1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Perkembangan dunia usaha saat ini semakin pesat di Indonesia. Perkembangan tersebut mengakibatkan permintaan akan audit laporan
keuangan juga semakin meningkat. Kebutuhan akan adanya pemeriksaan laporan keuangan oleh akuntan publik tidak dapat dielakkan lagi, justru
menjadi kebutuhan utama sebelum para pengambil kebijakan mengambil keputusan. Auditor menjadi profesi yang dipercayakan oleh banyak orang
untuk pemeriksaan laporan keuangan yang diberikan. Hasil audit atas perusahaan publik mempunyai konsekuensi dan tanggung jawab yang besar.
Adanya tanggung jawab yang besar tersebut memacu auditor untuk bekerja secara lebih profesional. Gambaran auditor yang profesional dicerminkan
dalam lima dimensi oleh Hall R 1968 dalam Arleen Herawaty dan Yulius Kurnia Susanto 2009, yaitu: 1 pengabdian pada profesi, 2 kewajiban
sosial, 3 kemandirian, 4 kepercayaan terhadap peraturan profesi, 5 hubungan dengan rekan seprofesi. Auditor yang memiliki profesionalisme
yang tinggi akan memberikan kontribusi yang dapat dipercaya oleh para pengambil keputusan.
Hasil kualitas kerja auditor sangat dipengaruhi oleh karakteristik individu masing-masing akuntan. Karakteristik individu tersebut salah
satunya adalah jenis kelamin yang telah membedakan individu sebagai sifat dasar pada kodrat manusia. Perjuangan kesetaraan gender adalah terkait
2
dengan kesetaraan sosial antara pria dan wanita, dilandaskan kepada pengakuan bahwa, ketidaksetaraan gender yang disebabkan oleh diskriminasi
struktural dan kelembagaan. Perbedaan hakiki yang menyangkut jenis kelamin tidak dapat diganggu gugat misalnya secara biologis wanita
mengandung, perbedaan peran gender dapat diubah karena bertumpu pada faktor-faktor sosial dan sejarah.
Wanita yang sebagaimana kita ketahui, selalu berada di posisi yang rendah. Masih banyak dari masyarakat kita yang memandang wanita sebagai
kaum lemah. Banyak juga wanita-wanita yang menjadi korban kekerasan domestik, pemerkosaan, dan diskriminasi karena perbedaan gender. Persepsi
masyarakat tentang ketidakmampuan wanita memegang peran yang seimbang dengan kaum pria, sangat merendahkan nilai diri dari kaum wanita. Sehingga,
mereka merasa tidak percaya diri dan percaya bahwa wanita memang sudah seharusnya bekerja di dapur atau hanya mengurusi urusan rumah tangga.
Belum begitu banyak jumlah wanita-wanita yang telah berani dan berhasil berada di posisi yang seimbang dengan kaum pria, seperti memegang peran di
dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan pendidikan. Kesulitan seorang wanita untuk mendapatkan kedudukan di tempat kerjanya juga merupakan
masalah yang sering kita hadapi. Penilaian dan pandangan masyarakat yang merendahkan kaum wanita, sangat mempengaruhi terhadap bidang pekerjaan
yang bisa didapatkan oleh mereka. Sepertinya wanita tidak mampu memegang peranan penting di tempat kerjanya. Suatu studi yang dilakukan
oleh Equal Women in the Workplace Agency 2006 dalam Adams dan
3
Patricia Funk 2010 ditemukan bahwa persentase direktur wanita di Australia, Kanada, Jepang, dan Eropa diperkirakan masing-masing 8,7;
10,6; 0,4; dan 8. Penelitian tersebut membuktikan bahwa masih sedikitnya wanita yang memegang jabatan penting di tempat kerjanya.
Sewaktu pemilihan Presiden di Indonesia masyarakat kita berargumentasi tentang pantas atau tidaknya, mampu atau tidaknya seorang wanita menjadi
seorang pemimpin Negara, dimana sebenarnya peranan wanita atau sisi feminine sangat penting peranannya di segala bidang. Karena kita
membutuhkan keseimbangan dari sisi maskulin dan feminin untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan berkualitas.
Terminologi gender dalam ilmu-ilmu sosial, diperkenalkan sebagai acuan kepada perbedaan-perbedaan antara pria dan wanita tanpa konotasi-
konotasi yang sepenuhnya bersifat biologis Mandy Macdonald et al, 1997 dalam Trisnaningsih, 2004. Rumusan gender yang ini merujuk kepada
perbedaan-perbedaan antara pria dan wanita yang merupakan bentuk sosial, perbedaan-perbedaan yang tetap muncul meskipun tidak disebabkan oleh
perbedaan-perbedaan biologis yang menyangkut jenis kelamin. Rumusan ilmu-ilmu sosial juga mengenal istilah hubungan-hubungan gender yang
merupakan sekumpulan aturan-aturan, tradisi-tradisi, dan hubungan- hubungan sosial timbal-balik dalam masyarakat dan dalam kebudayaan, yang
menentukan pembagian kekuasaan diantara laki-laki dan wanita. Sedangkan istilah perilaku gender adalah perilaku yang tercipta melalui proses
4
pembelajaran, bukan sesuatu yang berasal dari dalam diri sendiri secara alamiah atau takdir yang tak bisa dipengaruhi oleh manusia.
