MEKANISME PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PAJAK‐PAJAK NEGARA OLEH

D. MEKANISME PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PAJAK‐PAJAK NEGARA OLEH

BENDAHARA Bendahara pada instansi pemerintah telah ditunjuk sebagai pemotong/pemungut atas

penerimaan pajak‐pajak negara khususnya transaksi belanja yang dilakukan oleh instansi pemerintah. Dalam perpajakan, kedudukan bendahara pemerintah yang mengelola APBN sama dengan kedudukan wajib pajak (WP), sehingga bendahara mempunyai kewajiban sebagaimana WP lainnya, serta mendapatkan sanksi perpajakan jika terjadi pelanggaran. Kewajiban dan sanksi perpajakan bagi bendahara yang mengelola anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah, sebagai berikut.

1. Kewajiban Perpajakan

a. Kewajiban mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) di kantor pelayanan pajak yang sesuai dengan lokasi kedudukannya. Selama masih

melaksanakan pengelolaan anggaran negara NPWP bendahara ini tetap berlaku. NPWP atas nama bendahara ini akan dilakukan penghapusan jika terjadi:

1) perubahan organisasi yang mengakibatkan nama unit instansinya berubah; 2)

proyek/kegiatan telah berakhir (selesai).

b. Kewajiban untuk menyetorkan penerimaan pajak yang dipungut/dipotong pada saat dan tempat sesuai dengan ketentuan umum perpajakan yang berlaku.

c. Kewajiban melaporkan pemungutan dan pemotongan pajak dengan menyerahkan surat pemberitahuan pajak (SPT) sesuai ketentuan umum perpajakan yang berlaku.

168 2014 | Pusdiklatwas BPKP

2. Sanksi Perpajakan

Sanksi perpajakan meliputi sanksi administrasi dan sanksi pidana sebagai berikut.

a. Sanksi administrasi, berupa denda yaitu:

1) denda sebesar Rp100.000,00 jika terlambat menyampaikan SPT Masa PPh dan Rp500.000,00 untuk SPT Masa PPN sesuai waktu yang telah ditentukan yaitu

20 hari setelah masa pajak berakhir;

2) denda sebesar Rp1.000.000,00 jika terlambat menyampaikan SPT Tahunan PPh sesuai waktu yang telah ditentukan yaitu tanggal 31 Maret tahun

berikutnya. Pada sejumlah pelanggaran, sanksi denda ini akan ditambah dengan sanksi pidana.

Pelanggaran yang juga dikenai sanksi pidana ini adalah pelanggaran yang sifatnya alpa atau disengaja.

b. Sanksi administrasi berupa pengenaan bunga sebesar 2% per bulan dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran s.d. tanggal pembayaran atas pembayaran atau penyetoran pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyetoran.

c. Sanksi administrasi berupa kenaikan pajak terutang. Dilihat dari bentuknya, sanksi administrasi berupa kenaikan adalah sanksi yang cukup memberatkan bagi wajib

pajak, karena dengan pengenaan sanksi ini jumlah pajak yang harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan pada dasarnya dihitung dengan angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak/kurang dibayar. Jika dilihat dari penyebabnya, sanksi kenaikan biasanya dikenakan karena wajib pajak yang tidak memberikan informasi‐informasi yang dibutuhkan dalam menghitung jumlah pajak terutang.

d. Sanksi pidana dikenakan terhadap setiap orang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak

lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali, didenda paling sedikit satu kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar

Manajemen Pemerintahan Pusat 169 Manajemen Pemerintahan Pusat 169

e. Sanksi pidana berupa kurungan paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun. Denda paling sedikit dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang

bayar dan paling banyak empat kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar bagi wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan dapat merugikan negara, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

3. Kewajiban Pemotongan dan Pemungutan Pajak Pusat

Bendahara pemerintah yang melakukan pembayaran dengan dana APBN/APBD wajib melakukan pemotongan dan pemungutan pajak sebagi berikut.

Jenis Pajak / Ketentuan

Uraian Tarif

Terkait a. PPh Pasal 21

Pemotongan atas penghasilan yang dibayarkan kepada orang • PP 80/2010 pribadi sehubungan dengan pekerjaan jabatan, jasa & kegiatan.

Tarif: • PMK 262/2010 progresif 5 % – 30% • Perdirjan PJ 57/2009

b. PPh Pasal 4 (2) Pemotongan atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan jasa tertentu dan sumber tertentu (jasa konstruksi, sewa tanah/bangunan, pengalihan hak atas tanah/bangunan, hadiah undian, dan lainnya).

