Modul Ahli MPP 2014 Copy

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENGAWASAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

Manajemen Pemerintahan Pusat

Dikeluarkan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP dalam rangka Diklat Fungsional Auditor – Diklat Pembentukan Auditor Terampil dan Ahli

Edisi Pertama : 2014

Penyusun : Imam Yunarto, Ak. M.Acc. Narasumber : Suhartanto, Ak., M.M. Pereviu : Priyono Dwi Nugroho, Ak., M.Si., M.M. Penyunting : Sisca Yulindrasari, Ak., M.Si.

Penata Letak : Didik Hartadi, S.E.

Pusdiklatwas BPKP Jl. Beringin II, Pandansari, Ciawi, Bogor 16720 Telp. (0251) 8249001 ‐ 8249003

Fax. (0251) 8248986 ‐ 8248987 Email : pusdiklat@bpkp.go.id Website : http://pusdiklatwas.bpkp.go.id

e ‐Learning : http://lms.bpkp.go.id

Dilarang keras mengutip, menjiplak, atau menggandakan sebagian atau seluruh isi modul ini, serta memperjualbelikan tanpa izin tertulis dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP.

Kata Pengantar

Peran dan fungsi aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) dalam rangka membantu manajemen untuk mencapai tujuan organisasi dilaksanakan melalui pemberian jaminan (assurance activities) dan layanan konsultansi (consulting activities) sesuai standar, sehingga memberikan perbaikan efisiensi dan efektivitas atas tata kelola, manajemen risiko, dan pengendalian intern organisasi. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah mengatur bahwa pelaksanaan audit intern di lingkungan instansi pemerintah dilaksanakan oleh pejabat yang mempunyai tugas melaksanakan pengawasan yang telah memenuhi syarat kompetensi keahlian sebagai auditor. Hal tersebut selaras dengan komitmen pemerintah untuk mewujudkan pemerintahan yang transparan dan akuntabel serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme pada berbagai aspek pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan yang dituangkan dalam Undang‐ Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.

Untuk menjaga tingkat profesionalisme aparat pengawasan, salah satu medianya adalah pendidikan dan pelatihan (diklat) sertifikasi auditor yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perubahan sikap/perilaku auditor pada tingkat kompetensi tertentu sesuai dengan perannya sesuai dengan keputusan bersama Kepala Pusat Pembinaan Jabatan Fungsional Auditor dan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Nomor KEP‐82/JF/1/2014 dan Nomor KEP‐ 168/DL/2/2014 tentang Kurikulum Pendidikan dan Pelatihan Fungsional Auditor.

Guna mencapai tujuan di atas, sarana diklat berupa modul dan bahan ajar perlu disajikan dengan sebaik mungkin. Evaluasi terhadap modul perlu dilakukan secara terus menerus untuk menilai relevansi substansi modul terhadap perubahan lingkungan yang terjadi. Modul ini ditujukan untuk memutakhirkan substansi modul agar sesuai dengan perkembangan profesi auditor, dan dapat menjadi referensi yang lebih berguna bagi para peserta diklat sertifikasi auditor.

Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi atas terwujudnya modul ini.

Ciawi, 30 April 2014 Kepala Pusdiklat Pengawasan BPKP

Nurdin, Ak., M.B.A.

Manajemen Pemerintahan Pusat i

ii 2014 | Pusdiklatwas BPKP

vi 2014 | Pusdiklatwas BPKP

viii 2014 | Pusdiklatwas BPKP

Bab I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam sejarah, pembentukan negara senantiasa akan disertai dengan penetapan tujuan bernegara tidak terkecuali NKRI. Undang‐undang Dasar 1945 dengan jelas telah mengamanatkan tujuan negara RepubIik Indonesia, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial. Tujuan bernegara tersebut menjadi acuan bagi penyelenggara negara/pemerintah dalam menjalanakan tugas dan fungsinya dalam pembangunan.

Sebagai suatu proses, pelaksanaan tugas dan fungsi pembangunan oleh pemerintah tidak terlepas dari aspek manajemen yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan (actuating), dan pengawasan (controlling). Aspek manajemen tersebut dijabarkan dalam berbagai peraturan perundangan dalam sistem administrasi untuk mendukung pencapaian tujuan bernegara di atas.

Dalam manajemen pemerintahan, pelaksanaan suatu tugas dan fungsi senantiasa diikuti dengan pendanaannya atau dikenal dengan prinsip money follows function, di mana pengalokasian anggaran untuk mendanai suatu kegiatan didasarkan pada tugas dan fungsi dari masing‐masing unit organisasi sesuai dengan amanat undang‐undang. Dengan demikian pemahaman terhadap proses manajemen pemerintahan selalu akan beriringan antara aspek kinerja yang menjadi sasaran pembangunan dengan aspek keuangan sebagai pendukungnya.

Sebagai bagian dari organisasi pemerintahan, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) berperan mengawal pelaksanaan manajemen pemerintahan agar memenuhi karakteristik good governance, yaitu transparan, akuntabel, adil, wajar, demokratis, partisipatif, dan responsif. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut, APIP di lingkungan pemerintah pusat harus memiliki kompetensi yang memadai tentang manajemen pemerintahan. Dengan kompetensi tersebut diharapkan APIP dapat melaksanakan tugas dengan lebih baik dan hasil pengawasannya bisa lebih terarah serta dapat memberi manfaat bagi manajemen dalam rangka meningkatkan kualitas pelaksanaan manajemen pemerintahan.

Manajemen Pemerintahan Pusat 1

Modul Manajemen Pemerintahan II ini diberikan pada Diklat Sertifikasi JFA tingkat Pembentukan Auditor Ahli selama 50 jam pelatihan.

