59 Di samping pengenalan Mazhab Syafi’i merupakan materi dalam kajian
fiqh, pengenalan teologi ahlussunnah wal-jamaah diajarkan lewat kitab-kitab tauhid.
75
Kitab-kitab yang berbeda dengan pemahaman teologi ahlussunnah biasanya tidak akan diajarkan.
76
Sehingga santri diarahkan kepada satu mazhab yang sudah baku. Sisi kekurangan dari metode ini antara lain pada level tertentu
santri cenderung akan hanya membenarkan teologi yang selama ini dipelajarinya dan menolak teologi di luar yang dipelajarinya. Namun kendati demikian santri
juga diajarkan untuk bersifat tasammuh terhadap perbedaan yang ada. Pada tahapan selanjutnya Pondok Pesantren Darussalamah telah
melahirkan pesantren-pesantren baru yang didirikan oleh para alumninya. Pesantren-pesantren tersebut antara lain: 1 Pondok Pesantren Darussa’adah, Mojo
Agung Gunung Sugih, Lampung Tengah. 2 Pondok Pesantren Darussalam Terbanggi Besar Lampung Tengah. 3 Pondok Pesantren Darul Furqan, Pujo Dadi
13 Polos, Trimurjo Lampung Tengah. 4 Pondok Pesantren Darul A’mal, Metro Barat Kota Metro.
C. RESPON TERHADAP MODERNISASI PESANTREN DI LAMPUNG
Pendidikan di Indonesia secara umum –yang di dalamnya termasuk juga pesantren -mengalami pembaharuan bermula dari diperluasnya kesempatan belajar
bagi penduduk pribumi yang terjadi pada akhir abad ke-19 M pada masa penjajahan Hindia-Belanda.
77
Meskipun pola pendidikan yang diterapkan bersifat
penguasaan materi, metodologi, dan pendekatannya. Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, Pedoman Kegiatan Belajar Mengajar Madrasah Diniyah, Jakarta: Departemen
Agama RI, 2003, h. 4
75
Yang umum diajarkan dalam materi teologi adalah kitab ‘Aqidah Ahl as-Sunnah wa al- Jama’ah karya Syaikh al- ‘Alim al-‘Allamah ‘Aly Ma’sum, Pekalongan: Maktabah ibn Mashudi,
t th. Sementara untuk materi fiqh kitab-kitab Syafi’iyyah cukup mendominasi seperti Kitab Fathul Mu’in, Fathul Qârib. Muhammad Maksum S.HI mantan Kepala Pondok Pesantren Tri Bhakti
Attaqwa, Wawancara, tanggal 22 Juni 2008
76
Kitab-kitab yang seperti Ar-radd ‘ala al-mantiqiyyîn karya Ibn Taimiyyah, dan risalah al-tauhîd karya Muhammad ‘Abduh sangat jarang dijumpai diajarkan di pesantren-pesantren
salafiyah. Muhammad Maksum S.HI, Wawancara, tanggal 22 Juni 2008
77
Moh Tauchid, Masalah Pendidikan Rakyat, Bogor: Dewan Partai-Partai Sosialis Indonesia Bagian Pendidikan dan Penerangan, 1954, h. 7
60 diskriminatif yaitu didasarkan pada ras dan agama, dikotomis, sekularistik, dan
menciptakan mental budak karena didesain untuk menjadi pegawai pada pemerintahan penjajah dengan upah yang murah. Klasifikasi sekolah-sekolah yang
didirikan penjajah Hindia-Belanda pada waktu itu adalah : 1 Europeeesce Legere School, diperuntukkan
bagi orang Eropa, 2 Hollandsch Chinese School, diperuntukkan bagi orang-orang Cina dan Asia Timur, 3 Hollandsch Inlandsche
School, diperuntukkan bagi orang-orang Bumi Putera dari kalangan ningrat, 4 Inlandsche School, khusus sekolah orang pribumi pada umumnya.
78
Di lain pihak, Pemerintah Hindia-Belanda memberikan pendidikan dengan sistem perjenjangan. Pertama, dikenal dengan istilah Volkschoolen, artinya
Sekolah Rakyat Sekolah Desa, dengan masa belajar 3 tahun. Jenjang ini setingkat dengan Sekolah Dasar yang kemudian masa belajarnya ditambah 2
tahun. Sekolah tersebut dikenal dengan istilah Vervolgschool Sekolah Lanjutan yang diselenggarakan di Kota Distrik atau Kabupaten.
Kedua, Sekolah Menengah Pertama atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs MULO. Ketiga,
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau Algemene Middelbare Schoolen AMS.
79
Selain model perjenjangan tersebut Belanda juga mengenalkan sistem sekolah yang dalam konteks sekarang diistilahkan berbasis kompetensi, yang setara
sederajat dengan sekolah perjenjangan menengah pertama dan atas. Seperti untuk pegawai negeri STOVIA, untuk pembantu dokter pribumi NIAS, untuk
kejuruan OSVIA dan untuk teknik Middle Technische School; MTS.
80
Kebijakan Pemerintah Hindia – Belanda ini mendapat respon beragam dari kalangan umat Islam Indonesia pada saat itu. Di Jawa terdapat resistensi yang
kuat, sebagai imbas dari rencana pemerintah kolonial Belanda yang berusaha
78
Moh Tauchid, Masalah Pendidikan Rakyat, h. 8-9
79
Moh Tauchid, Masalah Pendidikan Rakyat, h. 11
80
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, h.87-95
61 melakukan Westernisasi atau mem-Belanda-kan peserta didik pribumi.
81
Bahkan kalangan Ulama tradisional ada yang menganggap bid’ah mengikuti apa-apa yang
dilakukan oleh penjajah yang nyata-nyata musuh umat Islam. Ini juga terlihat dari cara para Ulama Jawa yang ketika mendirikan suatu Lembaga Pendidikan baca:
pesantren lebih suka memilih daerah yang masih sepi, jarang penduduknya dengan tujuan menarik diri sejauh-jauhnya dengan pola-pola yang diterapkan
Belanda. Maka, tidaklah mengherankan apabila pada saat itu seorang Ulama enggan memakai pakaian ala Belanda misal celana panjang pantalon, makan
diusahakan tidak dengan sendok karena hal itu merupakan bentuk ekstrinsik persetujuan terhadap penjajah. Dan dari kalangan penyelenggara pendidikan
agama di pesantren juga timbul pertanyaan mengapa Belanda tidak mempunyai keberpihakan terhadap Islam tidak mengakui pendidikan pesantren. Untuk itu
Belanda berdalih untuk menjaga netralitas pendidikan dari pengaruh agama manapun. Akan tetapi pada saat yang sama pemerintah Belanda malah mendirikan
Sekolah Tinggi Kristen.
82
Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran dari kalangan ulama’ terhadap misi yang dilakukan oleh Belanda. Padahal seharusnya
pembaharuan dilakukan sebagai proses perubahan untuk memperbaiki keadaan yang ada sebelumnya ke cara atau situasi dan kondisi yang lebih baik dan lebih
maju untuk mencapai suatu tujuan yang lebih baik pula.
83
Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden
Pengadilan Agama yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun
1905 Staatsblaad No.550 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang
81
Abdullah Syukri Zarkasyi.M.A. Gontor Pembaharuan Pendidikan Pesantren Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005 h. 7
82
Sumarsono Moestoko, Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke Zaman, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, h. 123
83
Abdul Rahman Saleh, Konsepsi dan Pengantar dasar Pembaharuan Pendidikan Islam, Jakarta: DPP GUPPI, 1993, h. 8
62 akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat.
84
Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa saja yang
boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang
tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah.
85
Di lain pihak ternyata kebijakan tersebut mendapat respon yang relatif baik-untuk tidak mengatakan antusias- terhadap didirikannya sekolah-sekolah
tersebut, menurut Azyumardi Azra, justru muncul di kalangan Muslim Melayu, khususnya Minangkabau.
86
Transmisi atau corak kelembagaan pendidikan Belanda waktu itu lebih sering diadakan di surau-surau dan meunaseh Aceh,
kemudian ditransformasikan menjadi sekolah-sekolah negeri atau diistilahkan sebagai
madrasah yang secara yuridis-formal-negara statusnya diakui oleh
pemerintah Belanda.
87
Dengan demikian terhadap kebijakan pendidikan yang dilakukan penjajah Belanda, di kalangan umat Islam timbul tiga kelompok :
Pertama, kelompok yang mengisolasi diri dan menentang kebijakan
tersebut, sambil terus mengobarkan semangat anti penjajah dan mengusirnya lewat
84
Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 115
85
Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, h. 116
86
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, h.92
87
Istilah madrasah adalah lembaga pendidikan dalam arti luas yang lebih dikenal di Melayu, khususnya Aceh dan Minangkabau, seiring dengan pengaruh pemikiran modern di
Indonesia pada abad ke-20. Kata madrasah di sini sama sekali berbeda penggunaannya dengan
istilah dalam bahasa Indonesia yang merujuk pada pendidikan dasar dan menengah. Pada masa pra- modern,
madrasah Arab-menurut Azyumardi Azra- menunjuk pada jenis dan jenjang
pendidikan tinggi yang secara luas mulai dikenal masyarakat sejak abad ke-5 11 M. Lihat, Departemen Agama RI, Sejarah Perkembangan Madrasah dan Azyumardi Azra, Esai-Esai
Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. h. 67