Tarif: 1. Jasa Konstruksi‐Pelaksanaan • Jasa pelaksanaan memiliki kualifikasi usaha kecil Î 2% • Tidak memiliki kualifikasi usaha Î 4% • Memiliki kualifikasi usaha menengah atau besar Î 3%

2. Jasa Konstruksi‐Perencanaan • Memiliki kualifikasi usaha Î 4% • Tidak `memiliki kualifikasi usaha Î 6%

3. Transaksi pengalihan hak atas tanah/bangunan Î 5% x nilai pengalihan bruto.

4. Penyewaan tanah/bangunan Î 10% x nilai sewa bruto c. PPh Pasal 22

Pemungutan atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan • KMK 563/2003 dengan pembelian barang.

Tarif: • PMK 154/2010 1,5% nilai pembelian (di atas Rp2.000.000).

170 2014 | Pusdiklatwas BPKP

Jenis Pajak / Ketentuan

Uraian Tarif

Terkait d. PPh Pasal 23

Pemotongan atas penghasilan yang dibayarkan berupa hadiah, bunga, • UU 36/2008 dividen, sewa, royalti, dan jasa‐jasa lainnya selain objek

PPh Pasal 21.

Tarif: 2% nilai sewa dan jasa lainnya

e. PPh Pasal 26 Pembayaran atas penghasilan kepada wajib pajak luar negeri. • UU 36/2008

Tarif: 20% jumlah penghasilan bruto

f. PPN dan PPnBM Pemungutan atas pajak konsumsi yang dibayar sendiri • UU 42/2009 sehubungan penyerahan barang kena pajak dan jasa kena pajak.

Tarif: • KMK 563/2003

1. PPN

Î 10% DPP

Î 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, 200% g. Bea Materai

2. PPn‐BM

Pembayaran atas pemanfaatan dokumen‐dokumen tertentu • PP 24/2000

(kuitansi, kontrak). Sesuai PP 24/2000 tarif bea materai untuk dokumen yang

menyatakan nominal uang adalah sebagai berikut: ‐ nominal sampai Rp250.000 tidak dikenakan Bea Meterai ‐ nominal > Rp250.000 ‐ Rp1.000.000 dikenakan Bea Meterai Rp3.0 ‐ nominal > Rp 1.000.000,‐ dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,‐

a. Bendahara Pemotong Pph Pasal 21/26

1) Pengertian PPh Pasal 21/26 Pengertian PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,

honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang diterima oleh WP orang pribadi dalam negeri. PPh Pasal 26 adalah pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, pensiun dan pembayaran berkala lainnya yang diterima oleh wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.

Manajemen Pemerintahan Pusat 171

Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau 26 adalah orang pribadi yang merupakan:

a) pegawai;

b) penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua termasuk ahli warisnya;

c) bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi: tenaga ahli; seniman/pekerja seni; olahragawan pembawa acara; pengarang, peneliti, dan penerjemah; pemberi jasa dalam segala bidang; agen iklan; pengawas atau pengelola proyek; pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara; petugas penjaja barang dagangan; petugas dinas luar asuransi; dan distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.

d) peserta kegiatan, meliputi: peserta perlombaan; peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja; peserta atau

anggota dalam suatu kepanitiaan; peserta pendidikan, pelatihan, dan magang; peserta kegiatan lain.

Bendahara wajib memotong PPh Pasal 21 atas penghasilan bruto berikut ini.

a) Penghasilan yang diterima oleh pejabat negara, PNS, TNI/POLRI, dan pensiunan yang bersifat teratur dan dibebankan kepada keuangan

negara/daerah berupa: (1) gaji dan tunjangan lain bersifat tetap yang diterima PNS/TNI/

POLRI; (2) gaji kehormatan dan tunjangan lain atau imbalan tetap sejenis

yang diterima pejabat negara; (3) uang pensiun dan tunjangan lain bersifat tetap yang diterima

pensiunan termasuk janda/duda dan/atau anak‐anaknya.