B. KOMPETENSI DASAR

Setelah mempelajari modul ini peserta diklat diharapkan mampu mengidentifikasi titik‐titik kritis pada pelaksanaan tata kelola sektor publik sesuai ketentuan yang berlaku.

C. INDIKATOR KEBERHASILAN

Setelah mengikuti proses pembelajaran modul ini, peserta diklat diharapkan:

1. Memiliki pengetahuan mengenai prinsip‐prinsip akuntabilitas sektor publik (1.16)

2. Memiliki pengetahuan mengenai prinsip‐prinsip pengukuran kinerja (1.17)

3. Memiliki pengetahuan mengenai sistem akuntansi keuangan pemerintah pusat (6.5)

4. Memiliki pengetahuan mengenai kerangka kerja keuangan pemerintah pusat, seperti proses penganggaran, proses pengeluaran, proses reviu keuangan, manajemen kas, strategi

investasi, dll. (6.3)

5. Memiliki pengetahuan mengenai prinsip‐prinsip pembiayaan, pengelolaan keuangan organisasi dan pelaporannya (1.18)

6. Memiliki pengetahuan mengenai dampak audit internal terhadap tata kelola sektor publik (1.6)

7. Mampu mengidentifikasi secara kritis elemen‐elemen tata kelola organisasi (1.19)

D. SISTEMATIKA MODUL

Modul ini menguraikan manajemen pemerintahan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pembangunan untuk mewujudkan tujuan bernegara. Pembahasan dalam modul ini mengikuti fungsi manajemen yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan (actuating), dan pengawasan (controlling). Pada setiap fungsi manajemen yang dibahas dikaitkan mekanisme perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban pada aspek kinerja maupun keuangannya. Topik yang dibahas mencakup perencanaan dan penganggaran, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian, dan pertanggungjawaban, serta pemeriksaan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran.

2 2014 | Pusdiklatwas BPKP

Materi dalam modul ini terdiri dari delapan bab, yaitu:

Bab l

Pendahuluan Bab ini menguraikan latar belakang manajemen pemerintah pusat, kompetensi

dasar, indikator keberhasilan, sistematika modul, dan metode pembelajaran.

Bab II Konsepsi Good Governance dan Pengelolaan Keuangan Negara

Bab ini menguraikan konsepsi manajemen pemerintahan pusat, good governance dan akuntabiltas, serta keuangan negara dan pengelolaannya.

Bab lll Perencanaan dan Penganggaran

Bab ini menguraikan mekanisme perencanaan dan penganggaran. Bab IV Pengorganisasian

Bab ini akan menguraikan pengorganisasian pelaksanaan tugas dan fungsi, pengelolaan keuangan, dan waktu kegiatan.

Bab V Pelaksanaan APBN

Bab ini menguraikan pelaksanaan APBN yang meliputi persiapan, mekanisme pelaksanaan pendapatan, belanja, dan pembiayaan, serta pengelolaan aset dan utang, serta ketentuan mengenai pidana, sanksi administrasi, dan ganti rugi.

Bab VI Pelaporan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara

Bab ini menguraikan pelaporan kinerja, pelaporan keuangan, dan pelaporan lainnya.

Bab VII Audit Internal

Bab ini menguraikan konsepsi audit internal sebagai bentuk pengendalian serta dampaknya terhadap tata kelola sektor publik.

Bab VIII

Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara

Bab ini akan menguraikan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang mencakup lingkup pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan, serta hasil pemeriksaan dan tindak lanjut.

Manajemen Pemerintahan Pusat 3

Gambar 1.1 Keterkaitan Indikator Keberhasilan dan Sistematika Modul

E. METODE PEMBELAJARAN

Metode pemelajaran yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran adalah:

1. Ceramah Widyaiswara/instruktur menjelaskan materi manajemen pemerintahan pusat secara

deskriptif. Modul ini tidak membahas mengenai bagaimana cara mengimplementasikan konsep ‐konsep dalam manajemen pemerintahan pusat. Alasannya, uraian mengenai bagaimana cara mempraktikkan konsep‐konsep dalam manajemen pemerintahan pusat dibahas pada tingkatan diklat yang lebih tinggi. Modul ini berisikan hal‐hal mendasar mengenai manajemen pemerintahan pusat yang diuraikan secara lengkap dan menyeluruh.

4 2014 | Pusdiklatwas BPKP

2. Tanya jawab dan diskusi Widyaiswara dan peserta bertanya jawab untuk mendalami permasalahan/kondisi yang

terkait dengan permasalahan dalam manajemen pemerintahan pusat.

3. Latihan Peserta berlatih menyelesaikan kasus‐kasus yang terkait dengan manajemen

pemerintahan pusat.

Manajemen Pemerintahan Pusat 5

6 2014 | Pusdiklatwas BPKP

Bab II KONSEPSI GOOD GOVERNANCE DAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA

Indikator Keberhasilan

Setelah mempelajari bab ini, peserta diklat diharapkan memiliki pengetahuan mengenai prinsip ­prinsip akuntabilitas sektor publik.

A. KONSEPSI MANAJEMEN PEMERINTAHAN PUSAT

1. Tujuan Bernegara dan Penyelenggaraan Negara

Undang ‐Undang Dasar 1945 dalam pembukaannya menegaskan tujuan bernegara Indonesia yaitu:

a. melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,

b. memajukan kesejahteraan umum,

c. mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

d. ikut serta mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dalam rangka mewujudkan tujuan bernegara dibentuk pemerintahan yang menjalankan amanah tersebut. Untuk mewujudkan amanah tersebut, pemerintah diberi kewenangan‐ kewenangan berdasarkan peraturan perundangan, diantaranya PP Nomor 25 Tahun 2000 yang menyebutkan kewenangan pemerintah pusat dalam enam bidang yaitu dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional.