Sejarah perbedaan gender antara pria dan wanita terjadi melalui proses yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan gender dikarenakan oleh
banyak hal, diantaranya akibat dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial, kultural, atau melalui ajaran agama maupun
negara. Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Persoalannya justru muncul ketika
perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi pria maupun wanita. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana,
baik kaum pria maupun wanita menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk, yakni :
marginalisasi, proses pemiskinan ekonomi, subordinasi dalam pengambilan keputusan, dan diskriminasi Fakih, 1996 dalam Trisnaningsih, 2004.
Bidang akuntan publik sendiri sebagai salah satu bidang yang tidak terlepas dari diskriminasi gender karena sebagai salah satu profesi yang sulit
bagi wanita dilihat dari intensitas pekerjaannya Schwartz, 1996 dalam Trisnaningsih, 2004. Suatu studi yang dilakukan oleh Walkup dan Fenzau du
tahun 1980 dalam Yusfi 2009, ditemukan bahwa 41 dari responden yang mereka teliti, yaitu para akuntan publik perempuan telah meninggalkan
kariernya di kantor akuntan publik karena merasakan adanya bentuk-bentuk diskriminasi yang telah mempengaruhi karier mereka. Sebaliknya hanya 28
dari responden yang masih dipekerjakan dalam profesi ini, yang merasakan
5
adanya diskriminasi. Dalam sutau studi yang dilakukan oleh Lehman 1992 dalam Yulianto 2009 menunjukkan bahwa KAP, profesi auditor perempuan
yang bekerja pada bidang pajak sebanyak 48, bidang audit 47. Dari keseluruhan responden sebagian besar tidak pernah berpindah tempat kerja
sejak awal karier mereka. Hal ini karena banyak KAP lain berusaha menghindari dalam menerima auditor perempuan meskipun ada sebagian
yang masih merekrutnya dengan alasan bahwa auditor perempuan harus bekerja di lingkungan laki-laki. Auditor perempuan menghadapi kendala
bahwa sebagian klien menolak dilayani oleh auditor perempuan dan adanya pembatasan bagi manajemen bahwa perempuan tidak memungkinkan
ditugaskan dilapangan. Berdasarkan data ILO tahun 2002 dalam Trisnawati 2007, jumlah
auditor di Indonesia adalah 24.475 orang. Jumlah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat jika dibandingkan dengan jumlah auditor di
Indonesia pada tahun 1990 yaitu sejumlah 9.533 orang atau terjadi kenaikan sebanyak 156. Walaupun wanita merasakan adanya bentuk-bentuk
diskriminasi tetapi peranan wanita dalam pekerjaan ini menunjukkan jumlah yang meningkat. Pada tahun 1990 jumlah auditor wanita sebanyak 2.447
orang dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 7.590 orang atau meningkat sebesar 237. Dari keseluruhan jumlah auditor, 31 diantaranya adalah
auditor wanita. Sedangkan jumlah akuntan publik di Indonesia pada tahun 2008 menurut data IAPI yang memegang izin praktik sebanyak 866 orang,
anggota tersebut tersebar di 517 kantor, termasuk kantor cabang. Pada tahun
6
ini menurut data IAPI yang menjadi pimpinan di KAP di Indonesia untuk pria sekitar 87, sedangkan wanita sekitar 13. Dapat disimpulkan bahwa rata-
rata wanita yang menjadi pimpinan KAP masih relatif sedikit jumlahnya dengan pria.