172 2014 | Pusdiklatwas BPKP 172 2014 | Pusdiklatwas BPKP

nama dan dalam bentuk apapun yang dibebankan terhadap keuangan negara/daerah, kecuali jika pembayaran tersebut dibayarkan kepada PNS golongan II‐d ke bawah dan anggota TNI/POLRI berpangkat peltu/ajun inspektur satu ke bawah.

c) Penghasilan yang diterima oleh penerima penghasilan selain pejabat negara, PNS, anggota TNI/POLRI dan pensiunan yang dibebankan kepada keuangan negara/daerah, berupa:

(1) upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau

upah ‐upah yang dibayar secara bulanan; (2) honorarium, komisi, fee, dan imbalan sehubungan dengan

pekerjaan, jasa dan kegiatan.

Secara ringkas, PPh Pasal 21/26 yang wajib dilakukan pemotongan oleh bendahara pemerintah dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar

5.7 PPh Pasal 21/26 yang Wajib Dipotong Bendahara

Manajemen Pemerintahan Pusat 173

Saat pemungutan, tarif dan cara menghitung Pasal 21 dan 26

a) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 dan 26 (1) Penghasilan Kena Pajak (PKP)

(a) Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI, dan Pensiunan PKP dihitung sebesar penghasilan neto dikurangi dengan

penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Adapun penghasilan neto dihitung sebesar penghasilan bruto dikurangi:

biaya jabatan 5% dari penghasilan bruto setinggi ‐tingginya Rp6.000.000,00 setahun atau Rp500.000,00 sebulan bagi pejabat/pegawai aktif;

iuran pensiun bagi pejabat/pegawai aktif;

biaya pensiun sebesar 5% dari penghasilan bruto setinggi ‐tingginya Rp2.400.000,00 setahun atau Rp200.000,00 sebulan bagi pensiunan.

(b) Pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima

selama satu bulan kalender telah melebihi Rp2.025.000,00, PKP dihitung sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP.

(c) Bukan pegawai selain tenaga ahli yang menerima imbalan berkesinambungan jumlah PKP‐nya sebesar penghasilan

bruto dikurangi PTKP yang dihitung secara bulanan. (2) Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dihitung dengan ketentuan:

Jumlah PTKP (Rp)

Jumlah

WP Kawin

Tanggungan

WP Tidak Kawin

WP Kawin

Penghasilan Istri Digabung

174 2014 | Pusdiklatwas BPKP

(3) Jumlah penghasilan yang melebihi Rp200.000,00 sehari Penghasilan tersebut berlaku bagi pegawai tidak tetap yang

menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam sebulan kalender belum melebihi Rp2.025.000,00.

(4) 50% dari jumlah penghasilan bruto

Penghasilan tersebut berlaku bagi tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.

(5) Penghasilan bruto khusus untuk penerima penghasilan selain pegawai, penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat

pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua termasuk ahli warisnya, dan bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.

b) Pengenaan tarif dan cara menghitung PPh Pasal 21/26.

(1) Tarif PPh Pasal 21 yang diterapkan atas PKP berdasarkan Pasal 17 UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah dengan UU

Nomor 36 Tahun 2008 sebagai berikut. Lapisan PKP Tarif Pajak

(a) s.d. Rp50 juta

(b) di atas Rp50 juta s.d. Rp250 juta

(c) di atas Rp250 juta s.d. Rp500 juta

30% (2) Gaji/pensiun/tunjangan terkait bagi pejabat negara, PNS, TNI,

(d) di atas Rp500 juta

POLRI dan pensiunan, perhitungan pajaknya sebagai berikut. • PKP = penghasilan bruto – biaya jabatan/biaya pensiun – PTKP

• PPh 21 = tarif Pasal 17 x PKP Catatan: PPh 21 ini ditanggung oleh pemerintah

Manajemen Pemerintahan Pusat 175

(3) Honorarium dan imbalan lain dengan nama apapun yang diterima oleh pejabat negara, PNS, TNI dan POLRI berikut ini.

• Golongan IV = tarif 15% x penghasilan bruto (PPh Final) • Golongan III = tarif 5 % x penghasilan bruto (PPh Final) • Golongan I/II = tidak dikenakan PPh 21

(4) Bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang menerima penghasilan berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan,

upah borongan dan uang saku harian berikut ini. (a) Upah

harian/mingguan/borongan tidak melebihi

Rp200.000,00/ hari, PPh 21 = nihil. (b) Upah harian/mingguan/borongan melebihi Rp200.000/hari:

• PPh 21 = tarif 5% x (upah harian – Rp200.000,00). (c) Upah harian/mingguan/borongan secara kumulatif dalam

satu bulan melebihi Rp2.025.000,00 : • PPh 21 = 5% x (bruto‐PTKP harian sebenarnya) ‐

potongan sebelumnya. (d) Upah harian/mingguan/borongan, bila dibayar bulanan:

• PPh 21 = tarif Pasal 17x(bruto‐PTKP) disetahunkan:12

bulan

(5) Tarif berdasarkan Pasal 17 UU PPh diterapkan atas jumlah

kumulatif dari: (a) PKP = jumlah penghasilan bruto – PTKP; yang diterima

berkesinambungan oleh bukan pegawai (selain tenaga ahli) dengan syarat:

• yang bersangkutan telah memiliki NPWP • hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja

dengan pemotong PPh Pasal 21 • tidak memperoleh penghasilan lain.