Manajemen Pemerintahan Pusat 7

Sejalan dengan kewenangan yang diberikan tersebut, pemerintah juga diberi “rambu‐ rambu” melalui berbagai peraturan perundangan agar amanah mewujudkan tujuan bernegara dapat dijalankan dengan baik. Namun demikian, dalam perjalanannya pelaksanaan pemerintahan tidak selalu berjalan baik. Puncaknya pada tahun 1998, melalui gerakan reformasi, masyarakat menuntut pergantian rezim pemerintahan saat itu yang dianggap telah banyak melanggar “rambu‐rambu” dalam mewujudkan tujuan bernegara.

Gerakan reformasi tersebut mendorong Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai lembaga tertinggi saat itu (berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen) menegaskan perlunya penyelenggaraan negara yang baik melalui ketetapan Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketetapan tersebut selanjutnya menjadi tonggak penyelenggaraan negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh‐sungguh dan penuh tanggung jawab. Sebagai turunan ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, disusun Undang‐Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang mengetengahkan asas‐asas umum penyelenggaraan negara sebagai berikut.

a. Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang‐undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap

kebijakan Penyelenggara Negara.

b. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan

negara.

c. Asas Kepentingan Umum adalah yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.

d. Asas Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang

penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.

e. Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.

8 2014 | Pusdiklatwas BPKP 8 2014 | Pusdiklatwas BPKP

g. Asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan

kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‐undangan yang berlaku.

Dengan memperhatikan dan melaksanakan asas‐asas penyelenggaraan negara ini diharapkan para penyelenggara negara mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh ‐sungguh dan penuh tanggung jawab.

2. Manajemen Pemerintahan

Dalam rangka memahami pengertian manajemen pemerintahan, digunakan pengertian administrasi negara. Administrasi negara adalah administrasi mengenai negara dalam keseluruhan arti, unsur, dimensi, dan dinamikanya (LAN, 2003). Administrasi negara berperan memberikan dukungan dan mengembangkan tugas penyelenggaraan negara, mengemban misi perjuangan bangsa dalam bernegara, memberikan perhatian dan pelayanan sebaik‐baiknya kepada masyarakat, dan membuka peluang kepada masyarakat untuk berkarya dalam upaya mencapai tujuan bersama dalam bernegara, ataupun untuk melakukan peran tertentu dalam pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik yang secara tradisional dilakukan oleh aparatur negara.

Dalam pengertian administrasi negara terkandung konsep‐konsep: tata nilai, organisasi dan manajemen pemerintahan negara, sistem penyelenggaraan kebijakan negara, sumber daya aparatur negara, lingkungan administrasi negara, posisi dan peran warga negara, dan dimensi hukum. Organisasi dan manajemen pemerintahan negara merupakan fenomena substansial dari disiplin dan sistem organisasi negara. Organisasi pemerintahan negara berkenaan dengan tatanan organisasi pemerintahan negara meliputi lembaga eksekutif (pemerintah), dan legislatif (badan perwakilan rakyat), yang eksis pada setiap satuan wilayah pemerintahan, yudikatif (badan peradilan) dan lembaga negara lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan negara, serta tata hubungan fungsional di antara lembaga ‐lembaga tersebut. Sedangkan manajemen pemerintahan negara berkenaan dengan kegiatan pengelolaan tugas pemerintahan negara, meliputi tugas pemerintahan umum dan pembangunan.

Manajemen Pemerintahan Pusat 9

Salah satu lingkup administrasi negara di atas adalah manajemen pemerintahan negara yang meliputi kegiatan pengelolaan pelaksanaan tugas pemerintahan umum dan pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan dan wilayah pemerintahan, yang merupakan pelaksanaan fungsi‐fungsi manajemen pemerintahan pada umumnya, seperti pengelolaan kebijakan, perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan, pengendalian, pelayanan, pengawasan, dan pertanggungjawaban hasilnya dari setiap atau keseluruhan organisasi pemerintahan negara.

Cakupan manajemen pemerintahan tersebut memperlihatkan empat fungsi pokok manajemen, yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan pelaksanaan (actuating), dan pengendalian (controlling) (G.R. Terry, 2000). Perwujudan konsep manajemen tersebut apabila diterapkan dalam penyelenggaraan negara mencakup Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan Sistem Adminsitrasi Keuangan Negara (SAKN) sebagai berikut.

a. SPPN mewakili fungsi perencanaan, yang merupakan satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana‐rencana pembangunan

dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah. Ketentuan mengenai SPPN diatur dalam Undang‐Undang Nomor 25 Tahun 2004.

b. Sistem Adminsitrasi Keuangan Negara (SAKN) mencakup pengorganisasian, penggerakan pelaksanan, dan pengendalian sebagai berikut.

1) Pengorganisasian, diwujudkan dalam penetapan lingkup dan ketentuan mengenai keuangan negara sebagaimana diatur dalam Undang‐undang Nomor

17 Tahun 2003; 1)

Penggerakan pelaksanaan, diwujudkan dalam ketentuan mengenai pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara sebagaimana diatur dalam Undang‐undang Nomor 1 Tahun 2004;

2) Pengendalian, diwujudkan dalam ketentuan mengenai pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana diatur dalam Undang ‐undang Nomor 15 Tahun 2004.