Masuknya wanita di pasar kerja pada saat ini menunjukkan jumlah yang semakin besar, sehingga meskipun jumlah wanita karier meningkat
secara signifikan, adanya diskriminasi terhadap wanita tetap menjadi suatu masalah yang cukup besar. Terdapat suatu stereotype tentang wanita
mengenai anggapan yang menyatakan bahwa wanita mempunyai keterikatan komitmen yang lebih besar pada keluarga daripada keterikatan komitmen
terhadap karier. Antara keluarga dan pekerjaan karier dapat menimbulkan konflik, konflik tersebut dinamakan “work-family confict”. Greenhauss dan
Beutell 1985 dalam Anisa Romadaniati dan Joko Suyono 2008 mendefinisikan work-family conflict sebagai bentuk konflik interrole dimana
tekanan datang dari kerja dan keberadaan keluarga yang tidak bisa saling melengkapi. Mereka menyebutkan bahwa work-family conflict bisa jadi
merupakan halangan untuk meraih keefektifan dan kepuasan dalam kehidupan seseorang. Wanita dikatakan lebih menghadapi konflik tersebut
karena mereka mempunyai tanggung jawab moral peran mereka sebagai ibu yang mengurusi anak-anak dan suami. Sampai sekitar akhir tahun 1970 an,
wanita seolah menghilang dari dunia perekonomian, baik sebagai manajer ataupun pengusaha Kim dan Ling, 2001 dalam Anisa Romadaniati dan Joko
Suyono, 2008. Selain itu pandangan umum menyatakan bahwa laki-laki itu
7
lebih berorientasi pada pekerjaan, obyektif, independen, agresif, dan pada umumnya mempunyai kemampuan lebih dibandingkan wanita dalam
pertanggungjawaban manajerial. Sementara wanita dipandang lebih pasif, lembut, orientasi pada pertimbangan, lebih sensitif dan lebih rendah posisinya
pada pertanggungjawaban dalam organisasi dibandingkan laki-laki. Auditor wanita mungkin menjadi subyek bias negatif tempat kerja
sebagai konsekuensi anggapan auditor KAP adalah profesi stereotype laki- laki. Dua penjelasan efek negatif dari stereotype gender pada auditor wanita
adalah situation-centered dan person-centered Maupin, 1993 dalam Trisnaningsih, 2004. Situation-centered merupakan pandangan yang
menganggap bahwa penerimaan terhadap budaya Kantor Akuntan Publik merupakan hal penting yang menentukan pengembangan karir yang
profesional. Person-centered merupakan pandangan tentang bias gender yang berdasarkan Sex-Role Inventory-nya. Pada umumnya mayoritas pria penganut
person-centered, menjadi penyebab rendahnya kesempatan berkembang bagi
karir auditor wanita, sehingga mereka meyakini dengan karakteristik personal male stereotyped
sebagai penyebab berkurangnya kesempatan bekerja bagi auditor wanita.
Penelitian mengenai perbedaan kepuasan kerja antara auditor pria dan wanita dalam KAP telah dilakukan oleh Trisnaningsih 2004. Dari hasil
penelitian tersebut tentang kepuasan kerja menunujukkan bahwa adanya perbedaan antara auditor pria dan wanita. Nurasnida 2008 juga meneliti
tentang kepuasan kerja yang menunjukkan hasil yang bertolak belakang
8
dengan Trisnaningsih 2004, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kepuasan kerja antara auditor pria dan wanita. begitu juga
dengan penelitian yang dilakukan oleh Yamti 2003 terhadap auditor pria dan wanita pada perwakilan BPKP Propinsi Jawa Tengah, yang menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan personalitas dalam hal kepuasan kerja antara auditor pria dan wanita.
Motivasi menurut penelitian Trisnaningsih 2004 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara auditor pria dan wanita. Begitu juga
menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahim Abdurahim 2000 yang mengemukakan adanya kesetaraan motivasi kerja pada akuntan pendidik laki-
laki dan wanita. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Santosa 2001 tentang motivasi terhadap auditor pria dan wanita pada BPKP Propinsi
Jawa Tengah menunjukkan hasil yang berbeda yaitu terdapat perbedaan antara auditor pria dan wanita.
Hasil penelitian tentang prospek karier telah diteliti oleh Yeni Kuntari dan Indra Wijaya Kusuma 2001; Murtanto dan Mery Andryani 2005,
dalam penelitiannya tersebut prospek karier ialah sebagai salah satu aspek dari hasil karier yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan prospek karier
yang dimiliki antara auditor pria dan auditor wanita. Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian Trisnaningsih
2004, Nurasnida 2008, Yamti 2003, Santosa 2001, Ahim Abdurahim 2000, Yeni Kuntari dan Indra Wijaya Kusuma 2001, dan Murtanto dan
9
Mery Andryani 2005. Adapun yang menjadi perbedaan dari penelitian sebelumnya adalah:
1. Periode penelitian
Penelitian sebelumnya dilakukan pada tahun 2000, 2001, 2003, 2004, 2005, dan 2008 sedangkan penelitian ini dilakukan pada tahun 2010.
2. Responden penelitian
Pada penelitian sebelumnya responden yang digunakan adalah para akuntan pendidik pria dan wanita dari beberapa perguruan tinggi di
Indonesia, auditor BPKP Propinsi Jawa Tengah, dan auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik di Jawa Timur dan Kantor Akuntan Publik di
Jakarta, sedangkan responden pada penelitian ini adalah auditor eksternal pada Kantor Akuntan Publik di Jakarta.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti ingin mengadakan kajian lebih lanjut dengan penelitian yang berjudul
“Analisis Perbedaan Kepuasan Kerja, Motivasi, dan Prospek Karier Auditor Berdasarkan
Perspektif Gender Pada Kantor Akuntan Publik Di Jakarta .
B. Perumusan Masalah