6 Pengadilan Agama dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. 42 42 Ibid h. 72-73.

BAB III PROSEDUR CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA

A. Prosedur Cerai Gugat

Tata cara penyelesaian cerai gugat diatur sebagai berikut: 1. Gugatan Cerai diajukan kepada Pengadilan Agama a. Cerai Gugat diajukan oleh seorang isteri yang melakukan perkawinan menurut agama Islam penjelasan Pasal 20 PP No.91975 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. b. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan Agama Pasal 40 ayat 1 jo pasal 63 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 43 2. Surat gugatan cerai a. Surat gugatan cerai memuat : 1 Nama, umur dan tempat kediaman penggugat yaitu isteri, dan tergugat yaitu suami. 2 Alasan-alasan yang menjadi dasar perceraian 3 Petitum perceraian b. Gugatan cerai dapat diajukan berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang diatur dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974, pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 43 Mukti Arto, Peraktek Perkara Perdata Pada Pengadilan agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996, Cet. Ke-1, hal.219.