Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah satu dari sekian banyak Negara berkembang di dunia. Tumpuan sumber pendapatan sebagian besar masyarakat Indonesia dalam meningkatkan kesejahteraannya terdapat pada sektor usaha mikro, kecil dan menengah UMKM. Ini terbukti dengan eksistensi dan peran UMKM yang pada tahun 2008 mencapai 51,26 juta unit usaha, dan merupakan 99,99 persen dari pelaku usaha nasional, dalam tata perekonomian nasional sudah tidak diragukan lagi, dengan melihat kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja, pembentukan Produk Domestik Bruto PDB Nasional, devisa nasional dan investasi nasional. 1 Melihat pada kenyataan ini, harus ada lembaga keuangan yang mengakomodasi kebutuhan finansial UMKM yang merupakan sektor yang mendominasi usaha di Indonesia. Untuk usaha menengah yang kebutuhan finansialnya cukup besar maka kebutuhan dananya dapat diback-up oleh lembaga keuangan bank, mengingat orientasi penyaluran kredit perbankan lebih memusatkan pada korporasi yang dianggap lebih memberikan keuntungan besar secara ekonomis. Sedangkan sektor usaha kecil dan mikro UKM dapat diakomodasi oleh lembaga keuangan mikro LKM yang lebih memprioritaskan pemberdayaan masyarakat. 1 http:www.depkop.go.idstatistik-ukmcat_view35-statistik37-statistik-ukm212-statistik- ukm-2010216-buku-statistik-ukm-2009.html, diakses pada 7 Februari 2010, pukul 19.30 WIB. 2 Di Indonesia, LKM dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu yang besifat formal dan informal. Lembaga yang bersifat formal ada yang berbentuk bank, adapula yang berbentuk non-bank. Sedangkan LKM yang bersifat informal biasanya berbentuk lembaga swadaya masyarakat. Salah satunya adalah baitul maal wat tamwil BMT 2 yang menggunakan prinsip syari’ah. Walaupun ada beberapa BMT yang bersifat formal dibawah payung hukum koperasi jasa keuangan syari’ah KJKS. BMT adalah penggabungan dari baitul mal dan baitut tamwil. Baitul mal adalah lembaga lembaga keuangan yang kegiatannya mengelola dana yang bersifat nirlaba sosial. Sumber dana didapat dari zakat, infak dan sedekah atau sumber lain yang halal. Kemudian dana tersebut disalurkan kepada mustahik atau untuk kebaikan. Adapun baitut tamwil adalah lembaga keuangan yang kegiatannya adalah menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dan bersifat profit motive. Penghimpunan dana diperoleh melalui simpanan pihak ketiga dan penyalurannya dilakukan dalam bentuk pembiayaan atau investasi yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah. 3 Dari pengertian tersebut dapatlah ditarik suatu pengertian yang menyeluruh bahwa BMT merupakan organisasi bisnis yang juga berperan sosial. 2 “Pemberdayaan Mikro Syariah”, Republika, Jakarta, 11 November 2005, h.2 3 Hartanto Widodo, dkk, PAS Pedoman Akuntansi Syariat: Panduan Praktis Operasional Baitul mal Wat Tamwil BMT Bandung: Mizan, 1999, h. 81. 3 Peran sosial BMT akan terlihat pada definisi baitul maal, sedangkan peran bisnis BMT terlihat dari definisi baitut tamwil. 4 BMT adalah lembaga swadaya masyarakat, dalam pengertian didirikan dan dikembangkan oleh masyarakat. Sejak awal pendiriannya, BMT dirancang sebagai lembaga ekonomi. Secara lebih spesifik adalah suatu lembaga ekonomi rakyat, yang secara konsepsi dan secara nyata memang lebih fokus kepada masyarakat bawah, yang miskin dan nyaris miskin poor and near poor. Agenda kegiatannya yang utama adalah pengembangan usaha mikro dan usaha kecil, terutama melalui bantuan permodalan. Untuk melancarkan usaha pembiayaan financing tersebut, maka BMT berupaya menghimpun dana, yang terutama sekali berasal dari masyarakat lokal di sekitarnya. Dengan kata lain, BMT pada prinsipnya berupaya mengorganisasi usaha saling tolong menolong antar warga masyarakat suatu wilayah komunitas dalam masalah ekonomi. 