6
E D I S I 0 2 T A H U N X V I I 2 0 1 1 pokok yang biasanya dikeluarkan pada akhir awal tahun
selalu menimbulkan gejolak inflasi. Tidak mengherankan jika laju inflasi fluktuatif atau naik turun secara tajam. Dalam hal
menekan tingkat pengangguran, meskipun berhasil, tetapi upayanya hanya mampu mengembalikan tingkat inflasi
pada posisi awal pemerintahan Presiden Megawati diakhir pemerintahan periode pertamanya, yaitu pada posisi 8,14 .
Indeks kesengsaraan relatif lebih baik karena mampu menekan dari posisi 27,37 di awal pemerintahannya menjadi 10,92
di akhir pemerintahannya. Relatif lebih baiknya indeks kesengsaraan dibangun dari kombinasi gejolak inflasi yang
cukup tajam dan tingkat pengangguran yang terus menurun.
IV. KETERKAITAN INDEKS KESENGSARAAN DENGAN KONDISI
KEAMANAN
Menurut Kunarto 2001 gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat kamtibmas bagaikan gunung es yang apabila
dibedah dan dijadikan gambaran stereometris menampakkan 3 jenis dasar gangguan, yakni: Faktor Korelatif Kriminogen,
Police Hazard, dan Ancaman Faktual. Gangguan Faktor Korelatif Kriminogen merupakan berbagai peristiwa atau
kondisi yang berpotensi menjadi benih kejahatan. Termasuk dalam kelompok ini adalah adanya krisis ekonomi, kesenjangan
kesejahteraan, kemiskinan, atau pengangguran. Kondisi ini akan memunculkan keinginan-keinginan untuk melakukan
kejahatatan sebagai konsekuensi keterbatasan dan keterdesakan kebutuhan hidup.
Gangguan Police Hazard merupakan pengembangan dari gangguan Fakor Korelatif Kriminogen yang tidak dapat
tertangani dengan baik, yang pada dasarnya berwujud perilaku- perilaku menyimpang namun belum dapat disebut sebagai
kejahatan. Kondisi ini digambarkan sebagai keadaan dimana seseorang sudah benar-benar berniat untuk melakukan
kejahatan, namun belum dapat terlaksana karena belum ada kesempatan. Kesempatan mungkin sudah ada, tetapi adanya
kesiapsiagaan dari aparat keamanan atau dari pemilik dalam menjaga harta miliknya, menjadikan seseorang berpikir
dua kali untuk melakukan kejahatan. Selanjutnya gangguan Ancaman Faktual adalah bagian dari gunung es yang muncul
ke permukaan sebagai pengembangan Police Hazard yang tidak tertangani dengan baik. Wujud nyata dari Ancaman Faktual ini
adalah bentuk-bentuk kejahatan dan pelanggaran yang sebagian besar telah dirumuskan dalam pasal-pasal KUHP.
Dari penjelasan tersebut, nyata sekali bahwa kejahatan yang ada dipermukaan sebenarnya kecil sekali jika dibandingkan dengan
potensi gangguan kamtibmas yang ada di bawah permukaan. Penanganan oleh aparat keamanan yang hanya memfokuskan
pada upaya pemberantasan kejahatan, tidak akan efektif karena keberhasilan memberantas satu kejahatan dapat menumbuhkan
sejumlah kejahatan lainnya.
Beberapa pakar ekonomi menemukan kenyataan bahwa komponen indeks kesengsaraan inflasi dan pengangguran
mendorong terjadinya peningkatan kejahatan. Artinya, indeks kesengsaraan dan tingkat kejahatan memiliki korelasi
yang positif. Pada hampir setiap jajak pendapat publik yang dilakukan antara tahun 1973 - 1983, mayoritas rakyat Amerika
Serikat merasa bahwa inflasi, pengangguran, atau keduanya merupakan masalah yang paling serius yang dihadapi bangsa,
melebihi permasalahan kualitas hidup seperti kejahatan, pencemaran lingkungan, dan ancaman perang nuklir
Dornbusch dan Fischer, 1988 dalam Kenneth, 1990. Hasil penelitian lain juga menemukan bahwa Indeks Kesengsaraan
menunjukkan korelasi yang kuat antara pengangguran dan beberapa ukuran stres sosial, termasuk penyakit mental dan
fisik yang meningkat, bunuh diri, pembunuhan, kematian kardiovaskuler, dan tingginya tingkat hunian penjara Brenner,
1979 dalam Kenneth, 1990.
Grafik 2: Indeks kesengsaraan dan Tingkat Kriminalitas Periode Pemerintahan
Reformasi 1998 - 2009
1998 1999
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
MISERY INDEKS 83,13
8,37 15,45
20,65 19,09
14,56 16,26
27,37 16,88
16,47 19,45
10,92 CRIME RATE
64,31 82,11
80,46 85,93
82,67 86,77
96,41 73,75
75,97 108,88
80,83 72,67
- 20,00
40,00 60,00
80,00 100,00
120,00
Pe rs
en ta
se
Gra fik 2 :
Indeks Kesengsaraan dan Tingkat Kriminalitas Periode Pemerintahan Reformasi 1998 - 2009
Sumber : crime rate diolah dari data kriminalitas tahunan Mabes Polri
Secara grafis hubungan antara indeks kesengsaraan dengan tingkat kriminal yang terjadi menunjukkan korelasi yang tidak
mulus linear. Pada periode tertentu korelasinya berbanding lurus dan pada periode lainnya berbanding terbalik, di mana
indeks kesengsaraan menurun tetapi tingkat kriminalitas
7
E D I S I 0 2 T A H U N X V I I 2 0 1 1 meningkat atau sebaliknya indeks kesengsaraan meningkat
tetapi tingkat kriminalitasnya justru menurun. Kondisi ini mengesankan tidak terjadi korelasi antara indeks kesengsaraan
dan tingkat kriminalitas, meskipun secara teoritis mendukung.