176 2014 | Pusdiklatwas BPKP

Apabila tidak memenuhi syarat‐syarat tersebut, maka yang dijadikan dasar pemotongan hanya jumlah penghasilan bruto.

(b) 50% dari jumlah penghasilan bruto yang diterima tenaga ahli (pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris,

penilai, aktuaris).

(6) Tarif 20% bersifat final atas penghasilan bruto yang diterima sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi

(WP luar negeri) mengacu pada ketentuan persetujuan penghindaran pajak berganda yang berlaku antara RI dengan negara WP luar negeri (PPh Pasal 26).

(7) Penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP dikenakan tarif lebih tinggi 20% dari tarif PPh Pasal 21 bagi WP yang memiliki

NPWP.

3) Tata cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan Pasal 21 dan 26

a) Tata cara Pemotongan (1) Bendahara menghitung, memotong, menyetor dan melapor PPh

Pasal 21/26 yang terutang untuk setiap bulan kalender termasuk laporan penghitungan PPh yang nihil.

(2) Bendahara membuat catatan atau kertas kerja perhitungan PPh Pasal 21 untuk masing‐masing penerima penghasilan yang menjadi

dasar pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau 26 yang terutang untuk setiap masa pajak dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja perhitungan tersebut.

(3) Dalam hal terjadi kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 dan/atau 26 yang terutang pada suatu bulan, kelebihan tersebut dapat

diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan/atau 26 yang terutang pada bulan berikutnya melalui SPP masa PPh Pasal 21 dan/atau 26.

Manajemen Pemerintahan Pusat 177

(4) Bendahara membuat dan memberikan bukti pemotongan pada saat dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau 26.

(5) Bendahara wajib meminta surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun kalender atau pada saat

mulai menjadi subjek pajak dalam negeri sebagai dasar penentu PTKP.

b) Tata cara penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21/ 26.

(1) Bendahara menyetor PPh Pasal 21 yang tidak ditanggung pemerintah dengan menggunakan surat setoran pajak (SSP) ke

bank persepsi atau kantor pos dan giro selambat‐lambatnya tanggal 10 bulan takwin berikutnya. Apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya.

(2) PPh Pasal 21 yang terutang bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI/POLRI yang Pphnya ditanggung pemerintah, bendahara cukup melaporkan perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang dalam daftar gaji kepada KPPN.

(3) Bendahara melaporkan PPh Pasal 21 yang terutang sekalipun nihil dengan menggunakan SPT Masa selambat‐lambatnya tanggal 20

bulan takwin berikutnya. Apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur, pelaporan dilakukan pada hari kerja berikutnya.

b. Bendahara Pemotong PPh Pasal 22

1) Pengertian PPh Pasal 22 PPh Pasal 22 adalah pajak penghasilan yang salah satu objeknya

dipungut/dipotong sehubungan dengan pembayaran atas pembelian barang oleh Direktorat Jenderal Anggaran dan bendahara pemerintah pusat maupun daerah. PPh Pasal 22 dikenakan atas keuntungan penjual/rekanan dan diperlakukan oleh yang bersangkutan sebagai kredit pajak. Oleh karena itu PPh Pasal 22 dilarang membebani harga pembelian barang yang dibiayai oleh APBN/APBD.

178 2014 | Pusdiklatwas BPKP

Pembayaran yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 antara lain:

a) barang kiriman hadiah keperluan ibadah umum, amal, sosial atau

budaya;

b) barang keperluan museum, kebun binatang dan tempat umum terbuka sejenis penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, khusus tuna

netra dan penyandang cacat lain;

c) vaksin polio dalam rangka program PIN (Pekan Imunisasi Nasional);

d) buku ‐buku pelajaran umum, kitab suci dan buku‐buku pelajaran agama;

e) barang/peralatan/perlengkapan militer untuk keperluan hankam; f)

penyerahan barang paling banyak Rp2.000.000,00 (bukan jumlah yang dipecah ‐pecah);

g) pembelian BBM, listrik, gas, pelumas, air minum/PDAM, dan benda

‐benda pos;

h) pembayaran untuk pembelian barang terkait penggunaan dana bantuan

operasional sekolah (BOS).