10 2014 | Pusdiklatwas BPKP

Gambar

2.1 Sistem Administrasi Keuangan Negara

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik pengertian manajemen pemerintahan sebagai proses pengelolaan penyelenggaraan pemerintahan yang mencakup perencanaan pemerintahan, pengorganisasian atau kelembagaan pemerintahan dan penggunaan sumber ‐sumber daya dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Aspek‐aspek dalam manajemen pemerintahan secara umum mencakup:

a. perencanaan pemerintahan,

b. pengorganisasian kelembagaan pemerintahan,

c. penggunaan sumber‐sumber daya pemerintahan untuk pelayanan berikut pertanggungjawabannya, dan

d. pengawasan penyelenggaraan pemerintahan.

Manajemen Pemerintahan Pusat 11

B. KONSEPSI GOOD GOVERNANCE DAN AKUNTABILITAS

1. Revolusi Manajemen Sektor Publik

Seiring dengan meningkatnya peran swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, manajemen sektor publik telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini antara lain dipicu oleh pemikiran Osborne dan Gaebler dalam bukunya Reinventing Government (1992) atau pemerintahan wirausaha. Perubahan tersebut pada dasarnya diarahkan pada penciptaan manajemen publik yang handal dan mempertajam serta meningkatkan kualitas penyelenggaraan administrasi publik. Konsep dan sistem administrasi publik yang kaku, struktural/hirarkis, dan birokratis telah ditinggalkan dan sebagai gantinya telah dikembangkan suatu konsep manajemen publik yang fleksibel dan berorientasi kepada pasar. Dalam paradigma manajemen sektor publik yang baru, birokrasi pemerintah dibuat seefisien dan seefektif mungkin sehingga mereka dapat bergerak fleksibel dalam mengikuti tuntutan masyarakat dan perubahan lingkungan. Paradigma baru ini dianggap sebagai solusi atas berbagai label negatif yang melekat pada sektor publik yaitu dengan mengacu pada kaidah‐kaidah terhadap new public management (NPM).

Perubahan ini bukan perubahan sederhana dalam “management style” administrasi publik. Akan tetapi, perubahan ini merupakan perubahan peranan pemerintah dalam masyarakat dan hubungan antara pemerintah dengan masyarakatnya. Paradigma baru ini merupakan tantangan langsung atas berbagai fungsi prinsip administrasi publik yang telah diyakini sebagai paradigma terpenting selama hampir 20 abad. Dalam paradigma baru, birokrat dan pemerintah bukanlah satu‐satunya provider barang dan jasa masyarakat. Perspektif ini menempatkan organisasi swasta sebagai mitra pemerintah untuk menyediakan berbagai kebutuhan publik. Pemerintah berperan dalam memfasilitasi kebutuhan masyarakatnya melalui subsidi, pengaturan perundang‐undangan dan pengaturan kontrak. Keterbukaan pemerintah juga ditekankan dalam paradigma baru ini, yang ditunjukkan dengan diadopsinya berbagai prinsip dan sistem manajemen sektor swasta ke dalam sektor publik untuk memperbaiki kinerja birokrasi.

Dalam mekanisme dan pola hubungan ini akuntabilitas yang ada tidak hanya mengalir dari bawah ke atas, dalam arti pegawai secara hirarkis mempertanggungjawabkan kegiatan yang dilakukannya kepada pejabat di atasnya, namun pertanggungjawaban juga dilakukan

12 2014 | Pusdiklatwas BPKP 12 2014 | Pusdiklatwas BPKP

2. Pergeseran Paradigma New Public Management (NPM) ke Governance

Orientasi “privatisasi” yang terdapat pada NPM tidak berarti bahwa peran pemerintah berkurang, namun tetap terwujud dengan munculnya peranan pengaturan (regulations) terhadap keterlibatan sektor swasta dan juga dengan mengelola respon yang efektif terhadap tuntuntan sosial dan ekonomi masyarakat. World Bank (1997) menyebutkan bahwa meskipun terjadi kecenderungan “privatisasi” terhadap berbagai kegiatan pemerintah, hal ini tidak berarti bahwa peran pemerintah menjadi berkurang. Peran pemerintah masih sangat penting/dominan dalam manajemen pembangunan. Peran pemerintah mungkin akan berkurang dalam memberikan arahan dan petunjuk dari pusat pemerintahan. Akan tetapi, pemerintah masih tetap bertanggung jawab terhadap perancangan dan pelaksanaan kebijakan publik, terutama yang berkaitan dengan transformasi ekonomi, pengurangan kemiskinan, peningkatan kinerja sektor pertanian, ketenagakerjaan, fasilitas sosial dan umum, serta pengelolaan lingkungan hidup.

Hal lain yang mendukung bahwa peran pemerintah masih sangat dibutuhkan dalam pelayanan publik adalah kenyataan bahwa prinsip ekonomi dan efisiensi tidak selalu dapat diterapkan pada semua aktivitas pemerintah (misalnya fasilitas sosial dan fasilitas umum). Pemerintahan yang modern tidak hanya mencakup efisiensi dan peningkatan keekonomisan, tetapi juga merupakan hubungan akuntabilitas antara negara dengan warga negara, di mana warga negara tidak diberlakukan hanya sebagai konsumen tapi juga sebagai warga negara yang memiliki hak untuk mendapatkan jaminan atas kebutuhan dasar dan menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab atas berbagai kebijakan yang dilakukan. Hal ini merupakan perubahan pandangan dalam manajemen publik dari penekanan pada hubungan antara negara dengan pasar ke hubungan antara negara dengan warga negaranya. Pandangan ini dikenal dengan governance (kepemerintahan) yang diartikan oleh UNDP sebagai:

“… the exercise of political, economic and administrative authority in the management of a country’s affairs at all level…comprises the complex mechanisms, processes and institutions through which citizens and groups articulate their interests, mediate their differences and exercise legal rights and obligations” (UNDP, 1995).