Hal ini bisa dipahami karena indeks kesengsaraan Indonesia relatif tinggi di atas 10 dengan fluktuasi yang cukup dinamis.
Akibatnya perbaikan indeks kesengsaraan yang dicapai, tidak serta merta mampu menurunkan tingkat kriminalitas karena
jumlah pengangguran masih sangat banyak dan harga-harga kebutuhan pokok relatif tidak terjangkau bagi sebagian
masyarakat Indonesia.
Pada era pemerintahan Presiden Habibie, rata-rata indeks kesengsaraan sebesar 45,75 dengan rentang tertinggi –
terendah 74,76 . Pada era ini, tingkat konflik sosial yang berujung pada tindakan anarkhis intensitasnya sangat tinggi.
Puncak reformasi yang oleh sebagian kelompok masyarakat diartikan sebagai kebebasan untuk bebas melakukan apa saja,
menjadikan negara seolah-olah tidak berdaya menghadapi gelombang reformasi ini. Banyak kasus-kasus menonjol yang
menjadikan Indonesia dianggap tidak aman bagi warga negara asing dan dunia investasi. Pada era Presiden Habibie ini
tercatat kasus menonjol yang merupakan imbas kasus Mei 1998 diantaranya Tragedi Semanggi, kasus lepasnya Timor Timur,
kekerasan etnis berbau SARA di Maluku, dan kerusuhan sejumlah kota-kota lain di Indonesia.
Pada era Presiden Abdurrahman Wahid yang hanya memerintah satu tahun, Indeks Kesengsaraan sebesar 15,45
. Dengan gaya pemerintahan yang dianggap tidak lazim, tetapi mampu melumerkan kesan keangkeran istana, telah
dimanfaatkan oleh segolongan masyarakat untuk memanfaatkan sikap demokratisnya Presiden Abdurrahman Wahid. Akibatnya
sejumlah daerah yang memiliki anasir separatis seperti Aceh, Maluku, dan Papua muncul berbagai konflik vertikal yang
menimbulkan korban jiwa. Impeachment terhadap Presiden Abdurrahman Wahid yang dilawannya dengan Penetapan
Dekrit Presiden untuk membubarkan parlemen yang tidak digubris oleh MPR dan tidak didukung oleh TNI, berujung
pada konflik horizontal diantara yang pro dan kontra Presiden Abdurrahman Wahid. Di samping itu, sejumlah kasus
kekerasan SARA seperti di Poso antara Muslim dan Kristen, di Kalimantan antara Dayak dan Madura, dan beberapa peledakan
bom di rumah duta besar Philipina, gedung Bursa Efek, dan bom Natal 2000 semakin menurunkan kepercayaan masyarakat
terhadap kondisi keamanan di Indonesia.
Pada era Presiden Megawati, dalam empat tahun masa pemerintahannya rata-rata indeks kesengsaraan sebesar 17,64
dengan rentang tertinggi – terendah 6,09 . Dalam rangka menegakkan NKRI, Presiden Megawati memberlakukan
Darurat Militer di Aceh untuk meredam aktivitas GAM. Upaya ini mampu menekan aktivitas GAM dan sejumlah
tokohnya berhasil ditangkap. Dalam hal keamanan dalam negeri, kondisinya masih diwarnai oleh peledakan bom di
sejumlah lokasi strategis. Puncaknya adalah peledakan bom Bali I yang gaungnya mendunia dan sempat menekan dunia
pariwisata Indonesia. Meskipun kesepakatan Malino berhasil meredam konflik Poso, tetapi kondisinya ibarat api dalam
sekam yang sewaktu-waktu meletus kembali. Di akhir masa pemerintahannya, teror bom kembali terjadi di Kedutaan Besar
Australia yang menewaskan 11 orang.
Sedangkan pada era Presiden SBY, periode pertama masa pemerintahannya rata-rata mencapai 18,22 dengan rentang
tertinggi – terendah 16,45 . Meskipun pada era ini kondisi keamanan dalam negeri relatif kondusif, tetapi sejumlah
gangguan masih terjadi. Pada era ini sejumlah kasus menonjol terjadi, diantaranya adalah peledakan bom pasar Tentena,
peledakan bom Bali II, pemenggalan tiga siswi SMU Kristen di Poso, ledakan di kota Palu, serentetan kasus penembakan di
Freeport, insiden Alastlogo antara TNI – Petani, kerusuhan makam Mbah Priok, berbagai konflik bernuansi politik, dan
SARA serta sejumlah kasus yang lainnya turut meningkatkan
persepsi kurang amannya Indonesia untuk berinvestasi. Seakan tertolong oleh terjadinya Tsunami Aceh pada awal
pemerintahannya, Presiden SBY bersama dengan Wakil Presiden Jusuf Kala mampu menyelesaikan masalah Aceh
secara damai. Penandatanganan Perjanjian Helsinki pada 15 Agustus 2005 dan disahkannya Undang-Undang Nomor 11
tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, secara signifikan telah menurunkan tindak kriminalitas di Aceh. Dengan
keberhasilan tersebut, termasuk tewasnya gembong teroris Dr. Azahari, Noordin M Top, eksekusi mati pelaku kerusuhan Poso
Tibo, dkk, eksekusi terpidana mati bom Bali Amrozi, dkk, dan sejumlah keberhasilan lainnya secara langsung maupun
tidak langsung turut berperan dalam penurunan Indeks Kesengsaraan.
8
E D I S I 0 2 T A H U N X V I I 2 0 1 1
V. PENUTUP