OVERVIEW Introduction Majalah Perencanaan Pembangunan

17 E D I S I 0 2 T A H U N X V I I 2 0 1 1

XI. OVERVIEW

This paper performs multidimensional poverty analysis for households and individuals in Indonesia including three dimensions of wellbeing: education, health, and standard of living. Four rounds of Indonesia Family Life Survey IFLS data for the period 1993, 1997, 2000, and 2007 are utilised. An aggregative approach on multiple correspondence analysis MCA is used to compute composite index of poverty CIP. The paper further tests for poverty analysis and setting particular standard to determine poverty lines and inequality so that it will enable comparison with ordinary measurement. We extend the simulation using Foster-Greer-Thorbecke FGT approach to measure poverty lines while Lorenz curve and Gini coefficient are implemented to estimate the extent of inequality during research periods. Poverty dynamics is analysed through the length of experienced poverty applying method from Jalan and Ravallion 1998. Components of poverty are decomposed using poverty dominance. To reinforce the relationship hypothesis of wealth between periods, analysis is complemented with results from joint density function. We find that the estimated multidimensional poverty indices depend on the number of factors or variables considered and that the poverty measures are surrounded by macroeconomic situation. Poverty dominance analysis suggests that the highest contribution to multidimensional poverty is from human assets relative to physical assets, disaggregated poverty profile shows that higher rates occur in rural areas than urban areas, and dynamic analysis show higher presence of poverty in the period of 1993 compared to 2007. We further find that poverty is more characterised as chronic rather than transitory. Poverty declined marginally between 1993 and 2000, but drops significantly between 2000 and 2007.

XII. IMPLICATIONS

Most of our results conform to referenced literatures and justified by surrounding economic situation. Some aspects of the methodology can throw light on the potential for poverty measurement in Indonesia. We can use our results to enhance policymaking process especially related with poverty alleviation. For example, the distinction of poverty condition between chronic and transient is not only important from the point of view of accuracy, but for policy implication purposes as well. Chronic poverty vis a vis transient poverty would call for different policy alleviation strategies. Most poverty reduction policies are aiming to promote economic growth as in McCulloch and Baulch, 2000 as it assumes that improved endowments will allow households to increase their productivity. They often focus upon improving poor elements of human and physical assets that found to be most strongly associated with poverty. In a country where the poverty problem is characterised by the chronic poor, then the appropriate strategy for instance would be to redistribute assets, providing basic physical and human capital infrastructure Hulme, 2003. Likewise if the predominant poverty problems relate to transient poverty, the strategy would be directed towards providing safety nets and coping mechanism to reduce their vulnerability and help them return to a non-poor situation. The results imply that economic shock and location differences play a major part in shaping the extent of poverty measurement. The results of this study also indicate that the multidimensional poverty rate differ from the consumption-based poverty rate. In fact, the multidimensional poverty rate, in particular the incidence of chronic poverty tends to be higher than that of lower vulnerable groups. It has been shown that economic growth per se has positive effect on poverty eradication.Economic growth translates into larger opportunities consequently increases capacity to add to total wealth. Policies that would facilitate empowerment and intervention to chronic poverty rate are to be prioritised and need to be encouraged. Results as presented in this paper are still in preliminary stage. Further refinement is needed in terms of disaggregation particularly relates to variables and locations. It should also be associated with variables that represent or proxy consumption expenditure and income. Disaggregation into local level provincial is also suggested once data made available. While most of the factors affecting transient and chronic poverty are the same, some are different. Further analysis is needed to disentangle how each factor relates to the poverty transition. A more ideal approach, beyond the scope of this paper, is to combine the quantitative poverty dynamics study with panel data regression estimation to obtain more information on variables affecting poverty transition. Clear policy implication will emerge from results of such refined analysis. n Dharendra Wardhana is a Junior Planner of Social Protection and Welfare Directorate, Bappenas Note: Due to space limitation this paper is very much truncated. Reader wishes to read the original paper is advised to contact the writer via majalahperencanaanbappenas.go.id 1 Purchasing power parity: 2 Constructed using Stata, Version 11. 18 E D I S I 0 2 T A H U N X V I I 2 0 1 1 Mukti Ari Widayani

1. PENDAHULUAN

Situasi umum lapangan pekerjaan di Indonesia selama beberapa tahun terakhir telah mengalami perbaikan yang signifikan, meskipun terjadi bencana alam dan krisis ekonomi global. Hasil survey Badan Pusat Statistik BPS menunjukkan bahwa jumlah angkatan kerja meningkat dari tahun ke tahun, begitu juga dengan tingkat partisipasi angkatan kerja yang merupakan rasio antara angkatan kerja dengan jumlah penduduk usia kerja. Namun angka pengangguran terbuka cukup tinggi 7,4, dan jumlah pekerja tidak penuh termasuk didalamnya setengah penganggur dan penganggur paruh waktu yaitu pekerja yang bekerja kurang dari jam kerja normal 35 jam per minggu pada tahun 2011 berjumlah 34,19 juta orang. Lihat Tabel 1. Jumlah ini meningkat sebesar 1,39 juta orang dari periode yang sama tahun sebelumnya. Sebagian dari mereka ini adalah yang bekerja pada jabatan yang lebih rendah dari tingkat pendidikan, dan mendapat upah lebih rendah, sehingga mengakibatkan produktivitas rendah. Tingkat pengangguran terbuka dan setengah penganggur yang sebanyak 42,3 juta orang ini menuntut perlunya kebijakan yang lebih efektif. Tabel 1 Penduduk Menurut Jenis Kegiatan Utama, 2009-2011 juta orang Jenis Kegiatan Utama 1. Angkatan Kerja Bekerja Penganggur 2. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja 3. Tingkat Pengangguran Terbuka 4. Pekerja tidak penuh Setengah penganggur Paruh waktu 113,74 104,49 9,26 67,60 8,14 31,36 15,00 16,36 113,83 104,87 8,96 67,23 7,87 31,57 15,40 16,17 116,00 107,41 8,59 67,83 7,41 32,80 15,27 17,53 116,53 108,21 8,32 67,72 7,14 33,27 15,26 18,01 119,40 111,28 8,12 69,96 6,80 34,19 15,73 18,46 Feb Agst 2009 2010 2011 Feb Agst Feb Sumber : Survey Angkatan Kerja Nasional Sakernas dalam Berita Resmi Statistik No. 3305Th. XIV, 5 Mei 2011 19 E D I S I 0 2 T A H U N X V I I 2 0 1 1 sendiri menyebabkan pengangguran semakin bertambah. Terjadinya pengangguran juga disumbang dari faktor kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja. Selain itu, pengangguran juga merupakan akibat pemutusan hubungan kerja yang disebabkan faktor-faktor seperti penutupan perusahaan, pengurangan bisnis karena ekonomi atau keamanan kurang konduktif, peraturan yang menghambat investasi, dan hambatan dalam proses impor dan ekspor. Menurut BPS, pengangguran terbuka merupakan bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah penah berkerja, atau sedang mempersiapkan suatu usaha, mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan dan mereka yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Sementara menurut International Labour Organization ILO, yang dimaksud dengan pengangguran adalah orang yang a “tanpa bekerja”, yaitu tidak dalam pekerjaan yang dibayar atau wiraswasta b “saat ini tersedia untuk bekerja”, seperti tersedia untuk pekerjaan yang dibayar atau wiraswasta selama periode acuan; dan c “mencari kerja” yaitu memiliki langkah-langkah khusus dalam periode tertentu untuk mencari pekerjaan yang dibayar atau wirausaha ILO, 1982. Menurut data BPS angka pengangguran pada tahun 2011 sebesar 8.117.631 orang, lebih dari 600 ribu diantaranya adalah pengangguran yang berpendidikan tinggi. Dilihat dari segi usia, porsi terbesar pengangguran adalah penganggur yang berumur 20-24 dengan persentase 31,48, diikuti dengan usia 15-19 sebanyak 29,15 dan 15,85 berasal dari usia 25-29 dengan jumlah sebanyak 6,2 juta orang. Sebanyak 5,2 juta 64,39 penganggur tinggal di wilayah perkotaan. Dan sebanyak 57,11 penganggur adalah laki-laki. Biasanya, jumlah pengangguran di negara-negara berkembang lebih tinggi dibandingkan di negara berpendapatan tinggi. Sementara negara industri menghadapi tingkat pengangguran yang biasanya bervariasi dari 5 sampai 10 persen, tingkat pengangguran di negara-negara berkembang dapat mencapai 20 persen atau lebih Hess dan Ross, 1997. Jumlah angka pengangguran di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Tingkat Pengangguran Terbuka

10.4 10.3

9.8 9.1

8.5 8.4

8.1 7.9

7.4 Feb-10 Aug-09 Aug-08 Aug-07 Aug-06 Feb-09 Feb-08 Feb-07 Feb-06 3 6 TPT Bulan 9 12 Sumber : Survey Angkatan Kerja Nasional Sakernas Dibandingkan Februari 2010, penduduk bekerja menurut pekerjaan utama pada Februari 2011 meningkat di hampir semua pekerjaan utama, kecuali untuk sektor pertanian dan transportasi yang masing-masing menurun sebesar 0,36 juta orang dan 0,24 juta orang. Sektor-sektor yang mengalami kenaikan terbesar, yaitu: sektor jasa 1.41 juta orang, sektor jasa kemasyarakatan 1,07 juta, sektor perdagangan 1,03 juta orang, dan sektor konstruksi 0,74 juta orang. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, 2009-2011 juta orang Lapangan Pekerjaan Utama Pertanian Industri Konstruksi Perdagangan Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi Keuangan Jasa Kemasyarakatan Lainnya Jumlah 43,03 12,62 4,61 21,84 5,95 1,48 13,61 1,35 104,49 41,61 12,84 5,49 21,95 6,12 1,49 14,00 1,39 104,89 42,83 13,05 4,84 22,21 5,82 1,64 15,62 1,40 107,41 41,49 13,82 5,59 22,49 5,62 1,74 15,96 1,50 108,21 42,47 13,71 5,58 23,24 5,58 2,06 17,03 1,61 111,28 Feb Agst 2009 2010 2011 Feb Agst Feb Catatan Sektor Pertambangan, Listrik, Gas dan Air Sumber : Survey Angkatan Kerja Nasional Sakernas dalam Berita Resmi Statistik No. 3305Th. XIV, 5 Mei 2011 Sektor pertanian dan perdagangan adalah dua sektor yang menyerap tenaga kerja paling banyak dibanding sektor- sektor yang lain. Sektor-sektor informal seperti pertanian dan perdagangan mampu menekan pertumbuhan angka pengangguran karena sektor ini mampu memberi dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi para pencari kerja yang tidak terserap pada usaha ekonomi formal. Namun ironisnya hingga saat ini belum semua usaha-usaha ekonomi informal terjangkau oleh program-program pembinaan dan perlindungan yang berkesinambungan Sinaga, 2010. Begitu juga dengan tenaga kerja yang bekerja di luar negeri lebih banyak bekerja di sektor informal dibanding dengan tenaga kerja terdidik dan terlatih. Pemerintah dinilai kurang begitu memperhatikan dan memberi perlindungan kepada mereka yang telah berjasa sebagai pahlawan devisa tersebut, sebagai akibatnya terjadi banyak permasalahan hukum yang terjadi pada para pekerja.

2. PENGANGGURAN

Pengangguran adalah masalah tenaga kerja yang signifikan di Indonesia. Hal ini terjadi karena ada kelebihan dalam penyediaan tenaga kerja sementara kesempatan kerja tidak menyukupi. Selain ketidakseimbangan antara percepatan dalam ukuran angkatan kerja dengan pengurangan kesempatan kerja, pengangguran juga terjadi akibat dari prasyarat pengembangan teknologi yang dibutuhkan untuk kesempatan kerja baru tidak dapat dipenuhi oleh pencari kerja. Terlalu bergantung kepada sistem dan institusi pemberi kerja serta kurangnya kreatifitas dan inovasi untuk menciptakan lapangan kerja 20 E D I S I 0 2 T A H U N X V I I 2 0 1 1 Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa terjadi penurunan tingkat pengangguran terbuka sejak tahun 2006. Penurunan ini terjadi dimungkinkan karena terciptanya lapangan kerja baru yang mampu menyerap tenaga kerja secara besar-besaran baik formal maupun informal. Diatas kertas, jumlah pengangguran terbuka memang tidak terlalu tinggi dan menurun dari tahun ke tahun, namun perlu dilihat berapa besar jumlah pengangguran tidak kentara yang mungkin lebih besar daripada jumlah pengangguran yang dapat dicatat oleh BPS. Berdasarkan tingkat pendidikannya, survey pada bulan Februari 2011 menunjukkan penganggur dari lulusan sekolah menengah atas menempati urutan pertama 12,17, diikuti lulusan Diploma sebanyak 11,59 dan yang berasal dari sekolah menengah kejuruan. Hal ini berbeda dengan survey enam bulan sebelumnya yang menunjukkan bahwa lulusan diploma menjadi penganggur paling banyak, disusul oleh lulusan universitas dan sekolah menengah atas, masing-masing 12,78, 11,92 dan 11,90. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 3 Tingkat Pengangguran Terbuka TPT Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, 2009-2011 Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan SD Ke Bawah Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas Sekolah Menengah Kejuruan Diploma IIIIII Universitas Jumlah 4,51 9,38 12,36 15,69 15,38 12,94 8,14 3,78 8,37 14,50 14,59 13,66 13,08 7,87 3,71 7,55 11,90 13,81 15,71 14,24 7,41 3,81 7,45 11,90 11,87 12,78 11,92 7,14 3,37 7,83 12,17 10,00 11,59 9,95 6,80 Feb Agst 2009 2010 2011 Feb Agst Feb Sumber : Survey Angkatan Kerja Nasional Sakernas Tingginya angka pengangguran terbuka dari angkatan kerja dengan tingkat pendidikan yang tinggi menandakan sedikitnya lapangan kerja formal yang bisa dimasuki oleh mereka. Kesempatan kerja formal memang menjanjikan, namun peluang tersebut tidak sebanding dengan jumlah para lulusan pendidikan tinggi yang mencari pekerjaan. Fakta bahwa akan selalu ada setidaknya sejumlah pengangguran di suatu ekonomi pasar bebas terjadi di setiap bangsa. Karena perubahan sukarela dalam pekerjaan, dan alasan lain yang tidak berhubungan dengan kesulitan ekonomi, ini membuat pengangguran sebagai salah satu faktor penting dalam makroekonomi. Pissarides 1989 mengungkapkan 3 alasan mengapa pengangguran akan selalu ada. Pertama, adanya masalah pengangguran jangka panjang. Layard dan Nickel dalam Pissarides 1989 berpendapat jika pengangguran jangka panjang akan merusak aspirasi dan tidak lagi aktif dalam mencari pekerjaan. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini tidak lagi menjadi bagian dari pengangguran aktif, sehingga mereka tidak membuat kontribusi apapun untuk kesejahteraan masyarakat. Faktor kedua dapat ditemukan pada respon pekerja terhadap pengangguran dan lowongan pekerjaan. Tunjangan pengangguran dan sikap terhadap jaminan sosial mempengaruhi para pengangguran pada pilihan dan kepentingan mereka untuk kembali bekerja. Alasan ketiga adalah sifat dari tawar-menawar upah. Tawar-menawar upah terjadi antara pekerja atau serikat pekerja dan majikan mereka. Karena para penganggur tidak mengambil bagian dalam proses penetapan upah, menyebabkan pengusaha dan serikat pekerja mengatur upah tetap rendah selama periode pengangguran tinggi untuk mendorong penciptaan lapangan kerja yang diperlukan untuk menempatkan pengangguran. Proses tawar- menawar upah ini didominasi oleh keinginan karyawan senior dan pejabat serikat pekerja yang memiliki pekerjaan yang aman. Pengangguran dapat didefinisikan sebagai tidak adanya pekerjaan untuk seseorang yang bersedia bekerja dengan gaji saat ini. Satu teori pengangguran penting adalah hukum Okun yang membahas hubungan negatif antara output atau Produk Domestik Bruto riil PDB dan pengangguran. Teori ini mencoba untuk mengidentifikasi permintaan terhadap tenaga kerja dan penawaran output serta kurva Phillips dalam memahami kurva penawaran agregat dengan pengangguran dan inflasi sebagai acuan. Kenaikan tingkat pengangguran untuk setiap satu persen di atas tingkat “alami”, akan mengurangi 21 E D I S I 0 2 T A H U N X V I I 2 0 1 1 PDB oleh dua sampai empat persen dari potensi Mankiw, 2006. Namun, karena fluktuasi jam per pekerja dan partisipasi angkatan kerja mencakup beberapa terselubung, Okun belum menunjukkan bahwa pengangguran diukur kurang stabil daripada output Neely, 2010.

3. KESIMPULAN

Pengangguran berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai masalah kriminal dan gejolak sosial, politik dan kemiskinan bila tidak ditangani dengan baik. Untuk itu penanggulangannya perlu terkoordinasi dan melihat berbagai macam aspek. Pemerintah perlu memusatkan perhatian ke sektor pertanian sebagai sektor yang mampu menyerap tenaga kerja yang banyak, selain itu juga untuk menanggulangi ancaman krisis pangan dunia. Indonesia tidak perlu malu untuk kembali sebagai negara agraris Pelarangan pengiriman TKI ke Arab Saudi, Kuwait dan Yordania khusus untuk penata laksana rumah tangga PLRT yang berlaku efektif sejak tanggal 1 Agustus 2011, diharapkan menjadi bentuk perlindungan pemerintah terhadap warganya, meskipun ada pihak yang menilai pelarangan tersebut bermuatan politis. Koordinasi antara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia BNP2TKI, aparat kepolisian, dan Kementerian Hukum dan HAM diharapkan mampu menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan dari moratorium tersebut. Dengan demikian pengawasan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri menjadi lebih mudah bukan malah menimbulkan masalah baru, yaitu pengiriman TKI secara illegal. Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, artinya sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945, setiap individu memiliki keleluasaan untuk memilih pekerjaan yang yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, negara harus mengambil peran secara aktif untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Dan dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia, pemerintah perlu menjadikan penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional. Ada dua kebijakan yang bisa diambil, yaitu kebijakan makro dan mikro. Melalui kebijakan makro, penanggulangan pengangguran bisa dilakukan secara tidak langsung dengan kebijakan moneter berupa uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar; kebijakan fiskal dan lainnya. Sedang kebijakan mikro lebih terkait dengan penyediaan atau penciptaan lapangan kerja. Sehingga setiap lembaga pemerintah yang terkait dengan pengangguran harus mempunyai komitmen dalam keputusan dan pelaksanaannya. n Mukti Ari Widayani adalah staf perencana pada Direktorat Pendayagunaan Pendanaan Pembangunan DAFTAR PUSTAKA Bada n Pusat Statistik. 2011. Berita Resmi Statistik No. 3305Th. XIV, 5 Mei 2011 Hess, Peter and Ross, Clark. 1997. Economic development: theories, evidence and policies. Chicago, USA: The Dryden Press. ILO. October 1982. Resolution concerning statistics of the economically active population, employment, unemployment and underemployment, adopted by the Thirteenth International Conference of Labour Statisticians Mankiw, N. Gregory. 2006. Macroeconomics 6th ed. New York, USA:Worth Publishers Neely, Christopher J. 2010. Okun’s Law: Output and unemployment. Economic Synopses Federal. Reserve Bank of St. Louis, Number 4. Pissarides, Christopher A. 1989. Unemployment and macroeconomics. Economica, New Series, Vol. 56, No. 221 Feb., 1989, pp. 1-14 Sinaga, Tianggur. dkk. 14 Juni 2010. Studi hubungan kerja pada usaha-usaha ekonomi informal http:www. depnakertrans.go.idlitbang.html,56,naker http:sofian-sukajadi.blogspot.com200812makalah- kebijakan-tentang-pengangguran.html http:pusdatinaker.balitfo.depnakertrans. go.id?section=ptperiod=2011-02-01gotoPeriod http:www.datastatistik-indonesia.comcontentview803803 22 E D I S I 0 2 T A H U N X V I I 2 0 1 1 Dyah Widiastuti

I. Introduction

What are the foreign policy FP dilemmas linked to democratization and democracy-promotion ‘abroad’? To answer this question, one needs to define “FP dilemmas”, weigh the contested concepts of “democratization and democracy- promotion”, and consider what FP can do “abroad”. A FP dilemma is defined as “a situation [in FP] in which a difficult choice has to be made between two different things one could do” Cambridge Dictionary Online, 2011. “Democratization and democracy-promotion”, meanwhile, are more ‘controversial’ concepts, as they arise from a “highly-contested” concept of “democracy” Cox et al. 2000, p.2 and a debatable Democratic Peace Thesis. The term ‘abroad’, adds complexity to the question as it relates to the sensitive issue of sovereignty. Scholarly discussion of these different dilemmas can be categorized into two strands. The Liberals, taking the concept of democracy-promotion to be less problematic, discuss the dilemma of expanding the zone of peace versus engaging in “imprudent vehemence” Doyle 2008, p.51-58 and of security versus democracy Carothers 2003, p.97. The Non-Liberals, such as the Marxists and the Critical Theorists, taking the concept of democracy to be more problematic, debate the dilemmas of, inter alia, promotion of democracy versus 23 E D I S I 0 2 T A H U N X V I I 2 0 1 1 advancement of United States U.S. economic interests Ralph 2000, p.210-212; Smith 2000, p.64-82. In this essay, I attempt to answer the question using a ‘pluralistic’ approach. Given the limited space, I will focus on Hill’s work on FP dilemmas 2003 in discussing what constitutes a ‘key dilemmas’ and the lessons therein for policy makers. I argue that different ‘key dilemmas’ arise in different periods, as a result of changing contexts and different subsequent policy responses. Using U.S. foreign policy from three different periods, I argue further that 911 and the subsequent policy responses have brought into prominence the dilemmasof promoting long-term genuine democracy versus establishing immediate security, in contrast with the dilemma of promoting genuine democracy versusadvancingthe neoliberal economic interests which dominated the debate during the 1990s’ post-Cold War era. In the following sections, I will define the main concepts, discuss the changing prominence of the dilemmas through different periods, the implications, relevant counter arguments and their importance, and finally draw conclusions.

II. Discussion