Manajemen Pemerintahan Pusat 13

Dengan kata lain, governance meliputi berbagai kewenangan baik yang menyangkut kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi berinteraksi satu dengan lainnya. Hubungan ini mencakup hubungan yang komplek antar berbagai kewenangan dalam semua level pemerintahan dalam bentuk mekanisme, proses dan pembentukan institusi di mana masyarakat dan kelompok masyarakat dapat menyampaikan keinginan, mengatur berbagai perbedaan, dan juga mendapatkan jaminan hukum, termasuk pengaturannya.

Konsep ini lebih luas dari fungsi dan kapasitas sektor publik, akan tetapi konsep ini berkaitan dengan manajemen proses pembangunan yang melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat. Hubungan semua pihak ini bukan merupakan kerangka kegiatan yang terpisah melainkan dalam kerangka keterpaduan dan kerja sama yang harmonis untuk pencapaian tujuan dan kepentingan bersama. Tujuan interaksi sosial‐politik‐ekonomi dalam pengertian ini adalah tercapainya suatu keseimbangan dan sinergi dalam pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masing‐masing institusi dalam satu keselarasan dan keseimbangan.

3. Karakteristik Good Governance (GG)

Dalam rangka mengembangkan strategi yang lebih implementatif, terdapat banyak karakteristik dan prinsip tentang GG. Salah satu yang menjadi tonggak penting adalah karakteristik GG yang dirumuskan pada deklarasi Manila, yaitu transparan, akuntabel, adil, wajar, demokratis, partisipatif, dan responsif.

Masing ‐masing karakteristik dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.

a. Transparan, mengindikasikan adanya adanya kebebasan dan kemudahan didalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai bagi mereka yang memerlukan.

Informatif, mutakhir, dapat diandalkan, mudah diperoleh dan dimengerti adalah beberapa parameter yang digunakan untuk mengecek keberhasilan tranparansi.

b. Akuntabel, di mana semua pihak (baik pemerintah, swasta dan masyarakat) harus mampu memberikan pertanggungjawaban atas mandat yang diberikan kepadanya

untuk para stakeholders. Secara umum organisasi atau institusi harus akuntabel kepada mereka yang terpengaruh dengan keputusan atau aktivitas yang mereka lakukan.

14 2014 | Pusdiklatwas BPKP 14 2014 | Pusdiklatwas BPKP

dari aspek ekonomi, sosial dan politik. Adil ini juga berarti terdapat jaminan akan kesejahteraan masyarakat dimana semua masyarakat merasa bahwa mereka memiliki hak dan tidak merasa diasingkan dari kehidupan masyarakat.

d. Wajar, yaitu jaminan pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat (standar). Hal ini mensyaratkan bahwa semua kelompok, terutama

kelompok yang lemah, memiliki kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Untuk alasan ini, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat pemerintah harus menyediakan standar pelayanan untuk menjamin kesamaan (fair) dan konsistensi pelayanan.

e. Demokratis, yaitu terdapat jaminan kebebasan bagi setiap individu untuk berpendapat/mengeluarkan pendapat serta ikut dalam kegiatan pemilihan umum

yang bebas, langsung, dan jujur.

f. Partisipatif, yaitu terdapat jaminan kesamaan hak bagi setiap individu dalam pengambilan keputusan (baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan).

Dalam kaitannya dengan partisipasi ini, terdapat tuntutan agar pemerintah meningkatkan fungsi kontrol terhadap manajemen pemerintah dan pembangunan dengan melibatkan organisasi non‐pemerintah. Peran organisasi non‐pemerintah sangat penting dalam konteks ini karena diyakini organisasi ini memiliki kontak yang lebih baik dengan masyarakat miskin, memiliki hubungan yang baik dengan daerah pedalaman dan pedesaan, mampu menyediakan metode alternatif pelayanan publik dengan harga yang murah dan sebagai mediator dalam menyampaikan berbagai pandangan dan kebutuhan masyarakat.

g. Tanggap/peka/responsif, yang berarti bahwa dalam melaksanakan kepemerintahan semua institusi dan proses yang dilaksanakan pemerintah harus melayani semua

stakeholders secara tepat, baik dan dalam waktu yang tepat (tanggap terhadap kemauan masyarakat).

Berdasarkan konsep di atas, dapat dilihat bahwa good governance mempunyai tujuan yang lebih besar dari sekedar manajemen yang efisien dan penggunaan sumber daya yang ekonomis. Good governance adalah strategi untuk menciptakan institusi masyarakat yang

Manajemen Pemerintahan Pusat 15 Manajemen Pemerintahan Pusat 15

4. Konsep Akuntabilitas

Good governance tidak hanya terkait dengan efisiensi dan ekonomis, tapi juga berkaitan dengan akuntabilitas berbagai penyelenggaraan kepentingan publik kepada stakeholder ‐nya. Ide dasar dari akuntabilitas adalah kemampuan seseorang atau organisasi atau penerima amanat untuk memberikan jawaban kepada pihak yang memberikan amanat atau mandat tersebut. Semua unit organisasi, apakah dipilih atau

ditunjuk, dikatakan akuntabel ketika mereka mampu menjelaskan dan mempertanggungjawabkan semua tindakan/kegiatan yang mereka lakukan, dan menerima sanksi untuk tindakan yang tidak layak atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Konsep dan aplikasi akuntabilitas sebenarnya sudah ada namun seiring dengan perubahan lingkungan tuntutan akuntabilitas menjadi semakin besar. Secara garis besar terdapat empat model akuntabilitas yang perkembangannya lebih banyak dipengaruhi karena perubahan tuntutan dan kebutuhan masyarakat.

a. Model Tradisional Westminster Model ini menyebutkan bahwa garis pertanggungjawaban akuntabilitas adalah dari

bawah ke atas (hierakhis), dan garis kewenangan (otoritas) dari atas ke bawah atau akuntabilitas ministerial.

Model akuntabilitas ini sesuai dengan konsep birokrasi yang diterapkan oleh Max Weber sehingga disebut juga sebagai administrative accountability. Dalam konsep ini, setiap individu memberikan pertanggungjawaban terhadap suatu tugas spesifik yang diterima kepada atasannya secara hirarkis. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kontrol atasan terhadap kinerja bawahan.

16 2014 | Pusdiklatwas BPKP

Model tradisional Westminster memiliki beberapa kelemahan, yaitu:

1) ide pertanggungjawaban yang menekankan pada penjelasan dan pembenaran atas suatu tindakan dianggap tidak cukup digunakan untuk melihat kinerja

suatu tindakan;

2) hubungan dalam pertanggungjawaban yang bersifat interpersonal;

3) kontrol yang bersifat top‐down.

b. Model Tradisional yang Dikembangkan (upward, inward dan outward) Model ini merupakan jawaban terhadap adanya beberapa kelemahan dalam model

tradisional Westminster. Dengan berbagai kelemahan tersebut dan tuntutan global terhadap transparansi dan kejujuran organisasi pemerintah, maka dikembangkan konsep pertanggungjawaban akuntabilitas yang tidak hanya dari bawah ke atas, tetapi juga bersifat ke dalam (perorangan) dan ke luar (masyarakat). Untuk mendukung akuntabilitas internal dan eksternal ini, pendukung konsep ini menyarankan diciptakannya berbagai mekanisme dan sistem akuntabilitas seperti pengembangan jaminan kebebasan mendapatkan informasi dan pembentukan berbagai lembaga independen yang bertujuan untuk mengontrol kinerja sektor publik seperti ombudsman dan lembaga peradilan yang kuat.

c. Model Stone Dalam model ini pertanggungjawaban/akuntabilitas dibagi dalam lima kategori,

yaitu:

1) kontrol dari parlemen (DPR),

2) managerialism,

3) pengadilan/lembaga semi peradilan,

4) perwakilan masyarakat,

5) pasar (konsumen‐pengusaha).

d. Model Jaringan Kerja (Jaringan yang Kompleks) Para pihak yang terkait satu dengan yang lain membentuk suatu jaringan kerja yang

kompleks dan saling memberikan kontribusi dan informasi. Model ini menekankan

Manajemen Pemerintahan Pusat 17 Manajemen Pemerintahan Pusat 17

Selain model akuntabilitas yang menekankan pada cara dan institusi pendukung dalam pelaksanaan akuntabilitas, terdapat faktor lain yang penting, yaitu mekanisme akuntabilitas. Pengembangan mekanisme akuntabilitas diarahkan untuk meningkatkan:

a. kejelasan tugas dan peran,

b. hasil akhir yang spesifik,

c. proses yang transparan,

d. ukuran keberhasilan kinerja, dan

e. konsultasi dan inspeksi publik. Mekanisme akuntabilitas juga meliputi beberapa aspek, yaitu siapa yang harus melakukan

akuntabilitas, kepada siapa akuntabilitas ini dilakukan, untuk apa akuntabilitas dilakukan, dan bagaimana proses akuntabilitas dilaksanakan. Mekanisme akuntabilitas ini sangat bervariasi dan sangat ditentukan oleh keputusan atau aktivitas yang dilakukan suatu organisasi mengikat organisasi secara internal atau mengikat secara eksternal.

Kepada siapa kita harus bertanggung jawab, tergantung pada siapa yang memberi kita mandat dan seberapa besar berbagai tindakan yang kita lakukan mempengaruhi orang lain. Pertanggungjawaban dapat diberikan kepada masyarakat (pelanggan), pemerintah pusat dan daerah (termasuk dalam hal ini presiden, menteri, bupati/walikota, gubernur, pejabat struktural dalam birokrasi pemerintah), organisasi kemasyarakatan/NGOs, organisasi pemerintah lainnya misalnya BUMN, dan lembaga penilai organisasi publik yang diatur dalam undang‐undang.

Mulgan, Richard (2003) dalam bukunya “Holding Power to Account”, membuat matriks mekanisme akuntabilitas pemerintah. Contoh dari matriks yang dikembangkan adalah sebagaimana Tabel 2.1 berikut.

18 2014 | Pusdiklatwas BPKP

Tabel

2.1 Mekanisme Akuntabilitas Pemerintah

Prosesnya

Mekanisme Siapa Kepada Siapa

Untuk Apa

Bagaimana Bagaimana

Pemilu ƒ Parpol

ƒ Pemilih

ƒ Kinerja

ƒ Kampanye ƒ Diskusi

ƒ Individu

secara total

Parpol

Amandemen

(yang dipilih) Media ƒ Pemerintah

ƒ Wartawan

ƒ Kinerja

ƒ Laporan pers ƒ Informasi

ƒ Wawancara ƒ Diskusi

umum

ƒ Laporan dari

Akses publik

ƒ Prosedur ƒ Informasi

secara umum

pengaduan ƒ Diskusi

langsung ƒ Keputusan

ƒ Prosedur (bukan FOI)

khusus

ƒ Amandemen ƒ Anggaran

FOI

(bukan FOI)

dasar

Catatan: FOI = freedom of information

5. Kebijakan Akuntabilitas di Indonesia

Pengembangan kebijakan akuntabilitas di Indonesia dipicu oleh dua hal penting, yaitu: pertama, adanya tuntutan internal (masyarakat Indonesia) antara lain agar sektor publik semakin transparan dan mampu mempertanggungjawabkan atas berbagai kebijakan dan tindakan yang dilakukan yang ditujukan untuk menyelesaikan dan memenuhi tuntutan publik. Kedua, adalah tuntutan perubahan dalam lingkungan global dalam hal manajemen sektor publik misalnya tuntutan Good Governance dan Performance Management.

Kebijakan akuntabilitas di Indonesia dimulai sejak dikeluarkannya TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998 dan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 disebutkan salah satu asas penyelenggaraan kepemerintahan yang baik yaitu asas akuntabilitas. Asas akuntabilitas di sini diartikan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan perundang‐undangan yang berlaku.

Dalam tataran praktis, terdapat Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah sebagai wujud nyata penerapan akuntabilitas di

Manajemen Pemerintahan Pusat 19

Indonesia. Inpres ini mendefinisikan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) sebagai pertanggungjawaban keberhasilan atau kegagalan misi dan visi instansi pemerintah dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui seperangkat indikator kinerja. Dalam konteks AKIP ini, instansi pemerintah diharapkan dapat menyediakan informasi kinerja yang dapat dipahami dan digunakan sebagai alat ukur keberhasilan ataupun kegagalan pencapaian tujuan dan sasaran tersebut. Inpres Nomor 7 Tahun 1999 dijabarkan lebih lanjut dalam Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 589/IX/6/Y/99 tentang Pedoman Pelaporan Akuntabilitas Instansi pemerintah, yang telah diperbaiki dengan Keputusan Kepala LAN Nomor 239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi pemerintah (SAKIP) merupakan instrumen yang digunakan instansi pemerintah dalam memenuhi kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi (LAN, 2004, hal. 63). Sebagai suatu sistem, SAKIP terdiri dari komponen‐komponen yang merupakan satu kesatuan, yakni perencanaan kinerja, pengukuran dan evaluasi kinerja, serta pelaporan kinerja. Komponen dalam SAKIP ini menceminkan semua proses yang ada dalam manajemen kinerja.

PP Nomor 8 Tahun 2006 Pasal 2 ‐ 3 telah menegaskan kewajiban penyusunan dan penyajian laporan keuangan maupun laporan kinerja dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/ APBD bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, kementerian negara/lembaga, dan Bendahara Umum Negara.

Selanjutnya berdasarkan Inpres Nomor 4 Tahun 2011 tentang Percepatan Peningkatan Kualitas Akuntabilitas Keuangan Negara ditetapkan peran BPKP untuk melaksanakan (1) asistensi kepada kementerian/lembaga/pemerintah daerah untuk meningkatkan pemahaman bagi pejabat pemerintah pusat/daerah dalam pengelolaan keuangan negara/ daerah, meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang‐undangan, dan meningkatkan kualitas laporan keuangan dan tata kelola, (2) evaluasi terhadap penyerapan anggaran kementerian/ lembaga/pemerintah daerah, dan memberikan rekomendasi langkah‐langkah strategis percepatan penyerapan anggaran, dan (3) audit tujuan tertentu terhadap program‐program strategisnasional yang mendapat perhatian

20 2014 | Pusdiklatwas BPKP 20 2014 | Pusdiklatwas BPKP

C. KONSEPSI KEUANGAN NEGARA DAN PENGELOLAANNYA

1. Keuangan Negara

a. Pengertian Undang ‐undang Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) mendefenisikan keuangan

negara sebagai “semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.

Pengertian tersebut mengandung tiga pokok penting unsur keuangan negara sebagai berikut.

1) Hakikat keuangan negara, yaitu hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Pembentukan pemerintahan negara menimbulkan hak dan

kewajiban negara (yang dapat dinilai dengan uang) antara negara dengan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang meliputi:

a) hak negara, yang meliputi hak memungut pajak, mengeluarkan dan

mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

b) kewajiban negara, yang meliputi kewajiban untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak

ketiga.

2) Keuangan negara dapat berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara. Keuangan negara dapat berupa penerimaan dan pengeluaran

uang negara/daerah maupun segala bentuk kekayaan yang berbentuk barang (aset) yang dapat dijadikan milik negara.

3) Keuangan negara berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam rangka pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara, sebagaimana tercantum

dalam Pembukaan UUD 1945. Manajemen Pemerintahan Pusat 21 dalam Pembukaan UUD 1945. Manajemen Pemerintahan Pusat 21

objek, subjek, proses, dan tujuan. 1)

Dari sisi objek Keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai

dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter, dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara.

2) Dari sisi subjek Keuangan negara meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang

dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat/Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.

3) Dari sisi proses Keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang terkait dengan

pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas, mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.

4) Dari sisi tujuan Keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan, dan hubungan hukum

yang terkait dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

c. Ruang Lingkup Keuangan Negara Sesuai Pasal 2 Undang‐undang Nomor 17 Tahun 2003, keuangan negara meliputi:

1) hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

2) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

22 2014 | Pusdiklatwas BPKP

3) penerimaan/pengeluaran negara/daerah;

4) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak‐hak lain yang dapat

dinilai dengan uang. Termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;

5) kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; dan

6) kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

2. Pengelolaan Keuangan Negara

a. Ruang Lingkup Pengaturan mengenai pengelolaan keuangan negara mencakup seluruh kegiatan

perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban keuangan negara, yang meliputi:

1) pengertian dan ruang lingkup keuangan negara,

2) asas ‐asas umum pengelolaan keuangan negara,

3) kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara,

4) pendelegasian kekuasaan presiden kepada Menteri Keuangan dan menteri/pimpinan lembaga,

5) susunan APBN dan APBD,

6) ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD,

7) pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral, serta pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing,

Manajemen Pemerintahan Pusat 23

8) pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat, dan

9) penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.

b. Bidang Pengelolaan Keuangan Negara Bidang pengelolaan keuangan negara dapat dikelompokkan dalam tiga sub bidang

pengelolaan, yaitu subbidang pengelolaan fiskal, subbidang pengelolaan moneter, dan subbidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.