2) Saat Pemungutan, Tarif dan Cara Menghitung PPh Pasal 22 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dipungut pada saat pembayaran atas

pembelian barang kepada rekanan yang dibiayai dari APBN/APBD dengan tarif 1,5% x harga beli.

3) Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 22

a) Tata cara Pemotongan/Pemungutan dan Penyetoran PPh Pasal 22 (1) PPh Pasal 22 dipungut pada setiap pelaksanaan pembayaran oleh

KPPN atau bendahara atas penyerahan barang oleh wajib pajak (rekanan).

(2) PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh bendahara harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan

Manajemen Pemerintahan Pusat 179 Manajemen Pemerintahan Pusat 179

(3) Penyetoran dilakukan ke bank persepsi atau kantor pos dengan menggunakan SSP yang telah diisi oleh dan atas nama rekanan

serta ditandatangani oleh bendahara. Dalam hal pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan KPPN, SSP juga diisi oleh dan atas nama rekanan serta ditanda tangani oleh bendahara. Dalam hal rekanan belum memiliki NPWP dikenakan denda kenaikan 100% dari jumlah PPh Pasal 22 yang dipungut.

b) Tata Cara Pelaporan Potongan PPh Pasal 22 (1) Bendahara sebagai pemungut PPh Pasal 22 wajib menyampaikan

SPT Masa PPh Pasal 22 Belanja Negara. (2) SPT Masa disampaikan selambat‐lambatnya 14 hari setelah bulan

takwin berakhir. (3) Apabila hari ke‐14 jatuh pada hari libur, maka pelaporan dilakukan

pada hari kerja berikutnya.

c. Bendahara Pemotong Pph Pasal 23/26

1) Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 PPh Pasal 23 adalah pajak atas penghasilan dengan nama dan dalam bentuk

apapun yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Pihak yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 adalah WP dalam negeri dan badan usaha tetap (BUT) tanpa mengenal batasan nilai pengadaan seperti pada PPh Pasal 22. PPh Pasal 23 dikenakan atas pembayaran terkait pengadaan jasa, sewa, bunga, deviden, royalti dan hadiah sedangkan PPh Pasal 22 atas pembelian barang.

Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 antara lain berikut ini.

180 2014 | Pusdiklatwas BPKP 180 2014 | Pusdiklatwas BPKP

koperasi.

b) Hadiah/penghargaan/bonus/sejenisnya selain yang dipotong PPh Pasal

c) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, selain sewa atas tanah dan atau bangunan.

d) Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong

PPh Pasal 21. Pengecualian objek pemotongan PPh Pasal 23 antara lain:

• penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank •

sisa hasil usaha koperasi yang dibagikan kepada anggotanya.

2) Saat Pemungutan, Tarif dan Cara Menghitung PPh Pasal 23

Gambar

5.8 Tarif dan Dasar Pemotongan PPh Pasal 23

Manajemen Pemerintahan Pusat 181

PPh Pasal 23 dipungut pada saat pembayaran atas pengadaan jasa dan sewa kepada penjual/rekanan serta hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya yang dibiayai dari APBN/APBD.

Tarif PPh Pasal 23 sebagai berikut.

a) 15% x penghasilan bruto atas dividen, bunga, royalti, hadiah/ penghargaan/bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh Pasal

b) 2% x penghasilan bruto tidak termasuk PPN atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (kecuali sewa tanah

dan/atau bangunan) serta jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Dalam hal WP yang menerima penghasilan tidak memiliki NPWP tarif pemotongan PPh Pasal 23 dinaikkan lebih tinggi 100%.

3) Pengertian PPh Pasal 26 PPh Pasal 26 dikenakan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia dan

diterima oleh WP luar negeri (badan dan orang pribadi) selain bentuk usaha tetap (BUT).

4) Saat Pemungutan, Tarif dan Cara Menghitung PPh Pasal 26 PPh Pasal 26 dipungut pada saat pembayaran atas pembelian jasa baik oleh

KPPN maupun bendahara dan didukung bukti pemotongan. Tarif PPh Pasal 26 yang dipungut oleh bendahara pemerintah: 20% x

penghasilan bruto dan bersifat final, kecuali bila ada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), maka tarif PPh Pasal 26 disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku dalam P3B tersebut.

5) Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 23/26 berikut ini.

a) PPh Pasal 23/26 yang dipungut oleh bendahara pemerintah dijumlahkan dalam satu bulan takwim dan harus disetorkan ke bank persepsi/kantor

182 2014 | Pusdiklatwas BPKP 182 2014 | Pusdiklatwas BPKP

b) Bendahara melaporkan PPh Pasal 22 yang dipungut dengan menggunakan SPT Masa dilampiri lembar ke 3 SSP beserta daftar bukti

pemotongan pajak dan buktinya paling lambat tanggal 20 bulan takwim berikutnya.

d. Bendahara Pemotong PPN dan PPn‐BM

1) Pengertian PPN dan PPnBM

Gambar 5.9 Pengertian PPN dan PPnBM

DI DALAM

a) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang kena pajak (BKP)

dan jasa kena pajak (JKP) di dalam daerah pabean. BKP adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa

barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN.

Manajemen Pemerintahan Pusat 183

JKP adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang/fasilitas/ kemudahan/hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN.

Kelompok barang yang tidak dapat dikenakan PPN terdiri sebagai berikut.

(1) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, yaitu: minyak mentah (crude oil), gas

bumi, panas bumi, pasir dan kerikil, batubara sebelum diproses menjadi briket batubara dan bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, dan bijih perak serta bijih bauksit.

(2) Barang‐barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, yaitu beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium, daging, telur, susu, dan buah.

(3) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, tidak termasuk makanan dan

minuman yang diserahkan oleh jasa boga atau catering. (4) Uang, emas batangan, dan surat‐surat berharga.

b) Pajak penjualan atas barang mewah (PPn‐BM) adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang di dalam daerah pabean yang

berdasarkan keputusan Menteri Keuangan tergolong barang mewah. 2)

Saat Pemungutan, Tarif dan Cara Pemungutan PPN dan PPn BM

a) Saat Pemungutan Pemungutan PPN dan atau PPn‐BM oleh bendahara dilakukan pada saat

pembayaran kepada rekanan pemerintah, dengan cara pemotongan

184 2014 | Pusdiklatwas BPKP 184 2014 | Pusdiklatwas BPKP

b) Tarif PPN dan PPn‐BM Tarif PPN merupakan tarif tunggal sebesar 10% (berdasarkan peraturan

pemerintah dapat diubah serendah‐rendahnya 5% dan setinggi‐tingginya 15%). Sementara tarif PPn‐BM yang berlaku sekarang ini paling rendah

10 % dan paling tinggi sebesar 200%.

c)

Dasar Pemungutan Dasar pemungutan PPN dan PPn‐BM adalah jumlah pembayaran baik

dalam bentuk uang muka, pembayaran sebagian, atau pembayaran seluruhnya yang dilakukan oleh pemungut PPN kepada PKP rekanan.

Dalam jumlah pembayaran oleh pemungut pajak tersebut, termasuk PPN dan PPn‐BM yang terutang tanpa memerhatikan apakah dalam kontrak menyebutkan ketentuan pemungutan PPN dan atau PPn‐BM maupun tidak.

3) Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPN dan PPn‐BM

a) PKP rekanan wajib menerbitkan faktur PPN dan SSP (khusus SSP ditandatangani bendahara) pada saat menagih kepada bendahara baik

untuk sebagian maupun seluruh nilai kontrak/SPK pada saat pembayaran. Apabila atas penyerahan BKP terutang PPn‐BM, PKP rekanan mencantumkan jumlahnya pada faktur PPN.

b) PPN/PPn ‐BM yang dipungut oleh bendahara pemerintah harus disetor ke bank persepsi atau kantor pos dengan menggunakan SSP yang telah diisi

oleh dan atas nama rekanan serta ditandatangani bendahara paling lambat tujuh hari setelah berakhirnya bulan pembayaran.

c) Bendahara melaporkan PPN/PPn‐BM yang dipungut (meskipun nihil) dengan menggunakan SPT Masa (formulir 1101 PUT) dilampiri faktur

Manajemen Pemerintahan Pusat 185

PPN dan SSP ke KPP dan KPPN tempat bendahara terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan takwim berikutnya.

d) Dalam hal Bank Pembangunan Daerah (BPD) bertindak sebagai kasir, faktur pajak PPN/PPn‐BM dan SSP diteruskan ke BPD melalui

bendaharawan pemerintah.