5 Selama lebih dari satu dasawarsa ini pertumbuhan BMT diakui cukup fantastis. Statistik yang akurat tentang BMT memang belum tersedia. Menurut perkiraan Pusat Inkubasi Usaha Kecil Pinbuk, sampai dengan pertengahan tahun 2006, terdapat sekitar 3200 BMT yang beroperasi di Indonesia, yang melayani sekitar 3 juta orang. Pinbuk memproyeksikan jumlahnya akan meningkat menjadi 10 juta orang pada tahun 2010, yang akan dilayani oleh lebih banyak BMT lagi, yang 4 Muhammad Ridwan, Manajmen Baitul Maal Wat Tamwil Yogyakarta: UII Press, 2004, h. 126. 5 http:permodalanbmt.com?p=70, diakses pada 8 Februari 2010, pukul 10.45 WIB. 4 diperkirakan bertambah 1000-2000 BMT per tahun sampai dengan tahun tersebut. Pinbuk juga membuat perkiraan akan aset total BMT, yang diperhitungkan telah mencapai Rp 2 triliun pada pertengahan tahun 2006. Aset tersebut tumbuh pesat dibandingkan setengah tahun sebelumnya, pada Desember 2005 sebesar Rp 1,5 triliun. Dan jika perhitungan ini benar, maka pembiayaan yang berhasil diberikan oleh BMT juga mendekati jumlah itu, mengingat kinerja BMT yang sangat tinggi dalam hal pembiayaan. Padahal, dalam waktu yang bersamaan perbankan konvensional sedang mengalami perlambatan pertumbuhan dalam hal aset dan penyaluran dananya kepada pihak ketiga. 6 Seperti yang sudah kita ketahui bahwa segmentasi BMT adalah usaha-usaha informal menengah ke bawah. Dalam proses penghimpunan dan pembiayaan tentulah terdapat banyak kesulitan yang ditemukan, terlebih dalam kegiatan pembiayaan. Kemungkinan tidak terbayarnya kewajiban oleh nasabah peminjam pasti ada mengingat usaha yang mereka lakukan punya nilai uncertainty yang tinggi. Kesulitan ini tidak serta merta membuat para penggiat BMT patah arang. Seperti tidak pernah kehabisan akal, mereka menciptakan banyak inovasi untuk membuat maslahat baik bagi BMT sebagai pihak yang memberikan pembiayaan atau pengusaha sebagai pihak yang diberi fasilitas pembiayaan. 6 Ibid. 5 Adalah mudharabah salah satu produk pembiayaan yang ditawarkan oleh BMT. Dalam operasionalnya pedagangpengusaha adalah pihak yang diberi amanah oleh BMT untuk menjalankan usaha dengan modal pembiayaan yang telah diberikan. BMT sebagai pemilik modal tentu menginginkan uangnya dapat berputar dan mendapatkan keuntungan, terlebih karena pembiayaan mudhorobah adalah pembiayaan yang memiliki resiko paling tinggi. Begitu juga dengan pengusaha menginginkan usahanya bisa mendapatkan hasil yang memuaskan. Banyak upaya yang dilakukan untuk membuat ekspektasi mereka agar mendapat keuntungan dari usahanya. Diantaranya adalah pendampingan yang dilakukan BMT kepada para pengusaha. Pola pembiayaan dengan melakukan pendampingan usaha, adalah pembiayaan usaha yang telah diberikan pinjaman modal akan diberikan pendampingan usaha yang berguna untuk mengawasi aktifitas perdagangan atau usaha tersebut. Pendampingan yang dilakukan akan meminimalisasi resiko, meningkatkan keefektifitasan dan keuntungan dari usaha tersebut akan semakin besar, yang kemudian bagi hasil dari usaha yang telah dijalankan itu pun dapat dibagi antara pengusaha dan pemberi modal. Saat ini telah banyak BMT yang telah memberikan fasilitas pendampingan kepada para usaha kecil menengah yang meminjam dana di BMT tersebut. Pendampingan ini diharapkan dapat menambah return bagi BMT dibandingkan dengan pembiayaan mudharabah yang dilakukan tanpa pendampingan. BMT Ta’awun adalah salah satu dari sekian BMT yang melakukan pendampingan 6 pada pembiayaan mudharabahnya. Namun pendampingan ini belum tentu memberikan return yang lebih dibanding dengan pembiayaan mudharabah yang dilakukan tanpa pendampingan. Berdasarkan realitas di atas, maka perlu kiranya penulis mengkaji lebih dalam tentang sejauh mana efektivitas pendampingan ini terhadap peningkatan return pembiayaan mudharabah dalam sebuah penelitian. Penelitian. Ini nantinya akan dituangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul: “ Efektifitas Pendampingan Usaha Mikro dalam Peningkatan Return Pada Pembiayaan Mudharabah: Studi pada BMT Ta’awun” .

B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN