5
E D I S I 0 2 T A H U N X V I I 2 0 1 1 sebagai “bencana paling dahsyat dalam sejarah peradaban
manusia modern”. Sejumlah ekonom masih belum merasa cukup menggambarkan beratnya kontraksi ekonomi –13,4
dengan menambahkan angka 7 pertumbuhan ekonomi setahun sebelumnya 1997, sehingga kontraksi ekonomi total
menjadi –20,4 Mubyarto, 2003. Tidak mengherankan apabila pada tahun 1998 indeks kesengsaraannya paling tinggi,
yaitu 83,13 .
Masa transisi yang dilaksanakan oleh Presiden Habibie mampu memberikan kepercayaan pasar yang ditunjukkan
dengan meningkatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dari Rp. 14.900US menjadi Rp. 7.810US Tri Wibowo dan
Hidayat Amir, 2005. Program-program pemulihan ekonomi yang dicanangkan mampu menekan tingkat inflasi sampai pada
tingkat 2,01 . Sebuah upaya yang luar biasa sehingga indeks kesengsaraan turun drastis menjadi 8,37 , meskipun tingkat
pengangguran meningkat.
b. Periode 2000 – 2001: Presiden Abdurrahman Wahid
Setelah sempat mengalami recovery pada periode Presiden Habibie, pada tahun 2000 nilai tukar rupiah kembali melemah
menjadi sebesar Rp. 8.530US. Tahun 2001 melemah lagi menjadi Rp. 10.265US. Hal ini tidak terlepas dari “tidak
biasanya” sistem pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Permasalahan dasar ekonomi pada periode Presiden
Abdurrahman Wahid ini tak juga kunjung selesai. Harapannya setelah persoalan legitimasi politik selesai, kepercayaan terhadap
perekonomian akan membaik. Kenyataannya, indikator- indikator dasar sistem ekonomi tidak semakin membaik,
bahkan cenderung lebih buruk dari periode sebelumnya Didik J. Rachbini, 2000.
Tindakan yang penuh kejutan mulai dari pemecatan sejumlah menteri, caranya dalam menanggapi isu publik,
konsistensi kebijakan, serta pernyataan-pernyataannya yang mudah dibatalkan atau dinafikan, memunculkan
kebingungan dan ketidakpercayaan pasar. Oleh karena itu, pada periode pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
indeks kesengsaraan lebih tinggi dibandingkan akhir periode pemerintahan Presiden Habibie, yaitu 15,45 . Tingginya
indeks kesengsaraan ini dibangun dengan tingkat inflasi yang meningkat tajam dari tahun sebelumnya sebesar 2,01 menjadi
9,35 .
c. Periode 2001 – 2004: Presiden Megawati
Periode pemerintahan Presiden Megawati diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah menjadi Rp. 10.265US pada
tahun 2001. Rendahnya nilai tukar ini dapat dikatakan sebagai “warisan” Presiden Abdurrahman Wahid yang digantikannya
pada tanggal 23 Juli 2001. Selanjutnya pada tahun 2002, rupiah kembali menguat menjadi Rp. 9.260US, tahun 2003 menguat
menjadi Rp. 8.570US dan pada tahun 2004 sedikit melemah menjadi Rp. 8.985US. Meskipun secara relatif terjadi
penguatan nilai tukar rupiah, tetapi pemerintahannya dibayang- bayangi oleh tingkat pengangguran yang semakin meninggi.
Dalam masa pemerintahannya, tingkat pengangguran terus meningkat mulai dari 8,10 pada tahun 2001; 9,06 pada
tahun 2002; 9,50 pada tahun 2003; dan 9,86 pada tahun 2004. Dalam sebuah pertemuan Menteri Tenaga Kerja ASEAN
ke-17 di Mataram tahun 2003, Presiden Megawati menyatakan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia merupakan masalah
ketenagakerjaan yang paling mengkhawatirkan di ASEAN. Pengangguran tidak hanya menampilkan masalah ekonomi
tetapi juga membawa dampak luas di bidang sosial, keamanan dan politik yang pada gilirannya menimbulkan gangguan
stabilitas nasional anonymous, 2003.
Dari pernyataan tersebut jelas bahwa pada periode Presiden Megawati, kemampuan mensejahterakan rakyat tidak tercapai
secara optimal, terutama dalam hal menyediakan lapangan kerja. Bahkan pada periode ini beberapa BUMN yang berkategori
sehat diswatanisasikan dijual mengikuti aturan lembaga keuangan internasional, yang secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi kondisi lapangan kerja. Oleh karena itu, indeks kesengsaraan pada periode Presiden Megawati masih
tergolong tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan periode Presiden Abdurrahman Wahid. Tingginya indeks kesengsaraan
dibangun oleh semakin tingginya tingkat pengangguran yang justru tertinggi di akhir masa jabatannya, yaitu 9,86 . Kondisi
ini mungkin merupakan salah satu faktor penyebab kekalahan Megawati pada pemilihan presiden periode 2005 – 2009, di
samping faktor-faktor lainnya seperti gaya kepemimpinan, penanganan korupsi, KKN, lepasnya Sipadan – Ligitan, dan
sebagainya.
d. Periode 2005 – 2009: Presiden Susilo Bambang Yudoyono
Sepanjang periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono SBY, nilai tukar rupiah terhadap dollar fluktuatif
mengikuti trend valuta internasional. Nilai tukar rupiah terhadap US pada akhir Desember tahun 2005 sd 2009
berturut-turut sebesar Rp. 10.058; Rp. 9.139; Rp. 9.376; Rp. 12.501; dan Rp. 9.445 www.beacukai.go.idratesexchRateID.
php. Nilai tukar pada periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono ini relatif tidak terlalu mempengaruhi
kinerja perekonomian. Hal ini disebabkan dasar-dasar perekonomian relatif stabil dibandingkan periode-periode
sebelumnya. Pada akhir periode ini realisasi PMA maupun PMDN meningkat lebih dari dua kalinya dibandingkan akhir
periode sebelumnya www.indonesia.go.id. Demikian juga Produk Domestik Bruto, pada akhir periode ini juga mengalami
peningkatan lebih dari dua kalinya dibandingkan akhir periode sebelumnya Bank Dunia. Justru faktor eksternal terkesan
mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dollar, seperti ketika terjadi krisis keuangan global yang dipicu oleh krisis keuangan
Amerika Serikat subprime mortgage.
Beberapa kebijakan pemerintah terutama kenaikan harga BBM, kenaikan tarif dasar listrik, atau kebijakan impor kebutuhan
6
E D I S I 0 2 T A H U N X V I I 2 0 1 1 pokok yang biasanya dikeluarkan pada akhir awal tahun
selalu menimbulkan gejolak inflasi. Tidak mengherankan jika laju inflasi fluktuatif atau naik turun secara tajam. Dalam hal
menekan tingkat pengangguran, meskipun berhasil, tetapi upayanya hanya mampu mengembalikan tingkat inflasi
pada posisi awal pemerintahan Presiden Megawati diakhir pemerintahan periode pertamanya, yaitu pada posisi 8,14 .
Indeks kesengsaraan relatif lebih baik karena mampu menekan dari posisi 27,37 di awal pemerintahannya menjadi 10,92
di akhir pemerintahannya. Relatif lebih baiknya indeks kesengsaraan dibangun dari kombinasi gejolak inflasi yang
cukup tajam dan tingkat pengangguran yang terus menurun.
IV. KETERKAITAN INDEKS KESENGSARAAN DENGAN KONDISI