1) Subbidang pengelolaan fiskal, meliputi fungsi‐fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, serta pengawasan keuangan.

2) Subbidang pengelolaan moneter, berkaitan dengan kebijakan serta pelaksanaan kegiatan sektor perbankan dan lalu lintas moneter, baik dalam maupun luar negeri. Serangkaian kebijakan di bidang moneter tersebut dilakukan oleh pemerintah agar ada keseimbangan yang dinamis antara jumlah uang yang beredar dengan barang dan jasa yang tersedia di masyarakat.

3) Subbidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, berkaitan dengan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan di sektor Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD) yang berorientasi mencari keuntungan (profit motive).

c. Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Lembaga‐Lembaga Infra/Supranasional Karena kegiatan pengelolaan keuangan negara bersifat kompleks, UU Nomor 17

tahun 2003 mengatur ketentuan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan lembaga‐lembaga infra/supranasional, yang sebagai berikut.

24 2014 | Pusdiklatwas BPKP

1) Bank Sentral (Pasal 21). Pemerintah pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan

pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter.

2) Pemerintah Daerah (Pasal 22) •

Pemerintah pusat berkewajiban mengalokasikan dana perimbangan kepada pemerintah daerah berdasarkan undang‐undang perimbangan keuangan pusat dan daerah.

• Pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintah daerah atau sebaliknya setelah mendapatkan persetujuan dengan DPR.

3) Pemerintah Asing dan Badan/Lembaga Asing (Pasal 23) •

Pemerintah pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR.

• Pinjaman dan/atau hibah yang diterima pemerintah pusat tersebut dapat diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah/Perusahaan Negara/ Perusahaan Daerah.

4) Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Perusahaan Swasta, dan Badan Pengelola Dana Masyarakat (Pasal 24)

• Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.

• Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan negara.

• Pemerintah pusat dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan negara setelah mendapatkan persetujuan DPR.

Manajemen Pemerintahan Pusat 25

• Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan daerah.

• Pemerintah daerah dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan daerah setelah mendapat persetujuan DPRD.

• Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR.

d. Asas Pengelolaan Keuangan Negara Kewajiban pengelolaan keuangan negara dinyatakan dalam UU Nomor 17 Tahun

2003 pasal 3 ayat (1), bahwa setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang‐undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Asas pokok tersebut dijabarkan ke dalam asas‐asas umum, baik asas‐asas yang telah lama dikenal (seperti, asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas) maupun asas‐asas baru sebagai pencerminan penerapan kaidah‐kaidah yang baik (best practices) dalam pengelolaan keuangan negara. Asas‐asas tersebut adalah sebagai berikut:

1) asas tahunan, mensyaratkan bahwa anggaran negara dibuat secara tahunan dan harus mendapat persetujuan dari badan legislatif (DPR);

2) asas universalitas (kelengkapan), memberikan batasan bahwa tidak diperkenankan terjadinya percampuran antara penerimaan dengan pengeluaran negara;

3) asas kesatuan, mempertahankan hak budget dari dewan secara lengkap, dalam arti semua pengeluaran harus tercantum dalam anggaran. Dengan demikian, yang dibukukan dalam anggaran adalah jumlah brutonya;

26 2014 | Pusdiklatwas BPKP

4) asas spesialitas, mensyaratkan bahwa jenis pengeluaran dimuat dalam mata anggaran tertentu/tersendiri dan diselenggarakan secara konsisten, baik

secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kuantitatif artinya jumlah yang telah ditetapkan dalam mata anggaran tertentu merupakan batas tertinggi dan tidak boleh dilampaui. Secara kualitatif berarti penggunaan anggaran hanya dibenarkan untuk mata anggaran yang telah ditentukan;

5) asas akuntabilitas, berorientasi pada hasil, bahwa setiap pengguna anggaran wajib menjawab dan menerangkan kinerja organisasi atas keberhasilan atau

kegagalan suatu program yang menjadi tanggung jawabnya;

6) asas profesionalitas, mengharuskan pengelolaan keuangan negara ditangani oleh tenaga yang professional;

7) asas proporsionalitas, pengalokasian anggaran dilaksanakan secara proporsional pada fungsi‐fungsi kementerian/lembaga sesuai dengan tingkat

prioritas dan tujuan yang ingin dicapai;

8) asas keterbukaan, dalam pengelolaan keuangan negara diwajibkan adanya keterbukaan dalam pembahasan, penetapan, dan perhitungan anggaran serta

atas hasil pengawasan oleh lembaga audit yang independen;

9) asas pemeriksaan keuangan, dilakukan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri, dengan memberi kewenangan yang lebih besar pada Badan

Pemeriksa Keuangan untuk melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara secara aktif dan independen.

Asas ‐asas umum tersebut juga diperlukan guna menjamin terselenggaranya prinsip ‐prinsip pemerintahan. Dengan dianutnya asas‐asas umum tersebut, pelaksanaan undang‐undang keuangan negara, selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Manajemen Pemerintahan Pusat 27

3. Kekuasaan dan Kewenangan Pengelolaan Keuangan Negara

a. Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 6 ayat 1 Presiden selaku kepala